KE PELABUHAN
benarkah setiap senja
matahari masih terbenam juga
kasihku?
pernah kupelajari, sudah sekian waktu
yang lalu, bahwa bulan mengitari
dunia, dan dunia matahari –
bulan, yang bagai mangga kemuning
menyandarkan diri pada awan-awan
yang bergerigi
dan matahari terbakar merajai hati
sewaktu mobil menyusur kali dan kali
mengalir ke laut, lautan luas –
benarkah setiap senja?
karena sebelah kiri hanya tampak
nyala jingga langit merenggut-renggut lambaian bendera
dan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk, rapuh dan kelabu
benarkah begitu; bahwa
suatu saat matahari dan lautan
akan bersentuhan, dan berjanji
bagai kedahsyatan yang menghilang
dan akan kembali lagi
MANIFESTO
Aku tuntut kalian
Ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi
Siapa tahu, suap-menyuap telah lunas-
Menjulang sampai ke Hakim Tertinggi
Siapa jaminm ia tak berfihak sejak semula
Karena dunia, pula semesta, pria yang punya
Sejak saat itu –sejak Hawa jadi Bunda
Ah, sudah lama sebelumnya
Kecut hatimu menyaksikan kebesarannya
Induk Agung, yang melejitkan turunan
Makhluk-makhluk kecil, buta, telanjang –
Putus digigitnya tali pusar, dijilat bersih
Disusukan saksama, kemudian
Dijajarkan di seantero jagad raya
Begitulah mamalia dipersiapkan
Bagi Darwin dengan pertarungan hidupnya
Perkara kecil membelenggu wanita dengan
Tetek bengek yang malah disyukuri olehnya
Secara serius, dungu, dan syahdu-
Sementara itu – karena memang kerdil, takbur
Dan kelicikanmu- kau menggigil kekhawatiran
Lalu
Tanda jasa –status ayah – kau sematkan di dada
Tanpa ditunjang fakta biologis barangkali
Tidak apa, demi warisan, ego
Dan kelangsungan evolusi
Kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa
Sebungkuh daging, segumpal emosi
Sekaligus imbesil dan bidadari
Dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha
Dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi
Tari lemah gemulai
Ia tertunduk karena salah, gentar, patuh
Mengecam diri
Dan akhirnya boleh juga, ia dimanja
Sekali-kali
Lalu seperti anak anak keranjingan, bukankah
Bahaya dan pengganggu telah disingkirkan
Kau sibukkan diri dengan permainan:
Sepak bola, billiard, gulat, dan perang jihad
Ilmu, teknologi karena bebas kreatif
Perang, polusi, proton, neutron
Pingpong antara Moskow, Peking, dan Washington
Gemetar tak sabar, ingin perang-perangan
Sementara menunggu saat saling memusnahkan
Laut dikuras, sungai-danau diracuni
Lapisan ozon digerogoti, sampah konsumen
Ke mana dibuang – percuma,
Itu urusan para antariksawan
Bumi itu kue enersi yang halal dibagi-bagi
Pada pesta ulang tahuh, dengan lilin yang nyala
Sumbu bencana –
lalu menyanyi panjang usianya
memang, upacara member khidmat, seperti
diplomasi jadi sandi-sandi
yang semakin sulit untuk difahami
kepada anak-anak ini
berbaju seragam, bertanda bintang, berjubah hitam
dengan wejangan, retorik, agitasi
telah kita percayakan nasib bumi!
Makhluk-makhluk kerdil, diburu kecemasan kastrasi
Hanya kenal satu bencana riil: impotensi
Membusungkan dada lewat psikoanalisa, karena
Solidaritas mafia dan Bapa di Sorga
Akhirnya merestui emansipasi wanita
Aku tuntut kalian
Sekali lagi, - saatnya mungkin terlambat sudah
Perang telah berkecamuk, ekosistem telah buyar
Pengungsi di mana-mana, menipu, lapar, terkapar
Dan diplomasi jadi lawakan, yang sungguh
Tak lucu lagi
Sementara
Kami telah diam cukup lama, berkorban demi
Egomu dan sekian banyak abstraksi
Apa wanita kini harus selamatkan dunia
Tiba-tiba pembangunan jadi urusan kami juga!
Kalian telah kehilangan gengsi
Seperti badut yang tunggang langgang lari
Dalam bencana akhirnya panggil ibu juga
Tapi –
Demi anakku laki-laki,
Tuntutan aku tarik kembali
Dan jadi pengkhianat – atau –
Memang karena sudah terlambat
September ‘80
Tulis komentar baru