DI RUANG TUNGGU
kita duduk berdua saja
kau tamu, aku tamu juga di sini
ke mana tuan rumah, tanyamu
lantas kita pun berkenalan
lewat bahasa yang tak kumengerti
meski aku paham isyarat sorot mata
dan kulit muka yang kelabu
kita sama-sama menatap ke luar jendela
di sana kemiskinan gemetar membuka taring-taringnya
kabut mencium kota. Kaca tiba-tiba basah
tapi tak ada Marx dan Engels di sini, katamu
ya, tak ada para buruh yang diramalkan itu
Bandung, 1993
LOKET-LOKET KOSONG
seperti tadi di kantor itu
loket-loket di stasiun ini kosong
cuma ada komputer, gundukan karcis
daftar harga dan pluit mengiang dalam kenangan
bangku-bangku peron termangu, rel menggigil
penanda arah menggantung sendirian
"halo ..." sapamu -- namun tak kaudapat jawaban
operator sibuk dan kabel-kabel
mengirim kalimat yang berulang
"halo ..." sapamu padaku karena kereta tak juga
tiba -- tapi sungguh aku terlanjur tahu
kau tak pernah benar-benar merindukanKu
Depok, 2001
KAU, LAUT, DAN KATA
di geladak sudah tercium kata-kata
anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang
kausebut hidup adalah perjudian dan entah siapa
entah di mana seseorang mengangguk
untuk yang tak terbaca
kau mengarungi lautan, dengan riang
menjemput yang akan datang. Kaukutuk masa silam
sambil merapikan rambut dan kenangan
kapal melaju, sunyi merambat jauh
ke palung-palung di batinmu
di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita
ke mana kau berlayar, ia akan mengantar
setia bersama waktu yang tak letih berkibar
di angkasa burung-burung terbakar
dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit
cakrawala menuju waktu, mengepungmu
sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir
tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
berkesiur di tengah bakau dan buih ombak
hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
menantimu ketika telah lenyap segala kata
dan aku -- tahukah kamu? -- akulah gurita itu
senja dan waktu yang kausebut sebagai kepulangan
Merak, 2001
KASIDAH LILIN
-- 27 mei
pada hari ini telah kaugenapkan hitungan napas
dengan iringan kasidah cahaya. Dua puluh tiga tahun
waktu dan cuaca menguji setiamu pada bumi
langit yang menciptakan musim dan cakrawala
aku harap kaupun menyala, meski angin teramat deras
menggempur pepohonan yang sedang khusuk ruku
di jiwamu. Meliuklah seperti para darwis
mengikuti loncatan irama dalam batin
seperti para penari yang bercakap dengan
gerak tubuhnya sendiri. Mabuklah bersama pengembara
menjelajahi ruang-ruang yang tak pernah terjangkau
pikiranmu. Dan pada detik-detik yang lambat ini
akan kauundang para malaikat untuk membasuh
rambut dan lumpur yang membaluri kulit tubuhmu
bersiaplah kau dari pedang yang tiba-tiba
membelah dadamu, menghapus bercak-bercak
hitam bersembunyi dalam lipatan-lipatan kalbu
dan ketika kautiup nyala api pada tubuhku
pahami: aku kekal menyala dalam kekosonganmu
Bandung, 1996
HARI-HARI YANG LEWAT
angin nyaris tak sempat menuliskan kata
bagi orang yang terbunuh di jalanan
sosok bayangan yang mengerang panjang
seperti sekarat daun-daun. Kita tak lagi bisa
berduka pada teriakan parau jalan raya
kecuali igauan yang menguap ke udara
dan sekarang hari seperti akan lewat
tanpa keluhan. Tanpa warna merah
di almanak dan upacara bendera setengah tiang
di kamar kita memang selalu berdekapan
menjilati seluruh perjalanan dan kenangan
di bawah lampu neon pinggir jalan
kutemukan diriku mengunyah kemuraman
kemuraman. Meraba jantung yang kian berdebar-debar
Bandung, 1993
SEBELUM SENJA SELESAI
di sebuah senja pertemuan kita, kaulekat kutatap
dari seluruh penjuru mata. Perlahan kau menurun
ke laut dan ikan-ikan memasang jaring
menjerat tubuh molekmu yang panas
di antara jeruji besi, rangka pinisi, dan tiang-tiang
kau kuintip dari kerimbunan rindu
-- sebuah pulau begitu saja tumbuh dari pelupukmu --
dan ketika sedikit kureguk kopi, kau balik mengintip
dari sela-sela pohon di pulau itu
seperti kata-kata selamat berpisah, cahayamu
merebak ke cakrawala bagai lukisan
memancarkan usia pelukisnya. Kupegang erat
pagar besi di sampingku setelah rokok dimatikan
berjalan ke sebuah sudut tempat sepasang remaja
-- dari dunia berbeda -- khusyuk menerjmahkan
nyala senyummu. Mungkin di dasar laut
kau malah berpeluk dengan gugusan karang
ketika kusadari kopi di meja mengubur waktu
-- sebenarnya aku tak biasa minum kopi --
mamang tak ada lagi yang perlu ditunggu
juga liku-liku jazz -- mengapa bukan losquin -- di kafe
sebelah sana, atau alunan adzan yang pada setiap baitnya
bersembunyi puisi -- tempat jantungku
memompakan kata-kata ke sekujur kepulanganku
Makasar, 2001
KITA AKAN SAMPAI PADA LANGIT
kita akan sampai pada langit
yang birunya menebalkan keangkuhan
kita akan membawa kabar percakapan tergesa
dari tanah yang mengepulkan asap hitam
kita akan selalu menuju waktu
walau segala gegas dilambatkan
kita akan menghitung setiap kelokan
menanam benih-benih keabadian
dan sibuk mencari satu pegangan
Bandung, 1992
LAGU BRAGA MALAM
dengan siapa lagi aku mesti bercakap
selain dengan hati sendiri. Atau jalan lengang
di antara bangunan angkuh yang berhadapan
saat selamat malam digumamkan. Sedang kau
tetap setia pada arah tuju yang entah, selain
doa dan mabuk yang jadi keyakinan
tapi aku akan belajar menumbuk luka
dari mercury dan hingar bingar aroma bir
yang menawan. Bukan dari omonganmu
tentang bocah lusuh di emper toko atau warna
kelaparan yang kecoklatan. Sebab aku sendiri
dan kau sendiri, barangkali. Kita tak pernah
berkenalan (deru mobil terdengar begitu jauh)
1993
MENANTIMU DI PINGGIR KOLAM
menantimu di sini, di belantara kota
di pinggir kolam yang tanpa teratai
air mancur mengguyuri nasib kita
udara yang kelam tiba-tiba mengepungku
-- seperti ada yang gemetar
di balik hamburan kata, di sela lengking serapah
di antara orang-orang yang berderet
letih dan nanar itu
: kau belum juga tiba
orang-orang menatap kosong seperti mata manekin
sendiri-sendiri, larut dalam jeda
setelah seharian hanyut dalam putaran roda
juga aku yang terselip di kisaran mereka
: kau masih belum juga tiba
demikianlah memang, rencana selalu larut dalam cuaca
seperti juga maut, mungkin
akan tiba tanpa aba-aba
menantimu di taman ini, sore semakin rahasia
dan ketika kau tiba, tahulah
sesuatu yang lain pun akan segera tiba
Jakarta, 2000
SELAIN SIA-SIA
selain sia-sia, adakah dosa tercatat di bentangan aspal
dan ketenteraman kebun belakang rumah kita
mungkin yang ada cuma kecemasan biasa
seperti sering ada sesuatu yang tak selesai
kita memang sudah terlalu fasih mengunyah butiran debu
aroma percakapan yang gagap atau bau diam yang demam
tapi kisah-kisah di jalanan memang selalu saja tak usai
dan cinta tak sampai-sampai
kita sudah terbiasa mengucapkan kata-kata lain
dari mata angin lain, bersama cinta lain
bahkan perasaan yang sama sekali lain
kita selalu setengah percaya, setengah tidak
seperti dalam mimpi, setengah tak berdaya
lalu kita tandai jarak dan luka yang tertera pada jejak
sambil membayangkan uban kelak tumbuh di kepala
kita bacai lagi nama gedung-gedung, kalimat pada spanduk
dan sisa pekik protes yang menggantung di angkasa
selain sia-sia, mungkin memang tak ada dosa
di antara kita. Cuma telah lama kita tak paham
ke mana sebenarnya kita sedang berjalan
Serang, 2000.
MEMBANGUN KOTA SUNYI
maafkan keputusanku, dik: hengkang dari kota gelisah
menyeret sisa-sisa pertemuan. Barangkali ada yang
berharga untuk kujadikan tiang-tiang kesaksian, bahwa
kita pernah bersama. Langit memang telah lama murung
ingin menumpahkan kekesalannya lewat hujan yang dahsyat
ingin menggiring penghuni bumi ke neraka yang paling
pengap, ke kedalaman samudera di mana ikan-ikan hiu
siap meniadakannya. Tapi aku hengkang bukan karena itu
bukan juga karenamu, dik. Aku ingin membangun kota sunyi
dari bongkahan perasan yang paling akhir, bukan dari
lempengan baja atau sisa-sisa plastik yang terbakar
di sana akan kusapa kenangan dan tangan penuh embun
akan kupelihara potret, sapu tangan dan bajumu
meski tanpa lemari dan harum parfum. Lantas suatu saat
kukirimkan surat padamu bahwa aku tak bisa melupakanmu
1993
BERTAMU DI KAMAR SUNYI
kubersihkan diri, kurapikan baju, bertamu
di kamar sunyi. Tapi tak ada Tuan rumah
yang tiap malam menggedor jantung, merobek
sarang rindu, mengoyakmoyakkan hati kering ini.
aku hanya bertemu kelam, kelam, dan kelam saja
sedang air mata telah jadi sungai perih
di sajadah yang melapuk. Mataku letih
menghamilkan rindu, dendam, cemburu, kecewa
dan sakit, bertahun-tahun. Tangis dan sujud
menjadi fana, nyaris sia-sia
seperti surat-surat yang tak pernah kau balas itu
kekasih, bagaimanakah aku menggapaimu
dan Cahaya padaku menjelma?
Bandung-Cianjur, 1994/1995
TENTANG MOH. WAN ANWAR
Moh.Wan Anwar, lahir di Cianjur, tahun 1970. Kuliah di Bandung dan Jakarta, tinggal di Serang. Bersama kawan-kawannya mendirikan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) IKIP Bandung tahun 1991. Puisi, cerpen, dan eseinya dimuatkan di sejumlah koran dan majalah, antara lain: Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Bandung Pos, Suara Merdeka, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Karya, Koran Tempo, Jurnal Puisi, dan Majalah Horison. Buku yang ditulisnya: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut (2004), Kuntowijoyo dan Dunianya (akan terbit pertengahan 2006), dan Batas Kesetiaan (manuskrip siap terbit). Lulusan S-2 Ilmu Sastra UI ini sehari-hari mengajar di FKIP Univ. Negeri Sultan Ageng Tirtayasa dan sebagai redaktur majalah Horison. Penyair ini, setahu saya, telah hidup di alam lain. Alam di mana kita semua bakal menuju ke sana. Kumpulan puisi untuk mengenang penyair ini juga telah diterbitkan dengan judul: Berjalan ke Utara. Coba nanti dicek lagi di internet.
Tulis komentar baru