Skip to Content

PUISI-PUISI RAYANI SRIWIDODO

Foto SIHALOHOLISTICK

PERCAKAPAN HAWA DAN MARIA

Tangkaplah cahaya dari Timur

yang tak hanya menerangi sekelompok gua

perkampungan orang-orang tertutup

 

Tangkaplah cahaya dari Timur

saat sebelum meleleh jadi kurun-kurun peradaban

yang telah membelukar dengan kegelapan

yang ditimbulkan bayang-bayangnya sendiri

dalam satu perut kemanusiawian yang rakus

 

Bukan kabar gembira, hanya cahaya

menerobos kata sejuta ayat dari sekian Alkitab

saat lebur kita

dalam cipta tunggal-Nya

: Sang Manusia

  dengan piramid naluriahnya :

 

               demi .........

benci                                                                  cinta

 

kafilah dari seperjalanan abadi di pusar hasrat

sang pendaki piramid yang terjerat

 

Sementara bumi berbungkus kelam kabut

pada hari pertama penciptaan

sebelum menggeriapi jagad

yang dalam jebak rajutan dosa awal

yang memberi sandang

dari ketelanjangan hampa arti

dari sekedar anak bawang surgawi

 

Saat sang akan yang liat

belum menggeliat

miripkah itu malam larut jam nol

panah waktu tersesat ke planit asing

tak lagi hadir di tik-tak jam

 

Hawa dan Maria

dua nama utama bunda Sang Manusia

 

“Kalau saja ditanya oleh penguji 'bebas G30S'

+ Agama apa, saudari Hawa ?

-  Lho, bahkan dengan Tuhan ku sudah bertatap muka

   saling sapa

   dulu (suaranya menajam)

   di sorga (desis seseorang yang terkenang)

 

Lain Maria yang akan lembut menyahut :

- Kuikuti Yesus, kucemaskan

   Meskipun dibiarkannya aku di luar menunggu *1

   menyebut murid-muridnya sebagai saudara dan ibu

   oh, agamaku?

   Ketika di Antiochia orang menyebutnya ‘Kristen’

   aku entah di mana *2

 

Jam nol pun membeku

bagai bola salju

 

Bergelung dalam selimut pukau

lipurkan tidur semesta yang risau

sementara Hawa, bagai memburu kupu-kupu

meloncati gugus demi gugus batu

mendaki ria

melipat kening Maria

 

Adegan berikut:

tiba-tiba Hawa seperti tersandung

bertumpu pada akar mencuat

ditunggunya belukar di depan terkuak

bukan semilir angin tapi sepasang mata lapar

 

Dengan ketenangan yang agung

Hawa membelainya, lewat ucapan :

            “Serigala buta

            tak kau lihatkah bahwa aku kini

bukan lagi sepotong tulang?”

 

Seakan ganti berujar:

“Dibanding dengan ular

serigala tak lebih layak jadi aktor

dalam drama maha agung itu,"

 

mata itu mengecil

mengibas-ngibaskan ekor, pergi

mengelak ruji

 

Sungguh, teruskan tidur

teruskan!

 

Bila jutaan resah hening dalam seuntai doa

sementara di rel yang basah

ada leher diletakkan

 

Bila berlangsung cinta berkeringat ‘aduh’

di belakang dinding kelam

sementara si pungguk menikam dada Venus penuh dendam

 

Bila di bawah ranjang Mao

dokumen diselundupkan Chiang Ching

sementara dalam baju kabung

diselipkan keris Mpu Gandring

 

Ketika Adam agaknya takkan kunjung kembali

bila memburu sang ular yang terluput

karena begitu bergegas cuci tangan

di air dosa ‘perempuan yang telah *3

Tuhan karuniakan kepadaku itu

yang memberikan daku

buah pohon itu’

- perempuan yang ketika sepi

begitu ia dambakan

sebagai ‘seorang penolong yang sejodoh’ *4

 

Maka

Hawa sedang tegak nun di puncak bukit itu

memilih bahasa keanggunan

menatap tajam Maria yang kini nengadah depan pondoknya

siap menadah butir-butir kata terlontar

menyambut percakapan yang kekal terbengkalai

 

Hawa:  Aku

titik mekar

bunga-bunga, putik lalu buah

buah-buah, sampai kelak pun bibit menebar di tanah

aneka nama ketika firman kusimak

bagai menghirup udara

pada paru hampa

 

Bibit itu, kiranya, sebentuk jantung

kamar ganda dalam ruang tunggal

sang buruk dan sang baik

: Maria

bunda si patron kasih, alangkah anggun engkau

bagai menara yang cuat di sela rimbun

cinta, namun langkah insani semua kurun

memperdengarkan denyut nadi serupa

kaya nuansa, hanya

 

Maria

siapakah yang membasuh cermin

lewat kainku - yang dalam cengkeraman

cakar cemburu

memperkenalkan darah

sebagai bahasa gugah

 

lewat habelku - si layu bunga plastik

di atas bara

demi sang buruk dan sang baik

Betapa tidak, Maria

isa telah membunuh rasa benci

kasihnya berlumur darah kain-kainku

Dapatkah engkau jadi penimba yang mampir

memisah air hulu dalam air hilir?

 

Maria: Dalam tanyamu, tanyaku juga

dalam tanya kita, tanya mereka iuga

sepasang ibu: andai bersalin dari satu rahim jam nol

jangan menyiratkan ingatan tentang

yang tersisih dan yang terkasih, bundaku Hawa

jangan mempertanyakan yang korban

: sekedar uri-uri mengiringkan kelahiran

 

Ketika rusuk Adam membelah

menjelmalah Hawa

karena menyaratkan keadaman menjelma

untuk apa sang ular akan melingkarkan peran

untuk siapa buah terlarang akan membibitkan ajaran

tentang ketidak-abadian manusia

demi bagaimana keabadian-Nya

sebab apa firdaus tersebut ada begitu saja

bagai ada-Nya

 

bila bukan untuk bermulanya

sepasang mahluk ke dunia

untuk ada begitu urut dengan kurnia

 

Atau bila katamu:

tegaklah lurus di luar piguramu

ku tegak lurus di luar bingkaiku

ambilkan pena dengan tinta darah

mari mengukur panjang bayang-bayang

 

Kataku:

bagaimana mungkin kita pastikan

sedang kita berada dalam kegelapan

hanya tampak ketika beban telah diemban?

 

Bola mulus itu telah menggelinding

tanpa lekuk rahasia

maka sekian bocah kita

yang adam hingga yang muhammad,

bagaimana gerangan

mencari, apa lagi menentukan, jejak masuknya

ke dalam

sementara tetap berdenyut juga jantung

sang kamar ganda dalam ruang tunggal

tik-tak

bukan ruh, yang lugu

tapi kehendaklah yang dipertanyakan itu

penebusan yang kehilangan tidak, dan sebaliknya

menjelmakan ruang-ruang di dunia kata

: boks untuk bayi-bayi kita

 

(Hawa dan Maria

bunda yang kain dan yang isa

dua jendela pemandangan

ke arah hutan bumerang

kelemahan manusiawi

cuaca di sana dalam kendali

kutub membenci dan mengasihi

kepamrihan saling tumpah isi

 

Seekor merpati putih

melayap dari pucuk ke pucuk

di hutan itu

ia datang sesewaktu

dari yang tinggi

tak pernah luka

tak patah sayap

dilanda badai

tak basah

dilimbur ombak

itukah apa dipupur duga

 

semak yang bersengkarut

paut yang liar larut

di hutan itu

menyembunyikan rapat

yang bermula menjerat

 

Sementara gema

di rongga- rongga bukit batu

disela-sela jerami

 

bagai gumpal awan yang sesewaktu terlupa

menggelantung di angkasa

angkasa purba

ah, angkasa maha raya

entah kapan Newton mampu menyingkap appel

karisma

bertebaran di kebun-kebun penghuni gua

apakah menurut-Nya:

daripada membusuk di sorga)

 

 

*1 Kitab Matius 12: 49

*2 Kisah rasul-Rasul 11:26

*3 Kitab Kejadian 3: 12

*4 Kitab Kejadian 2: 20

 

 

TENTANG RAYANI SRIWIDODO

Rayani Sriwidodo lahir 6 November 1946 di Kotanopan, Tapanuli Selatan dari pasangan Hajjah Siti Ebah Nasution dan Baginda Mulih Kadir Lubis. Menikah dengan pe;ukis Sriwidodo. Kumpulan puisinya: Pada Sebuah Lorong (1968) bersama T. Mulya Lubis, Pokok Murbei (1977), Percakapan Rumput (1983), Tragedi Sang Laron. Kumpulan cerpennya,  Obsessi Manusiawi dan Bukan Arca. Juga menulis 21 novel anak/remaja. Juga melakukan penerjemahan-penerjemahan.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler