Skip to Content

PUISI-PUISI LINUS SURYADI AG

Foto SIHALOHOLISTICK

INSTRUMENTALIA

-untuk Oka Kusumayudha-

Ibarat piano, biola dan drum
Disentuh oleh pemain alam
Itukan suara dalam hatimu ?
Mendadak menjadikan bayang
Instrumen melahirkan Ave Veoum
Membujuk-bujuk kemauanku
Menimbulkan gagasan baru
dalam gairah hidup kekal
kehangatan terus mengalir
mencairkan darah yang beku
Itukah nestapa yang lingsir ?
Terlepas dari belenggu

 

ELEGI

Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Udara sekitar gemetar
menjalin ‘Dukamu Abadi’
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
Bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, jelas kudengar
hanya sunyi menabiknya kini

 

ALIBI

antara ayat-ayat suci
engkau pun mencari
halaman yang hilang
(anak kecil mengejar layang-layang)
kapan cuaca tiba
meredakan gemuruh kedirian
(terompah impian
di sisi kesepian)
adalah sesuatu
derasnya topan
deru rindu
dendam kekecewaan

 

KEMUDIAN SENYAP,

KEMUDIAN GELAP

Kemudian senyap, kemudian gelap

engkau berjalan demikian tegap

Jika hari, engkau tahu, berayun

dalam lena kabut-kabut terbantun

 

Jatuh di tanah-tanah yang anggun

jatuh kita yang sangsi: Kenapa di sini

Kenapa engkau dan aku bersendiri

suara pun menebak: suaramukah ini?

1971

 

BARON

Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan karang

gugusan pantai selatan, tepi jurang-jurang dalam

Horison yang jauh , lengkung langit berawan

membias ke laut, dalam, membiaskan permukaan

 

Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan karang

menembus sungai perlahan, susut muara tenggelam

Gempuran yang bertahan, angin semesta mengemban

perpaduan kasih, dalam, perpaduan dendam

1974

 

 

ELEGI

- pemuda 

 

Pemuda itu memetik gitar

dunia guramnya sendiri

Udara sekitarnya gemetar

menjalin Dukamu Abadi*

 

Seorang gadis telah pergi

dengan sakramen dan hosti

 

Seorang gadis telah pergi

menggoreskan luka kembali

 

Seorang gadis telah pergi

ketabrak bis di Purwosari

 

Seorang pergi, seorang pergi

bertumpuk surat tak ada arti

 

Pemuda itu memetik gitar

dunia guramnya sendiri

Ia berkisah, jelas kudengar

hanya sunyi menabiknya kini

1978

* Dukamu Abadi: kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono

 

 

DARI GUNUNG SION

- prosesi advent

 

Jika dari gunung Sion

ke jantung kota Jerusalem

arak-arakan yang panjang

pada rangkaian hari Pondok Palem

 

Bagaikan pergi ziarah

ke kubur-kubur di bukit

dalam gaung-gema nyanyian

menyibak kesunyian batu granit

 

Para putri ngapu rancang

betapa jauh iringan

betapa terjal jalan

dengan sekelumit doa pengharapan

 

Jika saja musim balau

dari puing-puing bayang

Kita pun usah mengigau

berlindung di bawah Tiang Berpalang

 

PETRUK KUMAT

“Padi PB, padi IR, padi PB, mbahmu

Hama wereng saja tidak doyan

Lha kok orang, disuruh makan”

Gerutu Kantong Bolong sambil ngeloyor

 

Si Jangkung kalung sarung manggul pacul

Tangan kirinya menangkap keranjang

Tangan kanan njepit rokok lintingan

Dan sabit terselip di belakang pinggang

 

Dan Mas Petruk jelalatan: “Kamu paham,

Tanah pun hancur makan obat tanpa aturan”

Matanya merah, tampaknya kurang tidur

“Masih grundelan? Babat kontolmu sisan

 

“We lha trembelane. Petruk kumat mendem

Pikir Gareng: “Semalam dia kalah gaple”

Jaman dijajah kere. Jaman merdeka idhem

Kaum tani tak pernah genah. Terbengkalai

1983

Sisan : sekalian

Trembelane: sialan, keparat

Mendem: mabok

Kere: miskin

Idhem: idemdito, sama saja

 

 

NOCTURNO

Malam beranjak

dilepas lagu

Tercium segrak

aroma rindu

 

Dentang-denting

dentang jantung

Arloji nyaring

di rumah suwung

 

Apa yang samar

di antara kita

Perihal jarak

tak tembus mata?

 

Tapi lirih

terdengar Talu

Suara kasih

yatim piatu

 

Bagaikan sekuntum

molek mawar

Mekar harum

tergolek di altar

1983

Suwung: kosong

Talu: Patalon: nama gending karawitan Jawa yang dimainkan sebelum pentas wayang purwa

 

MIMPI BISMA

“Tak bisakah cari pria lain?” ujar Bisma

Ia pun balik bersandar ke pohon munggur

Angin silir mengipas batinnya yang papa

Resi Talkanda itu terlena. Ia pun tidur

 

Ada sasmita gaib dibisikkan oleh Narada

Ada prajurit wanita. Ia dandan senapati

Bisma kaget: betapa ia mirip Dewi Amba

Lenggang-lenggoknya tangkas dan merak ati

 

“O, biang cerewet. Kau datang nagih janji

Lepaskan panah itu. Tepat ke dada kiriku!”

Sambutnya, seolah tidak sabar bersendiri

Alangkah setia bayang kasihnya menunggu

 

Bisma pun kaget. Ia terbangun dari mimpi

Dan mengucek matanya. Ia ngungun berdiri:

“Ditolak malah tapa. Uh, wanita. Rela mati

Yaya, kapan kusongsong panah Wara Srikandi?”

1983

Merak ati: menawan hati

 

BETLEKHEM

Di tumpukan jerami di kandang

sapi dan domba, kuldi dan onta

Kudengar jeritan penuh pesona

jeritan purba di jagad lengang

 

Tangisan adalah suara pertama

suara yang tersua pengembara

Sebentar, peceh tawa gembira

si wajah kembar yang tua pula

 

Kudengar jerit cenger suara bayi

kudengar segar, polos, dan sunyi

Bergelung-gelung di rongga malam

o, kudengar jerit batinku sendiri

1980

 

KANGAROO VALLEY

(1)

Padang rumput

penuh ilalang

Angin semiyut

kering kerontang

 

Pada keluasan

jagad beredar

Dalam sepuhan

matahari bersinar

 

Seperti kemarin

tahun sekarang

Hujan dingin

pun ingkar datang!

 

Di atas dahan

pohon Ekaliptis

Ada kegelisahan

mengais-kais

 

Burung Kukabara

di ketinggian

Serak terbata-bata

menagih awan:

 

Welcome, welcome

come, come, come, ...”

 

(2)

Kita pandang

matahari bundar

Mirip tampah

tembaga terbakar

 

Hawa panas

gurun mati

Lintas lepas

bersuhu tinggi

 

Hutan pinus

berhektar-hektar

Gelisah aus

angin menggelepar

 

Kuda dan sapi

haus dan lapar

Mencari kali

hijau semak belukar

 

Di kota-kota

tepian benua

Orang pun kungkum

di pantainya

 

(3)

Angin gunung

terus turun

Bergelombang

di daerah Farm

 

Rumputan ranggas

oleh musim

Nasib naas

bangsa Aborigin

 

400 Celsius

suhu tercapai

Hutan pinus

tinggal bangkai!

 

Ah, di mana

gema kharismamu

Sedang Victoria

lama nunggu

 

Di mana mantram

nenek moyangmu

Di New South Wales

di Kangaroo Valley

1983

 

ARJUNA DI PADANG KURUSETRA

Arjuna menyisih ke pinggir gelanggang

Ia bingung menghadapi musuhnya seorang

Separohnya cemas dan separohnya gemas:

“O, kenapa wanita ikut terlibat perang?”

 

Ia cantik dan cerdas. Ia pun pintar berhias

Dan pandang matanya merampok nalar Arjuna

“Kresna, setankah masuk ke dalam batinnya?”

Di kereta angkasa dewa-dewi menahan Sabda

 

Tapi para pendeta sibuk di sanggar pamujan

Asyik membakar dupa. Khusuk masyuk berdoa:

“Pandawa dan Kurawa tak letih, harus milih

O, kutuk siapa! Kenapa bukan cintakasih?”

 

“Murdaningsih,” kata Arjuna: “Yang mana:

Panah sakti Pasopati atau panah Asmara?”

Satunya racun maut, satunya api hidup

Pada kita, keduanya pun saling berebut.

1983

 

NOCTURNO

Bagaimanakah kau hendak memotret rasi-rasi bintang

yang berguling dalam gelombang cahaya langit malam?

Bagaimanakah kau hendak menghitung galaksi Bima Sakti

yang warna-warni dan timbul tenggelam dalam kelam?

 

Ya, bagaimanapun kau hendak merekam gelagat insan

yang sarat dogma kitab-kitab dan rahasia penciptaan

1992

 

JURANG

“Monika!” teriak seseorang di tebing kanan

“Merdeka!” balas seorang di tebing kiri

Lalu keduanya melambai-lambaikan tangan

Mereka merasa bahwa salamnya kesampaian

1975

 

 

TENTANG LINUS SURYADI AG

Linus Suryadi AG lahir di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta, pada 3 Maret 1951. Merupakan putra ke 2 dari 10 bersaudara, dari keluarga petani Jawa. Setamat SMA 1 BOPKRI tahun 1970, sempat mengenyam kuliah di ABA jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dan IKIP Sanata Darma, namun hanya sebentar untuk kemudian otodidak. Selanjutnya karirnya berkisar di redaktur majalah dan Dewan Kesenian Yogyakarta, terakhir menjadi redaktur majalah kebudayaan Citra Yogya sejak 1987 hingga sekarang (setidaknya sampai terbit buku ini). Kumpulan puisinya: Langit Kelabu (1980), Pengakuan Pariyem (1980), Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1988), Kembang Tunjung (1988), Lingga-Yoni (belum terbit), puisi bersetting wayang dan watak dalam Ramayana dan Mahabrata, Yogya Kotaku (belum terbit). Juga menulis beberapa buku esai sastra dan menyunting Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yang terbit tahun 1987.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler