Skip to Content

PUISI-PUISI MARDI LUHUNG

Foto SIHALOHOLISTICK

GIRI: CIUMAN BIBIRKU YANG KELABU

Seperti bangun-bangunan batu yang tebal

aku ciumi dindingmu dengan bibirku yang kelabu

lantaran kedua kakiku terikat besi, sedang

tanganku cuma bisa mencengkeram lemah

 

ya, ada degup di situ, aku dengar pelan-pelan

dan seseorang yang telah hancur berabad dulu

pun bangkit menghadang dengan rambut panjang

kemilau dan matanya, ya, matanya: “Mata si pemburu”

 

yang pernah melarung darah petir dan kilat

saat huruf belajar menyapa matahari-hijau, yang terbit

di antara kelangkang-gunungmu, tampak seperti

tatapan-tatapan yang sudah lama tak bergaung

 

dan mata si pemburu pun menggali lingkaran kapurmu

di mana, di situ tersimpan wajah-wajah makhluk

yang pernah berjaga di pinggir-pinggir sungai dengan

sorot tubuh menyiratkan pencapaian

 

lalu, mengapa wajah-wajah makhluk itu membedol

di pinggir-pinggir sungai? Apakah pencapaian yang

disiratkannya adalah dusta? Adalah si lendir amis yang

telah membuahkan patung dan menancapkan berjuta

bahasa-palsu di keningnya?

 

dan, lihat, kekuatan apakah yang sanggup menahan

limpahan bedolan sungai itu? Adakah yang tahu, jerit

kesakitan ataukan kelahiran yang disajikannya? Dan

adakah juga yang mencatatnya, lalu menenggelamkan

 

ke dasar-dasar palung dan jurang, dan membuat aku

mesti mengoreknya lewat cengkeraman yang lemah ini

sambil sesekali menatap angkasa yang menaburkan

serbuk-serbuk kasar bekas pecahan bulan-lain yang

sekarat

 

yang datang entah dari sisi mana, akibat peperangan

apa, dan membela dewa dan kitab siapa? Oh, aku pun

cuma sanggup mengigau sambil membayangkan sebuah

jalan-berkelok menuju keratonmu yang hilang itu

 

yang pernah mencelupi mimpi-mimpiku, dengan

puncak-puncak kubahnya yang gilap, yang melambai

penuh harap, agar kita berdua memasukinya, kawin di

situ, dan beranak tujuh-puluh-dua duyung dengan sisik

yang bening

 

duyung yang selalu berenang di seputar garis debar,

sambil mendedahkan sebuah teka-teki: “Manakah yang

lebih dulu, air ataukah lautan, manik tasbih ataukah

dengus dzikir, daya hafal ataukah daya baca?”

 

ya, Giri, Giriku, lebih dekatkanlah dindingmu pada

ciuman bibirku yang kelabu ini …

Gresik, 1997

 

ALTAR

Altar: wadah persentuhan

       antara binal-sungai dan suntuk-lembah

andalah arah dengan pintu berlingkaran

       tempat para penghitung

menghitung biji-biji angin yang

       menempel-nempel tanpa dinding, tanpa tebing

dan pejalan, yang telah berjalan

       seperti kabut di balik-balik pepohonan

telah menyeru keganjilan di luaran

       sambil menggoresi rajah, rajah yang tetap

dipertahankan di dalam kediaman?

       kediaman sebuah bangsal, “Ranjang

sang-malaikat-berjubah-ganih?” Akh,

       sepasang burung dari dada pun terus terbang

melintasi nyali demi nyali, dan

       hinggap persis ketika sepasang gorden

jatuh dari pucuk, membungkus kabar

       yang terkirim lewat mawar dan taring

ketika seperangkat gamelan

       ditabuh di guci-guci badai

altar: mari direguk guci-guci badai itu

       biarlah berderak engsel-engsel di lutut

sebab kilat, sebab derit, telah

       saling berkelit dan saling menguntit

lewat perkelahian yang telah digariskan

       sebagai perkelahian para penempur

sambil menggoyang cahaya, lewat

       musim demi musim, cuaca demi cuaca

sebelum ujungnya terjumput

       oleh cecabang yang ber-zig-zag-an:

“Altar, apa yang tetap dipertahankan

       di dalam cecabang yang ber-zig-zag-an itu?”

Gresik, 1998

 

KILAT CAKRAM

Masih mengeram nafas ini

sebelum menyergap bau-tubuhmu

yang tersimpan di selat itu

mungkin, kali ini, aku mendapatkanmu

lalu menjilatinya di geladak kapal

sambil dikelupasi ombak

yang bersap tiga-puluh-tiga

ombak yang di puncaknya: bunga-cahaya

dengan kelopak melengkung ke atas,

menghunjam ke mata-bulan: bulan-batu

 

dan di mata-bulan-batu itu

kautudingkan seluruh pencapaianmu

yang telah menggumpalkan kerangka-kala

yang selama berabad-abad

membuat setapak di angkasa

seperti setapak turis

yang telah menghafal sekian nama

tapi tak pernah diingat:

“Sekian cakar yang telah tertiris

oleh berbagai persibakuan”

 

lalu, siapa yang kautunggu?

bukankah bunyi cangkang yang ditumbuk

nyali-hitam dengan rambut-merah itu

adalah dengus-kegelisahan-renjanamu?

renjana yang telah melimbungkan bintang-jatuh

sampai akar-karang yang ruwet

pun menjadi gemetar, menjadi sejumput sesaji

yang membusuk di rahang-arus, lalu

menjerit, sebelum tenggelam, dan

ditangkap oleh penyelam-penyelam gaib

 

penyelam-penyelam gaib yang dengan rebab

berkata: “Kami ambil lagi apa yang telah

dibuang, kami buang lagi apa yang telah diambil,

rambut yang tersanggul biarlah kami urai

biarlah juga, keliningan-keliningan

terpasang di situ, sebab antara jaga dan pejam,

kami selalu melingkar, menaik, turun dan kembali

lagi melingkar, seperti diagram-diagrammu

yang terekam di kilat-kilat cakram

disegelkan di jantung-jantung palung.”

Gresik, 1998

 

REIS

Multatulinya Takin

 

Kau menceritakan rempah-rempah bukan lewat

lenganmu, tapi lewat lengan yang

sepuluh jarinya telah kau buntungi

 

dan di sepuluh jari yang telah kau buntungi itu

kau juga menceritakan angsa-angsa yang berenangan

di laut, warnanya putih, bagai butiran cahaya

 

yang lupa kembali ke ketinggian,

angsa-angsa yang tak bosan berhikmat:

“Tuan guru, jangan ajari kami untuk berdusta dan

 

bercinta sekaligus. Hati kami luka, kelamin kami

duka,” Lalu pelangi pun terbuka. Seperti ladang, apa

rempah-rempah juga akan kau tanam di sana?

 

dan apa tak ada lain dalam kebusukan milikmu

yang selalu berpikir tentang lenganmu

yang selalu bersih dan berkilau itu? Wahai, rempah-

rempah pun terus

 

kau ceritakan, seperti menceritakan setiap yang

beringsut di antara garam, ombak dan lokan

di antara peluru, tombak dan mayat-mayat

 

yang terapung, mayat-mayat yang asin

mayat-mayat yang seluruh rambutnya

menelusupi dedasaran dan menyamarkan air matanya

di sisik ikan

 

lalu sambil memainkan pecut, parut, dan

pisau, kau pun memeluki sekian pancang dan

cerobong yang datang lewat kegelapan dan

yang selalu mabuk

 

di saat lengan yang sepuluh jarinya telah kau

buntungi itu, mengingat pada siapa saja yang

pernah berbisik, dan pada siapa saja yang lewat

 

bisikan itu menyengau: “Cermatlah pada tuan guru, tapi

lebih cermatlah pada siasat rempah-rempahnya,”

sebab, setiap ada yang mengambil jalur dan angin

 

yang lain, selalu dikilah: “Mengapa di setiap

timbanganku, selalu bercokol si pengibul

di punggungnya?” (Akh, kau menceritakan

rempah-rempah bukan?)

Gresik, 2006

 

 

KITARAN PERSILANGAN

Ayahku berwarna putih, ibuku berwarna hitam

lalu aku apa? Sebutlah, dan cari dalam jisim

yang mengudar warna dan nasib kulit abu-abuku

 

jika berdoa, apakah aku akan mengutuk atau memuja?

percaya pada bumi atau justru menginjaknya?

ya, dengan sepedaku-yang-mengerikan, aku kitari

kampungku

 

dan kampungku pun tak pernah menunduk

paling-paling cuma melompat dan mengangkang, yang

persis di atasku: “Apa ia mau memberkati?”

 

baiklah, seekor ular mendesis, kilat matanya

menusuk pada debu, pada abu, pada aku, dan pada

sepedaku-yang-mengerikan. Sampai kemudian,

 

aku lihat rumah-rumah dan pohon-pohonku pun

berangkat sambil mengusung sekian perutnya yang

menganga yang tak lepas untuk menyengau:

 

“Selain kemurnian, tak ada yang boleh tiba, dan selain

yang tiba, mari dicari yang telah bercecampur,” Sebab

telah sekian waktu, tak ada yang bisa menyangka:

 

“Siapa yang lebih dulu: pewarna ataukah yang

diwarnai?” dan di luar ini semua, kulit abu-abuku pun

berkelupasan, untuk kemudian beterbangan dalam

 

lingkaran yang menggasing, seperti gasingan setiap

aku kayuh sepedaku-yang-mengerikan, aku kayuh

ke arah-arah yang bertaburan di siang-siang bolong

 

ohoi, setiap aku jentik tuter karat itu

ada kiriman rambut, darah dan lendir di antara

sadel, ban dan pedal pada goresan yang miring…

Gresik, 2005

 

 

ORANG TENGGELAM

buat lan fang

 

            Istriku adalah ikan yang kuat. Selalu melesat

di antara bunga, kepiting dan remukan terumbu

di kedalaman. Di kedua lengannya ada sirip warna-

warni. Setiap melesat, barangkali pelangi selalu

diserakkannya. Sinarnya selalu membungkusnya. Istriku

pun berkebatan. Tiga ratus anak-anak laut membuntuti.

Anak-anak laut yang separuh badannya adalah ikan.

Dan separuhnya lagi adalah kemontokan keremajaan.

Seperti kemontokan gadis-gadis pinggir pantai.

Yang percaya pada maut di lautan. Istriku selalu bermain

dan menyusui. Rasanya dunia adalah mimpi.

Dan matahari dan bulan adalah tempat dia berdoa.

Katanya: “Ada tuhan di sana, pakaiannya indah, selalu

menabur makanan dan minuman, juga rejeki bagi yang

di darat dan di laut,” Istriku jika malam selalu pulang.

Tubuhnya benderang di kegelapan. Dan aku yang

menantinya di tanjung dapat melihatnya. Bahkan

sebelum mendarat, diseretnya aku ke pelukannya.

Tubuhku basah, hatiku basah. Dan kecipak debur pun

seperti tamburin yang ritmis. Tapi paginya: mengapa aku

dan istriku mengambang? Dan sekian orang ribut

dan mewarta: “Orang mana yang tenggelam

tanpa sebab ini? Siapa namanya? Darimana dia berasal?

Dan mengapa segenap badannya warna-warni?”

            Dia memeluk sebuah boneka yang Cuma sebatas

pinggang…

Gresik, 2006

 

 

BAPAKKU TELAH PERGI

Bapakku telah pergi

menemui pembakaran

ruang suci tempat selesaian

 

tapi ekor-ekor yang ditinggalnya

membelit tubuhku

menciptakan jarak, yang ujungnya

 

masih dipegangnya

batasnya tak teraba

maka jadilah itu: “Hantu”

 

bapakku telah pergi, memang

tapi hantunya itu demikian kuat

demikian mendesak

 

sampai bagian dalam tubuhku

bergetar, berpusar, seperti

tubir, seperti gerigir

 

si sayap-sayap tembikar

yang selalu melipatiku

seperti melipati ladang-ladang itu

 

tanah harapan di mana

aku telah menyerahkan kesetiaan

bangkit dan runtuh, runtuh dan bangkit

 

dan gelembung yang bugil

lewat dua puluh jari aku pahat. Kuberi

mata, mulut, telinga, hidung, dan organ

 

lalu beberapa kata: “Hantu tadi”

lalu beberapa ekor: “Ujungnya di bapak”

lalu sebuah meja, payung dan kursi

 

“Selamat datang,” kataku

 

aku dan gelembung pun saling berkata

dan saling terbuka

seterusnya sebuah percakapan

 

demikian asal-mula

aku membikin sebuah lahan di gelembung

demikian seterusnya aku mengada

 

sambil terus dilipati hantu

sambil terus berpegangan pada ekor

yang ujungnya di bapak

 

yang memberi nama pada

setiap nama yang kupanggil

dan kuseru

 

yang melingkupi bumi

di mana aku

terbaring atau berkelamin

 

menegak atau ditegakkan

menyedot atau disedot

menetak atau ditetak

 

lalu menempeli keningku

seperti tempelan tato kelabu

yang memancar bagai merkuri

 

kemudian merajuti setiap

diri anak-anakku dan anak

dari anak-anakku

 

dan membikin mereka percaya

jika tato kelabu dan lahan di gelembung itu

memang terwaris atas kromosomku

 

dan bukan atas hantu:

“Hantu Bapak”

 

bapakku telah pergi, memang

menemui pembakaran

ruang suci tempat selesaian…

Gresik, 1995

 

 

ANAK

Lahir dari endapan cahaya

terpancar dari perairan dalam tulang

anak adalah batu-batu terusan

yang akan menimbun atau membangun

balik apa yang tertinggal

sebagai ucapan atau bisik-bisik

sebagai sentuhan atau cakar-ayam

dan lewat anak, nama bangkit atau tidak

setelah lewati seluruh waktu, seluruh

umur yang tersimpan dalam aroma

yang merayap dalam tidur-tidur

atau pada igauan-igauan

yang panjang atau patah-patah itu

dalam bulan-pecah ketika tangan telah

lekat pada debu dan nafas tinggal sejengkal

dalam malam ketika anjing kelabu

mengirimkan lengking terakhirnya

terbau sekujur daging-daging rompal

dan lewat anak, kamu berpendar atau tidak!

Gresik, 1996

 

 

SULUK ORANG SUCI ORANG TAK SUCI

Orang suci melangkah di antara bintang

orang tak suci melangkah di antara lorong

tapi keringat yang jatuh

sama-sama menyerbuk di angkasa

sama-sama turun lewat kelangkang benih:

“Benih sungai tempat kau bersamadi,”

dan selama ribuan tahun kau bersamadi

membatu di antara musim ke musim

matamu mengatup, telingamu terbuka:

“Suara apa yang ingin kau dengar?”

suara suluk? Ataukah, suara geram hatimu

yang terlalu was-was pada debu?

kiranya, kau mungkin menanti sesuatu

seperti penantian udara pada jatuhnya ruang padat

yang meledak tepat hawa sakti tak terluap

dan orang-orang kasar yang kerap menyumpah

pun balik menyumpahi kelaminnya sendiri:

“Setan benar daging lebih turunan ini!”

Gresik, 1997

 

 

TAKWIL YANG KE-13

mail yang tak bisa digoda

 

Di akhir sajak: ada pelantikan, takzim dan kemuliaan

dan yang nyelonong: tai, borgol dan pecundang

di luar itu semua, ternyata dunia masih biasa-biasa saja,

orang-orang puasa, main sandiwara, sesekali merayu,

dan sesekali yang lain menggertak: “Bangsat!”

 

dan turunan-dari-yang-asal, atau yang-berekor, memang

ahli siasat dan debat, seahli mereka naik-turun pohon

dan keluar-masuk lorong, lalu sesekali

menorehkan jejaknya di tebing, laut dan langit

baik secara serampangan atau beralamat jelas

 

dan berjuta tahun: ksatria telah dilarungkan di sungai,

dan berjuta tahun pula: ksatria mengeluarkan si bangsat

dari kutukan. Kutukan keyakinan, warna kulit sampai

kutukan bersanggama, membikin kanak dan

membangun riwayat serta upacara-upacaranya

 

dan itu pun berkembang dan berbiak, seperti yang

terlihat, seperti kebun dengan bunga warna-warninya,

kabutnya dan hama-hamanya. Tapi, yang lebih

mencekam, adalah ketika aku melangkah ke situ,

bernyanyi dan beramsal: “Akulah penulis sajak itu,”

penulis yang melihat bebek sebagai setan, pondok

bobrok sebagai sorga, kuda sebagai petir dan kilat,

sungai sebagai darah, cangkul dan sekrop sebagai iman,

dan wewangian kebun sebagai bau-banjir-yang-

menggelikan, dan dengan yang-menggelikan: “Datang

menyeret semuanya,”

 

tanpa ampunan, tanpa titik-koma, seperti pintu yang

terbuka bagi si terpenjara, yang selama hidupnya tak

pernah dipenjara oleh apa dan siapa pun, kecuali oleh:

“Selaksa gugusan dungu, yang membuat kemustahilan

menjadi utuh, dan ingatan melulu menggigilkan jurang

yang miring,”

Gresik, 2004

 

 

SOERABAIA

dukut itu punya tempo doeloe

 

Buku I halaman 122:

“Ada seorang inlander yang mati

aah, tidak apa-apa. Tiap hari mereka tokh juga mati

apalagi mereka mati seperti tikus-tikus!”

 

Buku II halaman 440:

Kerja terus! Kau gila! Apa tidak tahu adat! Kau

kurang ajar? Jangan kurang ajar! Pergi! Diam!

Tutup mulut! Ayo, jangan tidur! Jangan omong!

Jangan tertawa! Jangan main gila sama saya!

Buru-buru! Lekas! Buka kau punya mata! Awas!

 

buku yang lain, halamannya di lubuk, belum tertulis

dan tercetak, atau malah sudah terobek, simpulannya:

di belakang iklan bir, minyak, rokok, teh dan tembakau,

kopi, baju-haji, afdruk-foto, dan kanak-kanak yang

memanjati tiang, serta wajah-garang-marsose, yang

selalu bergaya dengan sepatu botnya, darah bekisar pun

punya bahasa sendiri: “Entah-putih-entah-coklat!”

menegur tilas-tilas hantu pada sebuah waktu, di samping

pinggir-kebun-binatang:

“Kami tak menghasut, percayalah, Tuan, kami tak

menghasut!”

 

ya, lewat trem yang berkelonengan

si wanita-buruh-arloji itu pun dikawin si kopral yang

bertopi lebar, penutup kening yang bersurat:

“Ini sebenggol, ongkos makan, minum, tidur dan pukulan

untukmu!” Selanjutnya, siapa yang tahu,

jika kampung dibangun dari opium dan banjir?

Dan siapa yang tahu, jika kampung juga dibangun dari

bubur yang warna-warni?

 

“Hordah, yang mulutnya usil, lidahnya dipluntir!”

Gresik, 2003

 

 

HASYIM MEMBACA HIKAYATNYA

Hasyim membaca hikayatnya

suaranya seperti nyawa ombak

yang menguntit bayanganmu

 

dan suara Hasyim adalah pintu

bagi nyali-laut yang ganjil

yang akan mengangkuti ranjangmu

 

ranjang tempat kau mimpi

dan menyerahkan segenap semesta

yang telah kau simpan di benakmu

 

Hasyim memang setengah-gila

dia membaca juga memaksa, dan

sesekali menggugurkan hikayatnya

 

lalu berkata: “Dengan nama kalam,

semuanya tiba dan pergi, dengan

beras, pedang, matahari atau uang!”

 

dan Hasyim pun tahu, jika kau

terkejut, seperti kejut batang-leher

yang tersedak, batang-leher

 

yang cuma bisa merunduk, saat

kelenjar-api disiramkan

ke hari dan ke almanak mereka

 

atas nama yang lain dan yang lain

yang merangkak dengan berat

dan juga atas nama yang lain dan yang

 

lain lagi, yang mengajari siapa saja

menyeru lewat mulut yang santun

mulut yang makan dengan 33 kunyahan

 

mulut yang menyimpani

palawija, balai dan tanah-tanahan

ke dalam kantung-kantung

 

kantung-kantung yang cuma

bisa melungker, seperti melungkernya

kotoran-kotoran di jamban-pantai

 

“Kotoran hitam dan bau!”

kotoran hitam dan bau? Akh, Hasyim pun

ketawa, sambung hikayatnya:

 

“Alkisah, di pusar-dasar dan ceruk-badai,

pantat ibumu demikian besar, demikian

menguasai segenap arus dan hilir,”

 

dan 500 halaman hikayat pun tak

cukup untuk menulis dan menghafalnya

sebab ibumu cuma duduk sambil bersiul

 

ke arah ranjangmu yang terangkut itu

sedang di angkasa: “Berita, sepatu, bank,

semen dan pupukmu diterbangkannya,”

 

berarak seperti terhukum yang terusir

terhukum yang terantai dan berkelonengan

lewat sampan-sampan yang oleng

 

ya, Hasyim membaca dan terus membaca hikayatnya

suaranya pun terus seperti nyawa-ombak

yang menguntit bayanganmu:

 

“Dan setengah gila!”

Gresik, 2003

 

 

PETIKAN BUAT ADAM

Katakan tentang seseorang padaku

dan aku akan mengatakan padamu

tentang seseorang yang lain

yang telah menyimpan pikiran-jahatnya

lewat kantong-kantong di pinggulnya

dia ingin meniupkan wanita yang telah

membuat dosa dari kemandulan sel-telurnya

untuk dikawinkan di harimu:

 

“Apakah kau tak tahu, tak tahu?”

ya, pikiran-jahatnya tetaplah pikiran

itu bisa tersembunyi atau tampak menegas

dan seperti ketika kau menangkap kilat

dalam matamu, dalam nyalimu:

“Untuk apakah itu semua?”

untuk masa-kini ataukah masa-tuamu

yang selama kau berjalan, selalu terpekur

di antara dua pelupukmu yang mengantuk

yang seperti peristiwa sesaat

 

akan mengantarmu ke sebuah pemukiman-rawa

dengan pepohonan tanpa serabut, dan selalu

akan menabungi kegemetaranmu sendiri: “Sendirian:”

itulah yang aku kira milik-kita-berdua

pikiran-jahatnya yang selalu disimpannya itu

Gresik, 1997

 

 

TENTANG MARDI LUHUNG

Mardi Luhung, atau kerap disapa Hendry, lahir di Gresik, 5 Maret 1965, dari ayah orang Cina dan ibu orang Jawa. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Tahun 2006, Mardi Luhung mendapat Anugerah Seni/Budaya dari Gubernur Jawa Timur.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler