Skip to Content

PUISI-PUISI ACEP ZAMZAM NOOR

Foto SIHALOHOLISTICK

KASIDAH SUNYI 3

 

Aku letih menjengkal kesamaranmu
Menyusuri terowongan-terowongan panjang
Waktu ternyata sebuah gurun pasir
Yang menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih memahami rahasiamu
Menghirup kepulan pasir dan debu
Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun
Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh

 

KUPU-KUPU  

 

Aku tidur dalam pelukan bunga layu
Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang
Ke ranjangmu. Sungai-sungai
Air mata yang mengering dalam doa-doaku
Aku menulis semua yang dibidikkan angin
Membaca semua yang dituliskan semilirnya padaku
Bercakap dengan udara yang dingin:
Betapa cepat kuda ajal merebut semua jalanku
Lautan itu mengandung bulan
Kaulah yang memompa perut gelombangnya!
Ikan-ikan yang minum dari matamu
Burung-burung mabuk dalam kejaran pandanganmu
Kembali pada debu. Kupu-kupu
Merontokkan lembar demi lembar rambutku

 

RUMAH YANG TERBUKA

 

Jarum pengelihatanku memasuki seluruh pori-pori
Dalam tubuhmu. Keindahan yang kugali sering menjelma api
Yang menyalakan sumbu urat-urat darahku
Aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu
Untuk kunyanyikan diam-diam. Tanganku meraba ayat-ayat
Tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh
Aku selalu ditenggelamkan sinar bulan
Mengupas kemolekanmu dengan pisau pikiran
Adalah sia-sia. Keindahan hanya bisa kurasakan getarnya
Seperti cinta yang membakarku tiba-tiba
Aku menggali cahaya dari kuburan-kuburan kenanganmu
Untuk kunyalakan dalam jiwa. Dengan kaki telanjang
Kumasuki rumah batinmu yang terbuka
Di lantai pualam aku bergulingan sepanjang malam

 

COLOMBELLA  

 

Aku masih digayuti kabut yang semalam melaju dalam tidurku Melewati petak-petak ladang, tangki air dan lengkung biru Pebukitan. Rumah-rumah kotak yang kecoklatan Jalan-jalan kecil yang melingkar serta sebuah sungai Yang berliku membelah perkampungan Semuanya bermuara di mataku
Ini masih awal musim semi, kureguk Hangatnya kopi serta bait-bait pendek Ungaretti Betapa angin telah menggemburkan permukaan tanah Dengan lidahnya. Topan mengkilapkan wajah bebatuan Sebuah lapangan kota lama yang lahir kembali Dengan katedralnya yang lain
Ini masih awal musim semi Semburat matahari menerobos kaca dan sayup-sayup Kudengar dengus pepohonan yang menahan getar birahi Akar-akarnya. Ladang-ladang menghamparkan tikar pandan Sungguh musim semi telah membangunkan tidur bumi Yang panjang. Ketika langit menguraikan rambut ikalnya Sebuah kastil putih muncul dari balik pebukitan Dengan air mancurnya yang menyemburkan kilatan cahaya

1993-1997

 

FIRENZE

 

Ingin kulepaskan hasratku Ke pusat gairahmu Seperti peristiwa-peristiwa biasa Yang dikekalkan waktu Menjadi patung dan lukisan. Begitu pula jalan-jalan Kaki lima yang berliku Sungai besar Jembatan-jembatan tua Patung-patung serta lampu-lampunya
Sejak kulewati sebuah kastil dengan taman bunganya Kebun anggur tumbuh di dadaku Aku berjalan dengan lonceng di telinga Mendirikan menara bagi pendengaranku Lalu membayangkan sepasang air mancur Di kedua tanganku. Kumasuki semua butik dan museum Hingga aku menjadi sepatu di halaman toko buku angka-angka tahun berloncatan Hari-hari meloloskan diri Dari perangkap kesementaraan
Sungguh ingin kulekatkan gairahku Pada bunyi lonceng Katedralmu. Seperti adegan-adegan pertobatan Sepanjang dinding marmar yang kekal Atau dilumuri ambar dan kemiri -- Lalu aku berjalan sendiri Ke deretan bangku-bangku kosong itu Duduk, tersedu dan membusuk Bersama sajak-sajakku

1993-1997

 

LOUVRE

 

Cahaya remang yang melumuri trotoar berbatu Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah Sepanjang jembatan itu. Seperti jemari senja yang lentik Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati dinding-dinding pualam Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:
Paris berkilauan dalam sebuah piramida kaca

1997

 

PERNYATAAN CINTA

 

Kau yang diselubungi asap
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh
Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka akumelempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta
Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota
Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru
Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru
Wahai kau yang diselubungi asap
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras

1998

 

RUE DE RIVOLI  

 

Kita melaju dalam rintik gerimis Yang menghapus semua alamat Dari ingatanku. Udara seperti berombak Sungai memantulkan gema Napasmu gemetar Di ranting-ranting poplar
Jembatan itu mengangakan rahang Menyeret musim Yang meluncurkan perahu Dalam cuaca dingin. Senja menjadi ajaib Di tengah kebisuanmu Dan redupnya angin
Ke sudut-sudut kafe Tak ada yang perlu dilabuhkan Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku Mungkin tak akan mengubah arah sunyi Dengan mencari kehangatan Pada gelas dan ciuman

1997

 

ZIKIR

 

Aku mengapung

Ringan

Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari

Dalam angin

Jumpalitan bagai ikan

Bagai lidah api

 

Bau busuk mulutku, Anne

Seratus tahun memanggi-manggil

Namamu

 

Inilah zikirku:

Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah

Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku

Tumpukan sampah keterpurukanku

Selokan mampat kesia-siaanku

 

Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan

Padahal lapar, tak minum padahal haus

Tak menangis padahal sedih, tak berobat

Padahal luka, tak bunuh diri

Padahal patah hati

 

Anne! Anne! Anne!

 

Zikirku seribu sepi menombakmu

Menembus lapisan langitmu, membongkar

Gumpalan megamu, membakar pusaran

Kabutmu, menghanguskan jarak

Ruang dan waktu

 

Aku mencair

Bagai air

Mengalir padamu. Bagai hujan   

Tumpah ke bumi

Menggelinding bagai batu

Bagai hantu

 

Anne! Anne! Anne!

 

Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan

Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku 

Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku

Semburan asap kepunahanku

 

Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri

Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang

Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut

Padahal punya hak, tak memaksa

Padahal putus asa

 

Anne! Anne! Anne!

 

Zikirku seribu sunyi mengejarmu

Menggedor barikade pertahananmu, menerobos

Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang

Semadimu, menghancurkan singgasana

Kekhusyukanmu

 

Bau busuk mulutku, Anne

Seratus tahun memanggil-manggil

Namamu

 

LE NAUSEE

Buat Wing Kardjo

 

Jejak bulan telah hapus

Bumi tinggal rawa peradaban

Kata-kata menjadi belantara nilai

Tak terbaca. Bencana demi bencana

Bahkan pertikaian antar sesama

Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai

Yang mengalirkan lumpur dan lahar

Sumbernya berasal dari kemarahan

 

Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap

Mengekalkan kesumat. Langit merendah

Berkaca pada lembaran sejarah

Yang penuh darah. Harimau dan ular

Mengaum dan menjalar

Tak tertahan. Naik-turun gunung

Keluar-masuk hutan

Merambah dunia tanpa peta

 

1983

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto sofieka

Begitu indah sambutan puisi

Begitu indah sambutan puisi ini pak..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler