Skip to Content

PUISI-PUISI PRANITA DEWI

Foto SIHALOHOLISTICK

SUATU HARI DI SUATU SENJA
: bagi Jengki

Suatu hari
di suatu senja
kau tahu di mana bayang kita
akan tiba

Gagak-gagak melengking pilu
seperti ingin mencari
rumah untuk pulang
istirahat dan tenggelam
pada diri yang asing

Aku asing pada hidupku sendiri
tak ada lagi bintang
yang kita lihat dulu
dan berharap cahaya
yang tak tertutup itu
adalah nujuman bagi kita

Segelas tuak
kita teguk
untuk hidup yang sia-sia

Kemana mimpi pergi
di mana bayang ibu
yang dulu kau sebut itu

Seteguk tuak
seperti membawamu kembali
bagai bocah
menatap bintang
dari balik cahaya kelereng biru
lalu kau tahu
bahwa bintang
sebenarnya tak punya cahaya
kecuali biru
dalam mata bocahmu

Suatu hari
di suatu senja
kau akan mengajakku pergi
membangun mimpi-mimpi
jadi puisi
yang kita gali bersama

Sejauh ombak yang datang
mata nelayan yang nyisakan kegundahan
kemalangan
ia tahu akan tiba

Kau tahu
bintang-bintang itu
tak lagi punya cahaya
selain abu di langit
yang tampak ragu
tenggelamkan senja
yang kita kejar
dari Denpasar
hingga ke kuta

Suatu waktu
di hari yang seperti senja
kita akan tiba
kembali
menjelma bayang bocah
penggali mimpi
atau apa saja
tapi kau lebih memilih
tuak
ketimbang bintang
nujuman kita.

SAJAK CINTA  

sempat pula kumerenung
jika suatu nanti angin mendung
tak lagi berkabung
kita bersuami instri
di sisi kita ada cinta

rumah kecil kita
walau gubug reyot
tapi ada cinta
tempat tidur dipan kita
walau keras
namun ada cinta
lantai tanah kita
walau kasar
tetap ada cinta

kita tak punya tv berwarna
masih kita punya cinta
kita mewarna dalam cinta
sebab kita tumbuh dari cinta
cinta untuk bercinta
mawar sudah tak lagi dijamah
edelweis di sebelah kita merekah
di halaman cinta kita
hati kita diteduhi cinta
kita tak habis mencinta

2003

 

NGABEN

1.

Hanya ada nyala, nyala, dan nyala

serta senja yang karam perlahan

di garis laut yang jauh: di sana,

matahari, lentera kekal itu, setia

menunggu abuku

Hidup yang baru saja kuakhiri akan menjadi

seperti mimpi yang selalu terlupakan

di pagi hari.

Kini kubiarkan jasadku bermukim di semesta

dan kutinggalkan semua, wahai kalian kawan

seperjalanan.

2.

Terberkatilah semua yang dikira orang mati!

Lihatlah,

mayat yang terbahak ini

tergeletak serupa batu cadas,

sendiri dan abai, hanya memandang ke atas

dan tak sekalipun mengerdip.

3.

Tulang belulangku, kawan setia semasa hidup dulu,

betapa lega mayat ini menuju keluluhannya

Sebab telah kuterima persembahan tanpa mata dan

telinga: ulat-ulat ulung ini.

kini galilah kenanganku dengan

mantra, wahai engkau yang gemar

hidup, dan katakan

padaku apa masih ada siksaan

bagi jasad muda begini?

4.

Sebab ini kali aku belum akan moksa: api

akan meyakinkan bahwa aku masih fana.

Kini mesti kukembalikan tubuh pinjaman

yang compang-camping ini

kepada abu dan debu.

2010-2011


HUJAN

Di luar, hujan memaku kota,

deret bangku, taman-taman rahasia

yang kini tinggal jadi impian

Siapa berkisah tentang angin yang semalam cuma mampir

bertiupan, mendesah dan hilang sejenak

lalu menerpa dan menghampiri kita?

Sampai batas dan usiaku tiba di gerbang kayu

menunggu seorang penyihir datang

dan membukakan peta kematianku

Di mata penyihir itu

ada bola yang seperti lampu

merah, kuning, menyala

cerita terbuka

pada batang kayu

Hidup tak cuma bergegas pilu

sebab aku masih mampu

menyimpan sesuatu di balik kantung baju

tempat persembunyian rahasia

selembar surat cinta tua,

sajak-sajak buruk, balada,

juga kematian

tak ada yang begitu panjang

seperti hari-hari yang lumpuh itu

dan penyihir itu datang

membukakan peta kematianku

ia membelaiku, menciumi jari-jariku

sebelum semuanya jadi putih dan layu.

2011

 

BARUNA
baruna tiba
mengemas laut untukku

berkali aku meminta gelombang mengawiniku
tapi tanganmu hanya melengkung mabuk
guratkan pasir
tuntaskan buih di ceruk tubuhku

lalu kita bercumbu tak jemu
senja selalu samarkan bayangmu
tapi aku masih mampu mencium wangi garam di tubuhmu
yang memndam kupu-kupu

baruma kita pernah bercumbu
dalam kepungan wangi garam
hingga selaputku koyak oleh ombakmu yang bergulung
dan cerukku membuncah penuh buih
kenanglah! kenanglah!

kau tiba
dengan kereta kencana
seribu kupu-kupu mengitari tubuhmu
namun aku hanya kupu-kupu biru
yang terlanjur suka bercumbu

kini aku menagih janji gelombang
mengawiniku dalam pesta gangang
tapi kelahiranmu hanya cangkang kerang
rapuh dan telanjang...

SEBARIS LAGI KEKASIH
aku pejam mata
kau mengintip ke kaca
aku julurkan lidah
ah, kau juga terperangkap basah
mana rambut ikalmu, ini tanganku
itu bayangan kita

antara lenguh tamu dan dingin lobi
kusisipkan bayangmu
kekasih cumbui aku seperti
percintaanmu yang tak selesai
pada puisi...

kusibakan pula mimpi-mimpi kita
seperti mengangmu pada gerimis pertama
ah, sayang mengapa tubuhmu
begitu sempurna dinujum waktu

dari rahimku puisi menetas
bagai jarum-jarum air di luar jendela
lihatlah lelaki, mari dekatkan diri
untuk sesaat jadi api
api yang membuncah
dii tubuhku yang bergairah...

sebaris lagi kekasih, sebaris lagi!
di situlah kutemukan ujung gerimis;
kelaminmu, kemarauku...

dan kita adalah halaman baru itu kekasih
dan kita mencari ke mana arah ingin
kita lupa waktu yang kandas di jendela
sebab birahi yang rekah,
kelaminmu yang basah...
2007

 


=============
Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa liris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal BlockNot Poetry, dan Jurnal Sundih. Sering menjadi juara lomba baca dan menulis puisi. Kumpulan puisinya “Pelacur Para Dewa” terbitan Komunitas Bambu, 2006. Kini ia aktif bergiat dalam Komunitas KembangLalang, Denpasar.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler