Skip to Content

PUISI-PUISI BAMBANG J. PRASETYA

Foto SIHALOHOLISTICK

NYANYIAN ZABIL

Kau kandung api

pijaran samadiku

muara sajak-sajakku

yang mengilhami pencarianku

di kota mati

 

Seperti lukisan sunyi di padang bumi

nyanyian malam menderai pagi

lalu engkau mengketuk-ketuk rahim ibumu

mengibarkan bendera zabil

di taman bunga

yang disiram sembilan purnama

sepuluh malam

Seribu mata panah

kau sayatkan pintu garba

sampai luka terbuka

perih pedih

masih kau seret petir

lewat mulutmu

1992

 

GUMAM JEJAK DUKA

Bau kuburan di plataran rumah-Mu

menyesatkan kesangsian

melacak jejak nabi-nabi

 

Rembulan berlayar

menggigil kabut

menawar kembali gairah meruak-ruak sepi

beri nama apa

waktu berwajah jelaga ini?

Juga sajak yang tak mampu

menampung gema yang mendengung

 

Kembali ke rumah darahmu

kembali memadamkan magma

yang meradang dalam rongga semadi

Jika sangsi tiba kembali

biarlah mati menjaga pintu misteri

1993

 

INTERLUDE LAZUARDI

Jika angin yang berhenti

usaplah wajahmu!

Pada langit kamar

dan dingin merapat

di matamu

 

Desah kerinduanmu

meninggalkan pecahan kaca di sprei

melukai jerit bocah-bocah malam

dibalut kabut

 

Tinggallah di sini, kekasih

merenda sunyi jadikan bebatuan

lalu taburkan bunga melati

biar aroma mulutmu mengusir resah

di timbun bercak lazuardi

1993

 

DI RUMAH RINDU

Hujan tak pasti

memagar malam

sebentar tiba kemudian kembali

ada yang ditinggalkan

butiran air menyapu atap

lenyap meresap di pelataran

rumah pendapa

 

Angin masih seperti dulu

ketika bertemu camar menyapu beku

ditarikannya beberapa lagu

dan daun cemara menari-nari

mengusik tiang dermaga

meski tak goyah

cemburu badai

berwajah asmara bermulut petaka

seperti mendung taburkan kremun

sebentar juga basah

seperti hidup kita

tak terasa menampung laknat

1992

 

SESERPIH SEPI

Angin resah

Senja terbang

Lalu darah membeku

 

Siapa yang datang?

Menyeret buih dera

Memanah rembulan jingga

meninggalkan gerimis putih

di Sahara kering

 

Sepi!

 

Maut berpangku tangan

Menjulurkan lidah birahi

1992

 

KAMUFLASE

Jangan ganggu aku menjaring misteri

di awang-awung berloncatan malaikat

kepaknya senandung keabadian

air pegunungan membasuh resah

 

Kutangkap senyap

senja lenyap didekap gelap

sisakan sesak bumi

yang penuh kerak hati

 

mengendarai duka terbang di awang-uwung

menuju rimba semu

rumput-rumput hijau berbunga pisau

menggores ruh purba

berpijar lukanya

1992

 

SUNYI

Kabut terpaku di bukit

juga wajah-Mu

hilang di semak

atau

aku lupa

memberi tanda

pada setiap pertemuan

ruhku

1993

 

LANSKAP

Di pelabuhan kecil

Remang bulan sepotong

Mengasingkan kebebasan kelelawar

menggambar langit membendung janji

Laut mati

Malam berkarat

Ikan-ikan damai

dalam lukisan baru

 

Angin kelabu selatan

menulikan kesadaran

kembali kita kanak-kanak

menawar-nawar dera

akan diapakan senja?

jika teramat jauh

langit mensetiai warna biru

1992

 

EKSTASE MALIOBORO

Di sudut kotamu yang sendu

tempat ruh nenek moyang menjaga pertempuran

melahirkan bocah telanjang

dekil dan bau kemenyan

matanya silau nyanyian masa depan

 

Bulan selimut dingin

bertengger di atas jemuran

payung keemasan raja-raja

bocah tumbuh dalam dekapannya

diteteki ketika menangis

lewat alunan sungai yang diaduk-aduk polusi

disuapi ketika lapar

dari puing-puing sampah

 

Di bawah jembatan ia lahir

besar di jalanan Malioboro

ketika peluit kereta api menjerit

dan derit angkot, bercampur bau tlethong

saat toko-toko berubah jadi plaza

pedagang kaki lima tak lagi bersahaja

 

Bising kotamu

mengeraskan lengking aleman sinden jalanan

Binar kotamu

mengencangkan senar pemetik sinden jalanan

 

Senja tak berbentuk

bocah terpaku bermain kartu

lepaskan penat sehari kerja

meski siang jadi tukang sapu

membersihkan labirin pasar beringharjo

yang sepi bau susur aroma dubang

juga sengat ampek keringat petani desa

 

Bocah pinangan zaman yang terbuang

asing di tengah deru merci

dan kelap-kelip sorot lampu mercuri

keluguannya balik menipu

karena semua sudah membisu

1993

 

 

SULUK TANAH PERDIKAN

(perjalanan metarual sepasang elang)

 

Sepasang elang hitam terbang

menembus cakrawala

kala langit kelam dan matahari tenggelam

meninggalkan wewangian misteri senja

 

”Kami sepasang elang pengabdi kata hati

mata hati

kami manjakan dengan tafsir kebenaran

berubah selalu menjadi prasangka

yang mensia-siakan

namun kesia-siaan itupun menjadi karib

karena setiap kenyataan

kami sandarkan pada kesadaran”

 

Sepasang elang hitam terbang

tak hirau angin berarak mendung

guntur menggemuruh badai

 

”Sampai letih sayap mengepak gairah

Singgah di bibir pantai

Menunggu kembali sang mentari

Mengeringkan keringat keletihan jiwa kami”

 

Sepasang elang hitam terbang

dari pucuk-pucuk ke tangkai kering

dari hutan ke rimba

dari matahari ke bulan

dari bintang ke malam

dari ujung cahaya ke kelam

dari kesangsian ke-tidak pastian

dari peradaban ke-biadaban

terbang!

terbang!

dan terbang!

 

”Angkasa raya

adalah gurun sahara ketabahan

yang ditumbuhi duri-duri warisan purba

yang menggoreskan luka

luka kami abadi

lukisan dewa-dewa

yang diwarnai mazmur suci”

 

seperkasa siang menerjang

tinggalkan ruang singkirkan waktu

mencari jalan pintu abadi

diikutinya lenggok tarian sungai

berlabuh di jaman suci

yang disangga tiang berhala kertas

bertumpukan di rongga batok kepala

 

”Keheningan itupun melahirkan keriuhan

dalam bahasa senyap batin kami

bahasa diam adalah gemuruh laut

menggulung setiap gairah kentalkan semangat

 

Terbang!

terbang!

terbang dan terbang!!

 

Kami terbang!!!

bersayap harap

Kami terbang!!!

memerdekakan diri

tak terikat oleh kata

tak terikat oleh bentuk

 

Kami terbang!!!

mengibarkan bendera

kami punya jiwa

 

Kami terbang!!!

melintas-lintas kerakusan iman

kami terbang!!!

terbang!!!!

 

Kami sepasang elang hitam

terbang!!

meninggalkan geram serigala di rimba kota

yang meninabobokan kenyataan

bagai barisan Kurawa

mendendangkan lagu kematian

di padang Kurusetra

tidak ada Janaka dan Werkudara

apalagi Yudistira berharap mencuci dendam

 

Genderang telah bertalu

merentangkan tangan membuka

seribu jalan matahari

Gendewa telah siap

kami tak punya warastra

kami tak tahu mesti berperang

melawan apa?

melawan siapa?”

Musuh tak berwujud

dendam tak berbentuk

patahkan saja anak panah

jika seruas keberanian pun sirna

mulailah mengibarkan bendera duka cita

di ladang sawah para petani

sebelum padi-padi menguning

sebelum jagung-jagung berbiji

dan burung, tikus, ular, wereng

berpesta pora

di tengah ruwatan jagad

 

”Nestapa membakari mega-mega

menyilaukan mata kami perih

ketika pasukan berangkat

menyebrangi batas

berbekal omong kosong semata

kami lelah menunggu monumen kepalsuan

kami ingin terbang!!!”

 

Seperti langit dan warna biru

sepasang elang hitam terbang

membiarkan senja menepi

tak berlabuh

dan dingin mengatup air laut

perjalanan ini pun jadi dermaga

1993

 

 

TENTANG BAMBANG J. PRASETYA 

Bambang Jaka  Prasetya atau kadang disingkatnya Bambang JP, lahir di Yogyakarta 28 Oktober 1965. Menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia jurusan teater. Antologi puisinya al. Kado Buwana dan Jejak. Bekerja di TVRI stasiun Yogyakarta.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler