Skip to Content

PUISI-PUISI NUR WAHIDA IDRIS

Foto SIHALOHOLISTICK

AKU SEDANG TIDAK MELUDAHI DIRI SENDIRI

aku sedang tidak meludahi diri sendiri!

bila langit berubah perangai

di mana kakiku mesti berjejak

agar tanah tak salah tuju

mengalirkan mata air

 

aku hanya tahu musim tak berkaki

menawan angin dalam tubuhku

biar jinak kehendak sendiri oleh waktu

yang tak tentu mengubah wujudnya di mulutku

 

si kucing liar! serumu

sambil mengeong di ujung lidahku

lalu melompat geram di jejak kaki

mengendus langkahku yang pincang

 

aku sedang tidak meludahi diri sendiri

kaislah bau tubuhku

bagai kutuk abadi di jalan kini dan masa lalu

yang terus menanti

Yogya, Oktober 2003

 

PENARI

: desak putu kari

 

memang akhirnya kami kembali

dan berkumpul di carangsari...

 

tubuh penariku

melemparkan bunga tumbal

ke asap dan air yang berpusar

di dasar takdir aku menari

kuserahkan kaki dan tangan ke dalam ruhmu

tapi mata dan ruh yang bergerak

menemu senyap cahaya di rahimku

 

duh ratu,

gending tangis anak-anak berdesingan

menabuh gamelan di ubun-ubun merah

dikeraskan darah kering ayah mereka

sedang aku,

terus berpusar di tarian maut ini!

 

aku ibu yang menari tanpa bunga dan air suci

bintang-bintang yang sembunyi

di lelap mata anakku

memercik duri-duri cahaya

membakar mahkota bunga

di kening mereka

 

di carangsari...

memang akhirnya kita bertemu

 

langit memutih

membuat bayangan menjadi abu

darah menggenang di kening berlubang

dan hari-hari menguning di pelukan kami

miri-sawit, juli 2004

 

KHOTBAH

riwayat dosa selalu menguntit

keingintahuan yang ragu

mengekalkan ketidaktahuanku

 

jumat kekal di hari-hari naif

buah tangan matang

sebelum kupersembahkan

buat makan malamku yang sendiri

mengunyah mimpi manisku

 

kenyataan di sekitarku redup

di mata orang-orang merajah bintang

dan sebak nafasnya

melicinkan lidah, senyap gerit di perutku

 

wahai bayang di cermin

yang lantas tak berwajah

gairah disucikan untuk tak meraba

berikan seteguk madu

untuk orang-orang suci melenggang

di jalanku yang sesat

miri-sawit, november 2005

 

TURUN DARI DIENG

ketika malam naik

kami turun dari dieng

jurang-jurang benderang

tapi tatahan di batu berlumut

mengirim kabut ke lembah-lembah

 

kami lupakan asap dupa

yang mengeraskan altar

terusir dari dataran dingin penjinak kabut

dan bersitegang dengan maut

 

kami berlima bagai segerombolan

makhluk ganjil yang naas

saut moksa di tikungan

tan, dal, dan juha

sepanjang jalan tak henti meniup dupa

dan bunga yang berguguran

 

di batas jalan yang dikeramatkan

kami hentakkan kaki yang membatu

dan sebagian keropos

tersentaklah ruh para pendeta

yang terikat di pohon-pohon

candi-candi melayang

bersama saut yang menjelma jadi pendeta

dan mantra-mantra tertatah

di batu lontaran lahar dan kata-kata

banjarnegara-sawit, 2004-2005

 

KEINGINAN

aku biarkan diriku

menemuimu petang ini

kubiarkan musuh-musuh dalam diriku

menggiring kuda-kudanya

ke padang rumput berwarna merah

                - cahaya mataku yang merana

                                dan udara bergetar di atas rumputan

 

kau mungkin mengenang

lambaian tangan dan pesan-pesan

agar berkabar setelah sampai tujuan,

lalu aku mengenang kelam jalan-jalan

 

adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku

                yang kehilangan

                dan selalu berhasrat menghukumku?

 

kau menemuiku bagai cahaya yang melesat

seketika alam di sekitarku padam

aku telah kehilangan waktu

untuk abai padamu

miri-sawit, juni 2005

 

AROMA KOPI DI KENING IBU

aroma kopi mengingatkanku pada kening ibu

menyangrai biji matanya, bagi hidupku yang terus nyala

pecah biji pelupuk

jadi arang menisik bibir ibu

biar diam segala cecap

lalu batu membungkus diri di lidahku

 

aroma dan angin saling meminang

biarkan aku tumbuh di keras keningmu

biar kucecap setiap ingatan sampai ke lubuk

lesung hitam kening ibu, menggerus ujung aluku

bertubi-tubi berhasrat sempurnakan jalan panjang kini

yang tak kutahu berujung di telunjukmu

 

ayak, ayaklah kini darah yang mengental

di simpang tubuhku

pilih, ibu, pilihlah kalimat sakit di kubur tidurku

biar pecah biji kopi di gelas piala

dan waktuku

pelupukmu yang terus berjaga

miri-sawit, oktober 2003

 

LOLOAN

apa yang dapat kukenang

dari kampung halaman

ayah yang murung di kamar

atau lambaian kain ibu

mengipas angin menarik layar

 

kampung kian mengecil

terhapus ombak di gigir sampan

ke mana tangis yang tadi beriak di antara kami

ah, hanyalah sekelebat bagian

yang minta jadi kenangan

 

kenangan hanya milik ayah dan para lelaki

 

kampungku tak pernah terasing

di negeri asing yang mengurungnya

dan kami bagai anak piatu

tak sempat mengenal suara ibu

 

senandung buaian selalu kami cari dari negeri yang jauh

dari pemilik ranah beribu

dan kami pun terbuai

bagai tangan kasih mengusap-usap keletihan

dari jejak diri yang mengabur

 

lalu aku meminjam senandung-senandung itu

bagai milikku sendiri

peninggalan nenek-moyang kami

yang saling bertukar tempat dan bersilang turunan

 

dan kubayangkan suara ibu bersenandung pelan

mendongengkan asal-usul leluhur dan tersebab kelahiranku

ah, kenangan

mengajakku menemui ibu

 

di maha luas gelombang yang saling bertepuk

dapatkah kucari kenangan tentang kampung halaman

yang tak lagi yatim-piatu

yogya, 2003

 

STATELESS

hidup takkan pernah aman

kapan dan di mana pun

selamanya terancam bahaya

(umbu landu paranggi)

 

telah kupijak tanah subur

bagi sejarah kematianku

 

langit biru cerah

secerah warna biru kertas surat cinta

pertama dari kekasih

orang-orang berwajah kehijauan menyambutku

seperti kartu hijau yang kini menyidikku

 

dari mana asalku,

mengapa aku tiba di sini,

ke mana aku menuju,

apa saja kehendakku?

 

isi koperku

menyerap seribu wujud maut di setiap pintu

sapaan penjaga, petugas periksa dan alat rekam

bagi jalan-jalan gelap di tubuhku

lampu-lampu putus, kata-kata tanpa kartu,

jalan masuk tak tertera, tanpa surat jalan

 

di mana pun hidup

tak kan pernah aman,

satu masa memihak

lain tempat menolak

 

di mana pun berpijak

aksenku bersiap jadi tajuk interogasi

meretas garis edar sidik jari

ribuan mata menyamun wajah asingku

bahkan seekor lalat yang hinggap di pipi

menduga-duga aroma pa yang tercium

 

sebuah ruang transit

garis lingkar demarkasi

terus mengecil, setiap kusebut nama,

tujuan dan keinginan

menjadi kolam kutukan

yang bertahun mencelup kakiku

benda-benda sekeliling mencair

membuat air meluap jadi danau

menjadi lautan, sepi sekeliling ...

 

tapi jarak pandang hanya sebatas lengkung bumi

kapal-kapal besar, layar-layar megah

dan kibaran bendera bermunculan

lebih dalam tercelup ke punggung laut

menandai batas jalan air yang tak tersentuh tanganku

 

gerak gelombang memunculkan hurup-hurup

dari arus kecemasan, kekuasaan

kapalku hanya tinta yang memercik dari hurup-hurup itu

nama-nama mengambang di permukaan laut

dan berkibaran di ujung tiang kapal

menyeru arah mata angin – sebagian dari napas

yang kuhembuskan

 

laut dan daratan sama saja

kapal ditenggelamkan agar tak mencapai daratan

dan langit yang kupuja

imajinasi tersekat bayang-bayang diri yang menakutkan

 

kapan dan di mana pun

selalu dihadang bahaya,

maka kuikhlaskan tubuh ini

tak aman bagi setiap tanah

bagi setiap pijakan

 

kutolak bumi dan langit untuk yang fana

tapi setiap ingatan yang kumau dalam pikiranmu

menjadi tanah wakaf bagi hakekatku

miri-sawit, 2006 – maret 2008

 

BULAN KETUJUH

: chit ngiat pan

 

tiga ekor kerbau menyisir kota

tepat ketika malam sirap dalam gelap

mengintai lima palung sarang rangrang

 

yang ganjil

cahaya takluk di punggung legam

tiga pengintai, seekor bertanduk

mengendus hijau lalang, lebat miang

bagi arwah yang sedih

pulang tak berumah

gairah ranum tak berdaun

 

yang jalang lecut maut

mengubah jalan-jalan jadi sungai

gedung dan ruko-ruko mengambang bagai sampan

mengalir ke muara api ...

 

lima palung sarang rangrang

mengulum kabut bagi mula cahaya

memasang perangkap untuk maut

yang lengah menakar nasib

abai mata angin

dan hilang rasa pada waktu

 

aku sebuah palung

yang memasang jerat tujuh lubang rahasia

bagi mata nujum yang menjarah doa suci

walau lingkaran bulan makin ganjil

denyar cahaya menyepuh kata pahit

dan janji maut tak sanggup terucapkan

 

tiga ekor kerbau

menikung jalan ke arah kuil

mengarak rangrang sepenuh jalan kota

ke makam leluhur yang setengah hati

kuberi penghormatan

 

kini, cahaya bulan sepenggal

menjauh dari kota

menyihir yang tersedu jadi serbuk kayu

mengalir ke sungai-sungai dangkal

belinyu-sawit, agustus 2006

Chit ngiat pan adalah sembahyang arwah yang dilakukan di rumah masing-masing oleh masyarakat tionghoa, pada bulan ke tujuh hitungan tahun cina

 

KETUGTUG

 

ketugtug, kampung hulu

kudengar sumur-sumur mulai dangkal

dan gemerincing uang logam

jadi hiasan kalung bidak catur

 

kampung hulu, derak gerobak perempuan yang berjaga

bunda malam yang riang dalam rinai

mengelus embun dengan syahdu

 

kini kudengar lagi jerit yang menggeretak

akar bambu terbakar, sungai lenyap dalam semalam

kampung ditinggalkan buaiannya

yang hendak menyelam rindu

ke mana pergi?

jembatan rubuh

hawa angin bersisik peluh

apakah hujan hendak berkabar?

 

sementara aku di sini

menunggu gerak angin

memulihkan mainan kenangan

berlayar di lautan daun musim gugur

menghalau gigil perahuku

menggapai tepi

miri-sawit, 2000

 

TENTANG NUR WAHIDA IDRIS

Nur Wahida Idris lahir di Ketugtug, Loloan, Negara, Bali, 28 April 1976. puisi-puisi awalnya banyak muncul di rubrik “Apresiasi” Bali Post Minggu, di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi (1994-2000). Tahun 1998 hijarah ke Yogyakarta, aktif di Komunitas Rumahlebah dan AKAR Indonesia. Menyelesaikan studi di jurusan kriya/tekstil, fakultas seni rupa , ISI Yogyakarta, 2007. puisinya dipublikasikan al Koran Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Bernas, majalah Horison, dll. 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler