Skip to Content

PUISI-PUISI JUNIARSO RIDWAN

Foto SIHALOHOLISTICK

SIMPONI KOTA BESAR

Ada di tengah hiruk pikuk lalu-lintas
Lewat jendela bus kota terpampang wajahmu beringas
Yang perlahan menyusup di lipatan kardus bekas
Di tanganmu tergenggam bangkai unggas
Akulah pewaris bangsa! Ujarmu tandas
Di antara rel kereta api yang membelah kota
Dan lambaian jemuran kain kumal
Kau pandang matahari warna tembaga
Langit pun terbungkus jelaga mengental
Anak-anak bertelanjang dada berlarian
Membongkar waktu mencari kebebasan
Tapi di manakah letaknya keadilan?
Karena kau tetap saja kelaparan
Dan teriakanmu masih terdengar: kugauli kejahatan!

 

 

ZIARAH

siapakah menyeret bayangan ini

mencari sumber cahaya. Penglihatan

semakin kehilangan warna,

terpaku pada kerlip-kerlip bintang

 

jadilah diri bergerak pada kepekatan abadi,

seperti kelelawar terbang

dengan gema suara. Mempertanyakan

jarak antar ruang kehidupan:

sekadar menilik diri

sebagai larva busuk.

1990

 

GALI LUBANG

gali lubang ramai-ramai

satu satu turun cari kantuk

diri baring, mimpikan terbang

 

timbun lubang ramai-ramai

satu satu benam diri

gapai langit jinjit-jinjit

 

doa;

tak henti

 

gali lubang ramai-ramai

timbun lubang ramai-ramai

tak henti-henti.

1983

 

MALINGPING

asal tanah jadi tanah

asal air jadi air

sepanjang tebing

bayang diri jadi asing

 

saat diam dicari

saat diliput sepi

tatap biru sekeliling

 

hidup

hening.

1981

 

AIR MENGUKIR IKAN

bangkai radio itu telah menari bersama sungai,

melewati riwayat kematian kota-kota; dengan gulungan

kabel telah dihubungkan denyut masa depanku,

sebuah penantian tak berlimit waktu.

 

di mana-mana, air mengukir ikan, menerjemahkan

kepedihan demi kepedihan. Basahnya membakar lubuk,

mengasingkan pasir ke muara-muara jauh.

 

seperti dirundung berahi, daratan terus mendungus,

memburu biru laut. Air pun mengukir ikan.

1996

 

 

STARTING OVER AGAIN

dibatasi kelopak mata, melintas bayangan

burung dalam genggaman rembulan. mulai

terjaga dari tidur panjang, kemudian

langit merunduk bersama ribuan pohon;

mengeja asma-Mu.

dalam figura hatiku, ikan-ikan berenang

ke hulu dan para musafir mencari tahu

hakikat ketiadaan. Persis ibrahim

kagum atas kepatuhan alam semesta:

masih adakah rindu itu menjelma?

1990-1992

 

 

DI BERANDA RUMAH, SORE HARI

bajuku bercerita tentang perselingkuhan suami-istri,

gara-gara noda lipstik pada kaos dalam; lalu erangan

jendela sampai terdengar ke pojok-pojok pasar. Di sini,

rumah tangga jadi kalut karena dililit piutang,

lalu radio pun menyimpan taman kota yang dipenuhi

gelandangan

 

Echa, sambil duduk mempermainkan gigi, dari tetangga

sebelah tercium aroma ikan asin; orang-orang sibuk

memasang umbul-umbul dan bendera warna-warni,

rumah pun jadi terasa asing. Gesekan daun cemara menerbitkan

luka di dalam hati,

ilalang mendadak tumbuh di pelupuk mata.

 

dalam rangkulan matahari sore, kursi-kursi membeku,

di meja kulit kacang berserakan, bunga-bunga mengering;

tiba-tiba aku ingin melupakan asal-usulku, ibu!

1995

 

SEBUAH TARIAN PAGI

seperti pusaran buih dalam lubuk, tubuhmu berputar

mengikuti irama musim. Kemudian terbenam dalam

gulungan gelombang angan-angan kosong. Panen

telah gagal, hanya sampah menyengat dan eksim

yang membalut hari-harimu.

 

pada ujung pematang, bukit-bukit memamerkan dada

mengembang. Sejenak, tirai kabut dan selimut hutan jati

telah tersingkap kemarau. Lelehan sunyi telah mengantarkan

harum oli pada jendela-jendela rumah. Pada saat itulah

butir-butir gabah telah menjadi konsumen jam, sedangkan

dirimu tak berdaya, di kepalamu dunia mengeras, daun-daun

meranggas dari gigir alismu.

 

burung pipit kembali merindukan kabel listrik, melintasi

suara-suara parau, menghitung sungai-sungai membara,

mencari bayangan nafas di balik daun-daun kering.

 

mengikuti gerak tarianmu, pagi telah membentuk keluhan

panjang,

pada atap rumbia, matahari telah meletakkan pesan rahasia,

hari itu

kesengsaraan telah menjadi matang dan sempurna.

1998

 

 

LE SACRE COEUR DE MONTMARTRE

jangan pedulikan ingatan masa kanak-kanakmu. sebuah

bentuk angan-angan, api unggun dan tenda yang lusuh:

hanya permaianan ilusi mengantarkan diri, menjadi

penjaga bagi kehangatan taman-taman kota. Tangan-tangan

jahil, kadang lupa juga akan arti kasih-sayang.

 

dibentuknya batu-batu putih itu, menjadi monumen,

lalu dari utara angin mengabarkan keindahan, dan bunga

rumput menjadi inspirasi, datangnya kerinduan. Siapakah

bersembunyi dalam dinding-dinding dingin ini,

harumnya mengendap dalam jantung. Kini

sentuhan lembut itu, telah melahirkan ribuan

cahaya bintang baru di langit jiwaku.

 

nikmatilah sajian tarian pinggang ramping di depanmu itu,

daun-daun cemara bersilangan, cahaya matahari dan

sebuah kafe yang ramai. Jangan pula kau tolak pemberian

gaun itu, barangkali besok atau lusa ciuman bibir tipis

akan membawamu mengembara ke padang-padang rumput,

bukankah kau selalu dahaga, untuk mandi dalam kucuran

anggur, bermain busa dalam

benteng kaca. Nikmatilah, karena

waktu hanya penuh permainan harapan,

seperti salju luruh

saat senja tiba.

 

kini kau tambah dewasa, semakin tahu arah hidupmu,

sambil menerawang dari jalan ke jalan. Memandang

matahari,

tak jera untuk selalu bertanya-tanya tentang surga, seperti

anak kecil bersayap itu, terus meniup terompet.

1999

 

AIR TERJUN BANTIMURUNG

mengikuti jejak purba

mencari sumber kehidupan:

menimbang rasa dan harapan

 

di bawah naungan pohon

di dalam ceruk gua gelap

menerawang masa depan: putih

 

air mengalir mengubah nasib

seperti darah dalam nadi:

memandu hidup

 

gerak satwa dalam hutan

senantiasa mengukur

peradaban manusia

1990

 

HARI YANG BERGEMURUH

nyonya Margho membaca surat itu sekali lagi,

halilintar menjalar di benaknya, badai pun

mendera kerongkongan. Surat itu seperti api

membakar deretan gedung, lalu arang

yang ditinggalkannya menjelma dirinya. Dalam renta,

sendiri porak-poranda.

 

“umur suamiku bagaikan lelehan lilin, mengalir dan

kemudian menguap, entah ke mana,” tangisnya

merambat, membasahi tanah, menghanyutkan

kenangan.

 

sekali ini ia menyadari, batu pun bisa diajak bicara,

pohon-pohon bisa mendengar keluhannya, dan angin

menjadi sahabat paling setia. Lolongan anjing kembali

mengingatkannya akan ladang gandum yang subur,

hamparan keju yang harum, atau gemeretaknya kayu

di perapian.

 

dibangunnya sebuah angan-angan, pesta penuh riang,

kopi hangat mengiringi obrolan ringan, dan semua tamu

dengan sopan saling bertegur sapa. Sambil mengelus popor

senjata, ia tersenyum getir.

 

“hari ini, memang perang belum usai,” gumamnya.

1999

 

PADA UPACARA PENGUBURAN

- Popo Iskandar

 

dalam gerimis siang kendaraan beriringan

seperti semut ke luar sarang memburu remah roti,

di antara raung sirine kereta jenazah merayap

membelah kota diam membeku.

 

di Wanaraja penantian itu menjelma

di tengah kerimbunan pohon petai dan rumpun pisang,

tiba-tiba keriuhan do’a itu terhenti:

hanya gundukan tanah basah bertabur bunga

serta kelembaban udara membisu.

 

impian itu terus berlari, tahun-tahun tak pernah kembali

demikian juga bayangan kucing dan ayam jago

kesayanganmu

setelah semuanya diam, berarti pula akhir pengembaraan

dan hanya kenangan menghampiri malam

berbintang

 

kini goresan kata-kata tampak di kaca-kaca jendela,

bagaikan embun memintal ruang berlumut,

dan hanya kenangan menghampar panjang,

sebagai pijakan untuk memahami arti sebuah kearifan.

2000

 

KUHAMPARKAN HURUF-HURUF MENJADI SAJADAH

Agus, sengaja kuhamparkan huruf-huruf ini

menjadi sajadah pada malam gelap-gulita,

saat ini aku coba pahami sebuah dunia,

dengan nyanyian granat dan lolongan sunyi.

 

saat ribuan bangkai ideologi terkapar di angkasa,

kita sedot dalam-dalam dendam bergentayangan,

seperti sebuah kepercayaan:

membuat kita menjadi warga masyarakat baru,

dengan gairah arak dan permusuhan.

 

dengan bunga ketakutan kita panjatkan doa,

sambil menanti yang lain kelaparan,

hari ini tak ada beras atau ikan asin,

bila mau kunyahlah baut, kabel, atau ban bekas,

bukankah solar dan aspal masih tersisa di kuali?

 

dingin ini adalah lengkingan daun-daun gugur

dan kita sujud di pojok dapur,

mengharap suara-suara tak pernah singgah.

2001

 

 

KEYAKINAN ITU

- Museum Buya Hamka

 

keyakinan itu, seperti situs, semakin membatu di dalam hati,

menempuh bentangan masa tak pernah pudar,

lalu terpancar tajam di tepian danau berawan.

 

keteguhan, seperti foto-foto lama, berbicara banyak,

buku-buku berdebu menjadi nafas sejarah,

pohon-pohon tua telah menularkan kekuatan,

jiwa pun tumbuh tak berbilang pijak.

 

udara berkabut, belajarlah pada hutan,

hari terang, belajarlah pada gunung,

sedangkan matahari tak juga berubah.

 

musim berjalan memilih kenangan,

menghitung langkah dan kalimat,

terus bergema di dalam dada.

2001

 

BANDAR JAKARTA

laut adalah wujud misteri wanita berbahaya

aku tak pernah tahu tentang jumlah ombak, jumlah ikan

dan jumlah pasirnya. Hanya suaranya kemudian menarik

hasrat untuk berlayar mengarungi bentangan waktu.

2002

 

AKU TULIS PUISI

aku tulis puisi tentang laut biru,

tapi terbaca ledakan bom dan kematian.

 

aku tulis puisi tentang harapan hari esok,

tapi terbaca rangkaiankonflik dan cucuran darah.

 

aku tulis puisi tentang surga,

tapi terbaca penindasan antar sesama.

 

aku bongkar kata-kata,

lalu terbaca keindahan.

2001-2002

 

REVITALISASI SEBUAH KOTA

- pelukis Conrad Felixmuller

 

kota adalah kanvas carut-marut,

dengan sejumput oksigen diperebutkan,

dan kehidupan diatur angka-angka:

 

di sana tubuh identik dengan tanda tanya,

melingkar dan melata di lantai bacin,

digenangi kucuran syahwat membiru,

dan selalu tersesat dalam gairah purba.

 

orang-orang meramu arsitektur mimpi,

mencari bentuk lain dari bayangan diri,

dan perlahan-lahan tenggelam dalam waktu.

 

ribuan pintu segera dibangun untuk mengurung diri.

2003

 

MENGHIRUP HAWA BINATANG

tubuh-tubuh legam, aura malam,

kepalan tangan erat menyimpan sunyi,

urat-urat seperti rel menuju kepundan,

dan gelegar guntur bersarang di jantung.

 

suara-sura menyesatkan, pembisik gaib,

seperti lagu merdu membangkitkan kepayang,

mengantarkan jiwa ke tepi jurang perasaan.

 

seperti Sisiphus mendorong tumpukan uang,

batu berhembus angin menggelinding,

di lereng waktu pendakian tak ada jeda,

mata menelan letih meleleh dari langit.

 

mulut terus bergumam tentang kematian,

kelaparan menjaring bangkai sisa pergulatan,

gumpalan daging segera mengisi kota lumpuh.

2003

 

RAJAH MALAM

sepanjang sungai merah menggumpal,

pohon-pohon nipah menggigil,

sesosok jasad menuju hilir

 

menggali sepi,

membongkar bunyi.

 

kelopak bulan terus menganga,

mengucurkan kekesalan,

setiap detik, kehidupan melayang.

 

bukan karena berbeda sikap,

atau hanya sekadar kejahatan,

masing-masing memburu nyawa.

 

bulan semakin membara,

mengucurkan darah,

di halaman rumah;

- sendiri.

2004

 

JALAN LENGANG

sepeda-sepeda tua berkarat,

di sepanjang jalan memucat,

hanya lengang mengalir

 

di ujung jalan menanjak,

ada pelataran sebuah basilika,

gerimis membentuk lingkaran senja,

dan bulu matamu meneteskan sepi

 

di hutan-hutan albino,

ada lembah subur tubuhmu,

di sana api berdendang,

lalu urat-urat berdenyut,

mengitari puting beranting

 

(jelas, kamu tak suka. Kamu tak rela)

 

di atas aspal berdebu,

serpihan muasal membeku,

daun-daun busuk berserakan,

dan hanya jejak sepatumu,

tersisa dari tiupan angin.

2005

 

NEGERI IMPIAN

di sini tak ada Godi atau Afrizal,

hanya sorgum dan salju,

dengan harapan berayun-ayun,

seperti balon di udara pejal.

 

para penyair kembali ke dapur,

mengenang kelahiran Hitler,

dalam reruntuhan kota lama,

dengan sayap kemarahan.

 

di antara katedral berlumut,

ornamen batu bertuah,

lalu kau menulis hujan,

dengna huruf menyerupai rambut.

 

di negeri impian ini,

sepi tak ada jeda,

menggulung hari-hari basah.

2005

 

TENTANG JUNIARSO RIDWAN

Juniarso Ridwan lahir di Bandung, 10 Juni 1955. Semasa menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Geodesi, aktif di Grup Apresiasi Sastra (GAS) dan Studi Teater Mahasiswa (Stema). Menjadi salah seorang tokoh gerakan puisi bebas yang diluncurkan GAS pada 1976. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Kumpulan puisinya antara lain: Dua Penyair di Depan (1976), Penipu Waktu (1979), Robocop (1994), Tanah Terluka (1996), Air Mengukir Ikan (2000), dan Airmata Membara (2004). Kumpulan puisi dalam bahasa Sunda: Lalaki Langit (1987), Langit Katiga (1996), dan Nu Lunta Peuting (2005). Kumpulan cerpen: Bendera Merah (2004). Buku anak-anak: Budak Motekar (1984), Pengalaman Regu Macan (1984). Buku esainya: Manusia, Teknologi, Mitos, dan Realitas (1982), Seni Budaya Politik (2004).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler