Skip to Content

PUISI-PUISI M. ALI FAKIH

Foto SIHALOHOLISTICK

KELAHIRAN
dan mungkin untuk selamanya
waktu mengeras di kabut dingin
sedingin kematian
di dadaku yang hening

waktu yang asing untuk sebuah impian
tapi begitu dekat, begitu menyekap
dan aku mengakrabinya

seperti mengakrabi air mata:
sesuatu yang mungkin tercipta
untuk tanahnya sendiri
tanah yang sepi dan abadi
tanah di dadaku ini
jogja, 2009

DI LUAR JENDELA
di luar jendela
suara berlagu
di luar waktu
di dasar jiwa

seperti suaraMu
yang mungkin hanya lewat
bertalu-talu
mengetuk pintu yang berkarat

ada tangis, namun tidak air mata
ada iba, tak kunjung terbalas sapa

lalu kamar kotor ini
dan kabut yang memberat di mata
hanya tinggal mimpi
tuhan, tinggal sebak di dada
jogja, 2009-2010

ALIENASI
dalam cahaya, adakah kau lihat mimpi itu
dalam kerling mataku

suara, adakah kau mendengarnya
antara diam dan berkata-kata
antara terang dan hitam cuaca

sesuatu tak mungkin terjadi, kekasihku
dalam sepi yang menyendiri
sebab pada ketakpastian
segalanya berasal
jogja, 2009

DARI LUKISAN ANAK PANTAI
–teruntuk anak bangsa

aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan

sudah suntuk rasanya aku mematung diri
di tengah pantai kota di mana pengunjungnya
hanya orang-orang bercawat dan berbeha
yang tidak menganggapku manusia
hanya karena pakaianku kumal dan asalku nusantara:
sebuah negeri yang dulu pernah punya bandar-bandar besar
dan kini telah dilenyapkan

aku sudah bosan mencium bau tanah
yang melekat di kulit dan pakaianku;
bergumul dengan waktu yang kian menarikku ke lubang langit
memendam seluruh kenangan dan peluh kuning nenek moyang

aku tak sudi selalu dianggap anak kecil
yang gampang dibuat senang, sementara dukanaku menganga
aku tak rela bila kerap dibuat terlena oleh berlian-berlian
yang hanya membuatku buta

aku ingin merdeka dari bayang-bayangku sendiri
meski akhirnya aku terasing, aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan
jogja, 2009

PERANTAU DI JALUR BANTUL-SLEMAN
– untuk anak-anak kutub

selalu, di jalan ini
orang-orang tak pernah selesai
melantunkan lagu-lagu kepahlawanan

wajah-wajah ranum bersungging sepi
memendam luka dalam diri
tubuh-tubuh ringkih setengah baya
meremah mimpi dan rahasia

mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
yang menjanjikan damai buat semua orang
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian

demi kampung halaman, katanya
dan sketsa bangsa
yang tak harus selalu merasa kalah
demi kenangan pahit
orang-orang yang diperbudak rasa sakit

jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
untuk sebuah impian:
segala yang datang, datanglah
segala yang berlalu, sudahlah

hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan
jogja, 2009

 

TIBA-TIBA
tiba-tiba sore menjadi kecil, dingin dan hijau
ketika gerimis datang dari sebuah hari yang jauh
teramat jauh, dalam mimpinya kala itu

ia tak tahu matahari tengah tersipu
tetapi pori-pori kulitnya terbuka
seperti pintu-pintu surga terbuka
untuk setiap yang memancar lewat benda-benda
meresap ke dalam dadanya

tiba-tiba ia merasa tak sendiri lagi
waktu mendadak lenyap dan kilometer pergi:
segala menjadi nyata, segala menjelma ia
tiba-tiba, dan hanya tiba-tiba saja
rahasia hilang makna
jogja, april 2011

PADA 1/3 MALAM
dingin turun ke lorong-lorong dalam mataku
air mengalir ke sungai-sungai dalam jantungku
cahaya meruap ke bilik-bilik dalam heningku

waktu, seperti embun, amat lirih
rebah di kalbu dan ubun-ubunku
menggulung diri dalam helai-helai nafasku

pendar bintang, gugus galaksi
berkisah tentang hari yang jauh dan bayang-bayang
pada tubuhku, hingga aku gemetar
dan sadar: aku telah begitu lama meninggalkan-Mu

kini, setelah tak kuharap lagi
malam menjadi putih, kelam lenyap
ditelan suara yang bergema di mana-mana
suara keabadian yang tak lagi sebagai hampa

sejenak kuterdiam, ketika sesuatu turun dari langit
merasakan betapa aku telah menjadi manusia
jogja, juli 2011

PALUNG WAKTU
– buat Ibu Yuli Annisah

semua akan pergi, pada akhirnya
lalu tinggal kita di sini, berselimut sepi
ditemani angin dan bayang-bayangnya

dan memang, yang mati tak akan hidup kembali
dan yang sudah terjadi, tak akan terulang lagi
tetapi waktu adalah mesin giling
dan kita gabah-gabah yang menyedihkan

kerap kali tubuh ini ingin ditinggal
lalu kita berharap terbang ke masa silam
bertemu dengan orang-orang tercinta
dan mengalami kembali saat-saat yang indah;
tetapi bukankah kita hanya sekedar manusia

kita hanya bisa memilin tangis
berteriak histeris dan memukul-mukul tanah
seakan-akan dengan begitu akan hilang sebak di dada
dan terbayar segala yang sia-sia pada akhirnya

tidurlah, bu, lelapkan hatimu
waktu memang seperti mesin giling
tetapi kita adalah manusia:
gabah-gabah yang menyedihkan itu
jogja, mei 2011

TENGGANG
pada daun-daun yang terpengkur di hadapan angin
kupungut kembali kata-kataku
pada bau asing yang mengendap di jalan-jalan
pada sisa hujan di ranting-ranting yang layu
kupungut kembali kata-kataku

sebelum engkau pergi
biarlah kulantunkan lagu itu sekali lagi
aku ingin sejenak tenggelam
dalam hening yang hadir antara grip dan nyanyian
antara harapan dan kesia-siaan

sebab sudah lama kita berharap pada yang mungkin
pada segala yang membuat kita
akhirnya tak mampu menangkap isyarat
pengkur daun di hadapan angin
bau asing di jalan-jalan
sisa hujan di ranting-ranting yang layu
jogja, maret 2011

KAUSAL KARUNIA
orang-orang lari, terbirit-birit
dari runcingnya hari
aku ingat, seseorang pernah berkata:
tidakkah ini hidup amatlah berharga

tapi dengan apa tuan, kata mereka
harus kami hargai hidup ini
bila yang terhitung selalu angka-angka itu kembali?

tidak semua, memang, yang berharga dapat dibeli
tetapi waktu pada usia, cinta pada kecupan
akan senantiasa di sana, seperti sebuah karunia
jogja, februari 2011

 

*MUHAMMAD ALI FAKIH, lahir di Kerta Timur Dasuk Sumenep Madura, 08 Maret 1988. Kini sedang belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Puisinya terkumpul di Mazhab Kutub (PUstaka puJAngga, 2010).

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto emhawie as'ad

Ajib

Ajib

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler