Skip to Content

PUISI-PUISI AD. DONGGO

Foto SIHALOHOLISTICK

AKU TAK SANGGUP

Sungguh, aku taksanggup menata kata jadi bait sajak inginku membajak lagi seperti dulu bapak mengajarku

Antara mata bajak dan kekuasaan mana yang selalu mengalirkan darah betapa kuharus merangkainya dalam bait-bait sajak sungguh aku taksanggup nuraniku nurani petani

Juga antara mata bajak dan keserakahan mana yang selalu menghalalkan segala cara?

yang merampas hak milik orang lain betapa aku merangkainya jadi bait sajak sungguh, aku taksanggup nuraniku nurani petani aku menanam, aku menuai ini ajaran dari para leluhur yang dilupakan oleh ketamakan masa kini

KAU PAKSA AKU MELUPA

Kau memaksa aku melupa dulu itu tidak ada mulut yang meneriakkan, ''Kemerdekaan dimulai dari lidah'' Atau teriakan, ''Indonesia Merdeka sekarang juga'' Lupakan sejarah, lupakan keberanian lupakan harga diri, karena semuanya telah dipatahkan oleh nurani yang menghamba

Aku pun tersentak mendengar keluhanmu Indonesia adalah belahan yang kian merapuh namun aku tetap berada di posisi yang aku pilih Indonesia adalah Nusantara kekal dalam satu, kau menyangkal?

sejarah akan melindas langkahmu

Namun kau terus memaksa aku mengaku Negara bukan pelindung rakyat oleh rezim yang tamak Rakyat dijadikan sapi perah dengan mengatasnamakan negara

Di persimpangan ini kukira kita harus berpisah jalan aku tetap di sini di posisi yang kupilih sedang kau tetap menantang Indonesia bukan Soekarno-Hatta, lupakan Indonesia adalah lumuran darah dan kebencian Itu yang tercatat dalam era ini ketika kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin

 

MENGHITUNG JARAK

Rumput ini membaringkan tubuh kita yang lelah setelah menempuh perjalanan panjang tak berujung kita pun telah mencoba menghitung jarak antara kekuasaan dan ketidakpastian antara kemiskinan yang menistakan namun kita tetap lelap dalam nurani yang bebal

Menangislah karena tetesan darah taklagi dihargai sebagai darah
Desa-desa telah ditinggalkan penghuni nyawa diadu dengan nyawa
Inilah wajah dari sekian ratus juta wajah ketika di tahun 1999, rakyat tak lagi dihormati sebagai rakyat ketika rakyat dijadikan tameng kekuasaan

Kekuasaan apa yang dimiliki
Indonesia sebuah medan perseteruan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat atau sebuah lintas sejarah yang putus yang memaksa kita mengaku tahun 1999 bukan tahun 1945

 

RINDU SUMBAWA

-Catatan untuk YB Mangunwijaya

 

Aku rindu
Sumbawa pasti kutemukan jalan pulang kutahu para kawula negeri selalu salah ucap Sumbawa di mana apa sama dengan Sumba?

Kukatakan, Sumba ada di timur
juga di sana ada Timor dan Flores sedang Sumbawa di antara pulau
Di barat ada Lombok dan Bali
Sumbawa dan Sumba memang beda nama
Namun Indonesia adalah satu
Tanah Tumpah Darah beribu pulau

Kutahu tahun berganti tahun semuanya akan berubah menurut kodratnya tapi bagaimana dengan Indonesia?

Kini mereka seperti didera putus asa
Indonesia bukan satu
Ada Jawa, ada Sumatera, ada Kalimantan ada Sulawesi, ada Maluku
Mereka mengingat kembali makna federal
yang menceraiberaikan Nusantara yang satu
mengagungkan kelicikan van Mook dan Belanda kolonial

Aku memang rindu Sumbawa juga rindu Jawa, rindu Sumatera, rindu Kalimantan, rindu Maluku, rindu Bali, rindu Lombok, rindu Flores, rindu Timor, rindu Bali, rindu Madura, rindu Irian, rindu Sumba, rindu Tanah Tumpah Darah yang satu Tanah Air Indonesia

 

SEBUAH KENANGAN

 

Pertanyaan itu tak juga terjawab walau kaki kita telah menapaki taman ini
Hanya ingatan mengkaji ulang masa lampau
Di sini dulu ada Raden Saleh Banteng bertarung melawan singa
Kita tahu antara perlawanan dengan perlawanan selalu menjadi satu dalam kenangan
Harga diri yang takbisa dipatahkan
Demikianlah sejarah meriwayatkannya

Kita pun sepakat selalu berada di sini menghitung hari berganti hari menyaksikan bunga enggan berbunga menyaksikan pohon mengharamkan buah
Atau berbicara dan berbicara lagi tentang kekuasaan yang melahirkan kembali Machiavellisme

Pada mulanya kita mencatat di sini dulu keangkuhan menemukan persemaian yang subur mereka berteriak, ''Kami adalah kami yang bukan kami tidak ambil bagian'' *)

Namun sekian puluh tahun sudah berlalu kita pun menata kembali ingatan tak ada yang menantang kita untuk berbuat apakah di sini tercipta sebuah sajak yang berani mengatakan ya adalah ya yang berani mengatakan tidak adalah tidak atau sebuah lukisan yang melahirkan kembali Raden Saleh atau Affandi ataukah lonceng kematian sudah menemukan kata akhir antara jiwa yang kerdil dan kehinaan yang memalukan

*) yang bukan penyair tidak ambil bagian, kata Chairil Anwar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler