Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “PERMEN” KARYA AGUS NOOR

Foto SIHALOHOLISTICK

Melihat mulut Iza yang terus cembetut, Neal tahu kalau anaknya itu masih kesal karena tak diperbolehkan membeli permen yang tadi sore dilihatnya dijajakan di perempatan jalan. Bukannya Neal tak memperbolehkan Iza makan permen. Anak-anak suka permen, itu biasa. Neal sendiri, sewaktu kanak-kanak, suka sekali permen. Neal tak akan pernah lupa: di ruang tengah, tempat biasanya Papa, Mama, dan kakak adiknya berkumpul menonton televisi, selalu tersedia sekotak aneka permen. Permen dalam bungkus warna-warni. Seperti bantal-bantal mungil milik peri. Permen toffee, fudge, lollipop, juga permen cokelat dan caramel yang meleleh lembut di lidahnya. “Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati,” kata Mamanya. “Karenanya kamu harus bersyukur bila hidup memberimu nasib yang manis, penuh warna dan menyenangkan seperti permen.”

Ah, permen. Bantal mungil warna-warni milik peri. Neal tak akan pernah lupa dongeng masa kecilnya itu. Saat kehidupan ini masih ranum, peri-peri yang selalu beterbangan seperti capung begitu riang memetik biji-biji buah selembut getah yang bergelantungan di pepohonan mastic dan spruce—sejenis karet dan cemara—yang menjulang menyentuh kelembutan cahaya. Sepanjang hari yang riang, ketika peri-peri mungil itu memetiki biji-biji buah yang matang dan manis, hutan yang berkilauan menjadi penuh nyanyian. Dan pada malam hari, saat peri-peri mungil itu kelelahan dan berbaring tertidur di dahan-dahan, bibi-biji buah yang lembut itu mereka gunakan sebagai bantal. Saat peri-peri mungil lelap itulah, seorang nenek sihir mengambili bantal-bantal itu dengan teramat hati-hati dan pelan agar peri-peri mungil itu tak terbangun, kemudian mengumpulkannya dalam keranjang. Saat terbangun pagi hari, peri-peri mungil itu akan terkejut mendapati bantal mereka sudah hilang. Mereka sedih, dan kembali beterbangan memetiki biji-biji buah yang bergelantungan, sementara nenek sihir itu telah jauh keluar hutan dan melintas jalanan desa dengan menyaru sebagai penjaja manisan. “Ini bantal yang dipakai tidur para peri,” kata nenek sihir itu merayu anak-anak yang terpesona pada biji-biji mungil itu. Anak-anak begitu bergembira ketika nenek sihir itu membagikan biji-biji yang rasanya manis dan lembut saat mereka kulum. Beberapa anak yang rakus dan terlalu banyak makan biji-bijian itu, di malam hari menjadi bengkak mulutnya.

Neal ingat bagaimana Mamanya mengakhiri kisah itu dengan suara yang penuh senyuman, “Begitulah, Nak, sebermula permen muncul di dunia manusia. Ia manis dan lembut karena dipakai sebagai bantal para peri. Tapi ia juga bisa membuat gigi-gigimu rusak dan bengkak karena ia dibawa oleh nenek sihir jahat.” Neal mengingat itu sebagai sebuah nasihat agar jangan terlalu berlebihan menikmati apa pun. Karena yang manis pun bisa membuat sakit dan menderita. Sampai ia berumur sembilan tahun, Neal suka meletakkan kotak dari kayu berisi beberapa permen di dekat jendela kamar tidurnya. Permen-permen dalam kotak itu ia tata menyerupai bantal di atas kasur kecil. Ia membayangkan, pastilah ada peri yang sedih dan tersesat ketika mencari bantal-bantal yang dicuri oleh nenek sihir itu. Maka, bila peri itu masuk ke dalam kamarnya, peri itu bisa nyaman beristirahat di kotak yang ia sediakan itu.

Sampai sekarang pun, setelah ia menikah dan punya anak—cukup satu anak, ia tak mau repot hamil dan melahirkan lagi—Neal sering bermimpi ada peri masuk ke dalam kamarnya menenteng biji-biji permen. Ia ingat, seminggu sebelum ia melahirkan Iza, ia bermimpi puluhan peri mungil mendatangi kamarnya dan menjatuhkan biji-bijian permen ke dalam keranjang bayi. Mimpi yang selalu ia percaya sebagai isyarat baik.

Tapi, permen yang banyak dijajakan di perempatan jalan itu rasanya bukanlah isyarat yang baik. Mestikah ia menjelaskan pada Iza, kalau permen-permen yang dijajakan di perempatan jalan itu bukan biji-biji ranum yang dipetik para peri dari dahan-dahan pohon spruce? “Permen itu akan membuatmu mules dan mual,” bujuk Neal sembari memberikan permen mint yang ia beli di supermarket. “Lebih enak permen ini, membuat mulut dan tenggorokanmu jadi segar.”

Tapi, wajah Iza terus cemberut. Dia tetap ingin permen yang dijajakan di perempatan jalan itu.

Sekarang ini, hampir di tiap perempatan jalan memang banyak pengasong menjual permen. Permen berwarna merah keruh yang mirip manisan dalam bungkus-bungkus plastik kecil. Selintasan, permen itu memang mengundang selera. Tetapi, Neal tak suka dengan para pengasong itu, yang sering menawarkan dengan cara setengah memaksa: menyorongkan bungkus itu ke dekat mobil sambil mengetuk-ngetuk—malah kadang mengedor—kaca jendela. Neal sering panik berhadapan dengan para pengasong itu. Takut, bila ia tak membeli, mereka akan memecah kaca mobilnya.

Lagi pula Neal memang tak suka dengan permen yang dijajakan itu. Ia sering mendengar bagaimana permen itu dibuat. Orang-orang miskin yang hidup di kampung-kampung kumuh pinggiran kota membuat permen itu dengan cara menampung kesedihan mereka. Mungkin proses pembuatan permen itu sudah berlangsung lama. Kesedihan dan kegetiran hidup yang mereka rasakan sehari-hari, mereka peras menjadi keringat yang ditampung ke dalam panci-panci rongsokan, kemudian diolah dan dimasak di atas tungku-tungku penderitaan. Mencampurnya dengan gelatin agar kental, memberinya sedikit gula, pewarna dan pengawet. Malah kabarnya mereka menggunakan sorbitol—sebagai pengganti gula yang mahal—dan kayu manis sebagai penyedap aroma. Para perempuan tua yang kelelahan dan terkantuk-kantuk sepanjang malam mengaduk-aduk adonan itu. Sementara bau got mampet dan bangkai celurut mengapung di lorong-lorong muram perkampungan itu, para anak yang matanya nanar tanpa harapan membungkusi butir-butir permen yang sudah selesai dimasak dan dicetak itu ke dalam kantung-kantung plastik.

Neal membayangkan, tidak seperti tangan-tangan peri yang lentik ketika memetiki biji-biji permen ranum yang bergelantungan, tangan anak-anak itu pastilah kotor dan menjijikkan; kuku-kuku jari tangannya penuh bekas daki ketika mereka menggaruk pantat mereka yang korengan. Dan tangan itu tak pernah dibersihkan ketika membungkusi biji-biji permen yang kemudian dijajakan di perempatan jalan.

“Bagaimana mungkin aku memberikan permen seperti itu pada Iza!” ujar Neal, setengah menggerutu, pada Samuel.

“Lho, apa salahnya?”

“Tidak. Iza tak boleh makan permen seperti itu. Tidak baik.” Selama ini Neal begitu hati-hati memilihkan semua yang tak terbaik bagi anaknya. Ia ingin Iza menikmati masa kanak yang membahagiakan. Dan Neal takut Iza akan tergoda oleh permen itu. Bagaimana kalau tanpa sepengetahuannya, Iza membeli permen itu ketika jajan di sekolah?

“Aku kira, permen itu sebuah gagasan yang cerdas,” kata Samuel, setengah tertawa, menatap Neal yang tengah memakai kembali g-string-nya.

“Maksud, lo?” Mata Neal melotot.

“Dengar,” Samuel menatap serius. “Bukankah mengubah kesedihan menjadi permen itu cara yang luar biasa? Mungkin itulah cara terbaik bertahan di tengah hidup yang penuh penderitaan. Membuat yang pahit jadi manis. Kamu jangan meremehkan hanya karena permen itu terlihat murahan. Ini hanya soal kemasan. Aku kira, kalau dikemas dalam kotak-kotak yang bagus dan dipasarkan dengan baik, permen itu akan menarik juga. Mungkin akan jadi komoditi yang menguntungkan. Bukankah ini peluang pasar? Kita bisa mengembangkan permen itu untuk diekspor. Bayangkan! Kita bisa mengekspor permen penderitaan itu ke banyak negara. Saya kira itu jauh lebih baik ketimbang kita melulu mengekspor TKI.”

Samuel tertawa—mungkin karena merasa lucu. Tapi Neal tak menanggapi.

“Lagi pula, permen-permen itu telah membuat banyak orang jadi punya kerjaan. Yah, meskipun cuma jadi asongan di perempatan jalan, tapi itu lebih baik daripada mereka jadi penjahat kapak merah, kan?”

Dari jendela hotel Neal memandang ke bawah, ke arah jalanan yang macet. Ia lihat puluhan pengasong yang berjalan dari satu mobil ke mobil di belakangnya, menawarkan bungkusan permen itu. Rasanya, dari hari ke hari semakin banyak saja jumlah penjaja permen itu memenuhi jalanan. Jalanan yang macet jadi makin semrawut oleh mereka. Samuel memeluknya dari belakang, mengecup tengkuknya pelan.

“Mestinya kamu tak usah terlalu gelisah. Toh itu hanya permen.”

Tidak. Ini bukan hanya soal permen baginya. Permen bukan hanya sekadar sesuatu yang manis di lidahnya. Bukankah ia mencintai Samuel karena laki-laki ini memberinya sekotak permen ketika pertama kali mereka bertemu? Bagi Neal permen lebih menggoda daripada buah apel. Bila dulu ia adalah Hawa, dan Tuhan menggodanya dengan buah apel, pasti ia tak tertarik untuk menikmatinya. Ia akan lebih suka membayangkan bila di surga penuh bergelantungan biji-biji permen warna-warni yang memancarkan cahaya. Ia pasti tergoda untuk memetiknya.

Samuel memberinya permen. Permen yang selama setahun ini ia nikmati bersama Samuel. Hidup memang seperti permen karet, meskipun lembut dan manis, kita harus berhenti menikmatinya sebelum terasa asam dan hambar. Makanya Neal menahan lidah Samuel dengan jarinya ketika laki-laki itu mulai menciumnya lagi. Lagi pula ini sudah jam tiga sore. Jam di mana Neal harus menelepon suaminya.

Pras menutup handphone-nya.

“Siapa?” tanya Melly.

“Neal.”

“Kamu mesti jemput istrimu?”

Pras menggeleng. Ia memandangi Melly yang bersandar di sofa dan belum juga memakai blazernya.

“Cuma ngomong soal permen…”

“Permen?”

“Ya. Permen. Dia belakangan ini selalu gelisah soal permen yang dijajakan di perempatan jalan itu.”

“Permen ini maksudmu?” Melly mengeluarkan sebiji permen dari tas Louis Vuitton-nya.

Pras memandangi permen itu. Benar. Itu permen yang sering ia lihat dijajakan di perempatan jalan. Pras sama sekali tak menyangka kalau Melly menyimpan permen itu.

“Kok kamu beli?”

“Itung-itung ngasih rezekilah. Lagi pula bosan kan terus-terusan menikmati permen rumahan. Sesekali perlu juga nyoba bagaimana rasanya permen pinggir jalan….”

Pras merasa wajahnya memerah. Omongan Melly terdengar seperti sindiran.

“Kamu mungkin menganggap permen ini tak enak, hanya karena dibuat dari adonan penderitaan. Tak ada yang salah kan kalau ada permen yang dibuat dari penderitaan? Apa kamu pernah dengar ada permen yang dibuat dari rayap kayu?”

Pras menganggap Melly bercanda.

“Bener! Nggak tanggung-tanggung, yang mengembangkan permen dari rayap kayu itu seorang profesor di Institut Pertanian Bogor. Mungkin kamu nggak mengira kalau rayap kayu kering jenis cryptotermes cynocephalus light mengandung karbohidrat 10,2 persen dan lemak 25,2 persen, dan ini cocok buat bahan dasar permen jelly yang kaya dengan nutrisi berupa protein rayap. Tinggal dicampur dengan sirup fruktosa tinggi, dimasak pada suhu70-100 derajatCelsius, udahdeh, jadipermen…”

“Tahu dari mana?”

“Baca dong!” Melly sedikit mendengus. Ia tak suka dengan ekspresi Pras yang tampak tak mau percaya kalau ia tahu soal permen rayap itu. Apa dikira sekretaris tidak suka baca?! Pras diam. Melly mendekat ke ranjang dan berbaring di atas tubuhnya, lalu menyodorkan permen itu tepat ke wajah Pras yang tengadah.

“Coba, deh…”

Pras tanpa sadar langsung mengatupkan mulutnya.

“Sesekali kamu makan permen ini kan ya tak apa-apa,” kata Melly sambil memandang mata Pras dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali kamu sedikit merasakan penderitaan…”

Pras memejam. Permen itu mengingatkannya pada kecemasan istrinya. Tapi apa salahnya mencoba? Toh ia juga suka permen. Rasa permen yang beraneka macam selalu membuatnya merasakan sensasi petualangan rasa di lidahnya. Apalagi sejak ia menikah dengan Neal. Ia selalu membawa permen di sakunya. Setiap kali hendak masuk rumah, ia pasti mengunyah permen terlebih dahulu. Permen bisa menghapus bau bekas ciuman di mulutnya.

Warna-warni cahaya kota terlihat bagaikan bermacam bungkus permen yang bertebaran di udara. Barangkali kota memang seperti permen yang menggoda siapa pun untuk datang menikmatinya. Kota adalah pabrik gula-gula. Gedung-gedung yang menjulang itu adalah kotak cokelat raksasa. Neal melihat barisan orang-orang yang berbondong-bondong ingin menikmati cokelat raksasa itu, yang tampak seolah meleleh di bawah cahaya. Lalu muncul serombongan orang-orang kumuh yang keluar dari dalam lorong dan gorong-gorong. Neal panik ketika orang-orang itu mulai mengepung mobilnya. Tangan mereka yang hitam dan kotor seperti cakar yang hendak menggaruki mobilnya. Neal mendengar suara jeritan yang melengking bersahut-sahutan…

Ia tergeragap. Ternyata itu suara puluhan klakson mobil-mobil yang berderet di belakangnya. Lampu sudah menyala hijau. Dan ia masih melamun. Seorang pengasong menyodorkan sebungkus permen ke dekat kaca mobilnya, tetapi Neal segera tancap gas.

Neal masih gemetaran saat sampai rumah, dan mendapati Iza sudah tertidur. Pembantunya bilang, sejak sore anak itu terus nangis. Tak mau les piano—padahal biasanya ini yang paling disukai anak itu—dan bahkan juga tak mau makan. Hanya karena kecapean ia kemudian tertidur.

Neal memandangi anaknya yang lelap. Wajahnya seperti roti gandum yang diolesi susu. Tiba-tiba Neal merasa takut, betapa wajah anaknya kelak menjadi keruh oleh penderitaan. Di dalam rumah ini, ia bisa melindungi anaknya. Tapi bagaimana di luar sana? Sungguh, ia ingin anaknya terus merasakan hidup yang nyaman dan tenteram. Ia tak ingin pengaruh buruk dari jalanan merusak hidup anaknya.

Menjelang jam sepuluh Pras pulang, dan seperti biasanya, suaminya itu masuk ke dalam rumah sambil mengunyah permen. Kebiasaan yang Neal perhatikan mulai dilakukan Pras sejak mereka menikah.

“Sudah tidur Iza?”

Neal mengangguk. Pelan Pras mencium bibir istrinya. Neal merasakan sisa aroma permen yang lengket di sudut bibir suaminya.

“Bagaimana kalau besok Iza masih ngambek dan terus minta permen itu?” tanya Neal menjelang mereka tidur.

“Sesekali Iza kamu perbolehkan makan permen itu kan ya tak apa-apa,” jawab Pras sambil memandang mata Neal dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali anak itu sedikit merasakan penderitaan…”

 

Jakarta, 2007

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler