DI GLENEAGLES HOSPITAL
di gleneagles hospital
di operation theatre suite
aku datang padaMu
“sejak dahulu sudah
aku serahkan telinga ini
dan sekarang aku serahkan pula
telingaku, dan hidupku
sebab Engkaulah yang
empunya diriku”
sesaat duniaku terlena
selama tiga jam, entah ke mana
dan ketika aku siuman
pertanyaan pertama
“apakah aku sudah selesai?”
di gleneagles hospital
di ruang empat tujuh belas
aku temukan diriku
berkeping seribu
kulihat fatamorgana, panjang
terbentang di depan
dan kuputar kembali
cakrawala kehidupan
yang kutempuh, sepanjang
separoh hidupku
yang sempat meluruhkan
air mataku
di gleneagles hospital
aku temukan kembali, cintaku
yang terkikis waktu, yang panjang
sejak cinta dipersatukan
waktu yang sempit
yang menyekat kasih, dan
waktu yang sisa
yang menyimpan derita
(dan membuat segalanya sia-sia?)
di sana
aku temukan kembali, cintaku
isteriku
aku temukan, sahabat-sahabatku
dan surat-surat dari jauh
dan percakapan-percakapan dari jauh
yang menopangku
dengan semangat, dan
penghiburan, dan doa
dan firmanNya
yang membuat aku
tegak berdiri
kembali
s’pore, 15.12.86
MINGGU BAHAGIA
dua pasang mata bening
saling bertemu sayang
dua hati sejernih telaga
berpadu dalam cinta suci
yang tak akan pernah mati
nopember dua puluh
cerah dan cerah
tak ada selembar mendung
tak ada angin desah
burung gereja bernyanyi sampaikan salam
pada gemulai daun palma
ayah bunda terkasih
ayah bunda terkasih
bertemu dalam satu titik yang cerlang
anak dan anak
terjalin dalam keresmian adat
menjadi milikku dan milikmu
begitu indah
begitu cinta
begitu bahagia
penuh gairah hidup
di atas hikmah tuhan
nopember dua puluh
tak akan pernah terulang
seperti minggu ini
1966
NYANYIAN SEPASANG DAUN WARU
dua manusia
berpelukan di alam semesta
dalam kubangan air mata
hatinya pecah bersulang darah
putih tak seperti darah
karena derita habiskan warnanya
merah semerbak bau mawar
karena durinya terpasang sepanjang perjalanan
manusia kenal dua ribu warna
jagad raya punya berapa
baginya cuma ada warna buta
dan cinta mendulang misterinya
sacinko, begitu bisiknya
kocinsa, itulah sandinya
jarum jam tak bergoyang lagi
tertindih asa yang jatuh
dari pusat jantungnya
konyasa, rintihnya
sanyako, hiburnya
jarum waktu yang congkak
tak mau mengalah
ikut menikam dari depan
sanyako, desahnya
konyasa, ratapnya
aku ingin punya kuasa
dan kutuntut waktu
berjalan bersama bayanganku
menuju timur sebelum tengah hari
aku ingin punya kuasa
mengembalikan hari-hariku yang hilang
sacinko, sacinko
kocinsa, kocinsa
gaungnya tembus dua belas kisaran
membawa sisa bau bunga rumput
hari senja, matahari menjadi bulan
sanyako, sanyako
konyasa, konyasa
gemanya sahdu kandas ditelan ceruk bumi
aku menangis melihatnya
aku mendengar tenggelam di dalamnya
9 september 2000
PATIAYAM
lembahmu yang datar
rumputmu yang hijau
sawahmu yang kuning
cukup air
petani penggarap sawahmu
penebang-penebang kayu
kuli jalan raya dan rel kereta
semuanya dihidupi air bumimu
menapis butir-butir keringat
bersama mentari yang meleleh
kelebihanmu patiayam
bukanlah milikmu sendiri
kotamu patiayam
sekedar hanya menerima warisan tanahmu
sedihnya patiayam
kala bulan menghilang dari malam
padi yang kuning
lari bersama deru prahoto
dan berputarnya roda pedati
tinggalkan mimpi
petani-petanimu yang setia
penebang-penebang kayu
gembira masih dengan bulir jagung di lumbung
kuli-kuli jalan raya
kuli-kuli rel kereta
dan seribu mata cekung
sempat mendengar deru prahoto
dan kletak-kletik roda pedati
di akhir mimpi
1969
RINDUKU KEHIDUPAN
siapa engkau yang menetapkan pembenaran tentang logika
karena logika hanya ditemukan dalam persamaan cinta
siapa engkau yang mendulang kebenaran dalam logika
karena benang merahnya berjalan bersama bayang-bayang kita
siapa pula engkau yang memasang logika jadi mahkota
karena laju deritanya menjadi niscaya
kudus, 8 juni 2004
LAHIR SAJAK
dikandung perut bumi
sejak eva dan adam tak lagi bertelanjang
lahirlah sebuah sajak
setelah itu lahir dan lahir lagi
dan lahir kembali, berlaksa sajak
sebab sajak adalah sedih dan sepi
7 juni 1970
SEMALAM SEBELUM PENGANTIN TIBA
mama
mama
kuketuk pintu kubur mamaku
kubayang rona cinta mamaku
memukul detak jantung
dalam gelisah kerinduan
satu saat paling bahagia
mengapa ditandai air mata?
mengapa tiada mama kecap?
semalam sebelum pengantin tiba
mamaku datang bersama wangi sedap malam
mamaku tersenyum
mamaku menangis
dan hatiku menelungkup
malam ini
kubelai wajah mamaku
kutembangkan lagu pengantin buat mamaku
hingga fajar gemercik
dan bunyi lonceng gereja menyongsong pengantin
kusembahkan anggur pengantin buat mamaku
2 juli 1968
AKU MENCARIMU
aku mencarimu di deretan kata-kata surat yang kubaca
di ujung guratan penaku dan di celah-celah tumpukan
informasi dan data
kubolak-balik dirimu di halaman agendaku dan
kucari jejak suaramu di ruang rapatku
di kilatan cahaya kalkulator kulihat pandanganmu
memudar dan hilang berbaur warna hijau
dalam dering tilpon yang tak henti-henti, aku mencarimu
aku mencarimu di jok depan mobil peugeotku
di tikungan dan perempatan jalan yang kulewati
di lekukan-lekukan bonsaiku yang indah dan
di balik kaca akuariumku
aku mencarimu ketika kudapati permen di saku kiri celanaku
di kopiku yang hitam yang kuminum saat mentari
miring ke barat, kutemukan sepintas hanya bayanganmu
dan di antara tamu-tamuku, aku mencarimu
aku mencarimu di kamar mandiku dan di dalam tube odolku
kupijat dirimu dan meletakkanmu di atas sikat gigiku
kudengar protesmu menembus cermin yang kutatap
aku mencarimu di antara lauk-pauk makan malamku
dan di seputar gelas minumku yang mengembun
yang berisi air jeruk kesukaanmu
dalam kepulan asap rokokku, aku mencarimu
aku mencarimu di gedung bioskop yang penuh penonton
rasanya engkaulah yang duduk di sebelah kananku
tapi tak berani aku meraba tanganmu
dalam mimpiku yang terpatah-patah, aku mencarimu
di ujung fajar tak kujumpai dirimu di sela-sela ketiakku
ah, ingin kubelah kepalaku dan mengeluarkanmu dari sana
membaringkanmu di antara dada dan lengan kananku
tertawa kecil membaca puisi ini
14 juli 1989
DOA
tuhanku
apabila kutundukkan hatiku
mengaca diri setelah gigiku retak
dan mataku buta semu
kutemukan diriku
seperti kuda lari berperang
hakekat kasihmu
yang ada dan selalu ada padaku
dan selalu kuadakan
mendamba buah yang ranum
yang belum kuasa kudapat
memaksa aku gelisah
hidupku yang sempat tergoda
bising dan nyala
membuat aku senyap
dalam kesementaraan yang gila
tuhanku
meski dunia berguling
seribu kali sehari
aku pun akan mati
dan kumohon:
akan tiba satu saat
hatiku menjadi lumpuh
dan mata kakiku pecah
tinggal uluran tanganku
penuh kepadamu
tak akan lagi berpaling
1 maret 1970
DOA
kekasihku
betapa hati ini jadi biru menyebut namamu
yang dambakan kepergian puisng using dari hati kembara
sebab padamu kekasih
kudapatkan hakekat hidup ini
yang membawa awan kecemasan pada mega ria
hingga tinggal hidup untuk kau
bersama dara yang paling kucinta
kekasihku
kala aku kenang pekik kengerian yang menyayat
melengking lewat jiwa-jiwa tualang papa
aku jadi ingat satu tragedi kuno
dari sodom dan gomorah
pada tiang garam di laut mati
dan sahdunya malam ini, sahdunya
iku tangisi domba yang sesat
kekasihku
cahyamu telusuri liku-liku kesenduan mayapada
melebihi kristal bintang yang paling cemerlang
panas menembus jiwa-jiwa nanar di riba dosa
sirami indahnya bunga bakung yang terpahat di hati
hingga semuanya tengadah
di bawah kakimu yang suci agung
tiada bisa berpaling
1966
HIDUP
hidup adalah gerak
gerak adalah arah
arah adalah alam semesta
dan alam semesta adalah
senyawa liang rahim dan
liang lahat
kudus, 28.11.90
DI 61 TAHUN
hari ini ingin aku kembali memasuki rahim ibuku
tetapi tak tertulis kodratNya demikian
hari ini aku bersyukur karena andaikan bisa
tak terbayang betapa besar dukaku melihat
perbedaan kelembutan rahim ibuku dan kerasnya tanah yang
kupijak
hari ini aku bahagia karena ungkapan bahagia darimu, sahabatku
hari ini aku bersyukur sebab Tuhan menopangku
sehingga kakiku tak terluka dan tetap melangkah di bumi
kehidupan
(thomas budi santoso)
tapi kita kadung tanah
yang ditiup roh hingga nyawa berumah
menjentera hidup yang gelegak
saling mamah; kecuali puisi
sedang kau tahu; malaikat dan nabi enggan mampir di ranahnya
sesekali cuma
dijamu penyair sufi
tapi kita tak!
kita cuma serpih gelombang jaman yang kalah
kembali ke tanah sebelum nemu rumah
(sosiawan leak)
TENTANG THOMAS BUDI SANTOSO
Thomas Budi Santoso lahir di Pati, 19 November 1944. Menulis puisi sejak tahun 1960-an dan tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Ia adalah Penasehat Dewan Kesenian Kudus. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di PT Djarum sebagai direktur produksi.
Tulis komentar baru