Skip to Content

PUISI-PUISI SIHAR RAMSES SIMATUPANG

Foto SIHALOHOLISTICK

NARASI SENJA MENGHILANG
"biarkanlah aku menjadi senja yang akan memucat setiap kau tutup jendela".
sebab senja adalah kematian yang manis. epilog bagi kelelawar dan derit engsel jendela untuk mencabut cerita yang sudah tidak bermakna.

"biarkanlah aku menjadi senja yang akan menghilang saat engkau menutup mata. sebab senja adalah penghabisan yang manis. ujung dari notasi
kesenduan yang masih terdengar dari kebungkaman seribu makam.
Jakarta, Mei 2002

SISA DUKA DI SENJA ITU
: buat si non

dan airmatamu yang telah menjelma hujan barangkali akan kering pada perjalanan musim. untuk sementara, beberapa bunga yang telah ku tebarkan pada tubuhmu masih melayu dalam sejarah kita.
fajar yang masih terjaga, embun-embun terus melekat, tetap pada cuping telingamu. tapi engkau tak merasakannya. seperti kebingungan batu, pada cinta dan masa lalu.
engkau yang masih terdiam di tanah itu, berpayung hitam dan sibuk memberikan airmata pada para pelayat yang belum beranjak pergi. malam masih terasa dingin, belum layak menghadirkan kicau burung buat cerita lain di pagi hari.
: aku masih terpekur di rerimbunan ilalang. sibuk memunguti airmatamu yang terselip di atas tanah itu. barangkali, engkau akan menerimanya.
(atau mengenangnya sebagai sebuah cenderamata buat bekal perjalanan kita di esok harinya).
In memoriam, 2002

REPORTOAR
"semuanya sudah berakhir"

seperti kematian yang menggerogot tubuh kita
tulang ini akan kembali jua pada kata-kata terakhir
aku sangsai dalam perputaran roda waktu yang tak pasti.

lamat, aku mendengar sejarah
seperti putaran roda yang berjalan menuju pembakaran
inikah rumah sakit
ataukah kita sedang berjalan
menuju kepompong mayat-mayat?

"tak usah lagi saling memikirkan"

kota-kota hanyalah sebuah etalase mengerikan
bila kita merenunginya dalam sebuah kamar
kita bertambah tua.
cuma dongengan masa kecil yang mengalir di nadi kita.

aku benci dengan masa lalu
namun sesuatu selalu yang pecah dari dalam dadaku
tak akan pernah terbingkai lagi
seperti rekahan tanah liat yang dibawa menuju
aliran sungai yang tak berujung.

"dunia hanyalah dongeng-dongeng"

barangkali cerita pun percuma buat menghadirkan sejarah
makam kita pun belum tentu juga menghasilkan
kesaksian-kesaksian.
barangkali tak akan pernah ada makna dalam deretan
kata-kata di nisan.

"siapakah yang punya kesedihan?"

aku mengalir, dengan airmata yang kusimpan.
atau menutupnya rapat-rapat.
memendam kegetiran pada sejarah
dengan waktu yang membiru serupa dendam.

pada pucuk-pucuk masa depan,
aku mengembara
dengan ribuan kegilaan yang masih teracung.
Jakarta, awal 2002

PEJALAN KAKI DI SEBUAH PULAU
perempuan itu telah tertidur di sampingku.
tapi bukan raganya,
sebab aku hanya menari di samping jiwanya
dalam kemabukan, sebelum fajar datang
dan matahari merampok jadi mimpi-mimpi panjang.

laut malam di laut pulau jawa, aku menggelepar
sangsai. lelah mataku terbang, dari tidur satu
ke pucuk-pucuk mimpinya. di antara lekuk tubuhnya
yang putih bagaikan pualam. engkau tak lagi nyata
di mimpi ini.

aku tahu, engkau juga akan menghilang
seakan tubuhmu telah siap kau persembahkan
buat pejantan lain yang sejarahnya tak pernah
aku kenal.

tubuhku sesak, pemabuk yang menghindar dari
keterjagaan. sebab kesadaranku hanyalah kesedihan.
dari pantai ke pantai, terus kubentuk jiwanya
tapi misteri tubuhnya barangkali
tak lagi pernah bisa aku terima.
Surabaya, Awal 2002

SEBUAH BINGKAI TENTANGMU
: valentine

masihkah engkau ingat perjalanan itu
pada perjalanan kita, di antara kenangan malioboro
dan pantai parangtritis. kita mereguk malam.
mabuk cinta sepuasnya.

engkau pun menatap selembar daun. yang jatuh
dan terbawa air selokan.
"akh, engkau tak akan berlalu.
tak seperti daun itu" katamu.

namun siapa tahu. bila kita lebih rapuh,
bahkan bila dibandingkan daun. atau air selokan itu.

kita kemudian asing. larut dalam sejarah baru.
atau beranak pinak, atau tersesat dalam pengembaraan
: waktu kemudian jadi asing

misteri yang jadi kenyataan,
kau yang pergi,
dalam sebuah pengembaraan tak bertuan.

:engkau serasa tak kukenal!
Jakarta, Februari 2002

SEBUAH ODE BUAT KAWAN
Masih ada lagu-lagu senja yang membuatku muram
bercerita tentang sejarah perjalanan kita
ada aku dan engkau di mata sejarah
di antara lantunan sunyi seruling
di atas batu-batu yang mencakar dadaku
dalam sebuah almanak perjanjian
dalam peta-peta tua
yang kemudian kita itu kita namakan sebagai detik perjuangan.

ada tangis bocah yang menjerit lirih
di antara ladang-ladang sembako dan susu gula
engkau tersenyum
dengan api keringat yang telah menjadi jelaga dari asap
cerobong pabrik
kemarin lalu, di saat kau berteriak, turunkan harga, turunkan

kesunyian juga yang kini meraja di pembaringan kita
saat bulir-bulir padi ini sudah tak layak untuk dipanen
hanya kulitnya, seperti tulang kita yang rapuh
oleh kulit-kulit terkoyak
kuku matahari yang tajam mencakari tanah.
sebuah ode, belumlah cukup untuk disimpan hari ini.
Depok, 2001

DARI DUKA MASA LALU
dari ribuan sungai masa lalu
aku menatap garis garis pantai
yang terus berbuih di depanku.
sebuah kisah harus ditebarkan,
betapapun pahitnya
sebuah sejarah
seperti sejarah kanak-kanak
di jalan raya,
nenek tua yang merindukan anaknya
untuk pulang selepas perang telah usai,
atau duka tanpa airmata
pada onggokan mayat bayi
yang telah mengambang di sungai,
sisa dari takluk
ibunya,
pada kekejaman makhluk bersenjata.
1998-2000

PEPOHONAN I

aku telah mengubur 

seluruh kehidupan

dalam piyuh dedaun kering

yang kusiapkan sendiri

selepas senja itu.

biografi siapakah

yang menangis sendirian;

serupa desau bambu

beriring dengan daunnya,

perih dan sedih.

 

bayang bayang meninggalkan raga,

dan tubuh melolong tanpa cahaya,

berkeriap dalam kegelapan

memagut lubang-lubang nanah

dan penderitaan senja itu

belum selesai hanya

dengan desau bambu

dan dedaunnya yang sedih-perih.

Tuhan tetap berjaga

menghitung dusta dan pahala

bahkan ketika bayi.

tetapi bayi siapakah

yang harus menanggung

dosa turunan yang berlendir

di tangan dan telapak kakinya itu?

sepekak apakah kehidupan,

ah segelap apa pula kematian.

 

telah dilajur bangkai dedaun,

telah dideret ranting kering

telah ditumpuk cabang-cabang itu,

sebelum batang utama roboh

menimpa segenap bunga dan biji.

ah betapa bodohnya

bila perjuangan tunas

tak dihargai untuk doa-doa

pada Pencipta ini.

Lenteng Agung, 2013

 

PEPOHONAN II

nak, di dalam cucupku

telah aku ingkari sejarah

tetapi tetap tersusun

buah-buah di ranum mulutmu

dari air telaga,

lumpur dan pasir-bebatuan itu.

aku mematri perjuangan

dengan akar-akar

yang tak selalu berupa air

tetapi juga tuba yang mengalir

sampai ke reranting ini.

demikianlah, betapa senja

selalu degil mengejek

tiupan sepoi dari reranting muda

hingga buah jatuh sebelum matang

sebelum engkau dapat mencicipnya

dengan segenap lega

dan penuh kesegaran.

Depok, 2013

 

PEPOHONAN III

aku pernah berbagi duka

dengan pohon kamboja

dan malaka di pekuburan itu.

mengabarkan getir di semilirnya

tentang susunan panjang biografi

yang disesapkan lewat hara

pada akar mudanya

yang putih dan kuning.

pada telingaku ditiupkan

cerita-cerita yang kelak

akan aku korbankan

kepada pepohon itu,

satu demi satu. dari tubuhku

yang tak selalu terjaga

namun memberikan istirah untuk biografi

yang kelak melolong panjang

setelah pengembaraan selesai

di ujung akhiran. pepohon selalu diam

dalam kesetiaan yang rahasia,

menabung waktu dengan bertumpuk

kisah-kisah misteri yang rahasia.

sehingga kelak pun

akan sampai di telingamu;

sekerat biografiku.

Citayam, 2013

 

DURGA UMAYI

betapa dekat hitam busuk

dengan merah darah yang anyir.

suara serak itu  seperti menyodorkan

sepeti dendam lagi;

tak berkarat tapi  beramiskan kerinduan.

lalu parade gending, atau cuap kecak,

tabuhan pengantar keperihan.

puah! dia sakit, betari,

pernah dirajangnya daging sendiri

dengan sembilu yang tercipta

di rambutmu yang membawa luka

dan debu. seutas demi seutas

menjelma tambang, lebih mirip belatung

yang mengerogot pita suara

menjadi serak - seperti suara betari.

 

dinihari, 1 Oktober 2012


BIODATA:
Nama lengkap penulis Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah bergabung di Teater Puska dan Teater Gapus di Surabaya dan Komunitas Seni Tanah Depok. Karya antologi puisnya antara lain Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Keberangkatan (KSTD, 2002), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, 2002) dan Antologi Lampung Kenangan “Krakatau Award” (Dewan Kesenian Lampung, 2002) dan "Dian Sastro for President" (Terbitan ON/OFF Yogyakarta, 2002). Salah satu cerpennya dibukukan bersama penulis lain pada antologi Tak Ada Pilihan Lain (Sumbu, 1998).
Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Ikut baca puisi demonstrasi sejak awal menjadi mahasiswa di Surabaya hingga selesai. Tulisannya berupa essei, cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di majalah kampus Suara Airlangga Unair, Gatra F. Sastra Unair, majalah Amigos dan Dedicatio. Pernah memenangkan Pekan Seni Mahasiswa Regional juara II Jawa Timur tahun 1995. Karyanya berupa esai, cerpen dan puisi juga dimuat di harian umum Jawa Pos, Surabaya Post, Warta Kota, Memorandum, Karya Darma, Pos Kota, Sinar Harapan, majalah Plot, Radio Nederland dan Trans-TV. Karyanya termuat di situs sastra antara lain www.cybersastra.com dan www.poeticallyspeaking.net. Penulis saat ini sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler