Skip to Content

Puisi-puisi Firman Nofeki

Foto Firman Nofeki

SEBUAH SUNYI YANG KUNAMAI PUISI

(aku pernah memiliki satu rindu yang utuh dalam diriku, Hawa
setengahnya telah kusimpan dalam puisi
setengahnya lagi kusimpan di ruang takdirku yang sunyi)

dengan lengking kesedihan apalagi harus ku eja kalimat perpisahan itu, Hawa
sedang dalam kata-kata
kutemu kubah-kubah kehangatan
dimana azan-azan pengharapan acapkali aku kumandangkan
menggelayuti ranting-ranting alinea yang gugur ditimpa bongkahan do'a-do'a

jika di dunia yang lebih gila dari pada fiksi ini
bertatap lewat mata terlalu mustahil kita jadikan cara untuk menyatukan rindu yang terbagi
maka aku hanya ingin meletakkan jantung pertemuan itu di sebuah sunyi yang kunamai puisi

sebab dalam kata-kata
telah mampu ku eja warna kota yang buta
kota dengan tikungan narasi perpisahan  paling tajam
menghantarku pada kenangan di ujung jalan ;
sisa pertemuan yang gagal kita tabrakkan pada dinding takdir berlapis kerinduan

duhai Hawa,
aku telah lama terjebak negeri yang tidak memiliki gigil dan hujan ini
sebab angkasa dan langit-langitnya adalah bayang-bayangmu
hari-harinya adalah kumpulan bait-bait kesepian yang tak pernah renta dimakan usia
aku terus hidup sebagai perindu yang suci
yang tidak terjamah kebahagiaannya sendiri

disebuah sunyi yang kunamai puisi ini
jarak mengundi waktu di meja ingatanku yang lumpuh
menghitung sisa-sisa hari yang akan kupertaruhkan pada Sang pemilik teguh permainan semu dunia ini
melebarkan kaki pertemuan yang masih terbelenggu di jangkar bumi

namun pada lengkingan peluit hari ke berapa pengembaraan itu musti kumulai
sedang disebuah sunyi yang kunamai puisi ini
aku masih merinduimu, dari dasar andai-andai dengan terpaan angan paling gila
aku masih mencintaimu, dari sudut terdalam ego yang entah kapan akan binasa

  payakumbuh 2015

Di sebuah Hari yang Lain

 

di setiap lapisan kulit hari yang gigil ulah angin namamu
hujan menajam menyayatkan rindu
namun mulut kita masih saja mengerangkan semacam do'a
meski pertemuan berdarah pada waktu

di bilik hari yang lain
kurapikan isi kepala yang kusut
kusimpan dalam lipatan-lipatan kenangan kemaren
di dinding ingatan
telah kubingkai namamu
dalam figura rindu paling haru

di luar jendela
hujan satu-satu mengikis waktu
namun di rimbun usiaku, Sayang
kenangan akanmu terus tumbuh
hatimu masih saja dahan tempat lukaku biasa berteduh

di taman hari yang lain
akulah kupu-kupu yang beterbangan menuju kebun matamu
sepasang sayap kasih warna-warniku memenuhi separuh penglihatanmu
separuh yang lain memekarkan bahagia untukmu

di langit hari yang lain
hatimu adalah gravitasi tempat aku biasa terjatuh tanpa memar
rindu adalah cahaya kegaiban yang takkan lekas jadi pudar
memadamkan separuh api kesadaranku
keremangan memajaskan bayanganmu
persis di dinding kepalaku
di bawah langit hari yang lain
kita sibuk membumikan kesunyian masing-masing

disebuah hari yang lain
aku sibuk menajamkan rindu
serupa jam-jam sunyi yang terus sibuk meraut jarumnya sendiri
ajari aku kejahatan membunuh luka paling sempurna
agar dapat kutawan cinta dalam puisi paling penjara
biar luka penantian itu terkapar ke dasar renungan dan kehakikian cinta ilahi

10-06-15

STANZA KEHILANGAN

 

''bukan waktu yang hendak menculikmu, sayang
hanya jarak yang tidak teramat lantas aku sadari telah merentang tali pemisah
hingga ke hari depan yang mustahil aku hampiri''

dengan apa akan kutiti jembatan musim yang raib ini?
sedang angin yang terus menggelitik angan telah memecah arah
sekali lagi dengan apa harus kulintasi pertemuan?
jalanan yang berliku terlalu mustahil aku datarkan
angin yang berubah arah telah mengaburkan jejak langkah
perahu yang oleng, ke seberang haluan mana hendak aku layarkan?

ke jenjang langit yang mana kepergian telah menghadangmu
gelombang udara sederas apa yang menerjang jejakmu
sungguh do'a-do'aku ingin sekali berjabat dengan rindumu
sebelum maut berkemas dalam diri
aku ingin mengeja pamit di matamu
sambil menggugurkan tidur terakhir di bahumu

sayang,
kau lihat, senja telah berlabuh
malam hitam telah mengaliri muara
rindu semkin kuat berkayuh
mencari puncak subuh terbitnya sebuah dermaga

dalam laut pahamku yang tabah
waktu menggelombang rindu

dimanakah ruang rehat antara kepergian dan keberangkatan
masa depan yang gamang dengan apa hendak ku pancang?
  jika hidup hanya serapuh bayang
benang kasih mana yang sanggup kita julurkan?
  hujan menghadang di persimpangan
lalu sisa jejak manakah yang masih utuh untuk kita satukan?

sepi menjala badai di mataku
menghalau rindu ke sudut-sudut rabunku
dengan mata senyala doa apalagi kusinari gelapnya pengembaraan?
biar terangnya harapan itu dapat kupeluk sekali lagi
mengimami hati mencari kerinduan yang hakiki
serupa gelap puisi mencari terangnya sendiri

25-03-15

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler