Skip to Content

PUISI-PUISI ZEFFRY J. ALKATIRI

Foto SIHALOHOLISTICK

REINIER SI JURU TULIS DARI MIDDELBURG

Aku ikut!

Teriak seorang pemuda yatim

Kepada kapten kapal yang akan bertolak

Dari Middelburg ke Hindia

 

Akan kuhitung jarak

Langkah

Bintang

Akan kuhitung segala di mata

Dan akan kucatat semua di kepala.

Baik, kata sang kapten

Kini kau hitung berapa banyak

Papan kayu kapal ini

 

Sambil mengepel lantai palka

Reinier muda mulai menghitung dan menulis.

Delapan ribu papan besar

Dan empat ribu lembar papan ukuran sedang

Lapornya, saat kapal merapat

di Nieuw Amsterdam

Lalu Reinier menghitung dan mencatat

Jarak langkahnya menuju tangga Stadhuis

Tidak lebih dua belas tahun

Katanya, dalam hati.

 

Reinier menukar bedil dengan pena bulu.

Ia menghitung dan mencatat:

Ribuan orang Cina menggelepar di jalan

dan di sungai

Panjang pantai utara Pulau Jawa

Ribuan pohon pala Pulau Banda

Reinier akhirnya menjadi kruidenier

Yang mencatat secara akurat:

Luas tanah, ratusan budak, emas-perak,

vila mewah, dan hutang piutang miliknya

ke dalam daghregister.

 

Reinier lelah,

Seakan semua telah ditulis

Rhematik keburu memilin pergelangannya

Padahal, ia belum sempat melaporkan

dan tak akan berani melaporkan

Kepada para Heeren

Banyaknya tikus berpesta setiap hari

Di Graanpakhuizen milik mereka.

1999

 

SAIR KEJADIAN SEWAKTU GUNUNG MELETUS (1983)

UNTUK MENGINGAT:

M. BAKIR DAN TAN TENG KIE

 

Di Kota Inten banyak prahu pada kelebu

Lantaran ombak ngamuk seperti sapu.

Air laut meluap sampai ke Kali Baru

Lantan gunung di Banten muntahin abu.

Langit siang jadi gelap malem

Lantaran awan dikekepin asep item.

Di Langgar orang berdoa minta slamat

Lantaran dikira bakal ada kiamat.

Orang Belanda kagak bisa pelesir.

Lantaran di jalan banyak batu pasir.

Orang Cina kebakaran jenggot

Lantaran rumahnya jadi pada reyot.

Arab sengke Krukut batal balik ke Yaman

Lantaran laut di Jawa masih belon aman

Pohon dan genteng jadi pada kelabu

Lantaran banyak abu nempel di situ.

Anak-anak berebut nanggok ikan

Lantaran air kali luber sampe ke jalan.

Ibu-ibu pada menjerit takut

Lantaran tempayan di dapur

pada saling nyikut.

1999

 

J. RACH DAN MOLENVLIET 111

J. Rach bersama budak payung

Bersiap melukis dari seberang Groote Rivier

Menghadap vila de Klerk

 

Pedagang Cina pulang

Tuan kompeni lalu lalang

Sais menunggu penumpang

Candu dikirim ke gudang

Buah-buahan dalam sampan menuju pelelangan

 

Penjaga seperti robot mainan anak

Berdiri kaku berhadapan di depan

Pntu gerbang model Buckingham

Dua orang budak gelut.

Anjing menggigit salah seorang pantat mereka.

 

Istana Versailles berkacak pinggang

Jendelanya terkancing

Barangkali mevrouw de Klerk sedang keliling

Menjajakan berita tentang koleksi permata

barunya

 

J. Rach selesai mengarsir bayang-bayang

Yang semakin menghitam

menelan kaum pribumi

Dan menenggelamkan mereka

Ke dalam dasar Groote Rivier.

1999

 

DJAKARTA, 24 MARET 1945

DARI DAN UNTUK: IBUKU

 

08.32

Kristen hitam bubaran misa

Jalannya merunduk

Tangannya berat mendekap baibel ke dada

 

08.37

Tiga orang geisha kuyu

Baru keluar dari markas Heiho

Menenteng bungkusan hasil barter,

pasti berisi

Beras, ikan asin , dan gula.

 

09.10

Di Priok

Rombongan pemuda gundul

Berbaris menghadap matahari dan bendera

Asia timur raya

Kakinya nyeker berdebu.

Sayup-sayup kimigayo menuntun mereka

Menuju gerbang neraka

 

09.50

Di gudang Jepang

Antrian jatah semakin panjang

Sisa makanan kaleng diperebutkan

Oleh para perempuan rombengan

Anak-anak mereka jalan merangkak

Perutnya buncit berisi angin

 

Sekitar 10.35 – 12.20

Di sebuah kampung

Pada pelataran rindang

Para bocah main hompimpah

Mereka bersiteru

dan mengejek anak yang kalah:

 

nasi uduk ketan urap

orang buduk ditendang arab

nasi uduk ketan urap

orang buduk sering kalap

 

Hari ini wak haji hanya mengimani tiga orang sebaya

Seperti biasa, ancemon kuah

Tumpah

Di perut.

 

13.17

Di sebuah pos jaga

Para opsir kegerahan

Baju dinasnya dibiarkan terbuka

Sebagian mengipas

Matanya mengecil dan semakin setipis garis.

 

14.10

Kata seorang zuster,

Sudah lama rumah sakit kehabisan perban.

Percetakan Kolf tutup

Olimo dan Lindeteves lebih dahulu

Apalagi Pasar Baru.

 

Hari ini

Ada lagi

Orang mati

Di emperan toko

Tubuhnya dipenuhi kutu tuma

Entah nanti

Dibuang ke mana

Dikubur tanpa tanda

Sebab mereka adalah

Orang-orang kalah tanpa nama        

 

Sekitar 14.30 – 14.55

Teng-teng-teng!

Trem line 2 Kota-Menteng

Lewat Deka Park

Angin mengejar di belakang

Dan berloncatan mengisi dua gerbong kosong

Trem line 4 Kota-Tanah Abang

Lewat Gang Ketapang

Biasa membawa sekeranjang keharuman pasar

Di warung kopi

Tukang catut, seperti tawon

Keluar masuk sarang bergantian

Mengabarkan adanya kuncup bunga yang akan mekar

 

Kurang lebih 15.38

Sebuah rumah mewah di jalan Kaji

Tenang ganjil

Penghuninya tidur siang

Kata orang bekas tempat interniran

Para perempuan indo

Sekarang menjadi tempat piaraan

para komandan.

 

Sekitar 16.35

Rombongan pengantri pulang

Wajah mereka matang udang

Di kali sudah banyak orang mandi.

Di depan markas Kempetai

Hinomaru lemas terkulai.

Di sebuah tembok

Poster Banzai – Dai Nippon!

Sobek lusuh tinggal separuh.

 

17.10

Sepintas,

Di meja abu

Rumah nyonya Alan

Terdapat foto baru

Tiga hari yang lalu

Anak perempuannya yang berkepang

Dinyatakan hilang

 

17.58 – 18.35

Sudah tiga tahun ini

Petugas lampu gas menganggur

Djakarta semakin buram kabur.

Setelah maghrib,

Sebaiknya di dalam rumah.

Sebab banyak setan gentayangan

Ngaji.

 

Kunang-kunang sambuk kelapa

Menjadi penunjuk jejak malam

Sebentar lagi ada kusyu-keiho

Siap-siap menggigit karet

Truk tentara akan lewat

 

19.20

Bioskop Al-Hambra, Astoria, dan Thalia

Gelap.

Di beranda hotel des Indes

Lampu 10 watt

Menggelantung sendirian

Para geisha merah menor kembali

Masuk ke kandang babi.

 

21.15

Di rumah pak mantri ada rapat pemuda

Tinta cina mulai habis

Besok mungkin

Aku tidak dapat lagi menulis

1998

 

 

MASUK KOTA 1949

SEPERTI DIKISAHKAN OLEH SEORANG SAKSI MATA

 

Sudah kami persiapkan

Sejak kemarin

Kembang, bendera, dan selendang

Untuk pemuda pejuang

Dari Kerawang dan Tanggerang

 

Dalam konvoi mungkin masih ada

Jono, Idrus, Suratman, dan Bachtiar.

Saudara, teman, dan tetangga kita

Yang kini menjadi gondrong, dekil,

dan lusuh

Padahal dahulu mereka necis dan parlente

Semua sudah tergadai,

saat nica mengetuk pintu.

 

Sudah kami persiapkan

Sejak kemarin

Nyanyian dan lencana

Yang tak sempat tersematkan

Dan tak sempat didengarkan

Percuma,

Sebab mereka keburu menghilang memburu

Hiburan, perempuan, harta rampasan,

dan perumahan.

Di kawasan Menteng, Matraman,

dan Tanah Abang.

 

Kami hanya bersorak sesaat di Kramat.

Mencari wajah yang tak lagi dapat dikenali.

Seperti gedebong hanyut,

Rombongan terdiam pulang.

Sambil menenteng kembang layu

Untuk dibuang!

1999

 

KERONCONG TUGU

Angin kering teluk Jakarta

Pedas menggigit kulit

Menusuk mata menjadi lebam

Menjelang senja,

buaya muara mengatupkan rahang

Dan menyembunyikan matanya yang berair.

Bersama dengung snar macina, prunga,

dan zitara

Yang sedang distem

Nyamuk rawa ikut nimbrung mendengarkan

Para Mardijker

Penghuni wilayah Kapten Jongker

Mengalunkan lagu Porto buyut mereka:

 

Dari Ceylon kita berangkat

Mampir dahulu di Malaka, ya nona.

Lewat laut untung selamat

Akhirnya sampai di Batavia

Tapi, sampai sekarang tetap melarat.

 

Pagar rumput sebagian membungkuk

Mencium air payau Ford Marunda

Dan Tanah Merdeka.

Bulir pasir terus berjatuhan

Dalam gelas kaca dan membenamkan

Kaum Kristao bersama Tugu Padrao

dalam rawa.

 

Tinggal tersisa tangan keluarga

Abraham, Quiko, dan Andries

Megap menggapai tali lonceng gereja

Agar tetap bergema

 

Malam disayat suara biola

Seorang bayi terlelap di pangkuan ibunya

Yang perlahan mendendangkan

Lagu Nina Bobo.

1998

 

LEGENDA MAT ITEM

Kopiah hitam merah beludru

Miring ke kanan

Menutup kepala berambut ikal

Di dalamnya tersimpan jimat pelenyap tubuh.

 

Kumis setebal akar bahar di lengan

Mata merah belo

Persis akik darah di jari tangan

Sepucuk postol bekas rampasan nica

Dan sebuah golok terselip di kanan kiri pinggang

Yang dililit sabuk kedot kebal

 

Mat Item:

Senterklas sohor Betawi kulon

Benggolan tulen tukang santron

Jangan coba sebut sembarang nyebut

Jin angin dapat mengantarnya ke mana dia suka.

Mat Item suka menyelam dalam lautan malam

Dan muncul seketika di depan pintu

Warung babah gendut di bilangan Tanggerang, Muara Karang,

Pesing, Angke,

dan Rawa Buaya.

Atau mampir melepas cumbu

Ke rumah janda dan istrinya di Srengseng,

Kedoya, Kreo, Serpong, Lengkong,

dan Maruya.          

 

Jika Mat Item Nyamper

Centeng petenteng pada keder

Bandar judi keprok dan sintir

Kudu nyetor.

Buntelan hasil jarahan disebar

Untuk pengganjal perut tipis lesak

Sisa kurban jaman Jepang.

 

Judas Eskariot mata recehan

Diam-diam mengintip dalam barisan.

Segepok captunan dari kepolisian

Menaklukan jimat kesaktian

Dua puluh letusan tapak jalak

Menghujam di tubuh kekar hitam

Tanpa balutan

 

Darahnya menyatu dalam gulungan arus

Kali Angke

Sebagian jasadnya dimoyak dan dilempar

Ke berbagai tempat jin buang anak.

Salah satunya tertanam di pemakaman Enclek

Tanggerang

Pada nisannya tertulis:

                                    H. Muhammad Item

                                    Alias Mat Item

                                    Wafat 12-2-1953

1998

 

HABIB

1/

Ahlan!

Serak berat bebatukan

Sepanjang kampung Arab

Pagar tinggi

Pintu mengatup sepanjang siang

Para wanita mengintip

Memastikan tamu

Dari balik jeruji jendela

Mata-mata bulat

Menukik pada sasaran

Hidung-hidung seperti lengkung gunung

Mengisap semua debu kematian

Para baksil Betawi rajin memarut tenggorokan mereka

 

2/

Ahlan!

(Suara dari goa faring kering)

Sang Habib sarungan

Duduk di kursi rotan

Secangkir gahwe jahe mengepul

Di tengah meja marmer segi delapan

Tasbih kecil terus berotasi di jari kiti

Tangan kanan menyangga kepalanya

yang beruban

Segumpalan awan menggantung di atasnya:

 

3/

Sejak umur 21 tahun

Terakhir melihat wadi gurun

Dari Aden menuju Betawi

Setelah muntah di dek kapal Inggris

Matanya menghijau royo

Tanah yang dipijak gembur-subur

Baik ditanam hadis dan fikih

Yang mengakar di setiap sel otaknya

 

4/

Wan mau ke mane wan?

Mau ke Pekojan

Wan mau jual ape wan?

Mau jual merjan

 

Sang habib membawa jadam menuju Kampung Bandan

Membawa kitab menuju maktab

Menebarkan wewangian di rumah

dan di madrasah.

Sepuluh tahun sekali menanggalkan jubah

Menuju Makah melempar jumrah…

Selama 46 tahun

Benih yang ditanam

Menyebar di pelosok Betawi

Dan Habib rindu kepingin pulang!

 

5/

Sepanjang kampung Arab

Dehem dan sengau keledai bersautan

Mereka tak dapat sembunyi dari para penagih

Dan baksil Betawi terus mengejar,

Menggerogoti tenggorokan serta paru-paru

mereka.

 

Ba’da Ashar,

Pintu-pintu mulai terbuka

Sebagian Arab di pangkalan istirahat

Duduk di bale-bale

Sambil mengisap Hoge

 

Ahlan… Bib!

Gahwenya sudah dingin

Saat beduk Maghrib,

Gerakan jarinya berhenti

Tasbihnya jatuh

Tangannya terkulai

Menyentuh lantai

Yang tak berpasir…

1999

 

MALARI: 1974

SEBUAH EPISODE YANG DIGUBAH BERDASARKAN PENGALAMAN PENULIS SEWAKTU DUDUK DI KLAS II SMPN XXXV - GAMBIR

 

Bubaran sekolah aku mengikuti rombongan

Yang meneriakkan pekik kebebasan dalam

kemarahan.

Pada hari itu aku bangga

dapat mengempiskan tiga mobil perwira.

Temanku lima bahkan ada yang sepuluh.

Semua berlomba mengumpulkan pentil

sebanyak mungkin.

Para perwira terpaksa harus berjalan

bersama massa.

Pada hari itu kami bangga

dapat mengusir Panser

Yang petugasnya berendam di dalam.

Kami bergembira dapat menghalau robot-robot

berpakaian seragam

Yang mundur kehabisan strum.

Pada hari itu, kami menjadi sombong,

Karena berhasil menakuti para birokrat

dan aparat.

 

Di Pejambon,

Aku bergabung dengan serombongan Arek

Yang seakan sedang mementaskan

pertunjukan reog.

Mata mereka seperti terpejam.

Hawa mulutnya menebar anggur kebencian

Garang membawa balok dan pentungan

Sambil berteriak seperti orang kesurupan.

 

Kami lalu berbelok ke arah Lapangan Banteng

Menuju Proyek Senen.

Di sana,

Para perempuan penjaga toko

berlari merunduk

Seperti kijang menghindar terkaman macan.

Pemilik toko komat-kamit,

Entah berdoa atau ngomel tak karuan.

Para preman Batak ikut sibuk

membersihkan perhiasan.

Warga Sentiong, Tanah Tinggi, Kwitang,

dan Alamo Kwini

Berebut memusnahkan

barang produksi Jepang.

Sehari itu,

Mata kami menjadi ahli membedakan

Barang yang mana yang harus dibuang

 

Proyek Senen terbakar,

Jakarta lengang

Semua orang berjalan

Bahkan di jalan orang dapat tiduran.

Iring-iringan rombongan seperti ada perayaan.

 

Ya, memang ada

Perayaan menyambut kemenangan

Perayaan menyambut kebencian

Perayaan menyambut kemarahan

Dan perayaan menyambut kecemburuan.

 

Atas nama sebagian orang yang tidak dapat

mencicipi harta bantuan utang Jepang.

 

Di Bunderan Air Mancur,

Mahasiswa bersama massa mendesak aspri

mundur

Karena dianggap sebagai antek Tanaka

Yang menjerumuskan masyarakat Indonesia

ke jurang romusha.

 

Brandwier kehabisan air

Untuk memadamkan jiwa-jiwa yang terbakar

Yang melemparkan kekesalannya melalui

batu-batu,

Melalui linggis, dan melalui api.

Baru pada hari itu, aku merasakan menjadi

pemilik kota ini

Dan merasakan menjadi pemilik negeri ini.

Setelah berjalan berputar-putar,

kami berpencaran.

Di pinggir jalan orang bertanya,

Tentang asap yang menghitam

di belakang kami.

 

Menjelang Malam,

Di depan jalan ke rumahku

Para tetangga bergerombol

Seakan berhasil menjerat mangsa buruan

Mereka mengurungku dan menanyakan

peristiwa hari itu.

Ternyata, aku adalah orang pertama yang

ditunggunya.

Nah…, aku menjadi pewarta.

Mereka mengikutiku sampai ke serambi

rumahku.

Dengan tenang kuurut semua menit kejadian.

Pada hari itu Aku menjadi berita

Aku menjadi pencerita

Aku menjadi koran dan radio

Aku adalah si pewarta

Yang bangga dapat mengalahkan

Oom Usman dan ‘Ceu Ety

Yang biasa menyajikan berita kepada para tetangga.

 

Akulah berita

Akulah koran dan radio

Akulah si pencerita

Akulah si pewarta

Akulah si pencatat pertama

Yang membuat Oom Usman dan ‘Ceu Ety

melongo dan keqi

Pada hari itu kesombongan mereka

kutaklukkan.

 

Sampai tengah malam

Para tetangga masih seperti lalat

mengerubungi bangkaiku.

Walaupun berjalan berkilo meter,

aku tidak merasa lelah.

Yang tersisa hanya perasaan bahagia

Atas kebebasan, kemenangan,

dan keberanian.

 

Selesai,

Semua telah kuwartakan.

Tapi ada sesuatu yang kulewatkan

Yang tak kuceritakan pada mereka

Dan tak akan pernah kuceritakan,

Bahwa di dalam kantong celanaku

Tersimpan puluhan jam tangan

Dan beberapa emas batangan

Hasil jarahan…

1999

 

BATAVIA CENTRUM

1933:

Beberapa encek dan encim

Tergopoh-gopoh memikul

Keranjang keringat.

Menyusuri lorong sempit

Pertokoan Pintoe Ketjil.

 

1942:

Jeppun datang

Bagero, katanya

Kepada babah berbaju blacu

Yang memelas saat gudangnya

Dikuras.

Tahun ini tanpa Sin Chia

Kue Pia hanya berisi ampas kelapa.

 

1954:

beberapa amoy dan akew

membuka grendel pintu

Dan menunggu recehan

Untuk mengisi pundi-pundi abu mereka.

 

1963:

Sebagian enci dan engkoh

Mengganjal pintu.

Dan membiarkan asap hio

Masuk ke rumahnya

Diam-diam mereka menghitung

Hari-hari sial dengan sipoanya.

 

1979:

Taipekong dapur iri

Melihat dewa judi

Diberi dupa wangi setiap hari

Marga Tan dan Lie mengikat chiefen

Sebagian sampkai ke vihara

Sisanya bersimpuh di hadapan Bunda Maria.

 

1992:

Beberapa encim dan empe

tertatih bergandengan

Menuju emperan untuk senam Tai-Chi

Sementara cucu mereka

Masih tertidur pulas di Singapura.

 

1998:

Tirai-tirai besi koyak berderak

Bersamaan dengan itu

Batu giok Dewi Kwam Im dan Macan Pa Kua

Jatuh beserakan

Bersama abu leluhur mereka.

1998

 

JAMPI DUKUN BAYI BETAWI

SUARA AZAN DIBISIKKAN KE TELINGA SI BAYI

 

Bismillah

Mate jangan seliat-liatnye

Kuping jangan sedenger-dengernye

Lidah jangan sengomong-ngomongnye

Mulut jangan semakan-makannye

Muke jangan semerengut-merengutnye

Bibir jangan sedower-dowernye

Perut jangan sebuncit-buncitnye

Jidat jangan selicin-licinnye

Pale jangan sebotak-botaknye

Tangan jangan sepegang-pegangnye

Kaki jangan sejalan-jalannye

Kulit jangan sebuduk-buduknye

 

Insyaallah… Wabarakallah …

Nangis jangan sejadi-jadinye

Marah jangan sengamuk-ngamuknye

Otak jangan selupe-lupenye

Hati jangan sekosong-kosongnye

Darah jangan sekotor-kotornye

 

Puah! Alhamdulillah…

1999

 

TENTANG ZEFFRY J. ALKATIRI

Zeffry J. Alkatiri lahir 30 Agustus 1960 di Jkarta. Berasal dari keluarga campuran Arab, Pakistan, dan Betawi. S1 jurusan Rusia FSUI (1987) dan S2 Kajian Wilayah Amerika UI. Profesi: Dosen di jurusan Rusia FSUI. Kumpulan puisinya: Pintu, Etalase, Batavia Centrum (1998). Adapun naskah Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999 (2001) meraih penghargaan pertama dalam Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik tahun 1998-2000 yang diselenggarakan oleh PKJ-TIM.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler