Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “SAMANASANTA” KARYA F. RAHARDI

Foto SIHALOHOLISTICK

Kamu akan berangkat lewat Denpasar atau Surabaya atau Kupangkah? Bolehkah aku titip diriku karena ini baru pertama aku datang ke Larantuka. Benarkah nama kota di Flores tempat Samanasanta itu Larantuka? Bolehkah?

Aku meninggalkan Paris sudah seminggu lalu, tetapi terlalu lama aku tertahan di Bangkok. Ditambah lagi ketika Jakarta, yang juga sama macet dengan Bangkok, telah menyita banyak sekali waktu. Tetapi aku senang karena bertemu dengan sangat banyak teman, juga musuh. Tetapi mereka yang dulu menganggap aku musuh, sekarang sudah tidak perlu dianggap musuh lagi. Aku disuruh Pastor Boli menginap di wisma, tetapi aku lebih suka tinggal di hotel. Maka, tiap malam Pastor Flores itu harus mengantarku kembali ke hotel dengan sepeda motornya yang sangat besar. Bagaimana?

Kata Pastor Boli, namanya Maria. Ini mengingatkan aku pada Maria dan Martha, kakak adik yang disebut-sebut Injil. Di Jawa, aku kira masih banyak nama-nama Wati, Nani, Iyem, Minah, tetapi nama-nama itu sudah diganti Anne, Betty, Dona, Fifi, dan Maria yang kausebut-sebut itu, Jawakah atau Flores? Ternyata dia Indonesia sebab kakek dari ibunya Ambon, nenek dari ibunya Jawa, kakek dari bapaknya Batak, dan nenek dari bapaknya Manado. Katanya kakek buyut dan nenek buyutnya, ada Belanda-nya, ada China-nya, ada Jerman-nya, ada Arab-nya juga. Kapan saya bisa menemuinya?

Menurut Pastor Boli, Maria adalah wartawati yang baik, tetapi orang yang pernah dikritik lewat tulisannya yang sangat tajam, banyak yang memusuhinya. Dia berumur hampir lima puluhan, tetapi ingin tetap lajang seumur hidup dan ini membuat bapak dan ibunya dan juga saudara-saudaranya bertanya-tanya, tetapi mereka tidak bisa apa-apa. Sebab, kata Pastor Boli, Maria tidak menikah bukan karena tidak ada yang mengajak menikah, melainkan karena dia tetap ingin hidup bebas sendirian hingga bisa terus terbang seperti burung-burung di langit. Apakah Maria cantik?

Ternyata Maria sangat cantik. Dia juga cerdas dan semangatnya tinggi. Meski sudah mendengar suaranya di telepon, tetapi ketika aku mendengar dia berbicara berhadap-hadapan denganku, aku merasakan suara menjadi lebih berat dan tajam. Dia menyebutku sebagai orang yang terbuang dan terkalahkan, dan aku menerima saja sebutan itu. Aku ingin dia banyak bercerita tentang Samanasanta, tetapi dia malah senang menceritakan suasana politik Indonesia, juga politik Amerika di Iran, dan dia ternyata banyak sekali tahu tentang Perancis. Aku senang melihat dia bersemangat.

Dia mengatakan bahwa pesawat akan berhenti di Denpasar, lalu ganti pesawat lain ke Maumere sebab tiket ke Larantuka sudah habis sejak sebulan lalu.

Di Maumere akan ada Bruder SVD yang menjemput dengan jip, lalu kami harus berjalan darat ke Larantuka. Apakah Larantuka dekat dengan danau warna-warni yang di atas gunung itu? Ya, Kelimutu itu? Ternyata Kelimutu jauh. Di Ende, ya? Dan, kami juga harus bermalam di Maumere. Di sini kami akan bertemu Uskup yang baru saja ditahbiskan, tetapi tiba-tiba uskup itu harus ke Jakarta, hingga kami malah bertemu dia di Airport Ngurah Rai di Denpasar. Sudah berapa puluh tahun aku tidak melihat Denpasar? Apalagi Denpasar, bahkan Jakarta pun hanya tiga kali aku kunjungi selama 40 tahun terakhir ini. Itu pun baru mungkin setelah ada reformasi, ada kerusuhan, tapi bukan. Kerusuhan 98 beda dengan 65. Capekkah kamu Maria?

Indonesiamu ini sebenarnya indah sekali, tetapi, ya, aku tidak perlu melanjutkan kata tetapi ini kepadamu. Tetapi kamu yang kemudian memprotesku bahwa ini juga Indonesiaku. Itu dulu bukan? Itu dulu sekali. Sekarang aku tidak punya apa-apa. Aku tidak punya Jawa, tidak punya Sumatera, tidak punya Indonesia, tidak punya China, tidak punya Perancis. Kalau Uni Soviet memang sudah bubar bukan? Lalu berkali-kali kamu bertanya aku punya apa sekarang? Aku bilang tidak punya apa-apa lagi. Kamu lalu bertanya lagi, bukankah aku ini komunis? Aku bilang dari kecil aku ini Katolik. Kalau begitu masih punya Katolik kan, tanyamu, di pesawat yang menderu-deru di atas pulau-pulau yang jauh di bawah sana. Tanya apa kamu Maria?

Aku bahkan sudah tidak punya kehidupan ini. Tidak usah kaget. Apakah kamu belum tahu bahwa aku ingin datang ke Samanasanta karena sudah tidak terkesan dengan Lourdes dan Fatima, sudah capek dengan Sungai Yordan dan Laut Mati, sebab di sana sudah tidak kudapatkan apa-apa. Juga di Vatikan. Bukan, bukan kesembuhan dari penyakit ini. Bukan itu Maria. Aku mati memang sudah pas bukan? Karena umur memang sudah cukup. Tetapi aku ingin menjadi orang yang sungguh manusia, dengan mendapatkan pengalaman spiritual yang juga sungguh manusiawi. Lalu, aku disuruh banyak kawan agar datang ke Samanasanta. Apa itu Samanasanta? Dulu ketika di Yogya aku memang banyak kawan dari Flores. Tetapi tidak pernah aku mendengar tentang Arak-arakan Paskah itu.

Maria, apakah kamu Katolik sejak kecil, atau, o ya, bukankah orangtuamu campuran macam- macam, hingga kamu pasti sudah Katolik sejak belum dilahirkan. Yang aku heran, sebenarnya aku tidak pernah tahu-menahu tentang Komunis, aku tidak tahu-menahu apa yang pernah terjadi di negeri ini pada tahun 1965 karena ketika itu aku sedang ada di Bucharest, lalu apa salahku? Benar kamu Maria, salahku justru karena berada di Bucharest itu. Tetapi, itu tidak terlalu penting lagi. Jadi arak- arakan Samanasanta itu akan terjadi tepat pada hari Jumat Agung dan itu sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam? Maaf Maria karena aku hanya mendengar dari kawan-kawan bahwa arak- arakan itu pada hari Paskah. Jadi, salah ya?

Aku sebenarnya agak takut naik pesawat di negeri seperti ini. Negaraku juga kan dulu? Ya, benar. Ini dulu negaraku. Sekarang pun juga masih tetap negaraku. Sebab orang-orang Paris, orang- orang Berlin, orang-orang Amsterdam, mereka selalu mengatakan bahwa aku ini Indonesian. Meskipun pasporku paspor Perancis. Itu tidak penting. Apalah artinya buku kecil yang ada foto, ada sidik jari, ada alamat, dan selalu distempel tiap aku datang dan pergi di gerbang imigrasi di negeri sendiri. Aku tetap Indonesia karena rambutku hitam. Tapi sekarang sudah putih, ya? Kulitku coklat bahkan agak hitam. Jadi, tidak mungkin aku bilang aku ini Perancis atau Belanda atau Jerman. Berapa jamkah kita akan berada di dalam pesawat ini Maria?

Agak lega juga aku, ketika pesawat mulai turun, lalu pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Waloti di Maumere. Kamu ada bagasi banyak sekali kan? Aku hanya ada satu, tetapi itu isinya macam-macam dan mahal. Ada kamera, ada laptop, ada telepon satelit. Mengapa tidak dibawa ke kabin? Ya, apa akan hilang atau rusak? Aku kira tidak. Dan, ternyata benar, koper logam itu masih utuh dan terkunci rapat dan isinya juga tidak ada yang hilang. Aku merasa bahwa Pulau Flores ini juga pulauku, pohon-pohon yang meranggas di sepanjang jalan di pantai itu, yang katamu pohon reo itu, juga pohonku. Apalagi lontar-lontar itu, pelepah bunganya, katanya, selalu disadap dan meneteskan nira seperti halnya kelapa dan enau.

O, kalau di Perancis sana yang disadap pohon chery. Airnya juga manis sekali. Nira lontar itu di sini dibuat minuman keras? Seperti tuakkah? Captikus? Moke? Ya, pasti saya akan mencicipi, meskipun tidak boleh terlalu banyak. Jadi, Bruder juga membawa moke di dalam jip ini? Aduh, tetapi nanti sajalah di Larantuka sana. Maria? Kamu juga doyan mokekah? Ah, itu jawaban yang klise. Yang jelas kawan-kawan Muslim, yang katamu ateis itu, sampai detik ini tetap tidak pernah mau menyentuh minuman itu. Mereka itu mengagumkan sekali imannya. Tetapi, mengapa kamu bilang mereka ateis? Padahal, mereka sangat patuh pada syariat. Mereka shalat lima waktu, juga puasa. Dan, kalau saya makan ham, minum wine, mereka tetap tidak mau ikut mencicipi.

Katamu, aku juga akan diterima Uskup Larantuka? Katamu dia senang bisa bertemu denganku, apakah pentingnya aku? Baiklah Maria, o, ternyata aku memang pasti akan bertemu uskup karena tempat menginapku di wisma keuskupan. Kamu menginap di mana Maria? Ya, di mana-mana memang penuh manusia. Katamu ada berapa? Lima belas ribu orang? Wah, itu banyak sekali Maria. Pantaslah di mana-mana penuh dengan orang. Kapela Tuan Ma yang keramat itu juga banyak didatangi orang, meski belum waktunya dibuka. Dari kapela itu bukit tampak dekat sekali. Bagaimana kalau bukit itu longsor lalu menimbun kapela ini? Kata orang-orang Larantuka, itu tidak akan pernah terjadi.

Benarkah bukit itu pernah longsor menyapu kota, tetapi kapela ini tetap utuh? Terus terang Maria, aku sudah tidak sabar lagi menunggu Samanasanta. Sekarang ini hari apa? Rabu? Jadi, masih dua hari lagi? Kamu mau mengajakku ke Lamalera dan melihat orang-orang menangkap ikan paus? Aku tidak mau. Aku tidak mau melihat paus dibunuh. Paus ikan pun tidak, terlebih Paus yang di Vatikan. Kalau melihat-lihat kampung bolehlah. Wah, matahari di sini benar-benar panas, dan itu sangat menyenangkan. Di Paris, Maria, bisa berminggu-minggu aku tidak melihat matahari itu. Ya, di Jawa juga begitu kalau sedang mendung. Tetapi, Jawa beda dengan Perancis bukan?

Maria, mengapa orang-orang di sekitar Larantuka ini miskin? Apa karena sibuk berdoa lalu mereka lupa bekerja hingga jadi miskin? Atau karena miskin mereka hanya bisa berdoa agar lupa pada kemiskinan itu? Maria, apakah uskup dan bupati, juga pastor dan pegawai-pegawainya, juga ikut miskin? Mereka tampak baik-baik saja bukan? Bukan urusanku? Ya, memang benar. Saya kemari hanya untuk ikut arak-arakan Samanasanta yang kata kawan-kawan di Paris sana, masih terasa spiritualitasnya. Maria, tolong kalau Pastor Boli menelepon tidak usah diberitahu, kapan aku akan ke kembali ke Jakarta. Sebab sudah sejak kemarin HP aku matikan. Juga HP satelit untuk mengirim gambar ke Paris itu belum aku aktifkan.

 

Cimanggis, Mei 2007

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler