Skip to Content

PUISI-PUISI ASA JATMIKO

Foto SIHALOHOLISTICK

DO'A SEEKOR PRENJAK

 Ya Tuhan, Yayangku.
  sebagai seekor prenjak yang binal
  aku tak ingin bertengger di tangan
  juga tak mau hanya berpeluk di dada

  aku mesti terangsang dan birahi
  aku mesti kian gila jatuh cinta
  maka pintaku cuma satu
  biarkan aku bersarang di jembut-Mu

  milik-Mu paling rahasia
  milik-Mu paling rahasia
  disitu Kau punya acara pribadi
  disitu Kau punya privacy

  karena apabila semua itu tak terjadi
  apalah guna aku Kau cintai
  akulah prenjak yang sendiri
  maka di jembut-Mu aku berseru;
  perkosalah aku, Yayangku!
  atau kupotong kontholku?!!
  (Bukit Jati, '99)

ENGKAU LEMPAR BATU, AIR PUN BERPENDARAN
dan kita pun kepingin menuruni bukit itu meski tanah begitu renyah berguguran bagai dua anak ayam, lari-hilang dan muncul lagi dari balik rerimbunan melewati satu dua pohon jati yang mulai ranggas secepat itu waktu bergegas menyeret musim demi musim hingga akhirnya kita sampai di bibir sungai ini sebagai air dan batu kali

engkau melempar batu dan air pun berpendaran sebelum kita duduk dan memperhatikan suara riak riak seperti meneriakkan pertanyaan pertanyaan serupa ''Adam dan Eva tak lagi bercinta mengapa kalian datang membawa wajah mereka?''

kita pun sesungguhnya tak pernah bisa mengerti mengapa kita bertemu saat ini setelah lonceng muara berdentangan setelah sama sama melewati barak barak pengungsian setelah merasa diri, cinta sudah tak ada lagi

engkau melempar batu sebagai air aku pun berpendaran lalu menyatu di dalam keheningan meski kita pun sama sama tak tahu sampai kapan kita bisa mempertahankan
Tepi Sungai Progo, 2000

ENGKAU MENJADI SAJAK,
pertama
Teja menetes. Lagu nurani yang rindu pada mata.
Menyeruap ke segenap leleran darah yang hidup.
Begitulah kita memulai pengembaraan ini, Suksma.

Teja menghilang. Membasahi dan membasuhi laku.
Hingga tak rasa di tubuh ini telah ngalir darah.
Begitulah kita akan mengakhiri semua ini, Suksma.
Bukit Jati, 99

ENGKAU MENJADI SAJAK,
kedua

Tetapi benarkah engkau yang hadir ke penjara.
Menyuapkan remah remah roti ke mulut kegagalan.
Suksma. Angin yang menari di atas daun jati.
Berhentilah kita menciptakan teka teki.

Tetapi benarkah engkau yang kemudian disini.
Membakar masa lalu dengan api masa depan.
Suksma. Bergetaran ranting memendam dingin.
Terpidana itu pun renggut ke dadamu terdalam.
Bukit Jati, 99

SEPERTI BERINGIN PAKUALAMAN
seperti beringan itu keangkuhan berdiri dan kita bersembunyi di antara gerai akar yang memamerkan keindahan sunyi

kenapa kita mampir di sini padahal rembulan telah terbakar sore tadi daun daun berjelaga karenanya dan angin semakin enggan menyapa lantas kepada siapa kita akan bercerita?

kenapa kita mampir di sini jadah bakar tak lagi menarik hati sementara musisi itu terus saja bernyanyi lagunya tak pernah bisa kita mengerti lantas kapan kita akan saling berbagi?

seperti gelaran tikar di trotoar kita duduk di atasnya membuka mata kenangan juga pembicaraan yang seringkali memabukkan tetapi keangkuhan tetap berdiri meski tak ada lagi yang sedia mempersaksi

angin basah merayap melintas di depan kita ketika aku meneguk sisa kopi yang terakhir dan engkau tiba tiba memelukku ''temani aku sesaat lagi,'' tapi malam telah menggelapkan wajahmu dan rembulan telah terbakar sore tadi untuk apa lagi kebersamaan ini?
Pakualaman, 2000

 

INDONESIA DI AORTA ANAKKU

Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia
Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi
Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah

Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam
Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi
Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:
”mengapa harus lelah karena cemburu?”

Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya
Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca
Ingin meronta! Ingin memberontak!
Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.

Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan
Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah
Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat
Yang mengalir di bawah trembesi,

terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak:
“Dia mati di aortaku!”

Kudus, 2010/2011.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler