Skip to Content

PUISI-PUISI TOETY HERATY

Foto SIHALOHOLISTICK

KE PELABUHAN

benarkah setiap senja
matahari masih terbenam juga
kasihku?
pernah kupelajari, sudah sekian waktu
yang lalu, bahwa bulan mengitari
dunia, dan dunia matahari –
bulan, yang bagai mangga kemuning
menyandarkan diri pada awan-awan
yang bergerigi
dan matahari terbakar merajai hati
sewaktu mobil menyusur kali dan kali
mengalir ke laut, lautan luas –
benarkah setiap senja?
karena sebelah kiri hanya tampak
nyala jingga langit merenggut-renggut lambaian bendera
dan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk, rapuh dan kelabu
benarkah begitu; bahwa
suatu saat matahari dan lautan
akan bersentuhan, dan berjanji
bagai kedahsyatan yang menghilang
dan akan kembali lagi

 

MANIFESTO

Aku tuntut kalian

Ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi

Siapa tahu, suap-menyuap telah lunas-

Menjulang sampai ke Hakim Tertinggi

Siapa jaminm ia tak berfihak sejak semula

Karena dunia, pula semesta, pria yang punya

Sejak saat itu –sejak Hawa jadi Bunda

Ah, sudah lama sebelumnya

Kecut hatimu menyaksikan kebesarannya

Induk Agung, yang melejitkan turunan

Makhluk-makhluk kecil, buta, telanjang –

Putus digigitnya tali pusar, dijilat bersih

Disusukan saksama, kemudian

Dijajarkan di seantero jagad raya

Begitulah mamalia dipersiapkan

Bagi Darwin dengan pertarungan hidupnya

Perkara kecil membelenggu wanita dengan

Tetek bengek yang malah disyukuri olehnya

Secara serius, dungu, dan syahdu-

Sementara itu – karena memang kerdil, takbur

Dan kelicikanmu- kau menggigil kekhawatiran

Lalu

Tanda jasa –status ayah – kau sematkan di dada

Tanpa ditunjang fakta biologis barangkali

Tidak apa, demi warisan, ego

Dan kelangsungan evolusi

Kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa

Sebungkuh daging, segumpal emosi

Sekaligus imbesil dan bidadari

Dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha

Dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi

Tari lemah gemulai

Ia tertunduk karena salah, gentar, patuh

Mengecam diri

Dan akhirnya boleh juga, ia dimanja

Sekali-kali

Lalu seperti anak anak keranjingan, bukankah

Bahaya dan pengganggu telah disingkirkan

Kau sibukkan diri dengan permainan:

Sepak bola, billiard, gulat, dan perang jihad

Ilmu, teknologi karena bebas kreatif

Perang, polusi, proton, neutron

Pingpong antara Moskow, Peking, dan Washington

Gemetar tak sabar, ingin perang-perangan

Sementara menunggu saat saling memusnahkan

Laut dikuras, sungai-danau diracuni

Lapisan ozon digerogoti, sampah konsumen

Ke mana dibuang – percuma,

Itu urusan para antariksawan

Bumi itu kue enersi yang halal dibagi-bagi

Pada pesta ulang tahuh, dengan lilin yang nyala

Sumbu bencana –

lalu menyanyi panjang usianya

memang, upacara member khidmat, seperti

diplomasi jadi sandi-sandi

yang semakin sulit untuk difahami

kepada anak-anak ini

berbaju seragam, bertanda bintang, berjubah hitam

dengan wejangan, retorik, agitasi

telah kita percayakan nasib bumi!

Makhluk-makhluk kerdil, diburu kecemasan kastrasi

Hanya kenal satu bencana riil: impotensi

Membusungkan dada lewat psikoanalisa, karena

Solidaritas mafia dan Bapa di Sorga

Akhirnya merestui emansipasi wanita

Aku tuntut kalian

Sekali lagi, - saatnya mungkin terlambat sudah

Perang telah berkecamuk, ekosistem telah buyar

Pengungsi di mana-mana, menipu, lapar, terkapar

Dan diplomasi jadi lawakan, yang sungguh

Tak lucu lagi

Sementara

Kami telah diam cukup lama, berkorban demi

Egomu dan sekian banyak abstraksi

Apa wanita kini harus selamatkan dunia

Tiba-tiba pembangunan jadi urusan kami juga!

Kalian telah kehilangan gengsi

Seperti badut yang tunggang langgang lari

Dalam bencana akhirnya panggil ibu juga

Tapi –

Demi anakku laki-laki,

Tuntutan aku tarik kembali

Dan jadi pengkhianat – atau –

Memang karena sudah terlambat

September ‘80

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler