Skip to Content

PUISI-PUISI IVERDIXON TINUNGKI

Foto SIHALOHOLISTICK

SAMBO GHENGGONA

Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan

            Dalo dalo ia medalo mesuba Ruata

sembah syairsyair nafas, nafas syairsyair sembah

            Ghenggona Langi Duatang Saruruang

kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang

            Iamang ianang Fattimah magenda putung

amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak

            Su hiwang Baginda Aling

pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan

            Dalo dalo ia medalo

Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta keperkasaan

            Ghenggonalangi medadingan su gaghenggang

hati lepuh cair diratap mantra, mantra ratap dilepuh hati

            Iamang ianang Fattimah magenda putung

ya Esa... esakan duniaku, dunia esa ya... Esa

            Su hiwang Baginda Aling

dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras

            Dumaleng suapeng nanging

menuju denting surga, surga harapan denting hati

            Manendeng mbanua mbanua Duatalangi

menuju kupu menafsir cahya, dan cahya menafsir kupu

            Sole tama sole buntuang taku makibang

yang mencari pagi punya matahari, karena matahari punya pagi

            O, Biabe sukakendagu Ruata, e

2008

* Sambo (Sasambo) adalah syair pemujaan dan pengajaran (sasasa). Sejak Nusalawo masa purba sasambo dinyanyikan dengan menggunakan Tagonggong (alat tetabuhan). Ghenggona (Ghenggonalagi = Ruata) adalah ilahi pencipta semesta dan pemimpin para moyang tertinggi (dewa). Pesambo (orang yang menyanyikan sasambo) biasanya mengubah syairnya secara spontan mengikuti cita rasa hatinya. Syair itu dibawakan secara berbalasan antara beberapa pesambo. Estetika sasambo terletak pada ornamensi kanon dan rima bunyi, bukan pada makna diksi.

 

 

SYAIR TANGISAN URINGSANGIANG

ya aduh kasihan

sekiranya aku burung gerangan

ya aduh kasihan

aku terbang ke pulau hakekat

ya aduh kasihan

aku tak dapat menimbang pikiran

ya aduh kasihan

aku dipangku sang keasingan

 

ya aduh kasihan

aku tinggal di sini

ya kamu

ya aduh kasihan

kamu tak bawa aku bersama

ya kamu

ya aduh kasihan

berharap aku angin pendorong

ya kamu

ya aduh kasihan

jangan tinggal aku sebatang kara

ya kamu

ya aduh kasihan

aku tidak menghendaki rumah

ya kamu

ya aduh kasihan

aku hendak berumah di perahu

ya kamu

2008

* Uringsangiang, putri dari Datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu. Ia dan perahunya hanyut di abad XIII dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga diperkirakan nama Sangihe diambil dari kata Sangi = tangis. Namun yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusalawo, menangis punya tradisinya sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa serta tangisan duka, sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapapun yang menangis mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya kedengaran seperti nyanyian. Di Nusalawo purba tangisan adalah nyanyian.

 

 

BEKENG PARAMATA

Ia bega mangarawang

Lensoku wale lido

 

antara dua sungai di manakah jejak muara, di antara dua matahari ke

senja manakah ia terbenam. di antara dua bunga pada musim manakah

ia mekar. pada dua buah lubang luka di manakah cinta menetes. tiada

itu ada, abu ke debu, debu ke tanah, tanah ke pasir, pasir ke batu, batu

ke bukit, bukit ke gunung, gunung ke awan, awan ke hujan, hujan ke

laut, laut ke pantai, pantai ke tanjung, tanjung ke muara, muara ke kuala

kuala ke mata, mata ke air, air ke kabut, kabut ke asap, asap ke api, api

ke nafas, nafas menuju ke cinta, cinta ke hidup, hidup ke mati. seperti

telur hidup menetas jatuh ke tanah jadi batang, batang jadi ranting,

ranting jadi daun, daun jadi bunga, bunga jadi buah... itulah waktu. di

tanah kupijaki ini cinta bertumbuh selebat semaut luka. waktu menjaga

nafas berkatakata dalam bisu cinta. waktu mempertemukan memisahkan.

waktu menghitung tanpa peduli ke mana nafas mengalir. waktu tak

pernah berhenti menagih zaman dan sejarah. semua hendaklah berjalan

mengikuti jejak ditinggalkannya. meski ia letih, ia tetap sabar berjalan

menulis peta bumi karena ia tak pernah mati, meski sepi selalu menepi di

tepi hari, mengapa waktu merantaiku dalam rasa haus teramat panjang.

berapa lama lagi aku menanti. cinta seperti detik pergi dan kembali.

usia adalah menit mengikuti jejak nafas. waktu adalah catatan menulis

cinta dan maut di atas sbuah kertas bernama harapan. tubuh ini kering,

tubuh ini haus, airmata membasuh dingin dan petaka, dalam dua hujan

terbelah. cinta kapan engkau datang, penungguan kedinginan dirawat

kemarau. sedang cinta membutakan aksara ditulis waktu. waktu menikam

sepi sunyi ke dalam detakku. biarkan aku menanti dia sebelum air hidup

mengering, agar sepasang merpati punya waktu kunjungi abadabad

aku mencari dia, dalam senja merah

agar malam punya cahya, siang menjadi cerah

2005

* Cerita anak gadis yang menanti cintanya. Gadis disimbolkan permata (Paramata). Pola sastra tutur (bekeng = cerita pengajaran = sasasa). Jenis puisi liris yang bermaksud memberi petuah. Sastra bentuk ini diperkenalkan sastrawan Toumatiti dari kerajaan Wowontehu. Dan berkembang pesat di masa ke-Kristen-an abad XV.

 

 

PUTRI PORODISA

laut karang

gunung karang

cinta haram

di laut tenggelam

 

di atasnya mentari

di atasnya langit

di bawahnya pasang

di bawahnya surut

 

angin berkabar

Woi merindu wando datang dari abadabad

 

anak laut pun bernyanyi:

upungupung baroa

anggile uwae

wae i pa ura

i pandamu ghati

 

seekor bangau menatap dengan iba:

sio rotowe

tuarinu edoi we

 

ribuan tahun lewat Wando baru tiba

ia gaib pelangi diselip badai sesudah hujan

bukit manongga matanya kelana

rengkuh gunung puncak tiga

menanti kora gedang

dikayu, dipukul seribu hulubalang porodisa

 

terangkailah wangi lawa seribu bintang

andai kau tak bimbang, biar kusuntingkan

sebelum malam sembunyikan kecantikan

engkau menantiku dalam setiap detakan

 

ribuan tahun tiga wowon membelukar binatang liar

karang matahari masih serupa kawan

jumpa pagi pisah senja

lama menanti ribuan bayang mati

putri menyepi pulau odi tak bersua Wando

rindu setengah mati

 

alkisah ini biarlah tutup sampai di sini!

o…jangan! kata perempuan dari waktu lain

cintaku tak perlu bertukar seribu planet

seribu tahun tapa apa guna tak bersua kekasih disayang

 

“pejaka memilih menghilang

daripada cinta bertukar tapi adat tak kenan”

 

saat cerita itu sampai putri tak jua putus asa

dari seutas rambut dibentangkan jembatan pulau odi

siapa tahu, seribu tahun lagi

dari seribu bintang Wando datang kembali

merangkai lawa buat cinta abadi

“serupa karang mentari

dua kawan setia berbagi”

2008

* Legenda pohon Lawa (pohon mistik, yang berbau wangi, berbunga uang, berdaun kain, berbatang emas, berakar tembaga). Legenda purba ini mengisahkan seorang putri Talaud (Porodisa) yang jatuh cinta pada seorang dewa (Wando) penjaga pohon lawa yang bertumbuh  di bukit Manongga pulau Kakorotan. Karena cinta itu melawan adat, maka Wando dan pohon lawa lenyap. Sementara puteri dihukum dibenamkan ke laut. Di dalam laut ia membangun sebuah kota bernama Odi. Hingga kini masyarakat Kakorotan pada masa air surut bisa melihat ada jalan dari daratan menuju kota Odi di dalam laut. Beberapa tetua di tempat itu pernah melakukan perjalanan mistik ke negeri Odi dan berjumpa dengan putri. Kota Odi adalah tempat putri menanti Wando menjemputnya kembali.

 

 

ALAMINA

dari mindanao hingga bacan

berkisah mondelingen alamina

ampuang mengajar kita syair dewa

 

o, aditinggi moyang tertinggi

pelindung alamina, pelindung kita

pusaka kara, seperti pedang terhunus

di tangan sejah menjernihkan nasib

di mana doadoa berdaun

di mana ma’rifat berakar

dirapal hulubalanghulubalang

agar laut tak letih, langit tiada mengantuk

membuka luasnya jalan bagi pendayung

kerena mendayung, dayunglah perahu

bersama seirama

searah setujuan

seperti tangan pasir yang banyak

membelai lautan serupa anak bocah

menjadi tak membahayakan

 

lalu terbetik cerita sukma selalu lusuh

seakan bumi tak berhenti menjadi tua

dan sejarah harus dibarukan

dalam gemerincing pedang beradu

 

anaksuku menggetarkan perang

membagi pulau atas nafsu, atas kuasa

menebas narang hingga menitikkan darah

dalam ketuban ajaran bertuah

kemudian melahirkan beberapa anak jadah

 

lihatlah moyangmoyang

di atas siong Kara, o

seperti guru letih mengajar anakanak durhaka

ketika jadi pemimpin hanya berpikir anak,

istri dan sanak saudara

rakyat dibiarkan merana

penjahat dijadikan pahlawan

pahlawan dipenjarakan

ini keganjilan namanya!

 

maka berbijaklah ia

moyang ampuang Tatetu

sembilan kali menghadap dewa

membawa tangisan orangorang lembah

mereka yang hak kesejahteraannya dikorupsi para datuk

mereka yang hak kemanusiaannya diambil para datuk

 

o, moyang tertinggi, moyang aditinggi

empung upung amang, o

meminta ia alamina dibenamkan ke samudera

nedosa balagheng mau punya laut, punya pulau

punya semua, semaunya

beri air mata duka moyangmoyang

buat menempa, mengasah pedang perang generasibergenerasi

di atas laut yang dibawahnya terkubur sebuah negeri

di mana moyangmoyang dan peri

pergi menepi

membiar kita hidup sendiri

 

dan pulaupulau itu dinamai Nusalawo

sebuah syair tua alamina

yang letih hidup bersama

2009

* Ampuang Tatetu adalah seorang pemimpin spiritual (kulano). Sebuah mite dari masa purba di bawah 1500 SM menyebut Alamina merupakan daratan pulau besar yang membentang dari Bacan hingga Mindanoo. Pulau itu dipimpin kulano tua bernama Ampuang Tatetu yang dipercaya sebagai wakil dewa moyang tertinggi Aditinggi yang berdiam di puncak Gunung Karangetang. Alimina dihancurkan dan ditenggelamkan karena manusia tak lagi patuh pada hukum dewa moyang tertinggi (narang). Dari bencana besar itu, yang tersisa puncak-puncak gunung yang kemudian membentuk pulau-pulau. Sementara hamparan karang di dalam laut wilayah utara muncul menjadi pulau-pulau karang baru. Karena letaknya jauh ke laut, maka disebut pulau karang jauh di laut (Malaude atau Talaude). Sisa-sisa reruntuhan Alamina itu oleh datuk Tatetu dinamakan Nusalawo (pulau banyak). Saat ini orang menyebut kawasan pulau-pulau di utara daratan Minahasa dengan nama Nusa Utara. Padahal sebutan Nusa Utara tidak tercatat dalam artefak sejarah dan mitologi Nusalawo. Peristiwa letusan Gunung Awu yang menelan banyak korban jiwa serta hancurnya 7777 rumah di abad XI, juga menenggelamkan sebagian daratan pulau Sangihe dan membentuk pulau-pulau kecil seperti pulau-pulau Nusa, Lipang dan beberapa pulau lain hingga pulau Marore. Kejadian itu dikaitkan dengan adanya dosa sumbang (nedosa) antara Mekondangi dan Tampilangbahe.

 

 

AKU LAUT, AKU OMBAK

taufan selat Basilan

mengantar mahkota enam kerajaan

bersusun tujuh abad

berbunga sastra ombak

 

sajaksajak hutan air, bau manuru

rambut perempuan dipangkal pedang

lunas perahu ditebang laut penuh

api kubah langit

melontarkan berjutajuta panah hujan tropis

menembus serat kain keangkuhan

yang dikibarkibar orang di daratan

 

inilah padang air pertapaan

katakata asin di tenggorokan

mengajar senyap berkilauan

di sayap kunangkunang air

ditebar guagua karang

membumbungkan gelombang

seperti tangan perempuan

menyelusup ke lubang hati malam

membangunkan gairah para sufi

menitis napas enam kerajaan

 

tapi lautan tak membangun candi

bersusun arcaarca emas datuk

kecuali syair manusia perahu

melintas abad saga dan lembayung

menamai pulau dianugerahi kecuraman laut

buat margasatwa beristirah

lalu berangkat lagi menembus waktu

hingga batubatu bersusun habis dilalap air

menjadi cairan manikam menebalkan kulit ari

membungkus uraturat kawat pelaut

yang berkilau di bandarbandar benua

 

aku pun berlayar menghadap dewa

yang tak pernah bicara

selain memberi pesan dituas angin

yang menggendong badai

merubuhkan istana sultansultan fasik

atau sesekali muncul di lautan kencana

dikawal lima buaya berkulit intan

memakan perompakperompak

akupun tiba dalam Humansandulage

di samping Tendensihiwu

derap perahu tujuh abad

merayapi kesunyian utara

diresik suara pesambo

merobek malam

hingga langit memunculkan terang

merebahkan bintang dan bulan

menjadi penuntun jalan

menuju istana kedatuan

 

akulah laut, akulah ombak

ikan tak letih di pusaran arus

paus hiu menunggang gelombang

dalam sejarah nenek moyang

di laut tak ada juragan dan kelasi

ketika puncakpuncak karang mengintai napas

aku mengangkat layar mengarahkan kemudi

atau mendayung ketika angin mati

 

tak ada tempat bersembunyi

bila kuda angin berpacu

semuanya mendidih di api arus ganas

menguapkan kabut desingandesingan

seperti konser absurd yang megah

ketika sang dewi melahirkan anak lautnya

agar langit menurunkan tangannya

meneguhkan pangeran air

bertakdir bahaning nusa

2009

* Filosofi laut dalam sastra bahari Nusalawo mencapai kekokohannya pada permulaan abad XIII, berasal dari enam generasi moyang tertinggi (Humansandulage-Tendengsehiwu, Datung Dellu-Hiwungello, Gumansalangi-Ondoasa, Toumatiti-Putri Telur Sakti, Mokoduludut-Abunia, Lokongbanua-Mangimadamdele). Mereka peretas sejarah berdirinya 6 kerjaan besar di Nusalawo yang bernapaskan kearifan budaya laut, yaitu kerajaan Tagulandang, Kerajaau Siau, Kerajaan Kauhis-Manganitu, Kerajaan Kendahe-Tahuna, Kerajaan Tabukan dan Kerajaan Talaud serta beberapa kerajaan di Mindanao dan daratan pulau Sulawesi. Moyang-moyang itu pelaut ulung yang berumah di ombak, berjuluk “Bahaning Nusa” (Pahlawan Pulau).

 

 

SIAU

meletus lobang magma

cahaya belerang merah

kepundan pongah

dua pangeran berebut tahta

melelehkan lava

menghanguskan darah

di lereng kebun pala

 

ini sejarah arang menyemburkan debu

menjadi kubah batu

menggilas Katutungan

melongsor dari puncak gunung

Karangetang yang terpancung

menembus Ulu menjadi padang pasir

mendidihkan hati tak jera bertarung

 

darah siapa yang tergenang di Liwua Daha

kalau bukan sejarah tua yang lusuh

rakyat diperadu menggali sumur harta para datuk

 

abu turun dari angkasa

memberi makan akar pala

yang hanya menyisakan asam pekat

di hati para kuli yang terus meratap

 

pertapa tua itu bersila

dengan punggung yang letih dan luka

karena digali buat rumah bersembunyi

kota di bawahnya tak lagi tempat canda

anakanak dara, kecantikan taman raja

orangorang asing menguasai kebun pala

menguasai kehidupan sudut kampung

yang dulu bermandikan kerlip kunang

yang menabung phosphor buat cahaya malam

 

sempurnalah kegelapan di atas batubatu

yang terus digelindingkan gempa

menimbun cerita lama

yang naifnya

sekekar gelombang menggempur Ulu

dibawa taufan abad

yang abadi melancarkan peperangan

2004

* Siau adalah salah satu kerajaan besar di kawasan Nusalawo purba. Pengaruhnya tidak saja di wilayah Nusalawo, tapi menembus Mindanao Selatan, daratan Minahasa dan Bolaang Mangondow, serta pinggiran Gorontalo. Kerajaan ini termasyur degnan cerita peperangan laut yang banyak meraih kemenangan, terutama di zaman Laksamana Laut Hengkeng Naung. Berdiri pada tahun 1510, dengan raja pertamanya Lokongbanua II (1510-1540). Lalu digantikan puteranya Posuma, lewat peperangan besar melawan saudaranya sendiri, Akumang. Dalam perang saudara ini ribuan orang mati dan kawasan peperangan yang terletak di sekitar desa Mbeong, Siau Barat menjadi kolam darah (Liwua Daha). Memiliki gunung api yang aktif dengan ketinggian 1784 meter yang menjadi penyebab gempa sepanjang tahun. Tanaman pala bertumbuh subur di sini. Menjadi daerah pemasok terbesar kebutuhan pala dunia. Karena kekayaan pala itu, di masa penjajahan, daerah ini menjadi arena rebutan pengaruh antara Spanyol, Portugis dan Belanda. Peperangan pun terjadi dalam beberapa babak yang mengorbankan banyak nyawa.  

 

 

SUGULI BININTA

Menondong pato wulaeng

Dalukang komerong intang

 

dari alamina menuju dunia terbuka

ahung melayarkan laksamana

ingangingang laut menemui benua

upung dellu sangiangkila menaiki naga

buat bertemu sahandarumang

 

mebua bou hangke

benteng beong pangiladeng

 

o… nusalawo

kamu anakanak laut bebas

rumahmu ombak

hidupmu arus

jalanmu bintang

kamu bininta

dibangun sejak moyangmoyang

di atas batu alasan

di atas batu tumpuang

di atas doadoa mantra kemenangan

karena hidup adalah kehormatan

 

dalai tuluden darong

papia pudding gahagho

soletamasole

 

maka tak kau ambil bukan yang kau punya

sebab yang kau punya kebaikan

rencahlah ombak

rencahlah ombak

rencahlah ombak

kiri di kanan

depan di belakang

di atas di bawah

karena pucuk itu hidupnya di akar

2008

* Saguli adalah syair pembuatan bininta (perahu). Menurut ajaran moyang-moyang (narang) setiap bininta yang dibuat harus diberi jiwa bahagia. Karena laut adalah kehidupan yang dijaga seorang Dewi Ahung, maka yang bergerak di atasnya hanyalah kehidupan. Sebab yang tanpa jiwa akan dibenamkan. Tak ada kehidupan tanpa penyatuan kosmik manusia dengan alam (filosofi sasahara dan sasalili). Sejak zaman purba Nusalawo terkenal dengan sejarah bahari yang adiluhung. Orang Nusalawo dikenal sebagai para pelaut yang berani. Ini sebabnya negeri itu memiliki kekayaan khazanah sastra bahari (sasahara) yang luar biasa. Kesaksian paling dipercaya tentang kebaharian Nusalawo diungkap Ferdinand de Magelhaes yang datang ke Nusalawo pata tahun 1521, mengisahkan di mana kerajaan-kerajaan di Nusalawo telah menjalin hubungan dengan dunia Barat, Amerika dan Arab. Kesaksian yang sama muncul seabad kemudian (1689) oleh Pieter Alstein dan David Haak yang mengunjungi pulau-pulau Talaud.     

BUNGA RUMPUT DALAM MAZMUR BAHAGIA

BUNGAKU

BUNGA RUMPUTKU

sukmaku

sukma mazmurku

 

segalanya ada etalase dan waktu

manusia butuh oase

sebab manusia senantiasa dahaga

senantiasa mencari bahagia

 

dalam dzikir kucari guru bahagia

di hutan

di kotakota

sama saja

bunga rumput di tanah

berjalar berburu embun

dan mata bunga salami kita, o... betapa damainya

dukakah yang mendamaikan kita

hingga manusia butuh ratapan

segala miliki entah mencari entah

inikah karenanya manusia butuh cermin

sebab selalu retak

dan mengubah retak hingga mencapai entah

 

bungaku

bunga rumputku

sukmaku

sukma mazmurku

sebuah pelor

pelor sebuah

lelaki tua

tua keladi

menjadi tua bejat

tua tuhan

pelor itu

jiwa tua rapuh

o... bungaku terinjak

mazmur darah

milik siapa, entah?

mari kita lupakan ia untuk cinta

 

jika aku bisa menghitung banyaknya bunga

jika aku bisa merangkainya untuk dunia

o... betapa banyaknya keanekaan

dari mazmurku hingga sajadah

bungabunga irmata tumbuh berjalar

mencari Ilah yang meridha adzan bungabunga

memanggilmanggil dikau

memanggilmanggil dikau

melihat o... betapa indahnya warnawarni

betapa indahnya keragaman ini

bungabunga rumput di tanah

bungabunga rumput di belukar

bungabunga rumput di hutan

menyulam ratap jadi senyum

seperti perempuan tua yang tabah

menjaga anakanaknya

hingga setiap orang bisa menyunting cinta

o... bunga rumput mazmur bahagia ini

berkudalah seribu jibril malaikat kebahagiaan

datanglah ke tanah ratap duka ini

duka bunga rumput menguncup

biar sempurnalah permata mazmur bagi nyanyian muadzin

ketika subu petang

Bungaku

Bunga rumputku

Sukmaku

Sukma mazmurku

2006

* Pola kakumbaede religius dengan ornamentasi diksi dalam perlambangan. Banea dan Tangkule adalah dua penyair utama Kerajaan Wowontuhe yang mengembangkan genre puisi ini pada abad XIII. Mereka adalah para penghibur raja dan keluarganya. Perkembangan terakhir sastra ini mengalamai akulturasi dengan budaya Islam dan Kristen.

 

 

RAJA BATAHA

di bawah senja

puluhan kora tenggelam

membawa keberanian

amanah

 

api menjilati lautan

telah lenyap dihisap ganggang

terserap karang

 

Batu Mbakara

benteng terakhir itu

bertoreh bangga

puteraputeri Manganitu

perkasa membela tanah airnya

 

sebutlah Bataha...

bila engkau ingin belajar kearifan raja

duka rakyat duka baginda

luka rakyat luka hatinya

Manganitu bukan sekedar nama

di dalamnya bertahta jiwanya

 

jangan rampas sejengkal tanah

sebelum langkahi mayat raja dan rakyatnya

kora bininta lambang Manganitu berjaya

berkali mampu memukul kapal belanda

di Batu Mbakara Manganitu menang gemilang

bahaning nusa seperti bara

ditempa seribu dewata

 

menangis tanjung memandang raja

ditipu sanak saudara

taktik penjajah pecah belah Manganitu dan keluarga

bahaning beo diupah mengkhianat baginda

dibawanya Bataha ke mahkamah belanda

sekali maju Bataha pandang mundur selangkah

sekalipun meregang nyawa di gantungan

ditolaknya ampunan

Manganitu dibelanya dengan darah dan jiwanya

meski pengkhianatan patahkan perlawanannya

 

Bataha memahat nusa dengan cinta

di bawah langit dilihatnya samudera

dititipnya rahasia pada gelombang dan cakrawala

moga di suatu pagi

ditemukan cucu cicitnya menjadi nyala jiwa

2007

* Bataha (Bataha Santiago) adalah putera raja Tompoliu. Ia menjadi raja Kerajaan Manganitu ke-3 berkuasa tahun 1670-1675. Ia raja pemberani yang mengalahkan Belanda dalam perang Batumbakara di Pantai Manganitu dengan berhasil menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi ia kemudian ditangkap Belanda dan dihukum gantung di Tanjung Tahuna tahun 1675. Dalam persidangan di mahkamah Belanda ia menolak pemberian ampunan dari Ratu. Ia memilih mati daripada menyerah pada Belanda. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.

 

 

MAULANA

Fatimah di mantra api

memancar siar suci selatan negeri

muadzin melantun adzan

sakrallah langit Kandahar

dalam sajaksajak maulana

 

Egaliwutang Taupanglawo

bersujud lima cahaya timur

menyingkap fajar istana Aling

di jejak tasawuf sultan syarif

menyingsing pagi kaum fakir

 

membran surga bergetar di doa malam maulana

pucukpucuk daihango di kedalaman jurang

menyaksikan jibril berkuda kencana

berpacu dari arah qiblat

menjemput dzikir kandahar

di atas baitbait al-fatihah

 

seorang lelaki bersorban putih

muncul di syari puncak Awu

di balik surau keramat

yang dijaga Islam tua

2006

* Kandahar (Kendar) adalah kerajaan Islam terbesar di kepulauan Nusa Utara (Nusalawo). Syiar Islam berkembang luas di kepulauan ini pada zaman raja Syarif Achmad Mansyur (Egaliwutang=Mehegalangi). Memerintah pada 1600-1640. Raja ini adalah anak dari Sultan Syarif Maulana dari Kesultanan Mindanao. Permaisurinya anak dari raja Tahuna, Tatehe Woba bernama Taupanglawo. Wilayah kerajaan Kandahar membentang dari Kendar hingga Pulau Saranggani Filipina. Hingga kini, wilayah Kendar dan Tabukan Utara merupakan pusat kebudayaan Islam kepulauan Nusa Utara. Syair-syair tua bernuansa Islam merupakan bagian dari khazanah sastra purba Nusa Utara. Pengaruh Islam di Nusa Utara tidak saja berasal dari kawasan selatan Filipina, tapi juga dari Kesultanan Ternate dan Tidore.

 

 

PERTAPAAN GUNUNG

Mengenang E. T. Steller

 

petakpetak kebun cabangcabang hutan manganitu

menyaksikan perjamuan asya matahari

mengubah setitik embun jadi mutiara, gema syukur

di rumah tawa sangkarsangkar yang dulu gelap

 

inilah tapa pendakian ilmu seperti anak burung

melepas tubuh dari cangkangnya

dan terbang setinggi rajawali

dalam migrasi zaman mencari terang

 

ketika itu pintu asrama gunung dibuka di suatu pagi

seorang zending berjubah putih seperti nabi Daud

menyanyikan mazmur anakanak tak beralas kaki

yang berbaris di akarakar laut senyap pulau

 

“marilah belajar membaca biar bisa menulis Nusa Utara-mu

karena di atas ladang lautmu akan melintas sejarah panjang

tanamlah pohon lurus untuk lunas perahu di hutan ini

hingga jelajahmu bisa sampai ke pantai luas yang baru”

 

sepertinya langit mendengar doa pucukpucuk bunga hutan

menurunkan hujan menggemburkan tanah kering buat kecambah

padepokan pertapaan gunung, ruang kelas mereka adalah kebun,

bengkel mesin, arsitektur rumah, kamar orang sakit,

ma’rifat doa dan sebuah papan bertuliskan:

“ilmu adalah jendela dunia”

 

ratusan orang belajar di sana

membolak balik kitab injil sosial

dari seorang imam untuk dunia

yang kini menjadi jejak ziarah

bahwa dia bukan penjajah

 

zending memang bukan VOC

meski datangnya di kapal yang sama

satunya membuka cahaya lainnya mengejar laba

seperti racun dan obat berasal dari pohon yang sama

2004

* Missionaris Zending tukang E.T. Steller, seperi juga missionaris tukang lainnya, dalam pengabdiannya di Sangihe selama 40 tahun, menerima banyak anak pribumi di dalam rumahnya untuk dilatih dan belajar berbagai kemahiran kerja, seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu perawatan, dan guru. Usaha ini dilakukan karena keterbatasan kaum pribumi menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah yang sangat mahal biayanya. Kegiatan ini di kemudian hari dilanjutkan anaknya Mr. K.G.F. Steller, dengan membuka model pendidikan padepokan yang disebut “Asrama Gunung”, yang berhasil melepaskan banyak lulusannya yang terampil di bidang masing-masing, dan mendorong kemajuan di Nusa Utara ketika itu, dan masih terasa manfaatnya hingga kini khususnya di bidang pertukangan. E.T. Steller, adalah seorang Zending Gossner Jerman, mengabdi di Sangihe sejak 25 Juni 1857, meninggal pada 3 Januari 1897 dan dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam isterinya. Ia adalah salah satu dari sekian orang Eropa yang berjasa besar dalam mencerdaskan kehidupan orang Nusa Utara. Sejak kedatangannya pertama kali ia tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe tanah airnya yang baru.

 

 

PAHAWO SULUGE

di Kanang gadis cantik lama tak berkabar

sejak ibu melayang ke khayangan

ayah pun terusterusan negak sipa

mau bunuh khayalan

kecantikan ibu terbayangbayang

andai ayah patuh aturan

bulu ayam tak perlu dibakar bersama hutan

karena hati selalu butuh pujian

semenamena ia buat kekejian

ketika ibu diangkat awan

menangis ayah kehilangan putri khayangan

aku bertanya pada cendawan ke mana jalan menuju khayangan

katanya harus aku manjat tali hutan lewati awan tujuh lapisan

berangkatlah aku ke negeri awan dipandu lalat dewa dermawan

akhirnya,

berjumpa ibunda tersayang

netek padanya selama tujuh malam

tapi ayah tak tahan ujian

berdusta ia pada Ghenggona

Ghenggona tahu segala isi hati ciptaan

hukuman kembali ditimpakan dilempar kami ke negeri buangan

sedang di Kanang gadis cantik sudah lama tak berkabar

betapa rindu aku pulang meraih selendang di pemandian

menangkap satu bidadari bertandang

dan aku takkan membakar hutan

biar cintaku tak melayang terbang

2008

* Legenda kulano Tua Sengse Madunde dari Siau yang mengawini putri khayangan yang ditangkapnya saat mandi di air sembilan (Ake Siow). Dari perkawinan mereka mendapatkan seorang putra yang diberi nama Pahawo. Karena Madunde lupa terhadap larangan membakar bulu ayam. Suatu ketika ia menyapu halaman dan membakar rumput terbakarlah bulu ayam yang asapnya mengangkat isterinya kembali ke khayangan. Pahawo yang terus menangis mencari ibunya menimbulkan iba seekor lalat, dituntunlah mereka ke kayangan dengan memanjat tali hutan. Sesampai di khayangan dan berjumpa dengan isterinya, Madunde kembali melakukan kesalahan yakni berdusta pada dewa. Maka mereka dilempar dewa ke bumi dan jatuh di Pulau Sulu. Ini sebabnya nama Pahawo (jatuh) ditambah Sulughe (pulau suluh) yang artinya orang yang jatuh di Pulau Suluh.

 

 

YANG DIKATAKAN HENING

kini kutahu apa dikatakan hening padaku

di atas laut menenggelamkan dukaku

pusaran arus merobek kenangan di buih getir

yang indah ini air mata ombak

yang tetap saja tak kuasa menghapus jejakmu

hesperos phosporos di waktu pagi dan senja

kau tetap cinta dan kematianku

pada setiap terbit tenggelamnya matahari dan mimpi

2006

 

TENTANG IVERDIXON TINUNGKI

Iverdixon Tinungki lahir di Manado, 10 Januari 1963. Adalah Ketua Dewan Seni Budaya Provinsi Sulawesi Utara, juga Wakil Ketua PWI Sulut, dan Pimpinan Redaksi Tablod Zona Utara. Karyanya beruapa puisi, cerpen, isai, drama, terbit al di Majalah Horison dan beberapa antologi bersama al. Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996). Kumpulan puisi tunggal: Sakral (1987), Surat-surat Sunyi (1997), Di Tangan Angin (2001), Sajak Terindah (2004). Naskah dramanya Drama Empat Nuansa (Taman Budaya Sulut, 1996). Novelnya Kepas dan Mencari Cibyl, menunggu untuk diterbitkan.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler