Skip to Content

PUISI-PUISI MOH. WAN ANWAR

Foto SIHALOHOLISTICK

DI RUANG TUNGGU

kita duduk berdua saja

kau tamu, aku tamu juga di sini

ke mana tuan rumah, tanyamu

 

lantas kita pun berkenalan

lewat bahasa yang tak kumengerti

meski aku paham isyarat sorot mata

dan kulit muka yang kelabu

 

kita sama-sama menatap ke luar jendela

di sana kemiskinan gemetar membuka taring-taringnya

kabut mencium kota. Kaca tiba-tiba basah

 

tapi tak ada Marx dan Engels di sini, katamu

ya, tak ada para buruh yang diramalkan itu

Bandung, 1993

 

 

LOKET-LOKET KOSONG

seperti tadi di kantor itu

loket-loket di stasiun ini kosong

cuma ada komputer, gundukan karcis

daftar harga dan pluit mengiang dalam kenangan

 

bangku-bangku peron termangu, rel menggigil

penanda arah menggantung sendirian

"halo ..." sapamu -- namun tak kaudapat jawaban

operator sibuk dan kabel-kabel

mengirim kalimat yang berulang

 

"halo ..." sapamu padaku karena kereta tak juga

tiba -- tapi sungguh aku terlanjur tahu

kau tak pernah benar-benar merindukanKu

Depok, 2001

 

 

 

KAU, LAUT, DAN KATA

di geladak sudah tercium kata-kata

anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang

kausebut hidup adalah perjudian dan entah siapa

entah di mana seseorang mengangguk

untuk yang tak terbaca

 

kau mengarungi lautan, dengan riang

menjemput yang akan datang. Kaukutuk masa silam

sambil merapikan rambut dan kenangan

kapal melaju, sunyi merambat jauh

ke palung-palung di batinmu

 

di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita

ke mana kau berlayar, ia akan mengantar

setia bersama waktu yang tak letih berkibar

di angkasa burung-burung terbakar

dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit

cakrawala menuju waktu, mengepungmu

sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir

 

tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu

berkesiur di tengah bakau dan buih ombak

hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya

menantimu ketika telah lenyap segala kata

 

dan aku -- tahukah kamu? -- akulah gurita itu

senja dan waktu yang kausebut sebagai kepulangan

Merak, 2001

 

 

KASIDAH LILIN

-- 27 mei

 

pada hari ini telah kaugenapkan hitungan napas

dengan iringan kasidah cahaya. Dua puluh tiga tahun

waktu dan cuaca menguji setiamu pada bumi

langit yang menciptakan musim dan cakrawala

aku harap kaupun menyala, meski angin teramat deras

menggempur pepohonan yang sedang khusuk ruku

di jiwamu. Meliuklah seperti para darwis

mengikuti loncatan irama dalam batin

seperti para penari yang bercakap dengan

gerak tubuhnya sendiri. Mabuklah bersama pengembara

menjelajahi ruang-ruang yang tak pernah terjangkau

pikiranmu. Dan pada detik-detik yang lambat ini

akan kauundang para malaikat untuk membasuh

rambut dan lumpur yang membaluri kulit tubuhmu

bersiaplah kau dari pedang yang tiba-tiba

membelah dadamu, menghapus bercak-bercak

hitam bersembunyi dalam lipatan-lipatan kalbu

dan ketika kautiup nyala api pada tubuhku

pahami: aku kekal menyala dalam kekosonganmu

Bandung, 1996

 

 

HARI-HARI YANG LEWAT

angin nyaris tak sempat menuliskan kata

bagi orang yang terbunuh di jalanan

sosok bayangan yang mengerang panjang

seperti sekarat daun-daun. Kita tak lagi bisa

berduka pada teriakan parau jalan raya

kecuali igauan yang menguap ke udara

 

dan sekarang hari seperti akan lewat

tanpa keluhan. Tanpa warna merah

di almanak dan upacara bendera setengah tiang

di kamar kita memang selalu berdekapan

menjilati seluruh perjalanan dan kenangan

 

di bawah lampu neon pinggir jalan

kutemukan diriku mengunyah kemuraman

kemuraman. Meraba jantung yang kian berdebar-debar

Bandung, 1993

 

 

SEBELUM SENJA SELESAI

di sebuah senja pertemuan kita, kaulekat kutatap

dari seluruh penjuru mata. Perlahan kau menurun

ke laut dan ikan-ikan memasang jaring

menjerat tubuh molekmu yang panas

di antara jeruji besi, rangka pinisi, dan tiang-tiang

kau kuintip dari kerimbunan rindu

-- sebuah pulau begitu saja tumbuh dari pelupukmu --

dan ketika sedikit kureguk kopi, kau balik mengintip

dari sela-sela pohon di pulau itu

seperti kata-kata selamat berpisah, cahayamu

merebak ke cakrawala bagai lukisan

memancarkan usia pelukisnya. Kupegang erat

pagar besi di sampingku setelah rokok dimatikan

berjalan ke sebuah sudut tempat sepasang remaja

-- dari dunia berbeda -- khusyuk menerjmahkan

nyala senyummu. Mungkin di dasar laut

kau malah berpeluk dengan gugusan karang

ketika kusadari kopi di meja mengubur waktu

-- sebenarnya aku tak biasa minum kopi --

mamang tak ada lagi yang perlu ditunggu

juga liku-liku jazz -- mengapa bukan losquin -- di kafe

sebelah sana, atau alunan adzan yang pada setiap baitnya

bersembunyi puisi -- tempat jantungku

memompakan kata-kata ke sekujur kepulanganku

Makasar, 2001

 

 

KITA AKAN SAMPAI PADA LANGIT

kita akan sampai pada langit

yang birunya menebalkan keangkuhan

kita akan membawa kabar percakapan tergesa

dari tanah yang mengepulkan asap hitam

 

kita akan selalu menuju waktu

walau segala gegas dilambatkan

kita akan menghitung setiap kelokan

menanam benih-benih keabadian

dan sibuk mencari satu pegangan

Bandung, 1992

 

 

LAGU BRAGA MALAM

dengan siapa lagi aku mesti bercakap

selain dengan hati sendiri. Atau jalan lengang

di antara bangunan angkuh yang berhadapan

saat selamat malam digumamkan. Sedang kau

tetap setia pada arah tuju yang entah, selain

doa dan mabuk yang jadi keyakinan

 

tapi aku akan belajar menumbuk luka

dari mercury dan hingar bingar aroma bir

yang menawan. Bukan dari omonganmu

tentang bocah lusuh di emper toko atau warna

kelaparan yang kecoklatan. Sebab aku sendiri

dan kau sendiri, barangkali. Kita tak pernah

berkenalan (deru mobil terdengar begitu jauh)

1993

 

 

MENANTIMU DI PINGGIR KOLAM

menantimu di sini, di belantara kota

di pinggir kolam yang tanpa teratai

air mancur mengguyuri nasib kita

udara yang kelam tiba-tiba mengepungku

-- seperti ada yang gemetar

di balik hamburan kata, di sela lengking serapah

di antara orang-orang yang berderet

letih dan nanar itu

: kau belum juga tiba

 

orang-orang menatap kosong seperti mata manekin

sendiri-sendiri, larut dalam jeda

setelah seharian hanyut dalam putaran roda

juga aku yang terselip di kisaran mereka

: kau masih belum juga tiba

 

demikianlah memang, rencana selalu larut dalam cuaca

seperti juga maut, mungkin

akan tiba tanpa aba-aba

 

menantimu di taman ini, sore semakin rahasia

dan ketika kau tiba, tahulah

sesuatu yang lain pun akan segera tiba

Jakarta, 2000

 

 

SELAIN SIA-SIA

selain sia-sia, adakah dosa tercatat di bentangan aspal

dan ketenteraman kebun belakang rumah kita

mungkin yang ada cuma kecemasan biasa

seperti sering ada sesuatu yang tak selesai

kita memang sudah terlalu fasih mengunyah butiran debu

aroma percakapan yang gagap atau bau diam yang demam

tapi kisah-kisah di jalanan memang selalu saja tak usai

dan cinta tak sampai-sampai

 

kita sudah terbiasa mengucapkan kata-kata lain

dari mata angin lain, bersama cinta lain

bahkan perasaan yang sama sekali lain

kita selalu setengah percaya, setengah tidak

seperti dalam mimpi, setengah tak berdaya

 

lalu kita tandai jarak dan luka yang tertera pada jejak

sambil membayangkan uban kelak tumbuh di kepala

kita bacai lagi nama gedung-gedung, kalimat pada spanduk

dan sisa pekik protes yang menggantung di angkasa

 

selain sia-sia, mungkin memang tak ada dosa

di antara kita. Cuma telah lama kita tak paham

ke mana sebenarnya kita sedang berjalan

Serang, 2000.

 

 

MEMBANGUN KOTA SUNYI

maafkan keputusanku, dik: hengkang dari kota gelisah

menyeret sisa-sisa pertemuan. Barangkali ada yang

berharga untuk kujadikan tiang-tiang kesaksian, bahwa

kita pernah bersama. Langit memang telah lama murung

ingin menumpahkan kekesalannya lewat hujan yang dahsyat

ingin menggiring penghuni bumi ke neraka yang paling

pengap, ke kedalaman samudera di mana ikan-ikan hiu

siap meniadakannya. Tapi aku hengkang bukan karena itu

 

bukan juga karenamu, dik. Aku ingin membangun kota sunyi

dari bongkahan perasan yang paling akhir, bukan dari

lempengan baja atau sisa-sisa plastik yang terbakar

di sana akan kusapa kenangan dan tangan penuh embun

akan kupelihara potret, sapu tangan dan bajumu

meski tanpa lemari dan harum parfum. Lantas suatu saat

kukirimkan surat padamu bahwa aku tak bisa melupakanmu

1993

 

BERTAMU DI KAMAR SUNYI

kubersihkan diri, kurapikan baju, bertamu

di kamar sunyi. Tapi tak ada Tuan rumah

yang tiap malam menggedor jantung, merobek

sarang rindu, mengoyakmoyakkan hati kering ini.

 

aku hanya bertemu kelam, kelam, dan kelam saja

sedang air mata telah jadi sungai perih

di sajadah yang melapuk. Mataku letih

menghamilkan rindu, dendam, cemburu, kecewa

dan sakit,  bertahun-tahun. Tangis dan sujud

menjadi fana, nyaris sia-sia

seperti surat-surat yang tak pernah kau balas itu

kekasih, bagaimanakah aku menggapaimu

dan Cahaya padaku menjelma?

Bandung-Cianjur, 1994/1995

 

 

TENTANG MOH. WAN ANWAR

Moh.Wan Anwar, lahir di Cianjur, tahun 1970. Kuliah di Bandung dan Jakarta, tinggal di Serang. Bersama kawan-kawannya mendirikan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) IKIP Bandung tahun 1991. Puisi, cerpen, dan eseinya dimuatkan di sejumlah koran dan majalah, antara lain: Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Bandung Pos, Suara Merdeka, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Karya, Koran Tempo, Jurnal Puisi, dan Majalah Horison. Buku yang ditulisnya: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut (2004), Kuntowijoyo dan Dunianya (akan terbit pertengahan 2006), dan Batas Kesetiaan (manuskrip siap terbit). Lulusan S-2 Ilmu Sastra UI ini sehari-hari mengajar di FKIP Univ. Negeri Sultan Ageng Tirtayasa dan sebagai redaktur majalah Horison. Penyair ini, setahu saya, telah hidup di alam lain. Alam di mana kita semua bakal menuju ke sana. Kumpulan puisi untuk mengenang penyair ini juga telah diterbitkan dengan judul: Berjalan ke Utara. Coba nanti dicek lagi di internet.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler