Skip to Content

PUISI-PUISI RIKI DHAMPARAN PUTRA

Foto SIHALOHOLISTICK

NYEPI

Kukuuuruuyuuuuuuk

1998

 

 

PANTAI DEMI PANTAI

lapak-lapak rinduku

buyar

  di tepi kanal

ketika di bawah debur lampu

aku melihatmu pamit

dari pucuk-pucuk kirkit

yang melambai

dengan penuh sesal

seperti engkaulah pantai

dan keriuhan itu

tamasya-tamasya kosong

yang mencengangkan

darimana dongong-dongeng

lahir

membukakan pintu-

   pintu malam

angin laut yang jahat

dan bidari-bidari

yang menyulut sumbu

kiamat

 

hamba menyerah, tuanku

dari pantai yang tak kunjung

kukenal

di mana aku memeliharamu

pada serunai kapal

di kejauhan

mungkin tak kan ada yang tiba

hingga waktupun berhenti

dan aku istirah

memejam mata

di karang yang selalu basah

di antara batu-

batu yang tertidur

memeluk surga

1999

 

NGABEN

Api yang tak mati. Sudahkah kau basuh

tangan yang menyulutnya

seterik ini?

Barangkali di celah jari itu masih

ada sisa daging

Dan kukumu mungkin retak

Hingga tangismu yang suci sia-sia

dihapus peluh

orang banyak

 

Sebuah kereta tiba dengan pintu terbuka

Orang-orang lalu menyerbunya. Kau lihat?

Mereka tak ubahnya kanak-kanak

yang tak sabar

di hari tamasya

Karena itu ikutlah

agar jalan-jalan kembali hening

dan masa lalu bisa dibagi seindah kembang coklat

yang mekar

di pucuk-pucuk daging

Para leluhur mungkin tak pernah mengenalnya

Tapi hari ini orang-orang itu datang untuk
mencecap manisnya, lalu menghabiskannya.

Tidakkah kau lihat?

 

Burung-burung kayu itu terbang

Dan naga-naga itu menyala laksana

benteng api

 

(Seorang sahabat telah dimusnahkan

Dan abunya menjelma kupu-kupu yang lepas

di sungai-sungai

tanpa malam)

 

Sesekali ia pulang

Bertanya tentang kerlap lampu-lampu

di sanggah halaman

Ya, ia tak kan ke mana-mana

selama kartu-kartu di meja itu masih terbuka

dan perjudian ini masih tetap suci

untuk disajikan di altar hampa

bunga-bunga

 

Ia masih di sini selama sayap-sayap

masih menitik darah

dan taji-taji masih tajam

menoreh gelap warna tanah. Ia tak mati

Apakah yang mati? Api?

Api tak pernah mati. Saat ini bahkan

ia sedang menggila melalap kayangan

beranak-pinak seperti jamur yang tumbuh liar

di hutan-hutan

 

Dusun-dusun terik. Gurun-gurun kering kerisik

Anak-anak bermain gasing di padang-padang gatal.

Mereka seperti orang asing! Orang asing yang nakal!

Turun dari planet-planet tak dikenal

Sementara lidahmu

masih pahit oleh rumput. Dan matamu makin buram

oleh dongeng-dongeng indah

tentang kabut

 

Betapa ketinggalan. Sialan! Tapi lihatlah kereta itu

sudah berangkat sebelum kita gerah

pada debu

yang mengusung jasad

Tugu-tugu meninggalkan batu. Hidup adalah rahasia

yang tampak megah

dalam pesta kematianmu

2004

 

ORANG PULANG

Seperti ikan

Aku pulang membawa tulang dan insang

Hanya tulang dan insang

Dengan sepasang mata es yang kehausan

Ambillah wahai Ibuku

Inilah yang paling indah yang bisa kubawa

untukmu

sebab ikan-ikan adalah binatang ajaib

ketika semua cermin pecah

oleh mereka yang pergi mengadu nasib

2000

 

TAK JADI HUJAN DI SINGARAJA

Aku tau kau tak ingin pulang

tanpa hujan

Burung-burung sudah jauh. Peluit kapal

terdengar senja di daratan

Oktober penuh teka teki. Bunga bunga mekar

tak ingin membagi wangi

Aku terluka. Tanah hitam purbanimu mengerjarku

bagai akar akar anggur penuh doa

; mungkin sebentang layar. layar? bukan!

hanya angin puyuh

seribu tangan batu yang sunyi tiba-tiba meronta

ingin tumbuh!

tiang tiang patah

kendi kendi penuh dongeng berjatuhan

di pucuk pucuk tanah

bagai serpihan kaca benggala

lapar dagingku tak puas mengunyahnya

 

Saat itulah aku ingin melupakan

segala yang pernah kuketuk di tubuhmu

; desa desa menuju malam. menuju lampu!

kutu kutu tanpa pohon

mengendap di dasar senyap impianku;

buah-buahan yang tak pernah matang

gugusan arca dan aroma cengkeh di bukit

adalah ombak yang ingin tidur

di hamparan pasir penuh bulan

 

Engkau ingin menyepuhnya untukku. Untukku?

Jangan, Kekasih! Biarkan saja begitu.

Bukankah engkau ingin menjadi hujan

yang tak pernah turun

di altar cemas musim tanamku?

Cuaca begitu liar

Dan di bawah bintang jatuh

doa doa hanyalah gumpalan angin garam

yang gampang terbakar

 

Padam bersama waktu

Kembang kembang api di laut

adalah tangan lembut bidadari yang ingin kau sentuh

dengan hati kanak-kanakmu

2003

 

SAJAK PENDEK TENTANG KEPALA

Apakah indahnya kepala?

Sebuah tong sampah

Sepotong kepala anjing menyembul

meleler ludah

Aku harus bertahan

bertahan!

2004

 

SAHABAT YANG MEMBACA PUISI

: Puthut ea

 

Tanyakanlah padaku

Setinggi apakah burung-burung

                akan terbang?

Setinggi pucuk-pucuk bukit

Sesunyi menara-menara batu yang gemetar

menembus tabir langit

 

Burung-burung itu jiwaku

Dan menara-menara itu adalah ingatan

yang akan lenyap

bersama hutan-hutan api di darahku

Darah yang mengalir sungsang

Darah kupu-kupu

Sungai-sungai belerang dan kabut

bercampur wangi

                                di tambang-tambang waktu

 

Darah itupun milikmu wahai tangan

yang mengulur buram warna pagi

Tangan sahabat yang menggigil meracik remang

                                kata puisi

Begitu berarti bagimu. Bagiku

Bagi kita sahabat!

Bagi siapa saja yang melindungi diri

Dengan surat-surat kilat

                               tanpa alamat

 

Maka tanyakanlah padaku

Ke mana burung-burung itu pergi

Mengapa setiap jiwa harus terbang

dengan kesemuan-kesemuan

yang mereka miliki

Bahkan dengan kekonyolan-kekonyolan kecil

yang mereka dustakan

sepanjang pagi

 

Tanyakanlah terus. Terus!

Karena dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itulah

aku akan bertanya pada diriku sendiri

2004

 

TASBIH, SEBUAH PROLOG

Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat

seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti

gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit

yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan

kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti

huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?

Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang

bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup

dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi

gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau

Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada

nggak Kau bagiku?

Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya

rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam

gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika

semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua

bagiku.

Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi

pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member

persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan

pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada

jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji

tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua

keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam

semesta istighfarku.

Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku

berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya

samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,

terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada

akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja

sebagai takdir.

Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?

Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma

lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba

yang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garis

menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.

Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya

ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang

harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah

bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia

memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya

adalah keikhlasan.

Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di

langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu

yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah

pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap

bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.

Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.

Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk

membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu

lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi

pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu

terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya

menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya

yang kudus.

Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua

yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang

Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah

ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha

hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.

Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan

penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang

lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat

jantungku.

Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan

menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahun

selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan

yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama

bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari

ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun

memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.

Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.

Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap

kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan

kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus

mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai

demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah

kebenaran dan keindahanMu.

Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan

juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan

tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,

bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak

setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?

Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.

Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.

Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk

semua buah rindu. Aku inginkan itu, …

2003

 

PANTAI LINGGA

                 Agar-agar langit

                                                Agar-agar langit

Tunjukkan kapan dingin

                                                menjadi tulang

Pantai terlalu licin

untuk kutempuh sendirian

Kadangkadang dengan angin

Kadangkadang saja bergembira

                                                Kadangkadang

                                kurasakan laut ini

                tengah membuang dirinya

Menghempaskan aku

ke dalam sujud

                                                yang tak ada batasnya

1995

 

MIGRASI SEBUAH ZAMAN

kepada Afrizal Malna

 

Sejarah yang adil

Telah memberi amanah kepada benda-

benda

Yaitu kehidupan

Hingga tak ada lagi benda mati

Semua bergerak mencipta zaman

 

Aku kehilangan sahabat

tak sanggup mengucap diri

dalam benda-benda

Karena kupikir benda-benda mengalami

kiamat

Aku terdakwanya

 

Aku benar-benar membenci cinta

hari ini

Ketika pada hari yang lain

Tak ada tampak yang kekal

untuk dikasihi

Keinginanku yang terbesar adalah membunuh

Sebagaimana benda-benda itu menang

dengan gemilang menang

dengan gemilang

Tapi sejarahlah yang paling gemilang

Ia hendak mengadili diriku dalam

dirimu

Ketika migrasi besar-besaran

Terjadi ke dalam benda-

benda itu

2001

 

TULAMBEN*

Sekarang kau mengerti sahabatku

Surga bukan untuk orang miskin

Bukan juga untuk daun-daun lontar

yang bernafas lemah pada tanah hampa

di helai rambut sanyasin

Kita akan melupakannya pelan-pelan

Seperti laut timur

menyembunyikan diri di kedalaman

Karang-karang akan tetap basah

Hamparan kaktus dan ilalang

akan tetap tumbuh sebagai nyanyian hidup

paling nyata yang pernah ada

yang pernah kita punya

dan telah menemani kita pada sempitnya jalan setapak

yang panjang ini

 

Ke perbukitan bisu

kita mencari teguh janji waktu

seteguh gunung Agung

sesunyi batu-batu yang melepaskan seribu masa silam

dari pintu matanya yang murung

Laut akan tetap asin

Hamparan kaktus dan ilalang

Akan tumbuh kelak

sebagai hujan yang mengairi sungai sungai

di mana cinta mengalir

dan kata-kata dipanen seperti nyala bunga

yang menyatu dengan bening

mata air

Di keningmu cahayanya

Di dadaku matur burung tekukur siap membubung

bersamanya

ke perbukitan paling bisu

ke pucuk-pucuk tanah dan air yang tak letih-letih

menawan rindu jalan jalanmu

Juni, 2003

* Nama sebuah kecamatan di daerah Buleleng

 

PERCAKAPAN LILIN

(1)

Kau kira mereka peduli bagaimana

                kau takut?

 

Menyalaklah terus

dan jilat ludahmu

Mereka akan mengingatnya sebagai nyeri

yang harus dibalaskan

                sewaktu-waktu

Seperi lilin

Mereka adalah sayap

                di utus malam

Dan nafas mereka adalah tangan-tangan gandum

yang hancur

tergilas musim

 

Menapak dalam gemasku

Langit memendam jejak

Tanah menggumpal waktu

Sepasang nenek yang tak sabar

telah membuangmu

di luar pintu

Kanal-kanal lelah

Burung-burung adalah ribuan kantong mayat

yang ditimbun di kudung senja sendiri

 

Api dinyalakan

Roket-roket menari di jauhan

seperti taburan kembang

seperti sunyi yang terlepas dari gagang

   jutaan bintang

terlupakan

 

Tuhan, ini untukMu! Kata mereka

Untukmu? Engkau mencoba menirunya

Suara-suara lalu menjelma tambur yang nestapa

memantul ke kemah-kemah pengungsi yang gaduh

mencabik dingin

menitik serupa air batu yang terbelah

di pangkal daging

 

Akarmu

Apakah tanahnya serupa mayat kita?

Mestinya dia menjadi cermin

yang dapat memantulkan cacat di wajah kita

rambut yang kering

dan airmata

gugusan tulang

terhampar seperti bukit-bukit pasir

yang bersembunyi

sejuta laba-laba mendaki

sejuta laba-laba membangun sarang di atasnya

 

Sementara itu sesuatu yang seperti gunung berapi

terus meledak

Sesaat seperti apiMu. Sebatang lilin

Tapi mengapa semua masih begitu gelap?

Padahal kami belum begitu tua

 

(2)

Kita sesunyi air

Sebelum asap membubung hitam

dan bayangan kita bangkit

seperti hantu malam yang mengepung

pabrik dan taman-taman

kota

Kita selurus batang batang pinang awalnya

yang melindungi tebing

dan batu batu menjaga sungai

ke hilir

di laut menjelma ikan-ikan segar

teluk teluk karang

dan rumah burung

 

Kita sembahyang

Karena kata-kata adalah tanah yang harus dibagi

dengan rumput dan pohonan

 

Tapi kita juga babi! Serumu

Karena itu aku awasi sepasang cangis di mulutmu

Bulan menjadi musuh

Daratan menjadi Ibu yang mengejarku ke tampat-tempat

jauh

 

(3)

Kamu diam

Padahal kamu bukan mayat

Tapi sepotong duri yang suci

yang terbang

bubuh

di dagingku

Dan menyatu itu waktu, bisikmu

Ya, waktu. Kejarlah!

Tapi aku muntah

 

Semua terasa semu

Tulang-tulangku berderak seperti

Sepotong gunting kayu yang melulur angin

di celah pintu

Seekor lalat jatuh

Telingaku menjelma dinding

yang tiba-tiba mengaduh

 

Apa kamu juga merasa mual?

Buanglah! Ludah!

Sebab sebelum kita seseorang juga

pernah bunting dan meludah

Kamu mengiranya lilin

; seuntai rambut palsu

melilit seperti jembut sore

yang menjalar lembab

di punggung kebunmu

Siramlah! Buka untukku!

 

(4)

Selembar peta, kulupakan

Karena kupikir seseorang tak perlu petunjuk

untuk meneruskan perjalanan

Aku memegang kemudi

menaikkan layar

dan menjadi angin bagi kapalku sendiri

lautan terbentang

pulau-pulau menunggu pasang

tanpa batas waktu

kecuali gunung-gunung pasir meletus

di pantai kanak-kanakku

 

Aku menjadi pacar bagi birahi

dan kerinduanku sendiri

memangsa lapar dan puasa

dari hausku sendiri

terbang bersama duri-duri yang kukepakkan

di sayap

dan awanku sendiri

 

Aku tak menunggu waktu

atau apapun dari waktu

Waktu juga tak menunggu apapun dari perjalananku

Semua memiliki perhentian

Dan setiap perhentian adalah pohon

bagi mereka yang memiliki teduh

dedauanan

 

Tak padam denganmu

Peta peta kulupakan

Jalan-jalan dicaru

dengan membunuh seribu ekor anjing

dari seribu masa lalu

melolong padaku

 

(5)

Apa sayangku

Masih cemaskah kau pada dagingmu?

Kadang kita memang seperti cahaya lilin

yang saling membelit

kesepian

keringatmu mengucur

dan aku terhempas

bersama gugusan tahun yang telah memberi kita jalan

seperti daun

terjun dari pucuk pepohonan

 

Dan kau pun terlihat iba

tersedu pada nasib yang melantarkanku di bayang

hijau rerumputan kota

 

Tapi kita akan tetap bersama

Karena itu jangan sekali sekali berpaling

Karena kamu tidak bisa menutup waktu

Karena waktu adalah lukisan ikan di kaleng sarden

Rasa lapar yang tenang

pintu keheningan

sedang airmatamu adalah teduh

yang menungguku di bawah

gugusan panjang

hujan

 

Maka ikuti saja sayangku

sedih yang membangunkanmu malam malam

masuklah

aku ada di dalam

Dan bila kita menyala

Tak seorang bisa memadamkannya

2003

 

TENTANG RIKI DHAMPARAN PUTRA

Riki Dhamparan Putra lahir di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat pada 1 Juli 1975. Mulai menulis kreatif semenjak di bangku SMA tahun 1991. Dimuat antara lain di Koran Semangat, Singgalang dan Canang yang terbit di Padang. Tahun 1992, mendirikan komunitas sastra Elindra yang berlokasi di daerah tambang batubara Lumpo, Sumbar, bersama Raudal Tanjung Banua dan teman-teman seangkatan. Pada tahun itu juga ia diskor sekolah karena dituduh sebagai pembangkang kesenian. Ia memutuskan berhenti dari SMA dan mulai berladang. Menanam kayu manis, jeruk, cabe di tanah ibunya di Pesisir Selatan. Tapi itu semua ditinggalkan sebelum tumbuh besar. Ia merantau ke Bali, tahun 1994. Di sana ia pernah menjadi loper koran, buruh instalasi pipa air, tukang pukul di sebuah panti pijat, tukang parkir, pelayan rumah makan, dan berbagai pekerjaan serabutan lain demi bertahan hidup. Ia juga berkenalan dengan seniman Bali yang berada di Sanggar Minum Kopi. Juga memiliki masa belajar yang cukup panjang dengan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1997, mendirikan komunitas apresiasi Selakunda di Tabanan.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler