Skip to Content

PUISI-PUISI NIRWAN DEWANTO

Foto SIHALOHOLISTICK

APEL DAN ROTI

Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari

Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu

Menatap merah yang selalu padam itu.

 

Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung

Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti

Sebelum mencapai putih yang menyala itu.

 

Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah

Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan

Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku.

 

Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar

Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir

Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu.

 

Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata

Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama

Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu

 

Di luas meja yang telanjur basah oleh umpama itu

Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu

Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali.

(2009)

 

 

LAZAR

Jangan renggut kematian dariku,

Aku tengah berusaha memilikinya.

Tolong tutup lagi pintu mausoleum ini,

Sebab terang di luar sana hanya milikmu.

Pasti kudengar langkah kakimu ke mari.

(Kau belum pernah melayatku, bukan?)

Namun jika aku mampu bangkit bahkan

Dalam kafan yang mulai terasa sejuk ini,

Yeshua, bukanlah aku juru selamatmu.

(2010)

 

TULISAN PADA NISAN

Kuucapkan selamat tinggal kepadanya,

Meski aku tetap terjatuh ke haribaannya.

 

Kukenakan pakaian panjang putih. Supaya ia

Leluasa menodaiku. Mungkin menghitamkanku.

 

Masih ada bercak darah kubawa, ternyata.

Ia berkata seseorang menembakku di Gaza.

 

Ia bertanya kenapa aku bergegas ke mari.

Kujawab tidak. Sudah kulupakan matahari,

 

Sebab terang bukan milikku dan percayalah

Namaku telanjur terpahat di batu gamping ini.

 

Ia bumi, bukan? Aku belajar mencintainya

Ketika kalian berebut wajahnya nun di atasku.

(2010)

 

 

SETIAP TENGAH MALAM

Setiap tengah malam, bunyi serunai kereta api pengangkut batubara

Mendesak gendang telinganya. Tengah malam ketika ia merasa mesti

Menginum segelas susu, sebelum menyelamatkan ke dalam mimpinya—

Menyelamatkan, misalnya, warna merah pangkal sayap burunghitam

Atau ceceran darah rakun yang mati terlindas sia-sia di jalan raya –

Sudah tiga musim begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan

Rangkaian gerbong terbuka yang merayap sopan itu melewati depan

Ataukah belakang rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia.

(2009)

 

 

KUINTET

Namaku piano, dan bebilahku lelah oleh jemarimu.

Namaku klarinet, dan mulutku mencurigai mulutmu.

Aku teramat haus, tapi telingamu hanya menatapku.

Baiklah, di bawah sorot lampu akan kupuja sepatumu.

 

Di depan kita, mereka yang hanya membawa bola mata

Mengira kita pasangan yang serasi meninggi menari.

Tapi namaku biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.

Dan kau masih hijau, masih menghapal khazanah lagu.

 

Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba

Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu.

Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian.

 

Mereka memacuku ke puncak penuh karangan kembang.

Maka namaku masih marimba, dan kuseret kau ke danau.

Di mana si komponis buta rajin mencuci telinga mereka.

(2009)

 

 

JALAN KE VIGNOLE

Berjam-jam (tidak, barangkali juga berabad-abad)

Aku dan kaum jemaat itu sabar menunggu di Giudecca

Si tukang perahu yang akan mendamparkan kami

Ke sebuah pulau yang dilahirkan matahari

 

Pastilah ia akan benar-benar serupa

Dengan si pemberontak yang dihukum mati

Di Golgotha, ketika umurnya baru 33. (Tetapi

Ia bangkit pada hari ketiga.) ”Tak ada

Pendayung ulung serupa itu di sini,”

Kata seorang lelaki berkuda, angkuh

Dan beku dalam baju zirahnya

Berabad-abad, seakan pasukan Turki

Akan selalu menyerbu ke mari. Dan jawabku:

“Colleoni, kamilah para penyerbu terkini

Tapi kami tak membunuh pulau-pulaumu.”

 

Ya, aku telah membinasakan barisan mobil

Pakaian seragam, jalanan aspal, kitiran besi.

Kepalaku penuh abu, embun dan maut

Ketika aku terbangun di bawah pohon palma

Di dunia yang baru saja ditorehkan Carpaccio:

aku pun bangkit bersama iringan jemaat berjubah

(Yang baru saja menguburkan Santo Jarome)

Merayap di lelurung berbau kemih anjing

Muntah di teras lapang aneka basilika

Dengan tubuh hijau lebam kami rubuh lagi

Di antara meja-kursi di Paizza San Marco

Dan seekor singa bersayap menggeram:

”Pergilah kalian para pemabuk jahanam,

Bertobatlah hanya sebelum tiba malam.”

 

Maka terdamparlah kami di muara amis itu:

“Persetan dengan si tukang perahu!”

Tapi sebuah perahu besar tiba-tiba

Merenggutkan kami dari kabut muram lena.

Melewati pekuburan yang dilindungi ombak

Kami terhadang hantu Pound dan Stravinsky

Padahal sudah lama kami membenci musik dan puisi

Yang pasti bukan bagian dari penyelamatan kami

Yang cuma hiburan jika kami sampai di neraka nanti.

 

Musim semi menggosok tangan kami

Yang perlahan terlihat seperti sayap

Tidak, sungguh kami tak ingin terbang,

Kami tak pernah bersekutu dengan Gabriel,

Kami suka mengukur laut dengan jengkalan.

”Pesiarkah, atau pembuangankah ini?”

Tanya dua belas orang di antara kami

Yang tiba-tiba mirip serdadu Roma, seraya

Mengeluarkan palu dan paku dari saku

 

Kami akan segera sampai di pulau matahari itu

Untuk menghajar berpiring ikan mentah

Dengan baluran minyak zaitun dan cuka

Dengan roti gandum coklat dan anggur merah tua.

Kemudian di anatra rerumpun asparaga

Kami akan memilih perawan paling murni

Untuk berlama-lama mendoakan kami

Agar kami segera menemukan pemberontak itu

Yang kukira menyamar sebagai si tukang perahu.

Padahal ia bekerja sebagai koki di restoran tujuan kami:

 

Pastilah ia tengah melubangi kedua telapak tangannya

Dan mengucurkan darahnya ke hidangan siang kami.

(1994)

 

 

TENTANG NIRWAN DEWANTO

Menjalani masa kanak dan remaja di Banyuwangi dan Jember (jawa Timur), merampungkan pendidikan terakhir di Bandung dan kini bermukim di Jakarta. Selain penulis puisi dan esai, ia juga editor sastra dan kurator seni. Bukunya, Senjakala Kebudayaan (esai, 1994) dan Jantung Lebah Madu (puisi, 2008) yang beroleh Hadiah Sastra Khatulistiwa.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler