Skip to Content

PUISI-PUISI KUNTOWIJOYO

Foto SIHALOHOLISTICK

ALAM SEDANG BERDANDAN

Tangan yang tak nampak
Menjentikkan kasih ke pohonan
Semi di cabang-cabang
Adapun di rumputan
Seribu warna jambon
Memberikan madunya
Pada lebah dan kupu-kupu

Wahai yang menghias diri di air sungai
Simpanlah senja di bawah batu-batu
Angsa putih ingin mencelupkan bulu
Menuai ikan-ikanmu

Perawan mencuci mukanya
Masih tertinggal wangi kulitnya di permukaan
Ketika burung mandi dan menyanyi

Terdengar bagai engkau bangkit kembali
Tangan yang tak nampak
Mendandani.

 

PERJALANAN KE LANGIT

Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti

Sudah disiapkan
Awan putih di bukit
Berikan tanda
Angin membawamu pergi
Dari pusat samudera

Tidak cepat atau lambat
Karena menit dan jam
Menggeletak di meja
Tangan gaib mengubah jarum-jarumnya
Berputar kembali ke-0

Waktu bagi salju
Membeku di rumputan
Selagi kaulakukan perjalanan.

 

MALAM

Bayang-bayang bumi
Memalingkan tubuh
Memejam lelah
Meletakkan beban ke tanah

Maka malam pun turun
Memaksa kucing putih
Mengeong di pojok rumah
Memanggil pungguk
Yang sanggup mengundang bulan

Karena hari sedang istirahat
Di ladang angin mengendap
Tidur bersama ibu bumi
Dari kasih mereka
Ilalang berisik
Ditingkah suara jangkrik
Di sungai, air
Pelan-pelan
Melanda pasir

Justru pada tengah malam
Rahasia diungkapkan.

 

KELAHIRAN

Setelah benih disemaikan
Di pagi pupus menggeliat
Bayi meninggalkan rahim
Memaklumkan kehadiran

Cempaka di jambangan
Menyambut bidadari
Turun memandikan
Bahkan hari menanti
Sampai selesai ia mengeluskan jari
Merestu kelahiran
Membungkus dengan sari
Mendendangkan kehidupan

Para perempuan
Berdandan serba kuning
Pucuk mawar di tangan
Duduk bersila
Menggumam doa-doa

Hari yang semalam dikuburkan
sudah tiba kembali

Selalu kelahiran baru.

 

LELAKI

Ketika kentong dipukul
bintang-bintang berebut
menenun pagi
jadi samudra

Di laut
naga memukul ombak
perahu tergoyang
bagai mainan
Dua ribu tangan menjinakkan air
menahan gelombang
Halilintar di kepala
bagai isyarat
memaksa laut
menyerahkan diri
untuk dijamah
Pelaut sudah turun
jaring-jaring perkasa
menangkap duyung
yang menggoda cinta
Para lelaki
berdiri di pinggir kapal
mengagumi wajahnya
menarik napas
Lelaki:
yang hanya bercinta di malam hari

 

YANG TERASING

Ada dinding-dinding di gedung
membagi ruang jadi dua:
engkau dan semesta
Kamar-kamar raksasa
menyimpan hidup
dalam kotak-kotak
Engkau terkapar di sana
terpaku di kursi
tangan ke lantai
dilingkar tembok baja
yang membungkus napasmu

Sedang di luar
hari berjalan sebagai biasa
lewat lorong luas
yang indah hiasannya
mengirim berkas matahari ke kamarmu
memancing duka.

 

SUASANA (1)

Yang serba kaca
sudah ditanam di kamar
cangkir dengan kopi di dalam
mengawasi pagi
membiarkan uap menyedap kamar

Bapa sedang memandikan bocah
terdengar air berkecibak
Ibu menyiapkan rahmat pagi
memerintah burung di luar
untuk menyanyi
dan angin pagi
melompat jendela
mendandani pipinya

Ingatlah, Ibu menyediakan
kopi dan pipi - untuk dicium
ketika bapa pergi
lunak kulitnya terasa
bagai tangan halus
menghapus sisa duka

Pagi semerbak oleh
wangi tubuhnya
mengantar bapa pergi bekerja.

 

SUASANA (2)

Seekor mainan kijang
duduk di atas kursi
hari itu
sudah dijanjikan
sebuah tamasa

Sedang bocah lelaki
diajar ibunya
mengucap selamat datang
ketika Bapa pulang

Diam-diam
mawar kembang di halaman
rumput
mencat mukanya
hijau dan cantik

Sebentar, waktu
Bapa kembali
pintu terbuka
vas di meja
mekar merah warna
selapis taplak sulam sutera
melambai tepinya:
Senyum di mana-mana.

 

MENARA

angin selatan
mendaki pucuk menara
meliukkan puncaknya
dua meter dari tanah

orang berkerumun
dengan mata silau
mengagumi kubah
alangkah indahnya
sungguhkah ini terjadi

dua puluh jari meraba
dua puluh ribu jari meraba
sebenarnya,sebenarnya

beginilah
kalau sudah tiba waktunya
menara pun
merendahkan diri
mencium tanganmu.

 

SANG UTUSAN

Dikabarkan
pada tanggal satu bulan Muharam
akan tiba Sang Utusan
dalam perjalanan kembali
menjenguk warganya

Mereka keluar dari rumah-rumah
berdiri di taman
menantikan
Bunga-bunga mawar di tangan
nyanyi kudus
dan detak-detak
harapan

Tidak.
la tidak mengikuti angin utara
ia lewat menurut ilhamnya.
Pulang, ia akan mengetuk pintumu.

Mereka saling memandang
barangkali itu benar
lalu kembali ke rumah
menaburkan mawar di ambang
menyimpan nyanyian

Malam tidak tidur
untuk di pagi hari
mereka temukan
jejak Sang Utusan
di halaman.

 

HARI KE-N

Hari ke n dari Adam dilahirkan
mega putih menyingkir ke tepi
langit terbuka
sederet burung undan
terbang di garis cakrawala

Tidak habisnya engkau memuji
hari itu di hutan
serigala mencumbu kijang
yang berubah jadi kencana
engkau duduk di tepi telaga
mengaca
bahkan engkau heran, mengapa
bibirmu tersenyum.

 

PEMANDANGAN SENJA

Dua ekor ikan
Menutup mata
Mereka lihat tanda
Air berhenti mengalir
Maka gugurlah kepercayaan
Perempuan menangis di jendela
Menghentikan pejalan
Lelaki tidak juga datang
Merpati di pucuk atap
Kesal menunggu senja
Menahan dingin
Mengharapkan bintang turun menyapa
Jauh di langit
Kelompok pipit mencari pohonan
Adakah masih tersedia daunan?
Mereka hanya berputar-putar.

Terasa juga malam ini
Lelaki tidak akan pulang
Barangkali sore harus dibatalkan
Tidak ada lagi:
Merpati harus tidur di awan
Pohonan sudah ditebang
Tidakkah kaudengar tidak ada lagi peradaban?

 

PINA

Di atas pohon pina
surya
mempersembahkan sinarnya
pada semesta

Seseorang tertidur
sangat lelap
di bawahnya
tidak tahu
bahwa Waktu sudah berjalan
sampai di tikungan
dan berhenti:
Sebagai ada yang tertinggal

Seseorang yang dikasih
sedang menikmati istirahat
sangat sayang membangunkan.

 

PEPOHONAN

Sebagai layaknya pepohonan
menampung kenangan
dunia yang tergantung di awan
sudah sampai di simpang

Ada kubu terbungkus daunan
mengeluh pelan
memanjakan impian
Ayolah kubur dukamu di rumputan
senja sudah mendekat
malam berjalan merayap
engkau tentu mengharap bulan

Dalam pepohonan
yang berbuah rindu
aku mendengar
sesuatu yang tak kutahu
Namun aku suka padamu.

 

PADA HARI YANG LAIN

Pada hari yang lain
di angkasa
seribu gagak raksasa
menyerbu matahari
menggugurkan batu-batu
terbang menutup ruang

Malaikat langit ketujuh
turun menghalau perusuh
menghunus pedang guntur
berkilat-kilat
darah mengucur hujan
langit amis kemerahan

Engkau di sini
di kebun semangka pinggir desa
bersama lima bidadari
mengajarmu menyanyi
dan merangkai puisi.

 

ENGKAU, SUKMA

Sukmamu bangkit
Bagai bianglala
Berdiri
Di cakrawala
Merenda siang dalam impian
Gemerlap warna-warni benang sutra.

Badai tidak datang
Angin pulang ke pangkalan
Istirahat panjang.

Langit menyerah padamu
Menggagalkan lingkaran
Surya kabur kembali ke timur.

Sepi.
Hanya napasmu yang tenang
Terdengar bagai nyanyian.

 

PABRIK

Di sini dilahirkan raksasa
bertulang besi bersaraf baja
tidak perlu nyanyi
dan ninabobo bidadari
Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan
melambaikan tangan
Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar
Laki-laki dan perempuan
datang menghormat
ia pun mengulurkan tangan
untuk dicium.

Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi
oleh tangan lelaki
Sesungguhnya ia dicipta dari tanah
untuk membantu ayah
menggembala kambing dan menyabit rumputan.
Sayang, mereka sangat memanjakannya
hingga raksasa itu jadi anak nakal
mengganggu ketenteraman tidur.

Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan
anak-anak yang bakal jadi pembunuhmu.

 

MOBIL

Mobil-mobil sudah berangkat
pergi ke tengah kota
meninggalkan gas dan debu
terdengar mereka tertawa
karavan yang sempurna
Di pusat kota
di muara yang deras airnya
mereka labuh waktu

Aku menutup mata
tidak karena debu-debu
aku ingin melihat rumahku
dalam sunyi di tengah rimba kunang-kunang
Alangkah jelasnya, Tuhan, alangkah jelasnya.

 

MUSIM PANEN

Setelah semusim
tangan-tangan sibuk
memotong pohonan
di kampung halaman
pak tani
mengundang anak-anaknya
memanen kolam
sudah waktu ikan dinaikkan

Segunduk matahari
menyingkirkan sepi
dari danau
mendorong sampan
berlayar dua-dua

Di bukit
batu sudah dipecah
sekejap saja, bagai hanya main-main
rumah-rumah berdiri
melindungi perempuan
melahirkan bayi

Hari itu derita dihapuskan
Keluarlah lelaki-perempuan
memainkan udara dengan selendang
menyulap siang dalam impian
warna-warni dan wewangi

Anak lelaki-perempuan
menabuh genderang
menyebar kenanga
memaksa matahari
berhenti di balik daunan

Malaikat dan bidadari
menonton tarian
senyum mereka
menyentuh pohonan

Semesta berpesta
di tengah hari
pada musim panen abadi.

 

PEJALAN

Pejalan sudah kembali
mukanya pucat pasi
terbungkuk
di bawah kain lusuh
tak ada lagi cahya matanya
bergegas pulang
ke rumah yang tak jelas di mana
berhasrat keras melepas beban
yang lama mendera punggungnya

(rumahmu tidak di sini
tetapi jauh di dasar mimpi)

ia tercengang
tidak ada jalan balik lagi
musnah dihamburkan angin
hanya debu-debu

ia merintih pelan
takut membangunkan derita
menahan lelah yang sangat
sempoyongan, dan
terbatuk-batuk
ah, alangkah penat
(ternyata ia hanya harus berjalan
atas putusan sendiri
di pagi hari)

 

KOTA

Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga

Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah pada kekosongan

Tuhan
nyalakanlah neon-neon itu.

 

IN MEMORIAM: YANG TERBUNUH

Sekali, hutan tidak menumbuhkan pohon
Burung melayap-layap, terbakar bulu-bulunya
Bumi mengaduh, menggapai bebannya
Pemburu tidak pulang sesudah petang tiba
Lampu malam dipetik dari gunung api.

Malaikat di angkasa menyilang tangan di dada
Menyesali dendam yang tumpah
Memalingkan muka tiap kali darah menetes di tanah.

"Mengapa kaubunuh saudara kandungmu?"

 

SUARA

Ada suara menderu dan warna ungu. Terserap
jasadku. Kukira akan padan juga. Tetapi tidak.
Adakah engkau juga menangkap makna itu? Di luar,
sebagai sediakala. Langit bersatu dengan birunya
menyelimuti bumi yang diam. Pelan udara merayap,
menggosok-gosok di pohonan. Engkau pasti tak
mendengar suara itu. Ada gemuruh di tubuhmu.
Barangkali ruhmu sedang mempersoalkan gelombang
yang tak mau berhenti itu. Gelombang-gelombang
suara. Gelombang-gelombang warna. Bercahaya-
cahaya! Membuatku lupa bahwa hari sudah malam,
sudah waktunya pergi tidur. Tidak, ia bergerak-
gerak. Menuntunku ke mimpi yang lena sebelum
bahkan mata berhasrat memejam. Hai! la mengucapkan
sesuatu yang sempurna. KATA. Aku tak paham
apa. Terasa bagai buaian. Mengayun-
ayun. Sebagai di benua asing aku keheranan.
Tenggelam di garis batas, yang sayup-sayup.
Jauh, jauh. Ada jalan dari berkas cahaya, sangat
licinnya. Bagai meniti benang sutra, aku berjalan
di atasnya. Berjalan, tidak ada ujungnya.
Kekosongan dari tepi ke tepi. Aku kehilangan
jejak sudah. Namun, aku berjalan juga. Alangkah
nikmat jadinya! Suara itu masih menderu. Warna
masih ungu. Tiba-tiba aku kenal benar.
Tiba-tiba saja aku tahu. Sudah lama aku merindukannya.

 

MUSIUM PERJUANGAN

Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.

Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali

Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.

Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.

 

WAKTU

Engkau dibunuh waktu
Sekali lupa mengucap selamat pagi
tiba-tiba engkau sudah bukan engkau lagi
Waktu membantai bajingan dan para nabi
kerajaan-kerajaan kitab suci
peradaban di buku sejarah
Semua harus menyerah.

Engkau sibuk memuji namanya
selagi ia berusaha menghinakanmu
memendammu di bawah batu-batu
(Engkau tak bisa berteriak
ia juga melahirkan koor yang berisik dan keras)

Seperti singa lapar
ia duduk di meja
sudah mencakarmu
selagi engkau bersantap

Ssst, pikirkanlah
bagaimana engkau bisa membunuhnya
sebelum sempat ia menerkammu.

 

SESUDAH PERJALANAN

Sesampai di ujung
engkau menengadah ke langit
kekosongan yang lembayung

Ayolah, Ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri

Sunyi mengantarmu ke kemah
di balik awang-uwung
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang jauh

 

KABUT

Ada kabut di atas bukit
Pergi kesana
daerah samar tak bertepi
di lindung hutan kenangan
bayang-bayang purba
(Kaujamah puncaknya
tiba-tiba terlepas rindumu)
Bidadari kuning rupanya
menguntai permata
melempar mawar
membagi rahasia

Ada kabut di atas bukit
Bersumpahlah
Demi impian terpendam
mendaki punggungnya
berdiri di tengah-tengah
dan berseru:
Kutemukan daerah baru.
(Sebenarnya daerah yang dulu
tetapi engkau melupakannya
ingatanmu terkubur waktu)

Ada kabut di atas bukit
Remang-remang saja
selangkah maju
Surya menyala di ubunmu.

 

SEPI

Jangan ditinggalkan sepi
karena ia adik kandungmu
ketika di rahim ibu

Jangan dibunuh sepi
karena ia kawan jalanmu
ketika di selubung mimpi

Di subuh pagi itu
ia menunggu
mengalungkan bunga ke lehermu
mengucap doa-doa
menyanyikan mantra.

Aduh
engkau sungguh berbahagia
karena hari ini
ia meluangkan waktu bersamamu
sendiri.

 

BATU PUALAM

Di batu pualam
jejak para nabi
aku berjalan berjingkatan
menyongsong nyanyian

Cahya redup bianglala
menghampiri pucuk menara
wahai
angin utara menghembus
burung ke angkasa

Pelan bagai belaian
malaikat
bersujud
pada Adam

Tuhan mengangkatmu
sedepa di atas ujung karang
guntur terdengar
bagai nyanyian

Di batu pualam
jejak para nabi
aku bangkit
menuju
pada
Mu.

 

BANGUN, BANGUN

Barangkali Engkau ingin berkata
kali ini pada gugus awan:
Bangun.
Hujan akan datang juga
hutan pina itu menggeliat
menengadah pada-Mu.

barangkali sudah selesai kitab-Mu dibacakan
pendengar berkemas pulang
gelap menyapu ujung padang
mereka kembali ke rumah
menutup pintu-pintu. Tiba-tiba
Engkau campakkan isyarat:
Bangun

Apakah maksud-Mu
(Pohon randu menggugurkan daun
berlayangan di udara
kudengar risiknya)
Apalagi.
Engkau masih memanggilku juga
serasa begitu. Serasa begitu
Engkau selalu menggodaku.

Aku cinta kepada-Mu.

 

VAGINA

Lewat
celah ini
engkau mengintip
kehidupan.
Samar-samar
dari balik sepi
bisik malam
menembangkan bumi.
Engkau tidak paham
mengapa laut tidak bertepi
padahal engkau berlayar setiap hari.
Tutup kelopak matamu
bulan mengambang
di balik semak-semak.
Menantimu.
Misteri itu
gugur
satu-satu
setiba engkau di sana
merebahkan diri.

 

LAUT

Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa.
Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di pagi hari kautemukan bahwa engkau
di sini. Segar bugar. Kita punya tangan
dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi
pemenang. Dan engkau berjalan ke sana.
Menerjang ombak yang memukul dadamu.
Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut.
Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu
adalah Dewa Ruci. Engkau menatapnya: menatap dirimu.
Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu.
Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita
yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:
Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya.
Sebentar kemudian, sebuah debur
gelombang yang jauh menghiburmu.
Saksikanlah.
Tidak ada batasnya bukan?

 

ANGIN LAUT

Perahu yang membawamu
telah kembali
entah ke mana
angin laut mendorongnya ke ujung dunia
Engkau tidak mengerti juga
Duduklah
Ombak yang selalu
pulang dan pergi.
Seperti engkau
mereka berdiri di pantai
menantikan
barangkali
seseorang akan datang dan menebak teka-teki itu.

 

DANAU

Kutemukan danau baru
pada musim kering
jerih dan mengaca
menjamu burung
masih terdengar
tetes air
yang jatuh kembali.

Impian lama pun
berdesakan
aduh
tidak kuasa aku menahannya
sudikah Engkah menolongku.

 

ISYARAT

Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung.
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu Abadi.
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.

 

KUPU-KUPU

Keahlian kupu-kupu
Menggugurkan kuning sayapnya
Menenun jaring-jaring halus
Tinggal di dalamnya
Mendengarkan pohon bersemi.
Yang berubah warna
Hanya sayap kupu-kupu. Kemanakah warna-warna?
Karena kuning adalah bulan, ia tinggal di sana
Menanti hari terang. Kadang-kadang hinggap
Di wajah perempuan. Lalu para tetangga
Berbisik: gadis kecil sudah perawan
Ya Tuhan.
Karena kupu-kupu tinggal di sarang
Bunga-bunga berkembang!

 

GELAS

Itulah yang kukerjakan. Mengumpulkan gelas
Kembali. Sambil mengenangkan bahwa bibir
Lembut telah menyentuh tepinya. Kuhapus dengan
Pelan-pelan sebagai meraba yang halus,
Takut ia terkejut. Ah, jari-jariku terlalu
Kasar rasanya. Pelan-pelan kudekatkan ke
Bibirku. Aneh! Gelas itu selalu menghilang.
Kacanya melunak dan mengabur bersama bayang-
Bayang. Ia selalu menolakku.
Kapankah kauperkenankan aku duduk di meja.
Meninggalkan gelas, lalu gadis penjaga mencium
Bekas gelasku? Aku malu dengan pikiran ini
Sesungguhnya, tetapi biarlah. Sebenarnya,
Hatiku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti

 

HARI

Rangkaian bunga dari lampu neon
Di sekitar meja berenda impian pagi
Memantulkan bening
Sepatu yang mengetuk lantai
Musik memainkan buah apel
Yang belum habis dibagi
Senja menyongsong terompet
Bagai bibir lembut membisik
Mengabaikan lilin sudah dipasang.
Di jendela yang lain
Seseorang sedang mengharap napasnya berhenti
Pada detik yang sama. Mencekik leher sendiri
Tangan hari yang ajaib
Menampung banyak warna

 

ISYARAT

Angin gemuruh di hutan

Memukul ranting

Yang lama juga.

Tak terhitung jumlahnya

Mobil di jalan

Dari ujung ke ujung

Aku ingin menekan tombol

Hingga lampu merah itu

Abadi.

Angin, mobil dan para pejalan

Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.

 

 

KOTA

Kotaku yang jauh

padam lampu-lampunya

angin menerpa

lorong-lorong jelaga

 

Kotaku yang jauh

menyerah pada malam

seperti di siang hari

ia menyerah

pada kekosongan

 

Tuhan

nyalakanlah neon-neon itu

 

 

LAUT

Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?

Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa.

Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.

Tidak. Di pagi hari kau temukan bahwa engkau

di sini. Segar bugar. Kita punya tangan

dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi

pemenang. Dan engkau berjalan ke sana.

Menerjang ombak yang memukul dadamu.

Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut.

Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu

adalah Dewa Ruci. Engkau nmenatapnya: menatap dirimu.

Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu.

Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita

yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:

Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya.

Sebentar kemudian, sebuah debur

gelombang yang jauh menghiburmu.

saksikanlah

Tidak ada batasnya bukan?

 

 

DESA

Yang berjalan di lorong

hanya suara-suara

barangkali kaki orang

atau malaikat atau bidadari atau hantu

mereka sama-sama menghuni desa di malam hari

 

Kadang-kadang kentong berjalan

dipukul tangan hitam

dari pojok ke pojok

menyalakan kunang-kunang

di sela bayang-bayang

 

Kalau ingin melihat hidup

pandanglah bintang-bintang

yang turun rendah

menyentuh ujung kelapa

atau berhenti di bawah rumpun bambu

mendengarkan tanah menyanyi

 

Tunggulah, engkau tak akan percaya

Siapakah mengerang dari balik dinding bambu

Barangkali ibu yang kehabisan air susu

Ya Tuhan!

 

 

PENYUCIAN

Sebelum dihinakan

kalungkan daun bodi

dalam benang emas di pagi hari

tuliskan huruf-huruf Abadi

menandakan engkau lahir kembali

 

Di tengah yang serba empat

tersembunyi pusat

di mana hidup mengendap

ambil air dari dasarnya

satu teguk untuk ragamu

satu teguk untuk ruhmu.

 

Sempurnalah wujudmu

Pergi ke utara

mereka siapkan puji-pujian

untukmu.

 

Ada pun Kalimat

ialah hakikatmu yang pertama.

Ada pun Laku

ialah hakikatmu yang kedua.

 

 

PETUAH

Langkah tidak untuk dihitung

ia musnah disapu hujan

Ketika engkau sampai pangkalan

ingatlah, itu bukan tujuan

Cakrawala selalu menjauh

tak pernah meninggalkan pesan

di mana ia tinggal

Hanya matamu yang tajam

menangkap berkas-berkasnya

di pasir, sebelum engkau melangkah

Tanpa tanda-tanda

engkau sesat di jalan

kabut menutupmu

menggoda untuk diam

Karena kabut lebih pekat dari udara

engkau bisa terlupa.

 

KENANGAN

Yang tergantung di udara:

jari menunjuk ke bulan

mengingatkan kenangan

Kapas-kapas ladang

dipanen angin malam

melayang-layang putih

bersaing dengan bintang

pergi ke utara

menyongsong rumpun bambu kuning

yang berubah jadi seruling

Dengan sukarela, waktu

mengikut bujukan anjing

menyalak ringan dari temaram.

 

Lima pasang sejoli

berjalan-jalan di taman

membiarkan rambut terayun

mandi cahaya.

 

Bulan adalah guna-guna

penyubur cinta.

 

 

SESUDAH PERJALANAN

Sesampai di ujung

engkau menengadah ke langit

kekosongan yang lembayung

 

Ayolah, ruh

tiba saatnya

engkau menyerahkan diri

 

Sunyi mengantarmu ke kemah

di balik awang-uwung

di mana engkau istirahat

sesudah perjalanan yang jauh.

 

SEPI

Jangan sepi ditinggalkan

karena ia adik kandungmu

ketika di rahim ibu

 

Jangan dibunuh sepi

karena ia kawan jalanmu

ketika diselubung mimpi

 

Di subuh pagi itu

ia menunggu

mengalungkan bunga ke lehermu

mengucap doa-doa

menyanyikan mantra.

 

Aduh

engkau sungguh berbahagia

karena hari ini

ia meluangkan waktu

bersamamu

sendiri.

 

BENCANA

Toko-toko di kota

sudah ditutup. Anjing menjajakan gonggongnya

pada yang bergegas lewat. Tak seorang tahu

sekarang jam berapa. Hari sudah jadi kemarin.

Nyanyian sudah berhenti di night-club.

Polisi kembali ke pos, menyerahkan pestol

dan tanda pangkat pada bajingan. Yang serba

hitam mengambil alih pasar-pasar. Menawan

wali kota. Mendudukkan kucing di pos-pos

penjagaan. Mereka tahu, semua sudah jadi tikus.

Sia-sia! Rumah-rumah tertutup rapat.

Tidak peduli hari menggelap, lampu jalan

memecah bola-bolanya karena sedikit gerimis,

terdengar retaknya. Kertas-kertas koran,

coklat dan lusuh menggulung kotoran kuda.

Besi-besi berkarat memainkan sebabak silat

di jalanan, lalu diam mengancam. Terdengar

gemuruh tapak kuda di setiap muka rumah,

merebut darah dari jantung. Detak darah tidak

karena urutan, tapi diperintah ringkikan kuda.

Nyanyian sudah berhenti, dihapus dari ingatan.

 

DIAM

Diam itu udara

mengendap di pohon

menidurkan derkuku

menjentik ranting patah

menyulam rumah laba-laba

 

Yang petapa menutup mata

Ketika angin membisik duka

mengusap halus ruang

dengan isyarat jantungnya

Serangga berjalan biasa

seolah ia tak di sana

 

Yang petapa menutup mata

ketika udara menggoda dendam

hanya napas yang lembut

menghembus cinta

Daun pun mengerti

menghapus debu di dahinya

 

Yang diam.

Yang petapa.

Yang sahabat.

Yang cinta.

 

NAMA-NAMA

Nenek moyang mencipta nama-nama

Mereka tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki

Seolah sempurna isi kamus

Ketika hari mendung dan engkau perlu mantel

Tidak lagi kautemukan di halamannya

Berceceran. Hujan bahkan melepas sampul

Sesudah leluhur dikuburkan

Alangkah mudahnya mereka larut

Sebagai campuran kimia yang belum jadi

Terserap habis ke tanah.

 

Karena hari selalu punya matahari

Nama-nama terpanggil kembali

Dengan malu mereka datang

Telanjang sampai ke tulang

Tiba di meja mencatatkan nomor-nomor kartu

Menandatangani perjanjian baru

 

PEPOHONAN

Sebagai layaknya pepohonan

menampung kenangan

dunia yang tergantung di awan

sudah sampai di simpang

 

Ada kubu terbungkus daunan

mengeluh pelan

memanjakan impian

Ayolah kubur dukamu di rumputan

senja sudah mendekat

malam berjalan merayap

engkau tentu mengharap bulan

 

Dalam pepohonan

yang berbuah rindu

aku mendengar

sesuatu yang tak kutahu

Namun aku suka padamu.

 

 

TENTANG KUNTOWIJOYO

Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Gelar strata 1 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Univ. Gadjah Mada (1969). Gelar MA di Univ. Connectitut (1975), Gelar Ph.D di Univ. Colombia dalam ilmu sejarah. Bukunya antara lain: Dilarang mencintai bunga-bunga (kumcer), Impian Amerika, Mengusir Matahari (kumpulan fabel politik, 1999) . Novelnya: Kreta Api yang Berangkat Pagi Hari, Khotbah di atas Bukit (1976), Pasar (1972). Kumpulan puisinya yang pertama adalah Suluk Awang-Uwung (1975).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler