Stasiun Nagoya terlihat sangat sibuk, bahkan di siang hari. Aku melangkah gontai menuju bangunan depannya yang berwarna pualam dengan relief lengkung sebagai pintu masuk utamanya. Aku seperti mengenal tempat ini dengan lebih baik daripada tempatku bekerja. Dan sebulan terakhir ini tampaknya menjadi kenangan yang indah antara aku dan Stasiun Nagoya, yang akan berakhir hari ini.
Ketika sudah berada di atas kereta Shinkansen dalam perjalanan kembali ke Tokyo, aku tiba-tiba mengerti arti sebuah kalimat di apartemen kecilku yang lebih merupakan perangkap daripada sekadar tempat tinggal. Kalimat yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Dia mencoret-coret dengan kasar pada pintu toilet sebuah kalimat sederhana tetapi tidak sesederhana itu. ”Tuhan itu Adil, tetapi Dunia Tidak!” pesan singkat dari surga atau dari korban kehidupan Dunia.
Iming-iming tangga sukses yang menunjuk langit membuatku melakukan gerakan banting setir yang berbahaya. Kutinggalkan bertahun-tahun latihanku untuk menjadi seorang art director yang hebat dan beralih menjadi seorang penata cahaya pertunjukan. Cahaya yang bernama Tokyo itu sungguh telah menyilaukan mataku. Menutupi perasaanku. Dan sekarang semua kegetiran ini harus kutanggung sendiri.
Kutekan mata dengan lenganku, berusaha menghapus ingatan dan impian. Hancur sudah kerja keras selama tiga tahun. Selama itu aku tidak tidur dengan baik, tidak makan dengan baik agar bisa mendapatkan hari seperti hari ini.
Tetapi Nagoya tidak berpihak padaku. Hari ini aku dipertunjukkan sebuah citra tersembunyi tentang kehidupan binal para seniman cahaya seperti diriku. Karyaku dibajak, sebuah masterpiece kehidupan yang tercipta dari kepalaku telah dicuri. Aku yang begitu suci, berontak, amarahku meluap, mataku membuta, seingatku kujatuhkan semua orang di hadapanku dengan sumpah serapah dan aku pun menjadi seorang tertuduh. Martabatku yang ganti dijatuhkan dan aku memilih pergi. Mulai sekarang aku harus memasang papan nama ”sumpah serapah” di depan dadaku setiap kali aku ingin tahu ke mana kesempatan dan impian itu pergi.
Lalu sesosok bayangan muncul di permukaan Danau Hana-Miya. Dan sejak tiga tahun lalu aku selalu berdiri di sini, berdampingan dengan pohon sakura Hana-Miya. Pohon sakura kesukaan Hagu-chan, sahabat terbaikku di tempat nan asing dan dingin ini
Ini hampir akhir bulan Maret. Dan seluruh kota Tokyo sebentar lagi akan menggelar Festival Hanami yang diadakan untuk melihat dan menikmati sakura mekar. Orang akan menggelar tikar di taman-taman yang ditumbuhi pohon sakura jenis Shomei-yoshino yang paling terkenal di Tokyo. Pemerintah Jepang sudah mengumumkan prediksi mereka bahwa tahun ini sakura akan mekar selama 11 hari.
Jika sakura mekar, berarti Hagumi akan segera terbang kemari dari mana pun dia berada. Dia adalah contoh gadis pemberani. Dia kabur dari apartemen mahal orangtuanya di Central Park West Manhattan demi mengejar impiannya di negaranya sendiri. Dia juga seorang yang berhasil keluar dari kegetiran stres pascatrauma yang dialaminya akibat ”kesadaran anesthesia” ketika dia masih berusia 10 tahun. Siapa pun pasti bergidik ketika membayangkan kondisi di mana pasien tetap sadar penuh selama operasi berlangsung meski sudah mendapat anesthesia (obat bius). Kisah Hagu berhasil membetotku keluar dari ruang hidupku yang kecil. Dia pernah mengutip sebuah kalimat, ”Jepang itu seperti bubur budaya yang mendidih, yang tak pernah berhenti membakar agar mereka tetap ada”. Lalu dia pun membawaku keluar ke semua tempat itu, ditemani Yuji-san, kekasihnya yang seorang pemain saham yang beruntung.
Sebuah pesan singkat muncul di ponselku. Hagu memintaku bertemu di tempat biasa, Ropponggi. Hatiku seakan berbunga, terlupa kalau aku baru saja terhukum, terpojok pada dinding. Aku bergegas menuju subway jalur Hibiya agar bisa secepatnya sampai di Stasiun Ropponggi.
Roppongi. Sebuah image hedonisme dunia malam di kota Tokyo. Aku biasa ke sini jika aku rindu sate atau rendang, atau sekadar mengusir penat dengan berjalan-jalan seputar Ropponggi Hills, atau ketika aku mulai bermimpi lagi, sedang menata cahaya sebuah pertunjukan di Suntory Hall, auditorium musik terbaik di dunia, atau ketika kuingin memasuki Vanilla, Gaspanic dan Velfare, klub malam terbaik di Ropponggi untuk sebuah tujuan mahal bernama inspirasi.
Velfare adalah tempat tujuanku, kami biasa berkumpul di sini. Klub dengan kapasitas 2.000 orang dan memiliki Superbe– Lighting System. Cahaya indah yang selalu membuatku kagum seakan sedang jatuh cinta.
Tapi Velfare sedikit muram malam ini. Aku memilih duduk di bar ketika tak kutemui Hagu atau Yuji di sana. Ken’ichi atau Kenny, bartender yang sudah sangat kukenal, memandangku sejurus lalu mengatakan kalau aku sudah ditunggu sejak tadi. Lalu menunjuk orang yang duduk di sampingku. Aku berusaha mengenalinya, tetapi belum apa-apa, sorot mata tajamnya mencabikku tanpa ampun. Aku pun bergidik.
Kenny menjelaskan bahwa dia adalah teman Hagu dan Yuji. Seorang penata cahaya tersohor di Jepang, pernah menerbitkan buku tentang penataan cahaya, dan salah satu karyanya adalah tempat ini. Velfare.
”Apa Anda sedang mengerjakan proyek di Nagoya?” tanyanya begitu tiba-tiba yang kujawab dengan gelengan kepala penuh rasa panik dan bingung. Lantas tanpa sungkan dia bertanya, ”Apa kau menjiplak karya orang lain?!” Aku pun berontak dan berteriak ”Omong kosong apa ini!!” lalu bergegas pergi. Namun dengan cepat orang itu mencengkeram tanganku sambil berujar, ”Aku yang mendiskualifikasi karyamu. Apa kau tidak tahu bedanya membuat karya sendiri dan meniru pekerjaan orang lain?!” Aku tidak bisa bicara hanya bisa berteriak dalam hati lalu berlari, menabrak tubuh-tubuh berpeluh dengan bau parfum yang wanginya lebih memabukkan daripada alkohol. Orang itu masih tetap mengejar. Aku menerobos keluar tak peduli tatapan aneh dari orang-orang. Pria itu menggapai pundakku dan membalikkan tubuhku dengan kasar dan berteriak lagi, ”Haruskah kau kutampar agar bisa sadar!!” Aku lelah dituduh.
”Aku tidak meniru. Orang lainlah yang membajak karyaku. Aku… aku…” Ropponggi yang gelap di malam hari jadi semakin gelap.
Sebersit cahaya satu-satu menyentuh kelopak mataku, membangunkan kesadaranku. Ruangan yang dipenuhi jejak cahaya yang ditata indah menyorot seperti lampu mercusuar yang menindas tubuh-tubuh yang tergeletak di sampingku. Hagu dan Yuji, juga sesosok tubuh yang berdiri di depan pintu. Aku mengenalnya, aku membaca bukunya, aku fans terbesarnya. Ryusuke Sekiguchi, sang Maestro Cahaya. Dia menulis bahwa ”Cahaya itu punya sebuah rahasia. Dia akan terlihat lebih indah di kegelapan. Dan sosok yang tersorot cahaya itu akan terlihat seperti bidadari yang terselubung gemerlap bintang”. Dan pria itu baru saja memaksaku memuntahkan sepotong kesalahpahaman pikiran yang telah kutelan bertahun-tahun. Lewat senyumnya dia berusaha memberi tahu kalau Ropponggi hanyalah sebuah kota terselubung cahaya dengan berbagai image-nya yang berkilau, dan tak lebih dari itu.
Tulis komentar baru