Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 093: LEMBAH AKHIRAT

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS093.jpg
WS093.jpg

SATU

 

Bayangan putih yang berkelebat di malam gelap dan dingin itu tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi. Beberapa saat kemudian satu bayangan lagi muncul di tempat itu. Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya orang ini memandang berkeliling. Ternyata dia seorang pemuda berwajah tampan, berkumis tipis, mengenakan pakaian serba merah. Sehelai kain hitam menutupi kepalanya sampai ke kening.

“Heran, apa dia punya ilmu amblas ke dalam tanah? Barusan saja aku masih melihat dia berada di depanku. Bagaimana tahu-tahu lenyap tanpa bekas?” Orang yang berkata dalam hatinya itu memandang berkeliling. “Malam gelap sekali. Tapi mataku tak bisa ditipu. Tak ada pohon besar untuk bersembunyi. Tak ada semak belukar untuk mendekam. Aneh….”

Orang ini lalu melangkah ke kiri. Dari sini dia membuat gerakan memutar. Tetap saja orang yang tadi diikutinya tidak kelihatan. “Apa aku meneruskan perjalanan saja menuju Kutogede. Bagaimana kalau berpapasan lagi dengan guru. Seperti kejadian beberapa hari lalu. Hampir aku kepergok olehnya! Kalau dia sampai menemuiku bakalan celaka diriku! Selain itu aku harus memberitahukan satu hal penting pada orang yang kukejar tapi lenyap begitu saja!”

Sambil bicara dalam hati, sepasang mata orang ini terus memandang kian kemari. Apa yang dicarinya tidak kelihatan. Sesaat dia merasa bingung. Apa akan terus mencari orang yang tadi dikejarnya atau meneruskan perjalanan saja. Selagi dia menimbangnimbang begitu tiba-tiba dari sebuah lobang sedalam pinggang yang nyaris tak kelihatan karena tenggelam dalam kegelapan malam yang sangat pekat menyambar serangkum angin dahsyat. Menghantam ke arah pemuda berpakaian merah yang tegak di tempat terbuka itu. Meski terkejut mendapat serangan tak terduga itu namun karena sebelumnya dia telah berlaku waspada maka begitu sambaran angin yang sanggup menghancurkan batu mematahkan pohon besar itu menderu ke arahnya, pemuda berbaju merah melompat ke udara. Dengan sudut matanya dia telah melihat dari mana datangnya serangan gelap itu. Karenanya begitu melayang turun pemuda ini balas melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, diarahkan ke lobang di kegelapan.

“Wusss!”

“Byarrr!”

Lobang terbongkar. Tanah laksana berubah jadi air dan muncrat ke udara. Dalam gelap terdengar suara orang memaki lalu samar-samar tampak bayangan putih melayang ke udara. Pemuda berbaju merah mengikuti gerakan tubuh yang melayang. Ketika dia hendak menghantam kembali tiba-tiba dia melihat ada sebuah benda melesat di udara. Sebelum dia sempat melihat jelas, tahu-tahu sekujur tubuhnya telah dilibat ikatan benang halus berwarna putih.

“Ah! Memang dia rupanya!” kata pemuda berpakaian merah begitu dia mengenali benda apa yang mengikatnya hingga dia tak mampu bergerak barang sedikit pun. Tiba-tiba dari arah kegelapan benang putih halus itu dikedut orang. Tak ampun lagi tubuh si pemuda melesat ke udara. Lalu laksana layang-layang ditarik ke bawah hingga menghunjam tajam ke arah tanah. Bersamaan dengan itu dari kegelapan terdengar orang berteriak.

“Makan tanganku! Jebol batok kepalamu!”

“Astaga! Dia hendak membunuhku!” ujar si pemuda. Dalam keadaan terikat dan melayang begitu rupa dia coba gerakkan badannya ke kiri seperti gelondongan kayu. Tapi orang di dalam gelap lebih cepat menyentakkan benang yang mengikat tubuhnya. Akibatnya sernakin deras dirinya tertarik ke bawah, kepala lebih dulu! “Celaka! Hancur kepalaku!”

“Kek! Jangan bunuh diriku!”

“Eeee anak gila! Walau gelap aku tidak buta! Orang berpakaian merah yang menguntitku sejak dari pantai dua hari lalu ini adalah seorang pemuda! Tapi mengapa suaranya seperti perempuan? Apa masih ada banci di dunia ini?!”

“Kek! Aku Puti Andini! Jangan….”

“Anak setan kurang ajar! Akan aku rotan kau sampai seribu kali!” “Dettt… dettt…dettt!” Benang halus putih kembali dikedut orang sampai tiga kali. Sosok orang berpakaian merah melayang berputar satu kali. Kalau tadi tubuhnya menghunjam deras ke tanah maka kini tubuh itu laksana layang-layang yang diturunkan bergerak ke bawah perlahan-lahan dan akhirnya tergolek menelentang di tanah.

“Gadis nakal! Terlambat kau mengatakan siapa dirimu, nyawamu tak ketolongan!

Apa yang kau lakukan itu? Kau sengaja mencari mati?!” Seorang tua berpakaian putih berkepala botak plontos muncul di samping Puti Andini yang menyamar sebagai seorang pemuda. “Kek, buka dulu ikatan Benang Kayanganmu. Nanti aku terangkan….” “Kau kira aku tak tahu sejak dua hari lalu kau menguntitku terus menerus…!” “Betul, tapi buka dulu ikatan benang saktimu. Aku sulit bernafas!”

“Itu hukuman agar kau tahu rasa!” jawab orang dalam gelap. Lalu dia gerakkan tangannya dua kali. Benang sakti yang melibat tubuh orang yang terhampar di tanah secara aneh terbuka. Orang ini segera membuka kain lebar yang menutupi kening dan kepalanya. Begitu penutup kepala terbuka maka terlepaslah rambut panjang yang sebelumnya tergulung. Lalu tangannya bergerak menanggalkan kumis tipis yang menghias bagian atas bibirnya. Serta merta wajahnya yang tadi kelihatan seperti wajah pemuda tampan dan halus kini berubah menjadi wajah seorang gadis cantik berambut panjang. Dengan cepat gadis ini melompat tegak dan menjura. Orang tua yang berdiri di depannya keluarkan tawa mengekeh.

“Hebat juga dandanan penyamaranmu! Sekarang ayo katakan mengapa kau menguntit membayangiku terus menerus! Apa kau tidak sadar itu pekerjaan berbahaya yang membuatku bisa salah menurunkan tangan maut?! Kau tahu banyak orang yang ingin membunuhku sejak beberapa waktu belakangan ini!”

“Maafkan aku Kek. Aku tadinya masih meragukan apa kau yang aku ikuti selama beberapa hari ini benar-benar kakekku Tua Gila. Soalnya penyamaranmu jauh lebih hebat dariku!”

Orang tua berkepala botak tertawa terkekeh-kekeh. Tangan kirinya bergerak ke bagian belakang kepala. Sekali dia menarik maka terlepaslah satu topeng tipis yang membungkus muka dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang kakek cekung keriput. Sepasang matanya memiliki rongga dalam dan sangat lebar. Rambutnya, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin. Ternyata dia adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati dan di masa mudanya juga dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa.

“Kita sama-sama menyamar. Tentu punya alasan. Apa alasanmu Cucuku?” tanya Tua Gila pada Puti Andini yang memang adalah cucunya sendiri. (Seperti dituturkan dalam Episode I Tua Gila Dari Andalas) dari hubungan cintanya dengan Sabai Nan Rancak di masa muda lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Andam Suri. Anak ini kemudian kawin dengan Datuk Paduko Intan. Ketika melahirkan Puti Andini, Andam Suri meninggal dunia. Datuk Paduko Intan melenyapkan diri. Ternyata dia telah menjadi searang Raja kecil di sebuah kerajaan pulau Sipatoka. Dari istrinya yang kedua Datuk Paduko Intan dikarunia seorang putera yakni Datuk Pangeran Rajo Mudo. Kalau tidak tersesat ke pulau Sipatoka itu seumur hidup Tua Gila tak akan pernah bertemu dengan bekas menantu dan puteranya yang berarti adalah juga cucunya.

“Puti Andini, kau belum mengatakan mengapa kau menyamar dan meninggalkan pulau Andalas?”

“Tak lama setelah Datuk Angek Garang meninggalkan Andalas, guruku Sabai Nan Rancak juga berangkat. Dia berpesan agar aku segera kembali ke Singgalang. Tapi setelah ditinggal sendirian aku merasa apa gunanya mendekam di gunung itu. Walau aku mendapat pengalaman pahit di tanah Jawa sebelumnya tapi perasaan hatiku mendorongku untuk kembali ke sini. Untuk menghindarkan segala macam urusan yang tidak diduga, terutama jangan ketahuan guru aku terpaksa menyamar…, Nah sekarang giliranmu Kek menceritakan mengapa kau menyamar jadi kakek botak!”

Tua Gila tertawa lebar lalu berkata. “Aku tahu perasaan hati yang mana yang paling keras mendorongmu untuk kembali ke tanah Jawa ini. Kau ingin menemui muridku si sableng itu bukan?” Tua Gila tertawa mengekeh melihat paras Puti Andini menjadi merah.

“Kau jangan mengganggu aku Kek!” kata si gadis seraya memalingkan wajahnya ke jurusan lain. “Ayo lekas kau ceritakan apa sebabnya kau menyamar.” “Banyak orang yang ingin membunuhku. Kau tahu sendiri. Salah seorang diantaranya adalah gurumu Sabai Nan Rancak. Kemanapun aku pergi maut selalu membayangi. Aku tidak takut mati. Tapi ada beberapa urusan yang perlu aku selesaikan kalaupun kelak aku harus mati. Di tengah perjalanan menuju kesini aku mendapat kabar dari seorang sakti di kawasan laut selatan bahwa satu malapetaka telah menimpa muridku Wiro Sableng. Bahaya besar mengancam dirinya. Selama seratus hari dia akan kehilangan semua ilmu silat dan kesaktiannya. Aku harus melakukan sesuatu untuk menolongnya. Celakanya dimana dia berada belum ku ketahui. Kemungkinan dia berada di Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Sebelum menuju ke sana aku akan menyelidik dulu barang beberapa hari….”

“Aku dapat membayangkan kesulitan besar yang kau hadapi Kek. Kalau saja aku bisa menolong….” Puti Andini terdiam sesaat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana dengan Malin Sati, muridmu itu Kek?”

Wajah Tua Gila langsung berubah mengelam. Rahangnya menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak. “Anak malang …” desah si kakek. “Setelah kusadari dirinya hanya tinggal tubuh kasar, anak itu aku kuburkan di sebuah pulau….”Sampai di sini Tua Gila hentikan penuturannya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah akan diceritakannya pertemuannya dengan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan yang adalah ayah kandung cucunya itu. Juga tentang Datuk Pangeran Rajo Mudo yang merupakan saudara satu ayah Puti Andini. “Urusan nanti bisa panjang. Aku khawatir. Untuk sementara biar aku rahasiakan dulu ihwal orang-orang itu pada gadis ini….”

Wajah Tua Gila tampak berkerut. Dia seperti merenung.

Karena lama orang tua itu tidak kunjung membuka mulut maka Puti Andini lalu berkata. “Kek, tak lama setelah aku menginjakkan kaki di Jawa ini aku menyirap kabar tentang adanya sebuah kitab maha sakti disebut Kitab Wasiat Malaikat. Konon kitab itu berada di tangan Datuk Lembah Akhirat yang diam di sebuah lembah bernama Lembah Akhirat. Aku pernah tahu tentang Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Putih Wasiat Dewa. Katanya Kitab Wasiat Malaikat ini jauh lebih hebat dari dua kitab itu. Menurut kabar, Datuk Lembah Akhirat akan memberikan kitab sakti itu pada siapa saja yang dianggapnya cocok. Apa kau pernah tahu hal ihwal Kitab Wasiat Malaikat itu Kek?”

“Aku memang mendengar berita itu. Bahkan apa yang ku dengar kitab itu hanya akan diberikan pada orang yang berjodoh tapi harus dari golongan putih. Lalu kabarnya telah jatuh beberapa korban dalam memperebutkan kitab tersebut. Bagaimana urusannya kurang jelas bagiku. Aku tidak tertarik untuk mendapatkannya karena urusanku jauh lebih penting. Apa kau berniat mencarinya?” tanya Tua Gila.

“Mungkin…. Siapa tahu aku berjodoh” jawab Puti Andini.

“Mudah-mudahan kau memang berjodoh mendapatkannya. Namun jika kau suka dan jika kau ada niat hendak menolong muridku Pendekar 212, ada satu hal yang bisa kau lakukan.”

Mendengar disebutnya Pendekar 212 sepasang mata si gadis kelihatan membesar dan mengeluarkan cahaya. “Kek, aku akan melakukan apa saja untuk menolong muridmu itu. Katakan apa yang kau ingin aku lakukan.”

“Puluhan tahun silam ketika aku dan Sinto Gendeng masih sama-sama menuntut ilmu sebagai saudara satu guru kami diwarisi dua senjata mustika sakti. Yang pertama adalah sebilah pedang putih disebut Pedang Naga Suci 212. Senjata kedua berupa sebilah kapak bermata dua disebut Kapak Naga Geni 212. Sinto Gendeng memilih Kapak Naga Geni 212 dan dia berhasil mendapatkannya. Padahal senjata itu seharusnya cocok untuk diriku yang laki-laki. Aku berembuk dengan Sinto Gendeng agar kapak diserahkan padaku dan dia mengambil pedang saja. Tapi waktu itu kami sudah berseteru karena aku berlaku culas dalam bercinta dengan dirinya. Sinto Gendeng melenyapkan diri membawa Kapak Naga Geni 212 dan sekaligus menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 di suatu tempat. Bertahuntahun aku berusaha mencari pedang itu tapi sulit dijajagi dimana beradanya. Ketika akhirnya aku mengetahui letak penyimpananya, aku tidak berminat lagi. Sekarang kurasa tiba saatnya aku menyelusuri lagi keberadaan pedang sakti itu. Namun bukan untuk diriku dan aku tidak punya waktu untuk mencarinya. Mungkin kau berjodoh dengan Pedang Naga Suci 212 itu ….”

Puti Andini terbelalak mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Mungkinkah aku salah dengar atau orang tua ini yang salah bicara?” pikirnya. “Pedang maha sakti itu hendak diberikannya padaku?!”

***

 

DUA

 

Tua gila menatap paras gadis di depannya beberapa lama lalu bertanya. “Mengapa kau terbelalak? Kau kira aku main-main?” Polos saja Kek, mengapa kau mau menyerahkan senjata itu padaku?” tanya Puti Andini.

“Hemmm…. Itu rupanya yang ada dalam benakmu. Baik aku tua bangka ini akan coba menjawab. Hik… hik… hik!” Tua Gila tertawa dulu baru meneruskan ucapannya. “Pertama aku sudah tua, sudah bau tanah, tinggal menunggu datangnya malaikat maut saja. Suat apa aku menghabiskan waktu mencari Pedang Naga Suci 212? Apa aku masih mau jadi jagoan? Ha… ha… ha! Kedua Pedang Naga Suci 212 itu dirancang untuk perempuan. Aku tak mau dikatakan banci karena memakai pedang perempuan. Hik… hik… hik! Yang ketiga daripada senjata itu kuberikan pada orang lain bukankah lebih baik aku berikan padamu cucuku sendiri? Hal ke empat, dulu kau dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis cantik sakti bersenjata tujuh buah payung. Sejak senjatamu dihancurkan musuh kini kulihat kau tidak lagi memiliki senjata lain….”

“Aku akan menemui seorang ahli pembuat payung di pantai utara Jawa,” menerangkan Puti Andini.

“Itu bagus. Namun rasanya lebih baik kalau tujuh buah payung itu kau ganti dengan sebilah pedang. Apa kau tidak merasa berabe ke mana-mana membawa tujuh buah payung?”

Cucu Tua Gila itu mengusap pipinya beberapa kali lalu berkata. “Kek, aku mau saja mengganti payung dengan pedang. Tapi bagaimana kalau guruku Sabai Nan Rancak nanti menanyakan? Ilmu payung tujuh itu aku pelajari darinya.”

“Ah itu urusanmu dengan dia. Bukankah kau pandai mencari akal? Ha… ha… hal”

Tua Gila lalu meneruskan. “Hal terakhir yang paling penting ialah Pedang Naga Suci 212 memiliki daya pengobatan luar biasa. Mungkin dengan senjata itu malapetaka yang tengah dihadapi muridku Wiro Sableng bisa dimusnahkan.”

Sepasang mata Puti Andini membesar ketika mendengar nama Pendekar 212 disebutkan. “Kalau memang begitu katamu aku akan segera mencari Pedang Naga Suci 212. Namun tentu saja untuk mencari senjata itu akan memakan waktu. Apakah muridmu bisa bertahan…?” “Itulah yang aku risaukan,” jawab Tua Gila. “Tadinya aku berencana pergi ke Gunung Gede tempat kediaman gurunya.

Namun rasanya terpaksa aku batalkan. Lebih baik aku mencari muridku lebih dulu…. Sekarang aku akan memberitahu dimana Pedang Naga Suci 212 berada. Di dasar telaga besar Gajahmungkur!” Puti Andini tampak terkejut. “Kek, sesuai kabar yang aku sirap dan kalau aku tidak salah, bukankah telaga itu berada di tempat yang disebut Lembah Akhirat?”

Tua Gila mengangguk. “Aku tahu maksudmu. Menurut hikayat yang aku dengar, ratusan tahun silam terjadi satu bencana alam besar. Sebuah pedataran luas di barat daya Gunung Lawu tiba-tiba digoncang gempa dahsyat. Pedataran itu amblas ke pusar bumi membentuk sebuah lembah luas. Sebagian dari lembah digenangi air aliran Bengawan Solo, membentuk sebuah telaga yang kemudian diberi nama Telaga Gajahmungkur. Ratusan penduduk tenggelam menemui ajal di telaga ini. Sebagian pedataran lagi berubah menjadi lembah. Ternyata di sini lebih banyak penduduk yang amblas tertimbun tanah. Orang-orang menamakan lembah ini sebagai Lembah Akhirat. Dan kini kabarnya di tempat itu berada Kitab Wasiat Malaikat yang lebih hebat dari Kitab Wasiat Iblis ataupun Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesuai namanya maka Kitab Wasiat Malaikat hanya boleh dikuasai oleh orang-orang golongan putih. Nah kalau kau berangkat ke tempat itu, aku harap kau lebih dulu mencari Pedang Naga Suci 212. Baru mencari Kitab Wasiat Malaikat jika memang itu juga menjadi tujuanmu….”

“Kek, Telaga Gajahmungkur itu setahuku luas bukan main. Bagaimana aku bisa menemukan Pedang Naga Suci 212 itu?”

“Aku tidak suka mendengar ucapan seperti itu!” kata Tua Gila dengan keras dan mata cekung membelalak. “Kita orang-orang persilatan tidak boleh mengenal kata tidak bisa!”

Puti Andini merasa kecut melihat wajah kakeknya sendiri. Melihat sikap cucunya itu Tua Gila tertawa dan bertanya. “Memangnya kau tidak bisa berenang?” .

“Aku bisa berenang Kek. Tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Telaga Gajahmungkur selain luas juga dalam sekali. Mampukah aku menyelam lama untuk mencari senjata sakti itu?”

“Pasti mampu! Kau harus menyelam walaupun sampai seribu kali! Bahkan sampai kiamat! Jangan tinggalkan Telaga Gajahmungkur sebelum kau dapatkan Pedang Naga Suci 212! Itu perintah dari aku kakekmul Dan kau akan kualat kalau tidak melakukannya!”

“Aku berjanji mengikuti perintahmu itu Kek,” jawab Puti Andini. “Lalu kalau Pedang Naga Suci 212 berhasil aku temukan, di mana aku akan mencari muridmu untuk mengobati?”

Tua Gila usap-usap janggut putihnya. “Kita membuat janji saja. Malam bulan purnama empat belas hari yang akan datang kita bertemu di timur Telaga Gajahmungkur. Mudah-mudahan aku telah berhasil menemukan muridku. Sekarang aku harus pergi….”

“Tunggu dulu Kek, ada sesuatu yang perlu aku beritahu padamu,” kata Puti Andini seraya memegang lengan kakeknya.

“Hemm, ada apa lagi?” tanya Tua Gila. Sewaktu sang cucu hendak menjawab Tua Gila angkat tangan kirinya memberi isyarat. Lalu dengan sangat perlahan dia berkata. “Aku punya firasat ada seseorang mendengarkan pembicaraan kita. Dia bersembunyi di sekitar sini. Aku dapat mencium baunya ….”

Tua Gila dan juga Puti Andini memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-.apa. Tibatiba dari arah kanan terdengar suara berkeresek dan muncul satu moncong panjang disusul tubuh gemuk yang kemudian berlari cepat dan lenyap dalam kegelapan malam.

“Hanya seekor babi hutan Kek. Apa yang perlu kau khawatirkan?” ujar Puti Andini.

Tua Gila tertawa mengekeh. “Mudah-mudahan penciumanku tidak saru dengan bau binatang tadi.. .. Nah, kau hendak mengatakan apa Cucuku?”

“Ketika masih berada di Pulau Andalas, aku mendengar guruku Sabai Nan Rancak dan Datuk Angek Garang berjanji bertemu pada hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo dekat Candi Mendut”

Mendengar disebutnya nama Datuk Angek Garang rahang Tua Gila langsung menggembung. “Datuk keparat pembunuh muridku itu! Dia tak bakal lolos dari kematian!”

Tua Gila gerakkan jari-jari tangan kanannya. Lima tulang jarinya terdengar berkeretakan.

“Sekarang sudah delapan hari lewat dari waktu yang kau sebutkan itu. Berarti mereka sudah tak ada lagi di situ,” kata Tua Gila pula.

Puti Andini gelengkan kepala. “Malam tadi tak sengaja aku melihatnya di Jenar, tengah menuju ke utara. Jika dia memang menuju ke tempat perjanjian berarti malam ini dia akan sampai di sana. Bukit Tegalrejo itu tak jauh dari sini Kek….”

“Cucuku, keteranganmu sangat penting artinya bagiku. Aku mengucapkan terima kasih. Aku akan segera menyelidiki kawasan sekitar bukit itu”

“Aku ikut bersamamu Kek!”

“Tidak bisa! Apa kau lupa tugasmu? Mencari Pedang Naga Suci 212?!” “Maafkan aku Kek,” kata Puti Andini cepat. “Nah, aku pergi sekarang!” Dengan cepat Tua Gila mengenakan kembali topeng tipisnya. Maka kembali berubahlah dia menjadi seorang kakek kepala botak. Sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu.

Sesaat setelah Tua Gila berlalu Puti Andini segera pula hendak mengenakan kain hitam tutupan kepala dan menempelkan kumis palsunya. Namun tiba-tiba “bettt!”

Satu bayangan hitam berkelebat. Sesosok tubuh berdiri di depan Puti Andini membuat gadis in tersurut beberapa langkah!
“Mana dia?!” orang di depan Puti Andini membentak.

***


TIGA

 

Sepasang mata membeliak memperhatikan Puti Andini mulai dari kepala sampai ke kaki. Si gadis melihat seorang nenek berjubah hitam, berambut putih panjang riapriapan dan berwajah bulat dengan tahi lalat di dagu kiri. Sepuluh kuku jarinya panjang dan berwarna hitam. Perempuan tua ini bukan lain adalah Sika Sure Jelantik yang juga telah berada di tanah Jawa dalam menguntit dan mengejar Tua Gila. Sebelumnya dia telah bertekad untuk membunuh kekasih di masa mudanya itu.

Namun kemudian dia dilamun oleh rasa serakah yakni ingin sekaligus mendapatkan Kalung Permata Kejora yang diketahuinya berada di tangan Tua Gila. Namun ketika tahu bahwa benda itu tak ada lagi pada Tua Gila maka dia memutuskan untuk menguntit si kakek. Sampai dia mengetahui dimana beradanya kalung sakti tersebut baru dia akan menghabisi manusia yang sangat dibencinya itu.

“Gadis tolol! Apa kau tuli atau gagu hingga tak menjawab pertanyaan orang?!” Sika Sure Jelantik menghardik garang. “Mana dia? Aku dapat mencium baunya!”

“Nek…. Siapa yang kau maksudkan?” tanya Puti Andini karena mendadak ditanya tanpa tahu ujung pangkal.

Sika Sure Jelantik hendak membentak kembali tapi kali ini dia bisa sedikit menguasai diri. “Aku mencari seorang kakek berpakaian putih. Punya janggut putih, rambut putih, kumis putih! Muka cekung dan mata selebar ini!” Si nenek pergunakan jari-jari tangannya untuk membuka lebar-lebar kedua matanya.

Otak cerdik Puti Andini cepat bekerja. “Jangan-jangan nenek ini salah satu yang pernah jadi kekasih kakekku di masa muda lalu dikecewakan. Setelah tua menjadi musuh dan kini ingin membalaskan dendam. Hemmm… Betapa pun jahatnya Tua Gila dulu, dia tetap kakekku. Aku harus membelanya. Biar aku mempermainkan nenek ini, mengajaknya bicara panjang lebar, agar Tua Gila bisa lari lebih jauh….”

Puti Andini cepat menjura. “Maafkan aku tak segera menjawab. Aku masih terkejut dengan kehadiranmu yang tiba-tiba. Pasti kau seorang berkepandaian tinggi. Aku yang muda sekali lagi mohon maaf. Mengenai orang yang kau tanya itu aku sejak tadi berada di sini dan tak melihat siapa-siapa….”

“Jangan dusta! Baunya masih tercium di tempat ini!” bentak Sika Sure Jelantik.

“Tadi memang ada yang muncul di sini Nek. Di sebelah sana. Lalu kabur ke jurusan sana. Tapi bukan manusia. Seekor babi hutan gemuk!”

“Jahanam! Kutampar mulutmu, ku rusak wajahmu yang cantik baru tahu rasa! Aku bertanya manusia mengapa kau memberikan jawaban binatang?!”

“Itulah Nek, harap kau tidak marah. Yang kulihat di sini memang hanya seekor babi hutan. Mungkin saja orang yang kau cari itu memang lewat di sini sebelum aku berada di tempat ini. Aku lihat kau seorang nenek yang baik. Jika aku bisa menolong pasti aku akan melakukan!”

“Anak bau kencur sepertimu ini bisanya apa!” ujar Sika Sure Jelantik masih marah tapi sudah agak mengendur. “Kau sendiri mengapa malam-malam buta begini ada di sini?”

Puti Andini mulai bersandiwara. Dia tak segera menjawab tapi unjukkan wajah murung. Lalu dengan suara agak tersendat dia menjawab. “Aku…. Ada tugas yang harus kulakukan. Aku harus menemukan sebuah batu hitam yang kabarnya berada di dasar Telaga Gajahmungkur….”

“Ada-ada saja kau ini! Kalau cuma sebuah batu hitam di mana pun ada. Mengapa sampai mencari ke dasar telaga? Kau mau berapa gerobak batu hitam hah?!”

“Yang kucari bukan batu hitam biasa Nek,” jawab Puti Andini. “Batu itu memiliki mukjizat besar untuk mengobat penyakit…. Kabarnya ada di dasar Telaga Gajahmungkur.”

“Eh, memangnya siapa yang sakit?” Sika Sure Jelantik mulai tertarik.

“Ibuku…” jawab Puti Andini.

“Apa sakit ibumu sampai hanya sebuah batu yang mampu mengobatinya?”

“la menderita sakit dan sengsara batin karena ditinggal ayah. Ayah tergoda oleh seorang gadis penghibur lalu meninggalkan ibu begitu saja sejak setahun silam…. Aku telah berupaya mencari dukun, tabib dan berbagai orang pandai tapi sia-sia saja. Seorang sakti mengatakan tentang batu hitam itu. Hanya itu kini satu-satunya harapanku untuk mengobati ibu….”

“Dasar laki-laki! Semua memang jahanam!” kata Sika Sure Jelantik pula sambil mengepalkan tinju.

Puti Andini menyeka matanya dengan ujung baju merah dan memperkeras isakannya.

“Jangan menangis! Aku paling tidak suka melihat orang menangis! Apa lagi perempuan! Itu sebabnya lelaki mencemoohkan kita sebagai makhluk lemah! Setan betul!”

“Aku menangis bukan karena apa Nek. Tapi karena aku sangat khawatir tak bakal pernah bisa mendapatkan batu hitam pengobat ibuku itu.”

“Eh, mengapa begitu? Bukankah kau sudah tahu batu itu berada di dasar Telaga Gajahmungkur?”

“Betul Nek. Tapi telaga itu luas dan dalam sekali. Walau aku bisa berenang tak mungkin aku sanggup menyelam berlama-lama….”

Dua bola mata Sika Sure Jelantik membesar. “Anak ini seperti tahu aku punya kepandaian menyelam dalam air. Jangan-jangan dia sengaja hendak mengajakku….”

“Nek, mengapa kau memperhatikan aku melotot begitu rupa?” tanya Puti Andini sedih.

“Tidak, tidak apa-apa,” jawab Sika Sure Jelantik.

“Kalau begitu izinkan aku pergi. Aku harus mencari batu itu sampai dapat….”

“Tunggu dulu…!” Si nenek berkata.

“Kau ingin mengatakan sesuatu Nek?”

“Aku akan memberikan satu ilmu kepandaian padamu. Tapi hanya punya kekuatan selama seratus hari….”

Puti Andini unjukkan wajah kaget. “Ilmu… ilmu apa yang hendak kau berikan padaku Nek?”

“Agar kau bisa berada dalam air dalam waktu lama. Agar kau bisa menyelam sampai ke dasar telaga dan mencari serta mendapatkan batu hitam pengobat ibumu itu!”

“Nek, kau tidak main-main atau bagaimana? Kita baru saja kali ini bertemu tapi kau hendak memberikan ilmu kepandaian….”

“Sudahlah, jangan banyak bertanya! Sebelum ilmu itu aku berikan padamu kau harus berjanji! Setelah ibumu sembuh kau harus mencari ayahmu, memintanya kembali pada ibumu….”

“Aku akan lakukan petunjukmu itu Nek. Tapi bagaimana kalau ayahku menolak?”

“Kau harus membunuhnya! Laki-laki seperti ayahmu itu harus disingkirkan dari muka bumi! Jika kau tidak bersedia mengikat perjanjian, ilmu itu tidak akan kuberikan….”

Puti Andini pura-pura termenung. Sejurus kemudian dia menganggukkan kepala.

“Aku berjanji Nek.”

“Satu hal perlu kau ketahui. Begitu ilmu itu masuk ke dalam tubuhmu kau akan tergeletak pingsan selama satu hari satu malam di tempat ini….”

Paras Puti Andini jadi berubah. “Kalau begitu…. Maukah kau menolong meletakkan aku di tempat yang aman? Aku khawatir kawasan ini banyak celengnya. Bisa-bisa….”

“Jangan terlalu banyak meminta. Kalau kau sudah kuberi ilmu dan kau pingsan, bukan urusanku lagi mengurus dirimu! Katakan kau mau ilmu itu atau tidak? Terserah!”

“Baik Nek, bagaimana menurutmu sajalah!” jawab Puti Andini.

“Sekarang mendekat ke sini!”

Murid Sabai Nan Rancak itu melangkah ke hadapan Sika Sure Jelantik.

“Dongakkan kepalamu dan pejamkan mata!” perintah si nenek selanjutnya seraya melipat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Puti Andini lakukan apa yang dikatakan si nenek. Begitu dia mendongak dan pejamkan mata tiba-tiba dia merasakan ada dua benda tumpul menekan dan menutup sepasang lobang hidungnya. Satu aliran hawa dingin mengalir masuk ke dalam jalan pernafasannya. Kepalanya terasa mau pecah. Lidahnya terjulur dan sepasang bola matanya seperti mau melompat dari rongganya. Gadis ini keluarkan pekik kesakitan lalu roboh tak sadarkan diri.

Sika Sure Jelantik menghela nafas dalam. Dia membungkuk mengusap wajah Puti Andini hingga mata dan mulutnya terkatup kembali. Tiba-tiba seolah baru sadar si nenek berkata. “Tololnya diriku. Aku sama sekali tidak menanyakan namanya! Ah sudahlah” Si nenek pandang wajah gadis itu sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu.

***


EMPAT

 

Satu pemandangan luar biasa tampak di hutan Delanggu. Sebuah tandu besar terbuat dari lima buah batang pohon kelapa dipanggul oleh empat orang kakek bertubuh tinggi kerempeng. Gerakan mereka lincah dan cepat menyeruak di antara semak belukar dan kerapatan pepohonan. Padahal lima batang kelapa itu beratnya bukan main. Apalagi diatas tandu itu kelihatan bergelung sesosok tubuh gemuk luar biasa. Suara dengkurnya yang berkepanjangan menandakan si gendut ini tengah tertidur lelap. Namun anehnya sebuah pipa panjang yang mencantel di sela bibirnya terus saja mengepulkan asap, menebar bau tembakau yang tidak sedap.

Siapakah adanya orang gemuk yang ditandu oleh empat kakek kurus itu? Dia bukan lain adalah Si Raja Penidur, dedengkot dunia persilatan yang sulit dijajagi ilmunya. Selama hidupnya yang puluhan tahun dia lebih banyak tidur daripada melek. Sebenarnya jarang dia pergi ke mana-mana. Kalau dia terpaksa meninggalkan tempat kediamannya maka berarti ada satu hal penting yang terjadi di dunia persilatan. Untuk pergi ke mana-mana dia selalu ditandu oleh orang-orang yang juga berpenampilan aneh. Seperti empat kakek kurus kerempeng itu. Jangankan memanggul lima batang kelapa, menggotong batang pohon biasa saja rasanya mereka tidak akan sanggup. Tapi buktinya walau berempat mereka sanggup memanggul lima batang kelapa yang dijadikan tandu dan dibebani sosok tubuh ratusan kati itu!

Sekeluarnya dari hutan Delanggu empat kakek memanggul tandu ke arah barat lalu menyusuri kawasan selatan Gunung Merapi. Setelah menyeberangi sebuah sungai dangkal Si Raja Penidur terus dilarikan ke jurusan barat laut hingga akhirnya sampai di satu bukit kecil. Salah seorang kakek di sebelah depan angkat tangan kirinya memberi tanda. Tiga kawannya segera hentikan lari.

“Ini bukit yang dikatakan Raja Penidur! Kita berhenti di sini, menunggu sampai dia bangun dan menerima petunjuk selanjutnya!”

Perlahan-lahan tandu batang kelapa itu diturunkan.

“Kalau begitu lekas kita membuat teratak untuk berlindung dan bermalam. Kita tidak tahu kapan Raja Penidur akan bangun. Mungkin seminggu. Bisa juga sebulan lagi!” berkata kakek kurus di sebelah belakang sambil membetulkan celananya yang kedodoran. Empat kakek cabut golok panjang dari balik pinggang masing-masing lalu berbagi kerja menebangi pohon dan mengumpulkan ranting-ranting berdaun untuk dibuat gubuk. Menjelang petang pekerjaan itu rampung. Selagi ke empatnya melepaskan lelah, tiba-tiba dengkur Raja Penidur berhenti. Empat kepala cepat berpaling. Di atas tandu batang kelapa sosok Raja Penidur tampak bergerak menggeliat. Asap dari pipa mengepul keras. Lalu terdengarlah suara si gemuk ini batuk-batuk.

“Malam apa siang saat ini…?” Si Raja Penidur ajukan pertanyaan. Suaranya parau. Apalagi saat itu pipa panjang masih terselip di sela bibirnya.

“Saat ini sore hari, Raja Penidur. Masih cukup lama sebelum matahari tenggelam.” Menjawab salah seorang dari empat kakek.

“Hemmm….” Raja Penidur bergumam lalu menguap lebar-lebar. Jari kelingking tangan kanannya dimasukkan ke dalam liang telinga kanan lalu digoyang-goyangkan beberapa kali. Sepasang matanya tampak terbalik-balik tanda mencungkil telinga itu nikmat sekali baginya. “Aku mendengar ada orang melangkah di kejauhan. Salah satu dari kalian lekas menyelidik ke arah timur. Cari orang itu. Jika bertemu jangan berkata apa-apa tentang diriku. Bawa langsung ke sini!” Raja Penidur lalu menguap kembali. Dia membalikkan badannya ke kiri.

Gerakannya kini membuat batang-batang pohon kelapa yang menahan tubuhnya berderak-derak. Salah seorang dari empat kakek cepat berdiri. Dia segera bergegas ke jurusan timur. Tak lama berselang di kejauhan, dari arah depan dia melihat seorang berpakaian putih berjalan menuruni lereng bukit.

“Apa yang dikatakan Raja Penidur tidak meleset. Pasti orang ini yang dimaksudkannya….” Si kakek segera memapasi orang itu. Ternyata dia adalah seorang pemuda berambut gondrong, berwajah pucat. Di balik pakaiannya ada sesuatu yang menyembul tanda dia membekal senjata. Pemuda ini berjalan tertatih-tatih, entah kecapaian entah sedang sakit. Melihat ada orang sengaja mendatanginya pemuda itu hentikan langkahnya.

“Anak muda bermuka pucat! Lekas kau ikut dengan aku!”

Yang ditanya pandangi kakek kurus tinggi di hadapannya sesaat lalu berkata. “Orang tua, aku tidak kenal denganmu, mengapa aku harus ikut bersamamu?”

“Jangan banyak cerita! Aku tidak punya waktu banyak! Ayo lekas ikut!”

Si pemuda menyeringai dan garuk-garuk kepala. “Kalaupun kau seorang gadis cantik, belum tentu aku mau ikut! Coba katakan dulu siapa kau adanya! Mengapa aku harus ikut denganmu dan ikut ke mana?!”

“Kau membuat aku kehilangan kesabaran!” Si kakek mengomel. Dia melompat ke depan siap untuk menyergap dan meringkus. Pemuda berambut gondrong sambut sergapan orang dengan satu jotosan ke arah dada.

“Bukkk!”

Jotosan itu tepat menghantam dada yang kurus kerempeng. Tapi si kakek sama sekali tidak bergeming malah pemuda yang memukul tampak mengernyit dan kibas-kibaskan tangannya yang terasa sakit. Selagi dia kesakitan begitu rupa kakek di hadapannya kembali menyergap.

“Tunggu! Katakan dulu siapa kau adanya!” teriak pemuda gondrong.

“Tutup mulutmu! Kau mau ikut secara baik-baik atau aku terpaksa menurunkan tangan keras?!”

“Hemmmm, aku sekarang bisa menduga siapa kau adanya. Jangan-jangan kau bangsa tua bangka yang doyan daun muda, suka sesama jenis!”

“Jahanam! Kalau tidak menjalankan perintah akan kurobek mulutmu!” teriak si kakek kurus marah sekali. Sekali dia berkelebat maka pemuda di hadapannya terhuyung ke kiri. Lalu cepat sekali tangan kirinya menyambar tengkuk baju putih si pemuda dan di lain kejap pemuda itu telah berada di atas bahu kirinya lalu dilarikan ke arah dari mana tadi dia datang. Tak selang beberapa lama si kakek sampai kembali ke tempat Raja Penidur dan tiga temannya berada. Lima batang pohon kelapa berderak-derak begitu Si Raja Penidur membalikkan tubuh sambil menguap lebar-lebar. Kedua matanya masih saja terpicing.

“Kau berhasil menemukan orang itu?!” Raja Penidur bertanya.

“Aku berhasil! Dia bersamaku saat ini!” jawab kakek yang datang membawa sosok pemuda berpakaian putih di bahunya.

“Lemparkan dia ke perutku!”

Si kakek goyangkan bahunya. Tubuh pemuda yang dipanggulnya melesat ke atas setinggi tiga tombak lalu melayang jatuh ke bawah dengan deras.

“Blukkk!”

“Uhhhh!”

Si pemuda mengeluh kesakitan walau tempat jatuhnya itu terasa empuk. Rasa empuk yang aneh. Hidungnya mencium bau tembakau terbakar. Dia angkat kepala dan memandang berkeliling, berusaha mencari tahu di mana dia berada dan yang lebih penting mengetahui di atas apa dia barusan jatuh tertelungkup. Dia melihat baju hitam luar biasa besarnya dan tidak terkancing. Dia melihat tubuh gemuk berlemak dan berkeringat! Lalu dia melihat wajah serta pipa panjang yang mengepulkan asap itu.

“Astaga! Raja Penidur! Kau rupanya!” Pemuda ini segera hendak turun dengan cara menggelindingkan dirinya dari tubuh yang gemuk besar itu. Namun belum sempat dia bergerak tangan kiri yang gemuk besar Raja Penidur datang menyambar. Kepala pemuda berambut gondrong langsung tenggelam ke dalam rangkulannya. Celakanya bagian muka masuk ke dalam ketiak! Membuat bukan saja si pemuda pengap sulit bernafas tapi juga seperti mau tanggal hidung dan pecah kepalanya oleh bau ketiak yang menghimpit mukanya! Perutnya laksana diaduk-aduk dan mulutnya mau muntah!

“Raja Penidur…. Uhh… uhh! Lepaskan cekalanmu! Aku Wiro Sableng!”

Si pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng pergunakan kedua tangannya untuk melepaskan pitingan tangan Si Raja Penidur. Tapi bagaimanapun dia berusaha tetap saja tak mampu. Dalam pelukan Raja Penidur dia berteriak terus-terusan.

“Kakek Raja Penidur! Lepaskan! Aku Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng. Kau sobatku dan sobat guruku! Lepaskan…. Aduh! Uhhh!”

Si Raja Penidur menguap lebar-lebar. Pipanya mengepulkan asap berbau tidak enak.

“Kakek Raja Penidur!” teriak Wiro sekali lagi.

“Uaaahhhh!” Kembali tokoh silat aneh itu menguap.

“Kek! Kalau kau tidak mau melepas cekalanmu aku terpaksa menendang perutmu! Kalau aku salah tendang bijimu bisa pecah!”

“Uaahhh! Ha… ha… ha…!” Asap tembakau me ngepul makin keras. Wiro semakin pengap dan terbatuk-batuk. “Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Sinto Gendeng! Ayo tendang apa saja dari tubuhku yang bisa kau tendang! Uaahhh!”

Meskipun sudah bicara tapi sepasang mata Si Raja Penidur tetap saja terpejam!

“Kalau itu maumu baik! Jangan salahkan diriku!” teriak Wiro, lalu sikut kanannya dihantamkan ke dada Raja Penidur. Menyusul tumitnya dihunjamkan ke perut. Belum juga terlepas cekalan si gendut itu Wiro hantam lambung Raja Penidur dengan tendangan keras. Semua serangan itu tentu saja hanya mengandalkan tenaga luar yang tidak punya daya kekuatan apa-apa lagi.

“Uaahhh! Murid Sinto Gendeng, kau memukuli dan menendangiku atau tengah mengusap-usap tubuhku?! Ha… ha… ha!”

“Sialan!” Maki Wiro dalam hati. “Kau rasakan yang ini!” Lalu dibukanya mulutnya lebar-lebar, siap menggigit dada Raja Penidur yang gembrot.

Uaaahhh!” Walau matanya masih terpejam tapi Raja Penidur tahu apa yang hendak dilakukan murid Sinto Gendeng itu. Masih memiting kepala Wiro dia balikkan tubuhnya. Gerakannya ini tak ampun lagi membuat sebagian tubuh Pendekar 212 terhimpit. Wiro merasa tubuhnya seperti hancur.

Selagi dia mengeluh kesakitan Raja Penidur kembali membalik. Kini bagian tubuh Wiro yang lain yang kena tersepit. Ternyata apa yang dilakukan si gendut itu tidak cuma sampai di situ. Dia bukan cuma menjepit atau menghimpit tubuh Wiro dengan badannya yang gemuk berat tapi juga membantingnya kian kemari. Sekali dia mencekal tengkuk Wiro lalu kepala pemuda itu dihunjamkan ke dadanya yang gembrot. Kadang-kadang dia memegang kaki atau tangan Pendekar 212 terus membantingkannya ke atas perutnya. Demikian berulangkali. Kalau mula-mula Wiro masih bisa mengeluarkan suara berteriak kesakitan, lama-lama suaranya hanya tinggal erangan. Keadaannya mulai dari rambut sampai ke kaki tidak karuan rupa!

Raja Penidur tertawa mengekeh lalu menguap dua kali. “Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini! Aku muak padamu! Kau hanya mengganggu tidurku saja! Pergi sana!”

Lalu sekali tangannya bergerak tubuh Pendekar 212 terlempar ke samping dan jatuh tertelentang di tanah.

“Uaahhhh!” Raja Penidur menguap lebar-lebar lalu setelah menghembuskan asap pipanya dia jentikkan tangan kiri. Salah satu dari empat kakek kurus tinggi segera mendekati. Dari balok pakaiannya Raja Penidur kemudian mengeluarkan segulung kain berwarna merah.

“Letakkan jubah ini di atas tubuh pemuda itu! Tidak! Kau taruh di atas kepalanya saja agar kepala dan wajahnya tertutup. Kasihan juga kalau malam nanti mukanya yang jelek itu habis digerogoti nyamuk! Ha… ha… ha!”

Kakek yang tegak di samping Si Raja Penidur segera mengambil jubah yang disodorkan lalu meletakkan benda ini sedemikian rupa hingga kepala dan wajahnya tertutup.
Kain berwarna merah itu ternyata adalah sehelai jubah beludru merah berlapis kain sutera juga berwarna merah. Seluruh tepi jubah diberi umbai-umbai yang terbuat dari benang warna emas.

“Uaahhhh!” Si Raja Penidur kembali menguap. Lalu dia bertepuk empat kali. Empat kakek kurus tinggi yang sejak tadi hanya diam berdiri memperhatikan apa yang terjadi, mendengar isyarat tepukan itu serta merta mengangkat tandu batang kelapa. Mereka segera menggotong Si Raja Penidur ke arah selatan. Di kejauhan suara dengkurnya terdengar membahana!

***


LIMA

 

Gemeletak suara roda-roda gerobak dan kaki-kaki kuda terdengar tiada putusputusnya di malam cerah itu. Di angkasa bulan sabit dan bintang-bintang menerangi kawasan yang dilalui hingga kuda penarik gerobak dapat dipacu kencang. Pengemudi atau kusir gerobak seorang lelaki tua tinggi besar bertampang garang. Kulitnya sangat hitam. Jenggot serta kumisnya tebal meranggas. Di atas kepalanya bertengger sebuah destar merah. Pakaiannya yang serba hitam dan gombrong menambah keangkerannya.

Saat itu kuda penarik gerobak telah berlari kencang laksana dikejar setan. Namun sang pengemudi masih juga mendera kuda itu dengan cambuk di tangan kirinya. Jelas dia ingin cepat sampai ke satu tujuan dan punya satu urusan sangat penting.

“Binatang jahanam! Larimu seperti kuda bunting! Ayo lari lebih cepat! Cepaaattt!”

Pengemudi gerobak berteriak. Lalu cambuk di tangan kirinya kembali dihantamkan ke punggung kuda. “Delapan hari aku terlambat! Sesuai perjanjian dia akan menunggu paling lama delapan hari dari saat pertemuan yang telah ditentukan. Ini adalah malam terakhir jika dia memang masih ada di tempat itu! Jahanam! Kalau saja aku tidak terpikat pada pelacur berbadan sintal itu tak bakal jadi begini! Mengapa aku tolol sekali! Urusan penting aku sepelekan begitu saja!”

“Darrr… darrr… darrr!”

Si tinggi besar kembali hantamkan cambuknya ke tubuh kuda penarik gerobak. Tibatiba dia tarik tali kekang yang dipegangnya di tangan kanan. Serta merta kuda penarik gerobak tertahan larinya. Beberapa belas tombak di hadapannya tampak melintang satu batang kayu besar menghalangi jalan. Di atas batang kayu ini duduk seorang tua tak dikenal, berkepala botak. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.

Jauh berjalan banyak nan dilihat

Lama hidup banyak nan dirasa

Salah jalan bisa tersesat

Salah hidup bisa celaka

Pengemudi gerobak berusaha menghentikan larinya kuda dengan menarik tali kekang kuat-kuat. Empat kaki kuda menggeru tanah. Debu dan pasir beterbangan di udara. Walau kuda berusaha menghentikan larinya namun dorongan gerobak yang ditariknya demikian hebat hingga binatang ini tak dapat lagi menghindari tabrakan dengan orang tua berkepala botak dan batang pohon.

Sekejap lagi tabrakan itu akan terjadi, orang tua berkepala botak melesat lenyap. Kuda meringkik keras. Dua roda gerobak menghantam batang pohon. Selanjutnya kuda dan gerobak sama-sama tergelimpang dan terbanting ke tanah! Orang di atas gerobak sendiri keluarkan seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara, jungkir balik lalu melayang turun dengan sepasang kaki menjejak tanah lebih dulu. Jelas orang ini memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak sejak tadi-tadi dia sudah terhempas berkelukuran di tanah!

“Jahanam! Kemana perginya tua bangka kepala botak itu?!” ujar si tinggi besar berkepala botak. Selagi dia mencari-cari tiba-tiba kembali terdengar suara nyanyian.

Jauh berjalan banyak nan dilihat

Lama hidup banyak nan dirasa

Salah jalan bisa tersesat

Salah hidup bisa celaka

Si tinggi besar ini palingkan kepalanya ke kiri. Di sebelah sana, di atas gerobak yang terbalik dilihatnya kakek kepala botak duduk di atas roda gerobak yang berputar-putar. Dia menyanyi sambil sengaja ikut memutarkan diri pada roda gerobak!

“Setan alas!” Lelaki tua tinggi besar merutuk. Matanya berkilat-kilat. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar suara bergemeletakan tanda dirinya telah dibungkus kemarahan.

Kalau jalan sudah tersesat

Sulit balik untuk kembali

Kalau hidup mencari celaka

Kutuk sengsara segera tiba

Sekali melompat kusir kereta itu sampai di depart gerobak yang terbalik.

“Tua bangka gila! Siapa kau?! Mengapa sengaja menghadang jalanku!”

Roda gerobak terus berputar. Kakek botak yang duduk berjuntai di pinggiran roda gerobak ikut berputar-putar.

“Kau tak menjawab pertanyaanku! Makan ini!”

Si baju gombrong hitam menunggu orang tua di atas roda gerobak berputar sampai di hadapannya. Lalu secepat kilat tangan kanannya melesat ke arah muka orang yang saat itu masih saja terus-terusan menyanyi.

“Bukkkk”

Dua lengan beradu keras di udara ketika orang yang diserang menangkis. Si tinggi besar baju gombrong tersurut satu langkah sambil mengernyit menahan sakit pada lengannya yang barusan bentrokan. Roda gerobak terus berputar. Begitu orang tua botak sampai lagi di hadapannya kembali si baju gombrong hitam menghantam. Kali ini sekaligus dengan pukulan kiri kanan.

Kakek botak di atas roda yang berputar tiba-tiba membuat gerakan aneh. Kedua kakinya jingkrak-jingkrakan. Kepalanya bergerak menghuyung kian kemari seperti kepala seekor ular mabok. Tangannya direntang-rentang membuat gerakan aneh. Tubuh-nya seperti mau terjungkal jatuh dari atas roda gerobak. Namun aneh dan luar biasanya semua gerakan yang dibuatnya itu mampu mengelakkan serangan maut yang dilancarkan lawan!

“Bangsat tua! Kau mau lari ke mana?!” teriak si tinggi besar ketika dilihatnya orang tua berkepala botak itu tidak ada lagi di atas roda gerobak. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara nyanyian.

Hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo

Datang dari jauh untuk janji bertemu

Sayang maksud tak pernah kesampaian

Nyawa yang terhutang harus dilunasi lebih dulu

Si tinggi besar berpakaian serba hitam gombrong palingkan kepala. Darahnya tersirap oleh rasa kaget mendengar bait-bait nyanyian yang dilantunkan orang tua berkepala botak tak dikenalnya itu.

“Siapa jahanam ini sebenarnya. Bagaimana dia bisa tahu perihal perjanjianku di bukit Tegalrejo?!” Sehabis membatin begini dia melompat ke hadapan si tua botak yang saat itu duduk menjelepok di tanah di pinggir jalan.

“Tua bangka sinting! Siapa kau sebenarnya?!”

Yang ditanya dongakkan kepala. Sepasang matanya menatap tajam pada orang yang tegak di hadapannya membuat si tinggi besar ini jadi tergetar. Lalu mulutnya terbuka lebar dan terdengar suara tawanya berkekehan.

“Jika kau masih terus bersikap gila dan tak mau menjawab pertanyaanku, terpaksa kupecahkan kepalamu!” Orang tua di hadapan kakek botak tak dapat lagi menahan marahnya. Kaki kanannya ditendangkan ke kepala si botak.

Tubuh kakek yang diserang tampak terhuyung aneh. Kepalanya seperti tersentak ke samping. Tendangan maut lawan lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya. Begitu tendangan orang tidak mengenai sasaran tubuh kakek botak mencelat ke atas dan “Buk!” Satu jotosan mendarat di pelipis si tinggi besar. Tubuhnya terpelanting. Darah mengucur membasahi mukanya yang hitam!

Terdengar suara tawa mengekeh disusul suara nyanyian.

Darah telah mengucur

Pertanda raga akan segera hancur

Darah telah mencuat

Pertanda nyawa sebentar lagi akan minggat

Datuk Angek Garang sayang sekali kau tak punya kesempatan minta ampun dan bertobat!

Mendengar namanya disebut terkejutlah si tinggi hitam berpakaian gombrong. Memang sebenarnya dia adalah Datuk Angek Garang, seorang tokoh silat dari Andalas yang berserikat dengan Sabai Nan Rancak untuk membunuh Tua Gila. Dia pula yang membunuh Malin Sati, murid tunggal Tua Gila. Datuk Angek Garang pergunakan lengan baju hitamnya untuk mengusap darah yang membasahi sebagian wajahnya. Mulutnya komat-kamit entah hendak mengucapkan apa. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah orang tua berkepala botak yang tegak di hadapannya sambil tertawa-tawa. Perlahan-lahan Datuk Angek Garang angkat ke dua tangannya. Telapak tangan digosokkan satu sama lain. Dari sela-sela jarinya keluar kepulan asap hitam. Bersamaan dengan itu menebar bau busuk sekali.

“Pukulan Hawa Neraka! Ha… ha… ha..!” Kakek botak tertawa gelak-gelak.

“Bagus! Kau sudah tahu pukulan sakti apa yang akan kukeluarkan untuk membungkam mulut serta jalan nafasmu!” ujar Datuk Angek Garang.

“Kau sangat pandai memberi nama ilmu pukulan bau kentut itu Datuk Angek Garang! Justru hawa neraka itulah yang akan mengantar rohmu ke alam akhirat! Ha… ha…ha!”

Bersamaan dengan itu kakek botak lepaskan topeng yang menutupi kepala dan wajahnya.. Maka kelihatanlah wajahnya yang asli.

“Tua Gila…” desis Datuk Angek Garang dengan suara bergetar. Diam-diam dia menjadi kecut. Dulu di Andalas bersama Sabai Nan Rancak dan Magek Bagak Baculo Duo dia tak sanggup menghabisi kakek aneh ini. Sekarang berhadapan hanya seorang diri bagaimana mungkin nyalinya tidak akan leleh. Maka dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Kedua tangannya lalu dihantamkan ke depan. Dua larik sinar hitam menggebu. Bau sangat busuk menghampar membuat Tua Gila seperti tersumbat jalan pernafasannya. Lehernya seperti dicekik. Dengan cepat orang tua ini kerahkan tenaga dalam. Sambil berteriak keras dia melesat ke udara. Dart balik pakaian putihnya dicabutnya sebuah tongkat kayu. Lalu laksana seekor burung elang yang menyambar mangsanya Tua Gila melayang menukik ke bawah. Tongkat di tangan kanan berkiblat!

“Kraaakk!”

Datuk Angek Garang menjerit keras ketika tulang telapak dan jari-jari tangan kirinya hancur kena pukulan tongkat. Walau tongkat itu hanya sebuah tongkat kayu terbuat dari kayu butut dan enteng, tetapi di tangan Tua Gila seolah berubah menjadi palu besi!

“Tua Gila! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Datuk Angek Garang. Dia kembali melepaskan pukulan Hawa Neraka dengan tangan kanannya. Namun serangan ini disusul dengan satu lompatan. Selagi tubuhnya melayang satu tombak di udara dia kebutkan lengan baju hitamnya yang gombrong. Tiba-tiba tiga buah keris kecil aneh berwarna merah dan mengeluarkan api menderu ke arah Tua Gila, mencari sasaran di tiga bagian tubuh orang tua ini.

Tua Gila mendengar deru serangan senjata rahasia itu. Namun pemandangannya tertutup oleh asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Dia membuat gerakan jungkir batik untuk mengelakkan serangan sambil putarkan tongkat kayunya ke samping sedemikian rupa untuk melindungi dirinya. Karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar coklat yang hebat.

“Bummm!”

Dua tenaga dalam bentrokan keras. Dua keris merah api berhasil dibuat mental. Tapi keris yang ke tiga menyusup lebih cepat dan berhasil menancap di bahu kiri Tua Gila. Pakaian yang dikenakan si kakek langsung terbakar. Tubuhnya yang ditancapi keris api laksana dipanggang. Tua Gila menjerit keras saking sakit dan marah. Tongkat kayunya mental dan hancur berkeping-keping di udara.

Dengan terlebih dulu menutup jalan nafasnya tua Gila melompat menerobos kepulan asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Saat. itu di balik kepulan pukulan saktinya sendiri Datuk Angek Garang tampak tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada. Sepasang matanya mendelik. Dari mulutnya mengucur darah kental.

“Datuk Angek Garang! Kau membunuh muridku! Hari ini kau terima balasanmu! Aku inginkan nyawamu manusia anjing!”
Apa yang terjadi kemudian berlangsung sangat cepat.
Datuk Angek Garang meraung keras ketika mata kirinya amblas kena tusukan dua ujung jari tangan kanan Tua Gila. Namun suara raungan ini serta merta lenyap laksana direnggutkan setan begitu satu renggutan dahsyat merobek lehernya, mematahkan tulang leher dan membusai otot serta urat-urat besar di leher itu!

Tua Gila tegak terhuyung-huyung memperhatikan Datuk Angek Garang yang terkapar mati di depan kakinya setelah terlebih dulu menggelepar-gelepar beberapa kali. Dalam keadaan terluka Tua Gila berusaha membalikkan gerobak yang terbalik. Kuda penarik gerobak yang masih ketakutan diusapnya berulang kali hingga menjadi jinak. Lalu dengan satu tendangan tubuh Datuk Angek Garang dibuatnya mencelat dan jatuh menelungkup di atas gerobak. Di salah satu bagian depan gerobak ada sebuah obor. Tua Gila segera menyalakan obor ini.
“Kuda baik…. Kau tahu ke mana tujuanmu semula. Pergi ke bukit Tegalrejo. Bawa mayat itu…” kata Tua Gila sambil mengelus leher kuda penarik gerobak.

Seolah mengerti apa kata orang binatang itu meringkik keras lalu bergerak ke arah timur setelah Tua Gila menyingkirkan batu kayu yang menghalangi jalan. Tua Gila sendiri mungkin karena kehabisan tenaga atau terlalu banyak darah yang mengucur, mungkin juga ada racun dalam tubuhnya dari keris merah api tiba-tiba mengeluh pendek lalu roboh di tanah.

***


ENAM

 

Di lereng timur Bukit Tegalrejo nenek bermuka putih keriput Sabai Nan Rancak nampak gelisah setelah Kakek Segala Tahu meninggalkannya seorang diri dalam menanti kedatangan sobatnya yakni Datuk Angek Garang. Bukan saja dia gelisah karena telah lewat delapan hari waktu yang ditentukan Datuk Angek Garang belum juga muncul, tetapi lebih dari itu apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu melipat gandakan kegelisahan itu. (Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Asmara Darah Tua Gila).

Kakek Segala Tahu telah meramalkan padanya bahwa Datuk Angek Garang, orang yang ditunggunya tak akan pernah datang. Kalaupun dia muncul di kaki Bukit Tegalrejo itu maka dia akan muncul tanpa nyawa.

Sabai Nan Rancak menghela nafas panjang. Lalu telinganya menangkap suara gemeretak roda. Memandang ke kaki bukit sebelah timur dalam kegelapan malam Sabai Nan Rancak melihat sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir, ada obor menyala di bagian depannya, bergerak perlahan menuju kaki bukit. Hatinya mendadak tidak enak. Dengan cepat nenek ini berkelebat menuruni bukit hingga dalam waktu singkat dia telah berada di depan gerobak. Sabai mengusap leher kuda itu beberapa kali lalu memegang tali kekangnya. Begitu kuda dan gerobak berhenti si nenek memeriksa bagian belakang gerobak. Parasnya langsung berubah dan matanya membeliak.

“Datuk Angek Garang!” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik. Di atas gerobak menggeletak satu sosok tubuh berpakaian gombrong warna hitam. Kepalanya memakai sebuah destar merah. Dari ciri-ciri orang itu jelas sudah bagi Sabai Nan Rancak bahwa dia adalah Datuk Angek Garang, sobat yang sesuai perjanjian akan menemuinya di tempat itu pada hari tujuh bulan tujuh.

Sabai pandangi lagi tubuh yang menggeletak menelungkuk itu.

“Aku harus melihat mukanya. Jangan-jangan hanya ciri-ciri saja yang sama. Siapa tahu bukan dia…” Berpikir sampai di situ dengan tangan kirinya Sabai Nan Rancak balikkan tubuh di atas gerobak hingga tertelentang. Begitu matanya memandang tubuh dan muka orang yang ada di lantai gerobak itu si nenek sampai tersurut tiga langkah saking ngerinya. Meski tampang Datuk Angek Garang sebagian tertutup darah, salah satu matanya terbongkar dan lehernya seolah habis dimangsa harimau lalu tangan kirinya hancur namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali. Orang yang telah jadi mayat mengerikan di atas gerobak itu memang adalah Datuk Angek Garang.

“Kakek Segala Tahu…” desis Sabai Nan Rancak begitu dia ingat pada kakek bercaping, berpakaian compang camping membawa tongkat kayu dan kaleng rombeng itu.

“Apa yang dikatakannya betul. Jangan-jangan ia yang telah membunuh Datuk Angek Garang. Lalu datang memberitahu pura-pura meramal! Kurang ajar! Aku akan menyelidik dan mencarinya. Jika benar dia yang membunuh sobatku ini, akan kukorek jantungnya! Aku tak ada waktu mengurus mayat ini!” Sabai Nan Rancak gebrak pinggul kuda. Binatang penarik gerobak meringkik keras lalu menghambur lari laksana dikejar setan.

***

Kita kembali pada keadaan Puti Andini, gadis cantik murid Sabai Nan Rancak yang sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Seperti dituturkan sebelumnya secara tidak sengaja dia telah bertemu dengan Sika Sure Jelantik yang datang dari Pulau Andalas untuk mencari Tua Gila. Dengan kecerdikannya gadis ini berhasil memikat si nenek hingga akhirnya diberi ilmu yang membuat dia mampu menyelam lama di dalam air. Namun akibat dari pemberian ilmu itu Puti Andini jatuh pingsan. Sika Sure Jelantik kemudian meneruskan perjalanan dengan agak menyesal karena dia tidak sempat mengetahui siapa nama gadis itu.

Malam berlalu merayap. Menjelang pagi sekelompok babi hutan muncul di tempat Puti Andini tergeletak. Selagi binatang-binatang ini mengendus-endus tubuh si gadis tibatiba muncul tiga ekor anjing hutan, rata-rata bertubuh besar dan sedang kelaparan. Semula mereka hendak memangsa kawanan babi hutan tadi. Namun karena babi-babi itu melarikan diri maka kini sosok Puti Andini yang jadi sasaran.

Tiga anjing hutan melolong panjang dapatkan mangsa segar itu. Mata mereka berkilat merah, lidah terjulur dan gigi-gigi besar runcing mencuat di mulut yang terbuka. Salah seekor dari mereka yaitu anjing hutan betina yang paling besar dan sedang hamil serta paling lapar langsung melompati tubuh Puti Andini. Moncongnya menyambar ke arah pergelangan kaki gadis ini. Siap untuk ditarik dan digeragot putus!

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lalu “Crasss!”

Leher anjing hutan betina yang hendak memangsa kaki Puti Andini putus. Kepalanya menggelinding. Darah muncrat dan tubuhnya terbanting roboh melejang-lejang.

Dua anjing lainnya menyalak keras. Lalu mengejar kuda dan penunggangnya yang barusan menebas batang leher teman mereka. Sadar kalau dua anjing besar itu bisa mencelakai kudanya maka si penunggang ketika melewati sebatang pohon melompat ke atas. Sesaat dia bergelantungan berputar-putar pada cabang pohon itu. Ketika dua ekor anjing mendatangi dia cepat melayang turun dan hunus pedangnya yang masih basah oleh darah. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda bertampang keren berkulit sawo matang, mengenakan pakaian hijau terbuat dari beludru bagus sekali. Potongan tubuhnya yang kekar menambah kejantanannya. Di telinga kanannya mencantel sebuah anting-anting kecil terbuat dari emas. Anjing di sebelah kanan menyerang lebih dahulu. Dia menunggu sampai binatang itu sampai dekat sekali di depannya baru dia menggerakkan tangan yang memegang pedang.

“Craaasss!”

Anjing besar melolong panjang menggidikkan. Isi perutnya berbusaian dari luka besar yang merobek tubuhnya sebelah bawah. Anjing ketiga seperti kesetanan menggembor keras lalu melompati pemuda beranting-anting emas itu. Yang satu ini ternyata memiliki gerakan cepat luar biasa. Sekali melompat dua kaki depannya telah berada di depan dada si pemuda, siap untuk merobek. Tidak sempat mempergunakan pedangnya karena jarak terlalu pendek, pemuda itu cepat melompat ke samping. Dari samping baru dia tebaskan pedangnya.

“Crasss… crasss!”

Dua kaki depan anjing besar tertebas putus. Binatang ini roboh ke tanah. Bergulingguling dan terkaing-kaing lalu tersaruk-saruk dengan dua kaki depan buntung dia melarikan diri dalam kegelapan malam menjelang pagi. Setelah membersihkan pedangnya yang berlumuran darah lalu memasukkannya ke dalam sarung pemuda ini cepat melangkah menghampiri sosok Puti Andini yang masih terbujur di tanah.

***

Ketika dia siuman, Puti Andini dapatkan dirinya terbaring di atas sebuah jaring yang terbuat dari akar-akar panjang pepohonan hutan. Memandang berkeliling ternyata dia berada di antara dua cabang pohon tinggi. Gadis ini merasa gamang ketika dia melihat ke bawah.

“Bagaimana aku tahu-tahu berada di sini…?” pikir Puti Andini.

“Apa ada hantu hutan membawaku ke sini? Bagaimana caranya aku turun ke bawah…. Ah, sungguh aneh! Seingatku si nenek berkuku panjang itu katanya hendak memberikan satu ilmu padaku. Dia menyuruh aku memejamkan mata. Lalu ada rasa sakit luar biasa. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Dan sekarang aku berada di sini! Apa dia yang melakukan? Gila! Mengapa susah-susah sampai meletakkan aku di atas pohon seperti ini?!” Puti Andini memeriksa keadaan dirinya. Pakaian merahnya kotor tapi tubuhnya tak kurang suatu apa. Memandang berkeliling dia dapatkan saat itu hari masih sangat pagi. Di sekelilingnya terdengar suara kicauan burung. Gadis ini menarik nafas dalam dan tubuhnya terasa segar. Namun sesaat kemudian kembali dia merasa gelisah. Dia mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa turun dari pohon yang tinggi itu.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di antara kelebatan semak belukar di bawahnya dia melihat ada seorang berpakaian hijau bergerak cepat. Dalam waktu singkat dia sudah berada di bawah pohon di mana Puti Andini berada. Belum sempat si gadis memperkirakan siapa adanya orang itu tiba-tiba si baju hijau ini dengan kecekatan luar biasa memanjat pohon tinggi itu. Di lain saat tahu-tahu dia sudah berada di atas pohon di dekat jaring di mana Puti Andini berada. Di tangan kanannya ada sesuatu dibungkus dengan daun pisang. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.

Si pemuda tidak menyangka kalau gadis di atas pohon itu sudah bangun dan sadarkan diri. Sesaat sepasang matanya yang hitam menatap. Dua pasang mata muda-mudi ini saling bertemu pandang. Dua hati saling bergetar.

Melihat yang muncul di hadapannya adalah seorang pemuda gagah berpakaian bagus kejut dan rasa khawatir Puti Andini menjadi hilang. Ingin sekali dia mengetahui siapa adanya pemuda yang sangat pandai memanjat pohon ini. Namun dia memilih bersikap menunggu.

“Aku gembira melihat kau sudah bangun…” si pemuda membuka pembicaraan.

“Bangun? Apakah sebelumnya aku ini tidur atau pingsan?” bertanya Puti Andini.

“Terserah kau mau menyebutkan apa. Pingsan boleh tidur juga boleh. Tapi tidurmu lama sekali. Aku menemuimu pagi buta hari kemarin. Kau baru terbangun pagi ini. Tentu tidurmu lelap dan enak sekali. Apakah dihiasi dengan mimpi-mimpi indah?”

Ucapan si pemuda membuat Puti Andini tertawa lebar, rasa senangnya terhadap pemuda ini segera timbul. “Aku ingat betul. Waktu aku pingsan aku pasti tergeletak di tanah di satu tempat. Bagaimana tahu-tahu berada di sini? Apa kau yang membawa aku ke atas sini? Kalau benar perlu apa susah-susah melakukannya? Sampai membuat jaring ketiduran dari akar pohon segala?”

“Wah pertanyaanmu cukup panjang. Aku akan jawab satu persatu. Biar aku bercerita sedikit…” jawab si pemuda pula.

“Aku menemuimu tergeletak di tengah jalan tak jauh dari hutan ketika sekelompok anjing hutan, siap memangsamu….”

“Apa?!” Dua mata Puti Andini terbelalak. Tengkuknya terasa dingin.

Si pemuda melanjutkan. “Saat aku memeriksa dirimu aku agak sulit menduga apa yang menyebabkan dirimu pingsan dan berada di tempat itu. Lalu tubuhmu kunaikkan ke atas pohon….”

“Eh, bagaimana caranya?” tanya Puti Andini heran.

“Tentu saja kupanggul di bahu. Apa kau kira kubembeng rambutmu yang bagus itu?”

Puti Andini tertawa. “Aku melihat kau tadi cekatan sekali naik memanjat pohon. Dari mana kau belajar?”

“Kami orang-orang pulau rata-rata memiliki kepandaian memanjat pohon sejak kecil,” jawab si pemuda.

“Kau orang pulau? Sekitar sini tak ada pulau…”

“Ah, maksudku…. Aku memang bukan orang sini. Aku…. Ah, tentang asal usulku sudahlah. Tak perlu dibicarakan.”

“Namaku Puti Andini. Siapa namamu?”

“Hemmm…. Aku….” Pemuda itu hendak menjawab memberitahu siapa dirinya sebenarnya tapi cepat membatalkan. Setelah berpikir sejenak dia berkata. “Panggil saja aku Panji….”

“Namamu cuma satu kata? Pendek amat!” kata Puti Andini pula. Si pemuda cuma tertawa mendengar kata-kata itu.

“Sekarang apakah kau tidak akan menurunkan aku dari atas pohon ini?” bertanya si gadis.

“Tentu saja. Tapi aku tahu kau lapar. Aku membawa sesuatu untukmu sekedar pengisi perut. Makanlah.” Pemuda yang mengaku bernama Panji itu menyerahkan bungkusan daun pisang pada Puti Andini. Ketika dibuka isinya ternyata dua potong besar singkong rebus.

“Kau curi dari mana singkong ini?” tanya Puti Andini.

“Aku tidak mencurinya. Aku minta pada seorang penduduk desa pagi buta tadi. Desanya cukup jauh dari sini.”

“Terima kasih. Aku memang sangat lapar. Kau mau sepotong?”

“Tadi ada tiga potong. Aku sudah makan satu potong,” jawab Panji.

Sambil makan Puti Andini terus mengajak pemuda itu bicara.

“Aku lihat kau mengenakan pakaian sangat bagus. Kalau kau bukannya anak orang kaya atau turunan bangsawan, pasti kau…”

“Aku seorang pemuda biasa saja…” memotong Panji.

“Aku tidak percaya! Aku lihat kau juga mengenakan anting emas di telinga kananmu? Bagiku terasa aneh kalau laki-laki pakai anting segala. Apa kau banci? Hik… hik…hik!”

“Banci? Apa artinya itu?” tanya Panji.

Makin keras tawa Puti Andini. “Banci artinya lelaki yang bersifat seperti perempuan. Bicara seperti perempuan, berdandan seperti perempuan….”

“Apa aku bicara seperti perempuan?”

“Tidak, tapi kau berdandan seperti perempuan!” jawab Puti Andini lalu tertawa lagi.

“Kalau kuberikan anting emas ini padamu apa kau mau memakainya?” tanya Panji.

“Buat apa? Kalau kupakai bisa lebih gawat lagi?”

“Gawat? Kenapa gawat?”

“Mana ada perempuan pakai anting cuma se-belah!” Gelak Puti Andini semakin keras.

Panji akhirnya ikut-ikutan tertawa.

“Aku sudah menghabiskan dua potong singkong rebus yang kau berikan. Terima kasih. Sekarang saatnya kau menurunkan aku dari atas pohon ini.”

“Bersabarlah barang sebentar. Aku ingin tahu ceritanya mengapa kau sampai kutemukan menggeletak di tengah jalan. Apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan di tempat itu?”

“Aku kesasar lalu….”

“Aku tahu kau berdusta. Tapi teruskan bicaramu,” kata Panji pula.

Puti Andini tercekat lalu tersenyum. “Baik, akan kuceritakan yang sebenarnya.” Lalu gadis ini memberi tahu ihwal sampai dia berada di tempat Panji menemukan dan menolongnya. Dia tidak menuturkan seperti apa yang dikatakan pada Sika Sure Jelantik.

Tidak ada cerita tentang ibunya yang sakit. Pada Panji dikatakannya bahwa dia tengah mencari sebuah batu hitam yang berada di dasar Telaga Gajahmungkur.”

“Untuk apa gunanya batu itu bagimu?” tanya Panji agak heran.

“Aku tak bisa mengatakannya. Tapi batu itu sangat berarti bagiku. Bagaimanapun aku harus mendapatkannya….”

“Selama tinggal di pulau, sejak kecil aku sering menyelam sampai ke dasar laut sekitar pulau. Kalau kau suka aku bersedia membantumu mencari batu itu….”.

“Terima kasih, aku harus mendapatkannya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa,” jawab murid Sabai Nan Rancak itu. Lalu dia bertanya. “Sekarang kurasa sudah saatnya kau menurunkan aku dari atas pohon ini.”

“Kalau itu pintamu, aku tidak akan menolak,” jawab Panji. “Naiklah ke punggungku, lingkarkan kedua tanganmu di leherku.”

“Hemmmm….” Si gadis bergumam. “Apa tak ada cara lain untuk turun dari sini?” tanyanya dengan wajah sedikit kemerahan.

“Ada satu cara lain. Malah lebih cepat!”

“Katakan padaku!”

“Langsung terjun melompat ke bawah sana!” jawab Panji.
Puti Andini menggigit bibirnya. Dia memandang ke bawah. Saat itu dia berada di ketinggian hampir tujuh tombak. Sulit baginya untuk melihat bagian tanah yang datar karena tertutup semak belukar lebat. Selain itu tak ada bagian yang lowong untuk dijadikan arah lompatan.

“Apa boleh buat. Aku terpaksa mengikuti caramu!” kata si gadis akhirnya.

Panji tertawa lebar. Dia menginjakkan kakinya di atas jaring lalu tegak membelakangi Puti Andini. Kembali kebimbangan mempengaruhi gadis ini. Namun akhirnya dia lingkarkan juga kedua tangannya di leher Panji. Tubuhnya dirapatkan ke punggung si pemuda.

“Lingkarkan kedua kakimu ke depan perutku,” kata Panji.

“Tadi tidak ada kau sebutkan begitu!” tukas si gadis yang jadi jengah.

“Terserah! Aku cuma khawatir peganganmu di leherku mengendur karena gamang.”

Mau tak mau Puti Andini lakukan juga apa yang dikatakan pemuda itu. Kedua kakinya digelungkan ke tubuh Panji hingga kini badannya menempel erat di badan si pemuda.
Panji membuat gerakan mengayun di atas jaring akar pohon. Pada ayunan yang ke lima tubuhnya melesat tinggi ke udara.

“Hai! Aku minta diturunkan bukan dibawa ke atas!” teriak Puti Andini.

“Lihat saja! Aku tidak punya kemampuan terbang ke udara!” jawab Panji lalu tertawa bergelak. Sesaat kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar batang pohon terdekat. Pada cabang pohon ini dia membuat satu kali putaran memaksa Puti Andini pejamkan mata karena gamang. Dari cabang ini Panji lalu melayang turun lagi ke bawah.

Di satu tempat dia kembali berpegangan ke cabang pohon. Berputar satu kali dan melesat ke bawah. Hal ini dilakukannya sampai beberapa kali hingga akhirnya dia menjejakkan kakinya di tanah. Menyangka saat itu dirinya masih diajak melayang di udara Puti Andini masih saja terus merangkul leher Panji dan menggelungkan kakinya di pinggang si pemuda.

“Puti Andini, kita sudah turun di tanah. Mengapa kau masih merangkuli tubuhku?”

Terkejut bukan main si gadis mendengar kata-kata itu. Dengan muka merah dia lepaskan rangkulannya dan melompat turun! Panji membalik dan tertawa polos, membuat Puti Andini semakin jengah. Buru-buru gadis ini berkata.

“Terima kasih atas semua pertolonganmu. Aku berharap satu ketika bisa membalas semua budi baikmu. Aku harus pergi sekarang….”

“Kau, apakah aku tidak boleh mengantarkanmu ke telaga tempat kau mencari batu hitam itu?”

“Terima kasih. Aku bisa pergi sendiri. Hemmm…. Kalau aku boleh tahu kau sendiri akan menuju ke mana?”

“Aku akan mencari seorang sahabat. Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro Sableng….”

Terkejutlah Puti Andini mendengar ucapan pemuda itu

“Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro Sableng?!”

“Benar. Kau kenal padanya?”

Puti Andini tertawa gelak-gelak.

“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya Panji keheranan.

“Manusia bernama Wiro Sableng itu bukan seorang tua bangka bermuka cekung. Tapi seorang pemuda yang usianya kurasa sedikit lebih tua darimu!”

“Aneh, dia sendiri yang menyebutkan namanya begitu sewaktu dulu meninggalkan pulau tempat kediamanku,” kata Panji pula. (Seperti dituturkan dalam Episode I berjudul Tua Gila Dari Andalas, sewaktu hendak meninggalkan pulau Kerajaan Sipatoka, ketika ditanya namanya Tua Gila enak saja mengatakan namanya Wiro Sableng).

Dari balik baju beludru hijaunya Panji mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama sehelai sapu tangan besar berwarna merah. Yang lain adalah sehelai kumis palsu.

“Aku menemukan dua benda ini dekat tubuhmu tergolek. Mungkin milikmu?”

Puti Andini segera mengenali kain penutup kepala merah dan kumis palsunya itu. Cepat kedua benda itu diambilnya.

“Aku pergi sekarang!” kata Puti Andini sambil terus tertawa cekikikan.

“Hai! Tunggu dulu! Ada yang hendak aku tanyakan!” seru Panji. Namun saat itu Puti Andini telah lenyap di balik kerapatan semak belukar.

***


TUJUH

 

Lelaki separuh baya berjubah merah itu hentikan larinya di tepi lembah. Memandang ke bawah dia hanya melihat kerimbunan pepohonan, mendengar suara kicau burung. Dia mengusap kepalanya yang botak beberapa kali. Kepala itu keringatan, dicat kuning dan ada tulisan angka 3 berwarna hitam.

“Apa betul ini yang dinamakan Lembah Akhirat? Subur, sunyi sama sekali tidak membayangkan keangkeran….” Si botak membatin. Dia memandang berkeliling. Menarik nafas dalam.

“Di mana aku harus mencari sang datuk penguasa lembah yang begini luas…. Kalau aku bergerak terus menuju ke utara, pasti akan mencapai pusat lembah. Mungkin di sana letak markas Datuk Lembah Akhirat….”

Setelah diam beberapa lama akhirnya orang ini melangkahkan kaki. Namun baru berjalan tiga langkah tiba-tiba terdengar suara suitan keras di sebelah timur. Suitan ini mendapat sambutan dari arah barat. Suitan ketiga datang dan sebelah utara.

Pada saat itulah melesat tiga benda bulat mengeluarkan suara mengaung. Masing-masing benda ditancapi sebentuk tongkat terbuat dari bambu. Benda-benda aneh ini melesat dari tiga jurusan yaitu samping kiri kanan dan dari sebelah depan!
Begitu tiga benda menancap di tanah tersurutlah lelaki berkepala botak.

Tampangnya menjadi pucat. Tiga benda di atas tongkat bambu dan menancap di tanah itu ternyata adalah tiga buah tengkorak manusia. Masing-masing berwarna hitam, merah dan hijau! Untuk sesaat lamanya si botak berjubah merah hanya tegak laksana patung, tak berani bergerak. Hanya sepasang matanya memandang melotot melirik ke kiri dan ke kanan. Kepalanya yang botak kuning terasa dingin keringatan.

Orang ini tidak menunggu lama. Mendadak ada tiga bayangan berkelebat dan tahutahu tiga sosok aneh sudah mengurungnya. Di hadapannya kini ada tiga orang lelaki berwajah hitam, merah dan hijau. Rambut mereka juga sama dengan warna muka mereka. Selain itu ketiganya mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna sama seperti warna wajah masing-masing. Tiga orang ini membawa tombak yang pada bagian tengahnya ditancapi sebuah tengkorak manusia berwarna hijau, hitam dan merah.

“Sebutkan nama dan gelar!” Orang berwajah merah membentak.

“Katakan keperluan!” Si muka hitam menghardik.

“Beritahu datang membawa apa!” Yang muka hijau menimpali.

Si botak kepala kuning jadi tergagau kecut. Mukanya sepucat kain kafan ketika tiga ujung tombak yang jelas mengandung racun disorongkan dekat sekali ke lehernya.

“Namaku Klewing. Aku tidak bergelar tapi dikenal sebagai orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar. Keperluanku kemari untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Aku datang membawa satu keping emas.”

“Perlihatkan emas itu!” perintah si muka hijau.

Si botak mengeruk saku jubah merahnya. Ketika tangannya dikeluarkan dia telah menggenggam satu kepingan emas sebesar ujung jari kelingking. Emas ini dipegangnya erat-erat, takut diambil tiga orang di hadapannya. Tiga orang yang mukanya berwarna saling pandang melempar isyarat.

“Ikuti kami!” kata yang bermuka merah.

Tokoh Kembar nomor 3 masukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya kembali lalu melangkah mengikuti tiga orang yang sudah dapat dipastikannya sebagai para pengawal atau penjaga kawasan Lembah Akhirat.

Si jubah merah ini dibawa menuju pusat lembah. Sepanjang jalan dia menyaksikan pemandangan yang aneh. Di mana-mana dia melihat tebaran debu tebal berwarna hitam, merah atau hitam di tanah, Klewing tak dapat menduga debu apa adanya itu. Makin jauh ke pusat lembah semakin banyak tumpukan pasir berwarna itu ditemuinya. Walau dia ingin sekali mengetahui namun Klewing tak berani ajukan pertanyaan pada tiga orang yang berada di dekatnya.

“Aneh, semula aku menduga Lembah Akhirat adalah lembah maha menyeramkan. Tapi ternyata keadaannya biasa-biasa saja. Atau mungkin dibalik semua keanehan ini ada sesuatu yang mengerikan…?” Klewing terus berjalan mengikuti tiga orang itu. Di samping sebuah pohon besar yang dilingkari semak belukar sangat lebat tiga pengawal Lembah Akhirat berhenti.

Salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pohon. Tak lama kemudian semak belukar di sebelah kanan bergerak dan menguak aneh. Lalu tampak sebuah mulut goa. Si muka hitam masuk ke dalam goa. Si muka merah memberi isyarat pada Klewing agar mengikuti. Lalu di sebelah belakang pengawal bermuka hijau menyusul dengan tombak terhunus.

Bagian dalam goa merupakan satu tangga batu menurun. Begitu mereka masuk semak belukar yang tadi menguak tertutup dengan sendirinya. Klewing merasakan hawa dingin menggidikkan sepanjang perjalanan menyusuri goa yang ternyata cukup panjang itu. Tak lama kemudian Klewing melihat ada cahaya terang di sebelah depan pertanda dia akan segera sampai di ujung goa. Memang benar. Begitu sampai di ujung goa

Tokoh Kembar nomor 3 ini melihat satu pedataran terbentang di hadapannya. Puluhan orang bermuka hijau, merah atau hitam berdiri seputar pedataran lengkap dengan tombak yang ditancapi tengkorak di tangan masing-masing.

“Heran, aku tidak melihat satu orang perempuan pun…” membatin Klewing.

Di tengah pedataran ada satu batu besar setinggi setengah tombak. Salah satu sisi batu berbentuk tangga. Sekeliling batu ada kobaran api setinggi tiga jengkal. Lalu di atas batu besar itu tampak satu gentong kayu besar. Gentong ini berisi air yang mengeluarkan suara riak seolah mendidih. Asap tipis yang menebar bau aneh mengepul keluar dari gentong. Klewing tercekat ketika melihat dari dalam gentong muncul sepasang kaki besar berotot penuh bulu, lurus tak bergerak. Pada kedua pergelangan kakinya terikat satu tengkorak kecil.

“Ada orang merendam dirinya di dalam gentong secara aneh…” kata Klewing dalam hati. “Sulit kuduga apa yang dilakukannya. Tapi jika dia tidak memiliki kepandaian luar biasa tidak mungkin dia melakukan hal itu…. Tengkorak kecil di kedua kakinya itu pasti tengkorak anak-anak, mungkin bayi….”

Tengkuk satu-satunya orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini menjadi dingin.

Si botak Klewing kemudian dibawa ke sebuah bangunan terbuat dari batu yang tidak bedanya sebuah goa besar. Di dalam bangunan tampak duduk tiga orang bertampang aneh angker.

Yang di sebelah kanan memiliki muka berwarna merah, di tengah hitam dan di ujung kiri hijau. Tiga orang ini memiliki rambut keriting kecil, sangat rapat dan keras. Rambut mereka berwarna sesuai warna wajah. Si hitam memiliki rambut tinggi runcing ke atas seperti kerucut. Si merah rambutnya berbentuk bulat tinggi seperti tempurung besar sedang si hijau berambut menyerupai sarang tawon, panjang ke atas. Ketiga orang ini mengenakan jubah berlengan gombrong yang warnanya sesuai dengan warna wajah masing-masing. Si hitam memiliki wajah lebar, dihias alis, kumis dan janggut tebal berwarna hitam. Sepasang telinganya ditusuk dengan sepotong tulang manusia. Dia seolah tidak memiliki hidung. Bagian yang seharusnya ada hidung hanya ada dua buah lubang hingga hidungnya seolah gerumpung. Orang ini adalah Pengiring Mayat Muka Hitam, salah satu dari tiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat.
Lelaki bermuka merah tidak punya alis. Tidak memelihara janggut ataupun kumis. Cuping hidung sebelah kiri ditancapi potongan tulang manusia. Dia ini dikenal dengan panggilan Si Pengiring Mayat Muka Merah. Juga merupakan salah satu pembantu utama Datuk Lembah Akhirat. Orang ketiga yang mukanya berwarna hijau memiliki kepala panjang peang. Mukanya yang hijau tampak berbenjol-benjol seolah diserang penyakit bisul. Sepotong tulang manusia menancap di bibir-nya sebelah bawah. Orang yang terakhir ini me-rupakan pembantu ke tiga Datuk Lembah Akhirat dan dijulliki Si Pengiring Mayat Muka Hijau. Dari ke tiga manusia seram itu Si Pengiring Mayat Muka Hitam bertindak sebagai pimpinan mereka.

“Manusia atau setankah yang ada di hadapanku ini? Seumur hidup aku tidak pernah melihat makhluk sedahsyat ini…. Yang mana di antara mereka Datuk Lembah Akhirat?” begitu Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3 membatin dalam hati.

“Menjura pada Tiga Pengiring Mayat!”

Klewing tergagau oleh bentakan pengawal bermuka hitam yang ada di sampingnya. Cepat-cepat dia membungkuk memberi penghormatan pada ketiga orang yang duduk di dalam bangunan batu itu.

“Tiga Pengawal Lembah Akhirat! Apa perlunya tuyul kuning berjubah merah ini kalian bawa ke hadapan kami?! Apa kalian sengaja mencari mati mengganggu ketentraman tiga wakil tertinggi Datuk Lembah Akhirat?!”

Mendengar bentakan Si Pengiring Mayat Muka Hitam yang merupakan orang tertinggi di antara tiga pembantu Datuk Lembah Akhirat, tiga pengawal bersurut mundur dan cepat menjura. Yang di tengah segera berkata.

“Maafkan kami, kami tidak bermaksud mengganggu ketentraman Wakil Datuk Lembah Akhirat bertiga. Tamu ini datang untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Dia membawa secuil emas sebagai bekal….”

“Hemmm….” Si Pengiring Mayat Muka Hitam rangkapkan dua lengan di depan dada. Mulutnya menyunggingkan seringai dan dia saling pandang dengan dua temannya.

“Kalau begitu kalian bertiga lekas angkat kaki dari hadapan kami!”

“Maafkan kami para Wakil Datuk Lembah Akhirat…” kata tiga pengawal bersamaan.

Setelah menjura dalam-dalam ketiganya lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

Sampai di luar bangunan batu mereka merasa lega. Yang satu berbisik pada temannya. “Untung Si Pengiring Mayat Muka Hitam tidak sewot benar. Ingat, dua hari lalu dia membunuh dua teman kita hanya gara-gara secara tak sengaja mereka melihat Si Pengiring Mayat Muka Hitam sedang kencing di bawah pohon…. Gila! Kalau saja aku bisa kabur dari tempat ini sudah lama aku minggat….”

“Ssst…, Jalan pikiranmu sama dengan kami berdua,” jawab teman pengawal yang barusan bicara.

“Tapi hati-hati kalau bicara. Pohon, batu dan tanah bisa jadi mata-mata di tempat ini. Belum lagi teman-teman bangsa penjilat!”

“Sebenarnya dua teman kita yang-malang itu bukan dibunuh karena tidak sengaja melihat Si Pengiring Mayat Muka Hitam kencing di bawah pohon,” kata pengawal bermuka hijau.

“Tapi dekat pohon itu ada seekor babi perempuan gemuk. Si Pengiring Mayat Muka Hitam merasa seperti di-pergoki. Hik… hik… hik! Dasar manusia edan!”.

“Bangsat satu itu memang aneh! Perempuan banyak di tempat penyekapan. Mengapa doyannya hik… hik…hik…!”

Tiga pengawal Lembah Akhirat cepat menyelinap di balik bebatuan dan semak belukar, Kembali ke tempat pengawalan masing-masing sambil terus tertawa cekikikan.

***


DELAPAN

 

Begitu tiga pengawal berlalu Pengiring Mayat Muka Hitam berpaling pada si botak berjubah merah. “Botak kepala kuning! Pengawal mengatakan kau membawa secuil emas. Perlihatkan padaku!”

Mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Hitam, Klewing cepat keluarkan kepingan emas dari saku jubah merahnya lalu diperlihatkan pada wakil Datuk Lembah Akhirat itu. Sekali tangannya bergerak maka kepingan emas sudah berada dalam genggaman Pengiring Mayat Muka Hitam. Emas ini diperhatikan lalu ditimang-timangnya beberapa kali.

“Kawan-kawan, emas yang dibawanya memang murni. Tapi besarnya tidak lebih besar dari bijinya. Ha… ha… ha! Apa pantas urusan ini kita teruskan?”

“Kita tanya saja dulu. Kalau dia memang tidak pantas berada di sini, kita akan usir! Tapi salah satu matanya harus ditinggalkan!”
Kalau saja Klewing bukan seorang tokoh silat berpengalaman, mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah itu tentu saja akan membuat ciut nyalinya. Satu-satunya orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini tetap berlaku tenang dan diam.

“Botak kepala kuning. Ceritakan siapa dirimu!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Aku Klewing. Aku datang dari selatan. Bermaksud menghadap Datuk Lembah Akhirat….”

“Tunggu!” memotong Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kami belum menanyakan maksud kedatanganmu ke sini. Kawanku minta agar kau menerangkan siapa dirimu….”

“Aku tidak mengerti. Aku sudah katakan namaku….”

“Botak kepala tahi tolol!” hardik Pengiring Mayat Muka Merah.

“Nama jelek itu tak usah diulang-ulang. Yang kami ingin tahu apa gelarmu! Kau dari golongan hitam atau golongan putih!”

Sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau ikut berkata. “Kau harus tahu, hanya orang-orang persilatan golongan putih yang diperbolehkan datang ke tempat ini! Kau dari pihak mana botak?!”

“Aku…. Aku memang dari golongan putih walau dulu sering terlibat urusan tidak benar….”

“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka Merah berpaling pada si muka hitam. Sambil usap-usap hidungnya yang ditancapi tulang dia berkata. “Bagaimana pendapatmu?”

Pengiring Mayat Muka Hitam lantas ajukan pertanyaan pada Klewing. “Mengapa kepalamu botak dan apa artinya angka tiga di kepalamu itu?!”

“Aku adalah orang ke tiga Delapan Tokoh Kembar…” menerangkan Klewing.

Mata ketiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat membesar. Ketiganya lalu tertawa terbahak-bahak. “Kami memang pernah dengar nama kelompokmu! Jadi kau salah satu dari kembar delapan? Luar biasa! Apa saja yang dikerjakan ibumu hingga dia bisa beranak sekali delapan! Ha… ha… ha!” Pengiring Mayat Muka Hitam permainkan jari telunjuk tangan kanannya di permukaan lobang hidungnya yang sama rata dengan pipi.

“Kalau kau kembar delapan, mana saudaramu yang tujuh lagi?!”

“Mereka sudah mati semua….”

“Hah! Tujuh saudaramu mati semua?! Malang benar Ha… ha… ha!” ujar Pengiring Mayat Muka Hitam lalu tertawa gelak-gelak. Dua kawannya ikut-ikutan tertawa.

“Apa tujuh saudaramu itu mati kecebur sumur atau disambar geledek atau diserang penyakit sampar?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau sambil senyum-senyum seolah mengejek.
Walau hatinya panas mendengar ucapan orang tapi Tokoh Kembar nomor 3 ini berusaha tenang dan menjawab perlahan.

“Mereka menemui ajal di Pangandaran. Dibunuh oleh beberapa orang tokoh silat. Antara lain Iblis Pemabuk, Ratu Duyung, Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng….”

“Hemmm…. Jadi mereka terlibat urusan besar di Pangandaran yang menggegerkan itu. Kabarnya Pangeran Matahari juga menemui ajalnya di tempat itu! Kau sendiri bagaimana bisa lolos…?”

“Waktu itu aku cepat membaca situasi. Daripada mati konyol aku cepat-cepat melarikan diri.”

“Sungguh pengecut!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kau lari selamatkan diri sementara tujuh saudaramu mampus meregang nyawa!”

“Aku bukan pengecut! Keadaan tidak memungkinkan untuk menghadapi pihak musuh. Lagipula kalau aku menemui ajal, siapa yang bakal menuntut balas kematian tujuh saudaraku?!” Klewing membantah dengan suara keras.

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh.

“Hemm…. Otakmu agak cerdik juga rupanya. Jadi kau datang ke sini dengan satu maksud. Untuk membalaskan sakit hati kematian saudara-saudaramu!”

“Itu hal yang pertama. Hal kedua aku ingin mengetahui seluk beluk Kitab Wasiat Malaikat yang kini ramai dihebohkan di rimba persilatan. Siapa tahu aku berjodoh mendapatkannya. Paling tidak mempelajari sebagian isinya yang kabarnya mengandung ilmu kesaktian luar biasa. Selain itu aku juga ingin bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat ini.”

“Lelewing….”

“Namaku Klewing!” kata si botak kepala kuning itu ketika Pengiring Mayat Muka Hitam salah menyebutkan namanya. Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak.

“Aku sengaja salah menyebut namamu. Soalnya tampangmu memang mirip-mirip binatang bernama lelewing itu! Ha… ha… ha!”

“Jahanam!” rutuk Klewing tapi hanya dalam hati ketika mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah tadi.

“Teman-teman…” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Aku melihat ada hal yang tidak beres dalam keterangan manusia botak kepala kuning ini. Dia bilang dari golongan putih. Tapi mengapa saudara-saudaranya justru dibunuh oleh para tokoh golongan putih!”

“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka Hitam menyeringai lalu membentak. “Apa jawabmu?!”

“Saat itu kami tertipu. Dipikat oleh seorang gadis cantik yang ternyata adalah kaki tangan Pangeran Matahari. Hingga kami memilih pihak yang keliru!” Menerangkan Klewing alias Tokoh Kembar Nomor 3.

“Kawan-kawan, menurutmu apakah jawaban cecunguk ini bisa diterima?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau pada si muka merah dan hitam.

“Mauku dia kita lempar saja ke luar sana. Tak ada gunanya mengurusi manusia macam begini!” berucap Pengiring Mayat Muka Merah.

“Atau aku robah saja tubuhnya jadi debu hijau saat ini juga!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau.

Klewing yang mulai merasa khawatir cepat berkata. “Aku mohon kalian mau membantu mempertemukan diriku dengan Datuk Lembah Akhirat. Aku ingin bersahabat dengan kalian. Di kemudian hari jika aku punya rejeki aku tidak akan melupakan kalian….”

Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengekeh. “Manusia jelek sepertimu jauh rejeki! Kalau hidupmu kelak sengsara apa yang hendak kau bagi pada kami?!”

Pengiring Mayat Muka Hitam angkat tangannya lalu berkata.

“Aku mau memberi kesempatan padanya. Jika dia tidak cerita tentang emas yang dibawanya pada Datuk Lembah Akhirat mungkin dia masih ada harganya untuk dibawa menghadap penguasa tertinggi Lembah Akhirat itu. Bagaimana menurut kalian….”

Pengiring Mayat Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau tampak seperti berpikir-pikir. Padahal semua ini adalah sandiwara yang mereka atur semua. Sebelumnya setiap orang yang hendak menemui Datuk Lembah Akhirat memang selalu mereka peras begitu rupa. Tiba-tiba terdengar suara suitan keras di luar bangunan batu tiga kali berturut-turut. Para wakil Datuk Lembah Akhirat dengan cepat melangkah keluar. Mau tak mau karena ingin tahu Klewing juga mengikuti keluar.

Di depan mereka saat itu delapan orang pengawal Lembah Akhirat nampak mengusung dua buah tandu. Di atas ke dua tandu itu menggeletak sesosok tubuh seorang kakek berjanggut berkumis dan berambut biru serta seorang lelaki separuh baya. Keduanya telah jadi mayat dan menebar bau busuk. Si kakek tampak hancur sebagian wajahnya sedang mayat satunya kelihatan hampir putus batang lehernya seolah ditabas golok atau pedang yang sangat tajam!

Klewing tidak mengenal siapa adanya mayat lelaki separuh baya itu. Tapi dia kenal betul mayat satunya. Si kakek diketahuinya adalah salah seorang tokoh silat golongan putih dari kawasan timur yang dikenal dengan julukan Janggut Biru Berhati Emas.

“Penyebab kematian kedua orang ini pasti tewas dibunuh. Siapa yang membunuh?

Mengapa mereka berada di tempat ini?” Berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab muncul dalam benak Klewing.

Dua usungan mayat diturunkan ke tanah. Delapan pengawal Lembah Akhirat menjura. Salah seorang dari mereka berucap dengan suara lantang.

“Dua mayat siap dibuang di dalam kawasan Lembah Akhirat. Apakah para wakil Datuk Lembah Akhirat berkenan memberi izin?!”

“Katakan dulu siapa yang telah menghabisi kedua orang ini?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Seorang tokoh silat golongan putih dikenal dengan julukan Dewa Sedih!” jawab Pengawal Lembah Akhirat yang mukanya berwarna hijau.

Tokoh Kembar Nomor 3 terkejut sekali mendengar keterangan si pengawal. Sementara tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tampak menyeringai sambil manggutmanggut.

“Kami ingin segera membuang mayat. Harap petunjuk dari para wakil yang terhormat.” Berkata pengusung mayat muka hijau.

Pengiring Mayat Muka Merah angkat tangan kanannya dan berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Merah menyetujui agar dua mayat itu segera dibuang!”

Si muka hijau melakukan hal yang sama. Dia mengangkat tangan kanannya seraya berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Hijau memperbolehkan kalian membuang dua mayat itu!”

Orang ke tiga menyusul. Sambil mengangkat tangannya dia berucap. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam, pembantu utama Datuk Lembah Akhirat, aku mewakili Datuk Lembah Akhirat, aku menyetujui dan memerintahkan kalian untuk segera membuang dua mayat itu dalam bentuk sesuai aturan Datuk Lembah Akhirat!” Si muka hitam memberi isyarat pada dua temannya.

Pengiring Mayat Muka Hijau dan Muka Merah menyeringai lalu sama-sama anggukkan kepala. Tiba-tiba kedua orang ini membalik dan hantamkan tangan mereka ke arah mayat yang tergeletak di atas usungan. Terjadilah hal yang luar biasa dan sangat menggidikkan Klewing. Dua larik sinar merah dan hijau menebar lalu menghantam dua sosok mayat di atas usungan.

Mayat kakek berjanggut biru tampak laksana dikobari api berwarna merah. Ketika sinar merah lenyap tubuhnya hanya tinggal bubuk berwarna merah sementara usungan di atas mana mayatnya sebelumnya berada tidak rusak sedikit pun!

Seperti kakek berjanggut biru tubuh mayat lelaki separuh baya mula-mula dihantam dan dibungkus sinar hijau. Lalu “wuss!” Seolah ada api berwarna hijau melumat tubuhnya. Sesaat kemudian api hijau lenyap dan kini tinggallah onggokan debu tebal berwarna hijau di atas usungan!

Pengiring Mayat Muka Hitam melirik pada Klewing. “Botak kepala kuning, nasibmu bisa seperti itu kalau ada tingkah perbuatanmu yang tidak menyenangi kami! Ingat itu baikbaik!”

Tokoh Kembar Nomor 3 itu diam saja.

“Angkat dua usungan. Lekas pergi dari sini!” perintah Pengiring Mayat Muka Hijau.

“Yang merah dibuang di sebelah timur. Yang hijau buang di sebelah barat!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Perintah kami jalankan!” kata pengawal Lembah Akhirat. Setelah menjura lebih dulu lalu delapan orang pengawal kembali mengusung dua mayat di atas tandu yang kini telah berubah jadi debu lalu tinggalkan tempat itu menuju Lembah sebelah timur dan barat.

“Bagaimana dengan si botak ini? Apa pantas kita beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat?” membuka suara Pengiring Mayat Muka Merah.

Tak ada salahnya mencoba. Kalau kemudian hari janjinya untuk berbagi rejeki dengan kita tidak ditepati, dia akan menerima siksa neraka sebelum kita merubah mayatnya menjadi debu!”

Pengiring Mayat Muka Hijau mengangguk. Si muka merah hanya menyeringai.

“Klewing! Kau kami beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat. Tapi kau harus menunggu sampai penguasa tertinggi di lembah ini selesai bersamadi!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Aku tidak mengerti…” kata Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3.

Si muka hitam memberi isyarat lalu bersama dua temannya melangkah tinggalkan tempat itu. Si botak kepala kuning mengikuti. Mereka kembali ke tempat di mana tadi Klewing melihat sebuah gentong besar berisi air seolah mendidih disertai kepulan asap. Di dalam gentong yang terletak di atas batu besar itu tampak sepasang kaki manusia, berbulu dan di-gelantungi tengkorak kecil. Bagian tubuh dari pertengahan paha ke atas tidak kelihatan karena berada dalam gentong kayu. Sejak tadi Klewing tak habis pikir apa yang dilakukan orang itu di dalam gentong? Mandi atau hendak bunuh diri atau apa?

“Siapa orang di dalam gentong?” Klewing beranikan diri bertanya.

“Orang di dalam gentong adalah pimpinan kami. Penguasa tunggal di kawasan ini.

Datuk Lembah Akhirat. Dia sedang melakukan samadi di dalam gentong berisi air. Dia baru berhenti bersamadi kalau air beriak dalam gentong habis. Air dalam gentong akan habis karena penguapan dan juga tetes demi tetes yang keluar dari sebuah lobang kecil di bagian bawah. Kapan habisnya air itu boleh kau tanyakan pada setan!”

Klewing menatap tampang Pengiring Mayat Muka Hitam sesaat lalu pandangi gentong berisi sosok manusia yang hanya kakinya saja yang kelihatan. Dalam hati orang ini berkata. “Jadi itu Datuk Lembah Akhirat. Aneh sekali caranya bersamadi. Melihat kecilnya tetesan air dan udara sekitar sini sejuk, air dalam gentong baru akan habis setelah berminggu-minggu…. Jangan-jangan aku telah salah memilih datang ke tempat celaka ini!”

***


SEMBILAN

 

Tak lama lagi matahari akan segera terbit menerangi jagat. Tua Gila yang tengah berlari cepat tiba-tiba merasakan dadanya sakit, kepalanya berat dan pemandangannya berkunang. Tubuhnya terasa panas seolah dipanggang. Di bawah sebatang pohon orang tua ini hentikan larinya, duduk menjelepok di tanah bersandar ke pohon. Tua Gila gerakan tangan kanannya ke dada. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan rasa sakit di bagian itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya bergerak ke bahu kiri. Dia menyentuh sesuatu. Terkejutlah si kakek. Ternyata keris merah api Datuk Angek Garang masih menancap di situ.

“Senjata jahanam…. Pasti mengandung racun jahat! Kalau aku tidak segera mendapatkan obat penolak racun tamatlah riwayatku! Setan betul! Begitu banyak urusan yang harus kuhadapi, mengapa aku mesti mampus lebih cepat…!” Tua Gila menyeringai.

Dengan tangan kanannya dia berusaha mencabut keris kecil yang menancap di bahu kirinya itu. Namun sebelum dia mampu melakukan tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan tak ampun lagi tokoh silat ini terkapar melingkar di tanah. Pingsan siap menuju sekarat!

Ketika matahari bergerak naik dan di arah timur serombongan burung terbang menembus awan kelabu seorang pejalan kaki nampak keluar dari kerapatan pepohonan. Ada beberapa keanehan pada diri orang ini. Pertama dia mengenakan pakaian ringkas warna kuning atas bawah. Rambutnya hitam berkilat disanggul ke belakang. Dari keseluruhan wajahnya hanya sepasang mata dan sebagian keningnya saja yang kelihatan karena wajah itu sengaja dilindungi dengan sehelai kain cadar berwarna kuning!

Keanehan kedua sambil berjalan orang ini melantunkan suara nyanyian tanpa syair.

Dari mulutnya terus menerus terdengar suara seperti gema saluang (sejenis seruling yang umum terdapat di tanah Minang). Lagu yang dibawakannya meski sulit diduga lagu apa tapi jelas menyatakan perasaan sedih berhiba-hiba. Dan dari suara nyanyian itu jelas diketahui bahwa orang bercadar kuning ini adalah seorang perempuan. Dari rambutnya yang masih hitam agaknya dia belum terlalu berumur. Walau hal itu tidak dapat dipastikan karena wajahnya yang terlindung.

Mendadak suara nyanyian perempuan itu lenyap, berganti dengan satu keluhan pendek disertai tarikan nafas. Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Tua Gila tergelimpang di bawah pohon.

“Tanah Jawa…. tanah Jawa…. Semakin jauh aku berjalan semakin banyak kutemui keganjilan. Hari ini aku melihat seorang tua terbujur sengsara di tengah jalan. Siapa gerangan orang tua ini…?”

Perempuan berpakaian serba kuning berjongkok di samping tubuh Tua Gila.

“Wajahnya tak kukenal. Sekujur kulitnya merah laksana dipanggang!” Lalu orang ini melihat keris merah kecil yang menancap di bahu kiri si kakek. “Hemmm…. Kalau senjata ini aku kenali betul. Ini adalah keris merah api milik Datuk Angek Garang dari Andalas! Pasti sebelumnya telah terjadi perkelahian antara orang tua ini dengan si Datuk….”

Perempuan bercadar kuning berpikir sejenak. Dalam hati dia berkata lagi. “Menolong sesama kerabat walau tidak saling mengenal adalah aturan dan peradatan rimba persilatan. Orang tua ini tengah sekarat. Kalau tidak kutolong pasti dia akan menemui ajal. Paling lama umurnya hanya sampai matahari terbenam nanti.”

Berpikir begitu perempuan bercadar kuning mengeluarkan satu kantong kain dari balik pakaiannya. Dari dalam kantong ini diambilnya dua jenis obat. Obat pertama berwarna kuning berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat kedua berupa bubuk juga berwarna kuning. Memasukkan obat ke dalam mulut orang yang pingsan agar dia bisa menelannya bukan pekerjaan mudah.

Perempuan bercadar menekan pipi Tua Gila yang cekung. Begitu mulutnya terbuka, butiran obat kuning dimasukkannya ke dalam mulut. Lalu dengan tangannya yang lain dia menotok tenggorokan Tua Gila. Dari mulut si kakek terdengar suara seperti dia bertahak. Obat kuning tertelan lewat tenggorokan, masuk ke dalam perutnya. Orang bercadar merasa agak lega sedikit. Obat berupa bubuk kuning ditebarkannya di bahu Tua Gila yang masih ditancapi keris merah api. Daging di sekitar tancapan keris yang tadinya berwarna merah dan bengkak perlahan-lahan berubah menjadi biru. Ketika warna biru berubah menjadi hitam pada saat itulah orang bercadar mencabut keris yang menancap dari bahu Tua Gila.

Darah hitam dan bau amis mengucur dari luka bekas tusukan keris. Perempuan bercadar duduk bersila di tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan darah hitam yang mengucur. Sambil memperhatikan dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian tanpa syair.

Darah hitam yang mengucur perlahan-lahan berubah menjadi kemerahan. Suara nyanyian perempuan itu semakin keras tanda hatinya lega. Munculnya darah segar menggantikan darah hitam berarti dalam tubuh si kakek kini tak ada lagi racun yang mengendap. Setelah menunggu beberapa lama lagi perempuan bercadar lalu menotok pundak kiri Tua Gila. Darah segar langsung berhenti keluar dari luka.

“Tugas menolong telah selesai. Aku harus meninggalkan tempat ini. Harus meninggalkan orang tua ini….”

Perlahan-lahan si cadar kuning berdiri. Dia menatap sekali lagi pada tubuh dan wajah Tua Gila lalu memutar diri dan tinggalkan tempat itu. Dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian berhiba-hiba.

“Tunggu!”

Tiba-tiba satu seruan terdengar di belakangnya. Perempuan bercadar kuning berpaling. Orang tua yang barusan ditolongnya dilihatnya telah duduk melunjur dan bersandar ke batang pohon di belakangnya. Kedua mata orang ini terpejam tapi tangan kanannya dilambaikan seolah memanggil.

“Ada apa orang tua…?” tanya perempuan bercadar.

“Kau tuan penolongku! Mengapa pergi begitu saja setelah menolong?”

“Hemm…. Apa maunya orang tua ini?” pikir si baju kuning.

“Waktu kutolong jelas dia pingsan berat. Waktu aku tinggalkan dia masih belum siuman. Bagaimana dia tahu aku yang menolongnya?!”

“Hai! Tuan penolongku! Kemari dulu!”

“Orang tua, kau berucap berbudi-budi. Aku yang awam jadi tidak mengerti. Aku bukan tuan penolong seperti yang kau ucapkan. Aku hanya kebetulan lewat dalam perjalanan.”
Tua Gila menyeringai lalu tertawa.

“Orang tua aneh. Dalam keadaan begitu rupa masih bisa tertawa…” membatin si cadar kuning,

“Kau tak mengaku telah menolongku! Itu tandanya kau berbudi luhur tidak punya pamrih. Aku suka hai itu. Satu lagi yang aku suka darimu yaitu gaya bahasamu. Kau bicara dengan kata-kata seolah-olah bait-bait pantun.”

“Orang tua kau bersalah sangka. Tak ada pertolongan tak ada apa. Kalau kau mau memuji itu pertanda kau baik di mulut dan baik di hati.”

Tua Gila tertawa mengekeh. Saat itu kedua matanya masih terpejam. “Tuan penolongku, kau boleh menampik dibilang telah menolong. Tapi coba kau perhatikan tanganmu. Ada sedikit noda darah di sela jarimu. Pada salah satu bagian pakaianmu juga ada noda darahku. Kalau kau tidak menolong bagaimana tangan dan pakaianmu kotor begitu rupa…? Hik… hik…hik!”

Wajah di balik cadar kuning jadi berubah kaget. Orang ini perhatikan kedua tangannya. Memang di situ ada noda darah. Lalu ketika ditelitinya pakaiannya, pada pinggiran baju sebelah kiri juga ada noda darah. “Aneh, kedua matanya masih terpejam, bagaimana dia bisa tahu ada noda di tangan dan bajuku?”

“Orang tua, pekertimu yang baik aku rasakan dari ucapan serta tawamu. Hanya sayang aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Perjalananku masih panjang. Berbagai urusan masih menghadang….”

“Perempuan pandai berpantun. Jika kau tak mau berlama-lama di tem pat ini aku benar-benar merasa sedih. Tapi aku mesti bilang apa. Sebelum pergi maukah kau memberi tahu siapa nama atau gelarmu?” Sambil bertanya begitu perlahan-lahan Tua Gila buka sepasang matanya.

“Ketika lahir konon orang tuaku tak memberi nama. Setelah besar rimba persilatan tidak memberi gelar apa-apa. Aku hanyalah aku. Dalam diriku yang ada hanyalah aku….”

“Kalau kau segan memberi nama tak jadi apa. Biarlah kau kukenang dengan nama Dewi Penolong Bercadar Kuning…”
Mendengar ucapan Tua Gila perempuan bercadar tertawa lalu berkata. “Hari ini kau menganggap aku penolongmu. Di lain saat mungkin kita menjadi seteru. Kau tak tahu siapa diriku. Aku tak tahu siapa dirimu.”

“Eh, mengapa kau berkata begitu?” tanya Tua Gila.

“Rimba persilatan dunia penuh petaka. Hari ini berbuat baik, besok bisa berbuat dosa. Hari ini menjadi kawan, besok menjadi lawan. Hari ini se-seorang bisa tertawa dalam bahagia, lusa mungkin menangis dalam sengsara….”

Mau tak mau Tua Gila jadi tercekat mendengar ucapan tuan penolongnya itu. Dia menggaruk kepalanya yang ditumbuhi rambut putih tipis lalu menghela nafas panjang.

“Duka sengsara, senang bahagia. Itu menjadi bagian setiap manusia yang hidup di dunia. Hari ini aku berbahagia karena ada seorang berbudi luhur menyelamatkan jiwaku. Tapi sekaligus aku merasa sedih karena tidak tahu siapa dia adanya. Juga lebih sedih lagi karena tidak tahu bagaimana tua bangka ini harus membalas budi….”

“Orang tua, lupakan segala balas budi. Semua perbuatan menjadi catatan Tuhan Yang Maha Tinggi. Sebagai manusia biasa jangan berharap budi dibalas budi. Dasar kehidupan manusia justru adalah berbalas kasih….”

“Ah, semakin tidak tahu aku mengartikan ucapan perempuan yang serba berpantun ini!” kata Tua Gila dalam hati.

“Orang tua, aku gembira melihat kau sembuh. Kalau langit masih biru, selama ombak masih memecah pantai kita pasti bertemu….”

“Pantun lagi! Pantun lagi!” ujar Tua Gila dalam hati. Lalu dia berkata. “Tuan penolong yang aku panggil dengan sebutan Dewi Penolong Bercadar Kuning. Tadi kau bilang berbagai urusan masih menghadang. Jika kau mau memberi tahu mungkin aku bisa menolong.”

“Terima kasih atas budi baikmu. Tapi aku adalah aku. Aku hanyalah aku. Urusanku adalah urusanku. Paling pantang bagiku membuat orang lain jadi terganggu….”

“Aku hanya khawatir…. Rimba persilatan penuh dengan berbagai muslihat dan kekejaman. Jika kau sampai celaka…. Tapi sudahlah. Orang berkepandaian tinggi sepertimu tentu mampu menghadapi segala marabahaya….”

“Tak ada yang lebih tinggi daripada Tuhan Yang Kuasa. Tak ada yang lebih mampu daripada Tuhan Yang Esa. Manusia hanya meminta perlindungan padaNya. Bahagia sengsara datang silih berganti. Tinggal manusia yang akan memilih.”

Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Dewi Penolong Bercadar Kuning. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Aku berdoa untuk keselamatanmu!”

“Terima kasih orang tua. Sebelum pergi satu hal perlu kau ketahui. Jangan berdiri sebelum matahari mencapai titik tertinggi. Tubuhmu masih lemah. Tunggu sampai kekuatanmu bertambah. Selamat tinggal….!”

Tua Gila mengangguk lagi dan lambaikan tangannya. Hanya sesaat saja perempuan bercadar kuning itu berlalu tiba-tiba semak belukar di balik pohon besar terkuak. Lalu sekali meloncat saja di hadapan Tua Gila tegaklah sesosok tubuh berjubah hitam rambut putih riap-riapan di bawah topi berkeluk berwarna merah dihias benang merah.

Sepasang mata Tua Gila yang cekung lebar laksana melesak ke dalam dan tambah besar ketika mengenali siapa adanya orang itu.

“Sabai…” desis Tua Gila.

Tengkuknya langsung dingin. Dia coba berdiri. Tapi seperti yang dikatakan perempuan bercadar kuning tadi, ternyata saat itu tubuhnya memang sangat lemah akibat racun keris merah api Datuk Angek Garang yang sempat menancap di bahu kirinya. Ketika dia mencoba berdiri tubuhnya serta merta jatuh terduduk kembali!

Tua Gila cepat meraba pinggangnya di mana tersimpan senjata yang paling diandalkannya yaitu benang sakti Benang Kayangan. Orang di hadapan Tua Gila menyeringai.

“Apa kau kira kali ini kau bisa lolos dari kematian Sukat Tandika?!”

“Kau bisa membunuhku! Tapi aku memilih kita mati bersama! Ha… ha… ha!”

***


SEPULUH

 

Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. “Siapa sudi jalan ke neraka bersama tua bangka bejat sepertimu!” katanya lalu meludah ke tanah. Tua Gila balas dengan tawa bergelak.

“Hukuman memang layak kau jatuhkan atas diriku. Tapi setelah aku mati apa kau akan mendapatkan kepuasan dalam hidupmu? Kau sendiri sudah bau tanah Sabai! Mengapa berperilaku seperti anak-anak tapi mengumbar racun dendam kesumat tanpa perhitungan!”

“Aneh, dulu kau menyatakan pasrah menghadapi kematian! Hari ini sepertinya kau ingin hidup seribu tahun lagi! Agaknya ada perempuan baru yang akan kau jadikan korban kebusukan cinta bejatmu?!”

“Kau mau membunuhku silahkan. Lebih cepat lebih baik! Tapi ada satu hal yang perlu aku beritahu padamu….”

“Setan! Rahasia apa yang kau ketahui mengenai diriku! Aku tak punya rahasia apaapa. Kecuali ingin membunuhmu sejak puluhan tahun lalu!”

“Aku tahu kau sebenarnya tidak sejahat dan sebuas ini Sabai. Ada seseorang mengendalikan dirimu. Sadar atau tidak sadar kau telah dipergunakan orang….”

“Tua bangka bermulut busuk!” teriak Sabai Nan Rancak. “Kau mencari dalih untuk menutupi kebejatanmu di masa muda!”

“Tenang Sabai. Aku akan segera mati di tanganmu, itu sudah jelas. Tapi apa kau sadar bahwa segala perbuatanmu yang dikendalikan orang lain akan mengacaukan rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa? Kau tengah diperalat seseorang Sabai….”

“Jahanam! Katakan siapa orangnya!”

“Aku tidak tahu, tapi aku merasakan. Kau yang lebih tahu!’ jawab Tua Gila.

“Kalau begitu lebih baik kau mampus saja saat ini! Tapi sebelum kau kukirim ke neraka, ada satu hal ingin kutanyakan. Bagaimana kau bisa bebas dan melarikan diri waktu di Andalas tempo hari? Siapa yang menolongmu?!”

Tua Gila menyeringai lalu kakek ini luruskan jari telunjuk tangan kanannya dan menunjuk ke langit.

“Dia Yang Maha Kuasa yang menolongku!” kata Tua Gila. Seperti diketahui yang menolong Tua Gila saat itu adalah Puti Andini, murid dan cucu Sabai Nan Rancak yang merupakan juga cucu Tua Gila sendiri.

Mulut Sabai Nan Rancak berkomat-kamit. Dia maju satu langkah seraya berkata.

“Saatmu sudah tiba Sukat!”

“Silahkan! Sudah kukatakan lebih cepat aku kau bunuh lebih baik jadinya! Tapi….Ada satu hal lagi. Dalam hidupmu selain ingin membunuhku, apakah kau pernah menginginkan sesuatu menjadi milikmu? Sebuah benda sakti mandraguna?”

Muka keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah berkeriput karena mengernyit.

“Apa maksudmu?! Apa kau kira bisa memperpanjang umurmu dengan bicara segala macam hal ngawur?!”

“Kalung Permata Kejora, Sabai. Kau ingat kalung sakti itu? Kalung berantai perak bermata hijau?!”

Sabai Nan Rancak tak sadar tersurut satu langkah saking kagetnya mendengar ucapan Tua Gila. Sebaliknya si kakek tertawa gelak-gelak.

“Menurut riwayat kau tidak bisa membunuhku kalau tidak memakai kalung sakti itu. Apakah kau sudah memiliki benda itu sekarang Sabai…?”

“Soal kematianmu bukan ditentukan oleh segala macam kalung! Tapi aku yang menentukan!” bentak Sabai Nan Rancak. Lalu dia bergumam. “Hemmm…. Di mana kau sembunyikan kalung itu Sukat? Kalau kau tidak memberitahu kucabut lidahmu sebelum kau kubuat mampus!”

“Aku tidak akan memberitahu walau kau mencabut segala bagian tubuhku! Ha… ha…ha!”

Seperti diketahui Kalung Permata Kejora berada di tangan Ratu Duyung. Sang Ratu menemukan benda itu di laut sewaktu menolong Tua Gila dari serangan Sika Sure Jelantik.

“Kau beritahu atau tidak bagiku sama saja!” kata Sabai Nan Rancak walau kini hatinya bercabang dua. Yaitu apakah dia memang harus segera membunuh Tua Gila atau menyiksa bekas kekasihnya itu hingga dia mengaku di mana beradanya Kalung Permata Kejora.

“Nasibmu buruk Sukat! Kau harus mampus saat ini juga! Aku akan buktikan bahwa tanpa kalung itu aku akan sanggup membunuhmu!”

Habis berkata beg itu Sabai Nan Rancak keluarkan bentakan lalu tubuhnya berkelebat, melayang setinggi pinggang. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Tua Gila. Walau keadaannya sangat lemah saat itu namun Tua Gila masih sanggup luncurkan tubuhnya ke bawah sambil miringkan kepala ke kiri. Tendangan Sabai Nan Rancak menderu seujung jari di samping telinga kirinya.

“Braakk!”

Terdengar suara patahnya pohon besar yang tadi jadi sandaran Tua Gila. Pohon yang patah itu lalu tumbang dengan suara bergemuruh.

Tua Gila gulingkan tubuhnya di tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang telah memegang Benang Kayangan bergerak.

“Seettt…. settt!”

Benang sakti yang kehebatannya telah menggegerkan dunia persilatan itu menderu melibat tubuh Sabai Nan Rancak. Namun gerakan Tua Gila sangat lambat akibat kehilangan daya kekuatan. Dengan mudah lawan menangkap benang sakti itu.

Lalu dengan satu gerakan kilat Sabai Nan Rancak melompat ke arah Tua Gila. Benang yang berhasil dipegangnya digelungkan ke dada terus ke leher si kakek. Tua Gila berusaha lepaskan diri tapi tidak mampu. Jiratan benang sakti miliknya sendiri laksana sayatan pisau, mulai melukai kulit lehernya.

“Percaya ucapanku Sukat! Bukan hanya Kalung Permata Kejora yang sanggup menghabisimu! Benang sakti milikmu sendiri ternyata yang akan membunuhmu! Hi… hik…hik!”

Sabai Nan Rancak putar dua tangannya. Dua kaki Tua Gila melejang ke atas akibat jiratan mematikan itu. Dua matanya yang cekung seperti hendak melompat keluar. Lidahnya terjulur mengerikan. Dari lehernya keluar suara seperti ayam dipotong.

Sesaat lagi leher Tua Gila akan putus akibat jiratan maut itu tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat. Bersamaan dengan itu ada cahaya kuning laksana tebaskan pedang menerpa dari atas ke bawah seperti hendak membelah Sabai Nan Rancak mulai dari batok kepala sampai ke dada! Sabai Nan Rancak berteriak marah. Dari hawa dingin yang menyertai sambaran cahaya kuning itu dia segera maklum kalau serangan yang menerpanya tidak bisa dianggap sepele. Dia terpaksa lepaskan jiratan di leher Tua Gila. Bersamaan dengan itu didahului bentakan keras Sabai Nan Rancak hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar merah melesat lurus lalu menebar membentuk kipas. Si nenek tidak tanggung-tanggung. Bukan saja dia berusaha menyelamatkan diri tapi sekaligus juga menyerang lawan dengan pukulan sakti bernama Kipas Neraka!

“Bummm!”

Satu ledakan keras menggelegar.

Sabai Nan Rancak terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Dia coba bertahan agar tidak jatuh. Namun lutut kirinya goyah. Nenek ini akhirnya terduduk setengah berlutut.

Waktu ledakan keras menggelegar tubuh Tua Gila yang kerempeng itu terguling sampai dua tombak. Begitu dia mencoba bangkit mendadak ada sambaran angin. Tahu-tahu tubuhnya sudah digendong orang lalu orang ini melarikannya dengan cara yang aneh. Tubuhnya seperti diajak melompat-lompat. Setiap lompatan membuat sosok orang yang menggendongnya melayang di udara sejauh tiga tombak. Dalam beberapa kejapan mata saja Tua Gila sudah dibawa lari jauh. Ketika Sabai Nan Rancak berhasil berdiri kembali, Tua Gila tak ada lagi di tempat itu.

“Ada seseorang menolongnya!” desis si nenek sambil usap-usap mukanya yang keriputan. Hatinya seribu gemas seribu jengkel.

“Gerakan si penolong begitu cepat. Sambaran angin yang berasal dari tenaga dalamnya luar biasa. Aku teringat pada peristiwa yang dialami muridku Puti Andini. Tidak heran kalau dulu dia gagal mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa, gagal membunuh Tua Gila. Tanah Jawa penuh para tokoh sakti.
Bagaimana aku harus menyelesaikan semua urusan ini? Tua Gila keparat! Urusan dengan dirinya belum selesai, dia menggantung persoalan dengan membawa masalah baru. Kalung Permata Kejora. Ah, di mana benda itu beradanya sekarang? Mungkin dia yang menyembunyikan? Puluhan tahun lalu kalung itu kuberikan pada seseorang untuk disampaikan pada anakku Andam Suri. Tapi orang itu tak pernah muncul lagi. Tak dapat kupastikan apakah kalung tersebut sampai di tangan Andam Suri. Aku sendiri tidak pernah melihat anakku sampai dikabarkan dia meninggal dunia….”

Sabai Nan Rancak merasa tubuhnya letih sekali. Dia mencari tempat yang baik untuk duduk. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak jelas apa yang diperbuat nenek dari Singgalang ini. Entah tengah kesal karena tidak dapat membunuh Tua Gila. Mungkin juga sedih merenungi nasib. Mungkin juga tengah menitikkan air mata.

***

Tua Gila terbatuk-batuk lalu dia tertawa mengekeh begitu tubuhnya digulingkan di tanah. Dia berusaha duduk di tanah dan memandang ke depan.

“Kau lagi!” katanya dengan mata membelalak lalu tertawa gelak-gelak.

“Orang tua. Jangan mencari bahaya baru. Orang yang menginginkanmu belum berada jauh. Jika dia sempat mendengar tawamu pasti dia kembali membuatmu celaka!”

Tua Gila tekap mulutnya lalu tertawa cekikikan.

“Dua kali kau menyelamatkan jiwaku!”

“Siapa nenek berjubah hitam? Yang begitu ingin membunuhmu tanda ada dendam terpendam?!”

Tua Gila geleng-gelengkan kepalanya. “Urusan lama. Kalau saja nenek tolol itu mau berpikir sedikit tidak perlu semua ini terjadi….”

“Jalan pikiran manusia berbeda-beda. Di antara perbedaan itulah muncul malapetaka! Semua orang menjadi gila! Semua orang jatuh dalam sengsara!”

Tua Gila menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku tahu, kau tidak akan mau menerima terima kasihku. Aku juga tahu kau tidak akan mau memberitahu namamu. Kalau begitu biar aku meminta yang lain saja. Maukah kau menyingkapkan cadar kain kuning yang menutupi mukamu agar aku bisa melihat wajahmu?”

“Hal itu tidak bisa aku lakukan. Hal ini bukan aku punya kemauan. Keadaanlah yang memaksaku berbuat demikian,” jawab si cadar kuning tetap dengan kata-kata bernada pantun.

“Baiklah, aku tidak memaksa. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Tua Gila.

“Seperti tadi kukatakan. Jangan bergerak sebelum matahari mencapai puncak kepala. Jangan sampai hal itu terlupakan. Kecuali kau mau mencari celaka…”

“Nasihatmu akan kuperhatikan Dewi Penolong Bercadar Kuning,” kata tua Gila seraya kedap-kedipkan sepasang matanya yang lebar dan cekung.

***


SEBELAS

 

Malam telah larut. Di kejauhan terdengar berbagai suara binatang malam. Suara tetesan air di dalam gentong yang jatuh ke batu di atasnya makin lama terdengar makin perlahan dan dalam jarak yang lebih panjang. Sepasang mata Klewing yang merah tapi redup kelihatan membesar ketika dia melihat sepasang kaki yang sejak sekian lama diam tak bergerak, tiba-tiba bergoyang. Tengkorak bayi yang diikatkan ke pergelangan kaki kiri kanan berputar aneh mengeluarkan suara seperti puput padi.

Dua puluh hari lebih menunggu bukan waktu yang singkat. Keadaan Klewing sudah tak karuan rupa. Kepalanya yang botak mulai bertumbuhan rambutnya. Kumis dan cambang bawuknya meliar. Pipinya cekung. Jubah merahnya kotor dan bau. Kedua mata Klewing semakin membesar ketika disaksikannya bagaimana tubuh di dalam gentong secara aneh bergerak ke atas seolah melayang. Lalu tampaklah satu sosok tubuh lelaki penuh bulu yang hanya mengenakan sehelai cawat. Rambutnya yang basah hitam menyatu dan mengucurkan air. Di lehernya tergantung kalung terbuat dari tulang jari-jari manusia!

Di malam buta itu mendadak terdengar suitan keras dari tiga jurusan. Lalu terdengar suara genderang ditabuh. Bersamaan dengan itu dari tiga arah nampak sinar terang puluhan obor.

”Air dalam gentong telah habis! Datuk Lembah Akhirat telah selesai menjalankan samadi yang keseratus sembilan puluh tiga! Siapkan upacara penyambutan!”

Pedataran luas di pusat lembah di mana gentong kayu besar terletak kini diramaikan oleh puluhan orang. Klewing sama sekali tidak memperhatikan orang-orang itu. Perhatiannya tertuju pada sosok yang barusan keluar dari dalam gentong. Setelah melayang di udara, perlahan-lahan sosok tubuh tinggi besar penuh bulu dan hanya mengenakan cawat itu melayang turun. Lalu tegak di ujung tangga batu di depan gentong.

Tokoh Kembar nomor 3 memandang tak berkesip. Orang yang basah kuyup itu berdiri dengan mata terpejam.

“Tenaga dalamnya tinggi sekali” kata Klewing dalam hati antara kagum dan ngeri.

“Kalau tidak mana mungkin dia mampu keluar dari dalam gentong laksana melayang. Apa lagi bobot tubuhnya demikian besar!”

Sesaat kemudian dua orang datang berlari-lari. Yang satu membawa kasut terbuat dari kulit. Satunya lagi membawa seperangkat pakaian berbentuk jubah hitam, lengkap dengan kain hitam pengikat kepala. Meskipun wajahnya yang garang tertutup kumis, jenggot dan cambang bawuk liar namun Klewing dapat melihat bahwa orang yang barusan keluar dari gentong itu memiliki muka tiga warna yaitu, hitam, hijau dan merah. Inilah dia Datuk Lembah Akhirat. Penguasa kawasan lembah sebelah barat telaga Gajahmungkur yang sejak beberapa ini lama menjulang namanya dalam dunia persilatan karena diketahui memiliki kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat. Tersebar dalam rimba persilatan bahwa sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada siapa yang dianggapnya berjodoh asalkan dari golongan putih.

Suara genderang semakin keras ketika kasut disorongkan ke kaki orang dan jubah hitam dikenakan ke tubuhnya yang tinggi besar. Bersamaan dengan itu seseorang menyipratkan semacam wewangian ke tubuh dan pakaian orang itu. Perlahan-lahan Datuk Lembah Akhirat buka sepasang mata di bawah dua alisnya yang sangat tebal menjulai. Suara genderang ditabuh semakin riuh. Lalu seolah ada yang memberi isyarat suara genderang itu menjadi perlahan hingga akhirnya sirap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya suara genderang maka enam orang pengawal Lembah Akhirat muncul menggotong sebuah kursi, sebuah meja besar penuh dengan berbagai minuman dan santapan besar.

Begitu duduk di atas kursi Datuk Lembah Akhirat menyambar sebuah guci tanah berisi minuman keras lalu meneguknya sampai habis. Setelah itu dia mulai menyantap hampir semua yang terhidang di atas meja tanpa mengacuhkan mereka yang ada di sekitarnya.

Selesai makan Datuk Lembah Akhirat lunjurkan sepasang kakinya. Tangan kanan mengusap perut, tangan kiri menyeka mulut. Tiba-tiba Datuk ini bertepuk tiga kali seraya berteriak.

“Kalian berani menerima mati! Kalian berani menyuruh aku menunggu!” Meja di hadapannya digedor dengan tangan kanan. Tak ampun lagi meja itu ambruk. Apa yang ada di atasnya bermentalan berantakan.

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam, Hijau dan Merah cepat datang ke hadapan sang Datuk lalu menjura. Si muka hitam cepat berkata.

“Ketiduran sudah disiapkan. Teman tidur sedang menuju ke sini. Datuk hanya tinggal memilih!”

Datuk Lembah Akhirat kibaskan tangan kirinya. Tiga wakil segera undurkan diri. Di saat itu enam orang pengawal muncul bersama tiga orang perempuan muda yang kesemuanya bertubuh gemuk dan mengenakan jubah yang tak terikat atau tak terkancing hingga sebagian auratnya sebelah depan terlihat jelas.

“Datuk, silahkan memilih di antara mereka bertiga!” Pengiring Mayat Muka Hitam berkata dari samping meja yang ambruk.

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Bola matanya membeliak menatapi tiga gadis bertubuh gemuk itu satu persatu. Gadis paling kanan berambut pendek sebahu. Mukanya bulat dan dandanannya mencorong. Ketika tertawa kelihatan gigi-giginya dilapisi perak. Bentuk tubuhnya membuntal gembrot mulai dari atas sampai ke bawah.

Sang Datuk alihkan pandangannya pada gadis gemuk di sebelah tengah. Gadis ini memiliki rambut panjang dilepas riap-riapan. Di sebelah atas tubuhnya membusung gembrot penuh lemak. Seolah tak memiliki pinggang, di sebelah bawah kembali tubuhnya membengkak besar. Kulitnya hitam manis seolah berminyak. Dia berdiri sambil lemparkan senyum genit. Datuk Lembah Akhirat basahi bibirnya dengan ujung lidah. Lalu matanya dialihkan pada gadis ke tiga. Gadis satu ini walaupun gemuk luar biasa tapi tubuhnya lebih tinggi dari dua gadis lain. Dada dan pinggulnya seperti menggembung. Caranya berdiri membuat betis dan sebagian pahanya tersingkap. Perutnya yang juga tak dapat disembunyikan kelihatan berlipat-lipat.

Dibandingkan dengan dua gadis gemuk lainnya yang satu ini memiliki wajah menarik walau jidatnya lebar.

“Hanya tiga orang ini?!” Datuk Lembah Akhirat bertanya pada Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Kami cuma mendapatkan tiga yang baru. Dua lagi masih dalam perjalanan. Hanya Datuk keburu menyelesaikan samadi. Mohon maafmu Datuk….”

“Siapa kowe punya nama?!” Tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat menuding tepat-tepat pada gadis ketiga yang tinggi gemuk.

Saking terkejutnya yang ditanya sesaat tak bisa menjawab.

“Datuk menanyakan namamu. Lekas jawab! Jangan membuat Datuk kehilangan kesabaran, menjadi marah dan kehilangan nafsu! Kau bias dijadikan umpan anjing-anjing peliharaannya!” membentak Pengiring Mayat Muka Merah.

“Nama saya Yuyulentik, Datuk…” Perempuan gemuk yang ditanya akhirnya menjawab.

“Apamu yang lentik! Kulihat bulu matamu tidak lentik!” kata Datuk Lembah Akhirat pula. Lalu tertawa gelak-gelak. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya. “Bawa Yuyulentik ke kamar ketiduranku!” kata sang Datuk pula. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia berjalan menuju ke sebuah bangunan di ujung pedataran.

Pengiring Mayat Muka Hijau segera mendekati gadis gemuk bernama Yuyulentik. Sebelum menuntun gadis gemuk ini dia berbisik. “Kau terpilih melayani Datuk selama satu musim sebelum dia kembali bersamadi. Nasibmu baik, rejekimu besar. Awas, jangan lupa membagi-bagi apa yang kau dapat pada kami bertiga…!”
Yuyulentik anggukkan kepala. Lalu melangkah saja mengikuti ke mana si muka hijau itu membawanya.

Ketika hampir sampai di hadapan bangunan yang dituju tiba-tiba satu sosok berjubah merah datang menyongsong dan menjura di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Dua wakil Datuk yakni si muka hitam dan muka merah segera hendak mendamprat. Tapi Datuk Lembah Akhirat memberi isyarat dengan tangan. Dua pembantu terpaksa hentikan langkah tak berani membentak.

“Monyet bau berjubah merah berkepala kuning! Aku tak punya waktu lama. Siapa namamu, apa keperluanmu!”

“Aku Klewing, orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar yang kini hanya tinggal nama saja.,..” Lalu dengan cepat Klewing menceritakan riwayatnya. Tak lupa juga menerangkan tujuannya datang ke situ.

Datuk Lembah Akhirat tertawa. “Soal Kitab Wasiat Malaikat yang kau inginkan itu, jika memang berjodoh dengan dirimu pasti akan menjadi milikmu! Namun untuk mendapatkan kitab sakti itu banyak persyaratannya! Apa kau mampu melakukan?!”

“Karena sudah punya tekad, apa pun yang Datuk perintahkan akan aku lakukan!” jawab Klewing tanpa ragu.

Sang Datuk menyeringai. “Pertama kau harus membunuh seorang tokoh golongan putih. Lalu menyebar kabar bahwa yang membunuh tokoh itu adalah seorang tokoh golongan putih lainnya! Sanggup?!”

“Aku sanggup melakukan Datuk!”

“Bagus! Kau punya dendam pada beberapa tokoh golongan putih. Terutama yang telah membunuh tujuh saudaramu. Aku akan memilihkan calon korban untukmu. Kau sanggup membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng?!”

Klewing diam-diam agak terperangah karena tidak menduga dia akan disuruh membunuh pendekar sakti itu. Tapi akhirnya dia mengangguk seraya berkata. “Akan aku lakukan Datuk….”

“Lalu siapa tokoh yang akan kau fitnah sebagai pembunuh Pendekar 212?!” tanya Datuk Lembah Akhirat pula.

“Dewa Tuak!” jawab Klewing.

“Hemmm… Kenapa Dewa Tuak?” bertanya Datuk Lembah Akhirat.

“Karena dari apa yang aku ketahui tokoh tua itu bermaksud menjodohkan muridnya dengan Pendekar 212. Tapi sang pendekar menolak dengan cara yang memalukan hingga Dewa Tuak menjadi marah!”

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada tiga orang wakilnya.

“Tuyul kepala kuning ini ternyata cerdik juga! Kita perlu orang-orang golongan putih seperti dia!”

Tiga wakil sang Datuk hanya anggukkan kepala.

Sang Datuk berpaling pada Klewing. “Selesai tugasmu membunuh Pendekar 212, kau langsung menyeberang ke pulau Andalas. Cari seorang tokoh silat yang disegani dan bunuh. Lalu sebarkan kabar bohongi bahwa yang membunuh adalah seorang tokoh silat golongan putih lainnya! Kau mengerti?!”

“Aku mengerti Datuk!” jawab Klewing.

“Sekarang ulurkan tangan kananmu! Buka telapak tanganmu lebar-lebar.”

Klewing ulurkan tangan kanannya dan membuka telapaknya lebar-lebar sambil dalam hati bertanya apa yang hendak dilakukan oleh sang Datuk.

“Aku memberimu tiga warna. Hitam, hijau dan merah. Warna mana yang paling kau sukai?!”

“Merah!” jawab Klewing.

Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba melesat ke depan, mencengkeram tangan Klewing demikian rupa hingga telapak tangannya menempel erat dengan telapak tangan si botak kepala kuning itu. Satu cahaya merah membersit keluar dari tangan sang Datuk. Klewing merasa tangannya seperti terseduh air mendidih. Ketika Datuk Lembah Akhirat melepaskan pegangannya Klewing melihat bagaimana kini telapak tangannya telah berubah seolah dicat dengan cat merah yang tak bisa dikelupas!

“Kau sudah menjadi orang kepercayaanku Klewing. Kau sudah menjadi anggota kelompok Lembah Akhirat! Berarti kau harus menjalankan bulat-bulat segala apa yang aku perintahkan tanpa berani melanggar!”

“Aku tak akan melanggar segala perintah Datuk. Aku siap berangkat sekarang juga untuk melaksanakannya,” kata Klewing pula.

“Bagus, tapi apa jaminanmu kau tidak bakal berkhianat?!”

“Aku berani bersumpah. Menyerahkan nyawa jika Datuk menghendaki!” jawab Klewing pula penuh semangat.

Sang Datuk ganda tertawa dan berkata. “Banyak sumpah diucapkan. Banyak janji dikumandangkan. Banyak nyawa dijadikan petaruh. Tapi seringkali semua itu hanya isapan jempol belaka! Aku tidak mau berlaku tolol! Di Lembah Akhirat ada cara tersendiri untuk membuat seorang anggota setia pada kelompok dan aku selaku penguasa tunggal.”

“Kalau begitu aturannya aku akan mengikuti,” kata Klewing.

“Bagus!” ujar Datuk Lembah Akhirat seraya menyeringai. “Kau harus menyerahkan barangmu padaku! Bila mana semua urusan selesai, kau bukan saja akan mendapatkan beberapa inti ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat, tetapi barangmu juga akan dikembalikan. Kau kemudian akan kujadikan wakil penguasa tunggal Lembah Akhirat di kawasan tertentu! Setuju?!”

“Setuju Datuk. Hanya aku tidak mengerti barang apa yang harus aku serahkan padamu?”

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak.

Datuk Lembah Akhirat maju mendekati. Tiba-tiba tangan kanannya melesat ke bawah perut Klewing. Orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar ini tak merasa sesuatu apa kecuali digerayangi hawa dingin yang aneh. Datuk Lembah Akhirat menarik tangan kanannya kembali. Sesuatu kini tergenggam di dalam tangannya. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah yang saat itu sudah siap dengan sebuah kantong kain berwarna merah. Datuk Lembah Akhirat memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam kantong merah.

Klewing tiba-tiba saja menjadi pucat wajahnya. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Tangan kirinya meraba ke bawah perut. Dia terkejut besar. Tangan kanannya ikut meraba-raba. Pucat pasi muka si botak kuning ini. Tak perduli banyak orang di tempat itu dia menyingkapkan jubah merahnya. Matanya mendelik ketika melihat di bawah perutnya tak ada apa-apa lagi.

“Datuk…!” seru Klewing seperti hendak menggerung. “Apa yang kau lakukan padaku!”

“Kau dikebiri sementara Klewing. Kelak jika semua urusan sudah selesai dan kau jalankan dengan baik, seperti kataku tadi milikmu yang paling penting itu akan aku kembalikan. Kau boleh memintanya pada Pengiring Mayat Muka Merah. Tapi tidak ada jaminan bahwa barangmu itu tidak akan tertukar dengan barang orang lain! Ha… ha… ha…!”

Klewing merasa nyawanya seolah terbang. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dengan terhuyung-huyung dia tinggalkan tempat itu. Datuk Lembah Akhirat masih tertawa bergelak. Tangan kanannya digelungkannya ke pinggang gembrot Yuyulentik. Sebelum masuk ke dalam bangunan dia bertanya pada tiga wakilnya yang bermuka hijau, hitam dan merah itu.

“Selama aku bersamadi apakah Dewa Sedih telah melaksanakan tugasnya?!”

“Sudah Datuk,” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam. “Dia telah membunuh dua tokoh silat golongan putih. Mayat kedua orang itu belum lama kami musnahkan menjadi debu dan para pengawal telah membuangnya di dua tempat.”

“Bagus. Kalian tahu di mana kakek sakti itu kini berada?”

“Sesuai petunjuk Datuk dia dipersiapkan untuk menyeberang ke Pulau Andalas untuk membuat kekacauan di sana. Saat ini dia masih berada di tempat peristirahatan di selatan Lembah Akhirat.”

Datuk Lembah Akhirat mengangguk-angguk. “Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing…. Kalau tiba saatnya aku akan menyuruh kalian memanggil Dewa Sedih,” kata Datuk Lembah Akhirat pula lalu membawa si gemuk Yuyulentik masuk ke dalam bangunan.

***


DUA BELAS

 

Hari itu adalah hari ke-70 Pendekar 212 Wiro Sableng kehilangan kekuatan dan kesaktiannya. Yaitu sebagai akibat menolong melepaskan Ratu Duyung dari kutukan yang selama bertahun-tahun membuatnya menjadi makhluk setengah manusia setengah ikan. Di pagi hari yang cerah itu Wiro baru saja membasuh muka di sebuah mata air di sebelah timur hutan Delanggu. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit akibat bantingan dan pitingan Si Raja Penidur kemarin. Saat ini dia belum mengenakan baju putihnya tapi telah memakai jubab Kencono Geni yang diberikan Raja Penidur. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya yang kini tak ada artinya lagi sejak dia kehilangan tenaga dalam, terselip di pinggang celananya. Wiro duduk di tepi mata air sambil merenung.

“Jubah ini pasti dicurinya dari keraton. Diberikan padaku agar kupakai untuk melindungi diri dari siapa saja yang bermaksud jahat. Selama jubah ini ada padaku aku tak akan mempan gebukan, pukulan sakti ataupun senjata tajam. Aku harus berterima kasih pada kakek gendut itu. Namun yang aku tidak mengerti adalah ucapannya. Dia berkata: Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini!”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk rambutnya yang basah.

“Aku tak bisa berpikir memecahkan arti ucapannya itu. Satu keanehan lagi sejak dia memitingku rasa kantukku selalu datang menyerang. Jangan-jangan aku sudah ketularan penyakit tidurnya!”

Wiro menguap lebar-lebar. Lalu seolah mengomel dia berkata.

“Masih begini pagi aku sudah ngantuk lagi! Padahal malam tadi tidurku cukup lelap dan lama…. Apa yang terjadi dengan diriku? Apa sebenarnya yang dilakukan Si Raja Penidur itu?”
Wiro kenakan baju putihnya hingga jubah merah Kencono Geni kini terlindung di balik pakaian itu. (Mengenai jubah Kencono Geni sakti ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bahala Jubah Kencono Geni)

“Perutku lapar. Tapi rasa mengantuk tidak tertahankan. Gila!”

Wiro bangkit berdiri dan tinggalkan mata air. Dia sengaja berjalan cepat agar kantuknya lenyap. Tapi semakin cepat dia berjalan, semakin banyak keringat yang keluar semakin berat terasa kepala dan matanya. Tubuhnya pun menjadi letih sekali. Karena tidak tahan akhirnya Wiro mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri.

Dia mendapatkan satu tempat agak bersih di bawah sebatang pohon waru berdaun rindang. Langsung saja murid Sinto Gendeng ini rebahkan diri, berbaring setengah bersandar ke batang pohon. Tidak seperti biasanya kali ini begitu tertidur dia keluarkan suara mendengkur! Wiro agaknya benar-benar telah ketularan penyakit tidur Si Raja Penidur.

Namun anehnya walau matanya terpejam dan dengkurnya menggembor keras, sayup-sayup dia masih mampu mendengar suara kicau burung di kejauhan. Itulah sebabnya ketika satu bayangan merah berkelebat, meski matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak dan dengkurnya menjadi-jadi Pendekar 212 masih sanggup mendengar suara angin kelebatan orang yang datang.

Di hadapan Wiro saat itu berdiri Klewing, satu-satunya Delapan Tokoh Kembar yang masih hidup dan telah menjadi anak buah Datuk Lembah Akhirat. (Mengenai Delapan Tokoh Kembar harap baca “Kiamat Di Pangandaran).

“Nasibku baik, rejekiku besar. Belum lama mencari aku berhasil menemukan pendekar keparat ini. Kalau tidak karena ulahnya tujuh saudaraku tak bakal menemui ajal!”

Rahang si botak kepala kuning menggembung. “Pendekar keparat! Rasakan pembalasanku!”

Habis memaki begitu Klewing langsung lancarkan satu tendangan maut. Yang diarahnya adalah bagian bawah dagu Pendekar 212.

Sekejapan lagi tendangan itu akan menghancurkan rahang serta mematahkan tulang leher Pendekar 212 tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini menguap lebar lalu seperti tak acuh balikkan tubuhnya ke samping. Tendangan maut Klewing lewat. Kalau tidak lekas dia merubah arah tendangannya kakinya akan menghantam batang pohon waru!

“Uaahhh…!” Wiro kembali menguap sementara matanya terus terpejam. Kaki kanannya dilunjurkan ke depan. Walau gerakannya tidak cepat dan tidak keras namun kaki itu sempat menyentuh kaki kanan Klewing yang berada dalam kuda-kuda mengimbangi dirinya. Karena pusat bobot tubuhnya terpengaruh hampir saja Klewing terjajar. Dengan geram dan sambil membentak dia melompat. Dari mulutnya terdengar teriakan

“Menjungkir Langit!” Tangan kanannya diletakkan di atas kepala. Tangan kiri diluruskan ke depan dengan telapak terbuka. Lalu si botak ini meniup. Inilah ilmu kesaktian yang sangat diandalkan oleh kelompok Delapan Tokoh Kembar. Satu gelombang angin yang mengeluarkan suara deru sehebat air bah menyapu ke arah Pendekar 212!

“Uahhh!” Wiro Sableng lagi-lagi menguap. Tubuhnya miring dan berguling ke kiri.

Namun sekali ini gerakannya kurang cepat. Walau inti serangan lewat di atasnya namun sebagian angin serangan Klewing masih sempat menyapu tubuhnya. Tak ampun lagi Pendekar 212 mencelat mental sampai empat tombak.

Klewing cepat memburu ke tempat Wiro jatuh terkapar. Dia mengira sang pendekar pasti sudah menemui ajalnya. Tapi alangkah kagetnya si botak ini ketika melihat Pendekar 212 duduk menjelepok di tanah. Matanya masih terpejam. Dia menguap dua kali berturutturut sambil garuk-garuk kepala!

Apakah yang telah terjadi? Bagaimana Wiro bisa selamat dari tiupan angin sakti Klewing yang sanggup menghancurkan batu besar itu?!

Ini semua berkat pertolongan Si Raja Penidur. Bantingan dan pitingan yang dilakukannya tempo hari terhadap Wiro adalah untuk menyalurkan sebagian ilmunya yang mampu membuat Wiro mengeluarkan gerakan-gerakan aneh ketika diserang walaupun dia berada dalam keadaan setengah tidur. Ilmu ini sangat cocok dengan keadaan Pendekar 212 yang saat itu tanpa kekuatan tanpa kesaktian. Lalu dengan menyerahkan jubah sakti Kencono Geni yang kini dipakai Wiro, pukulan sakti atau senjata apa pun tidak akan mampu menciderai dirinya!

Sesaat Klewing tertegun sambil membatin. “Ilmu apa yang kini dimiliki pendekar keparat ini! Aku menyirap kabar dia telah kehilangan segala kesaktian! Mengapa kini dia masih sanggup bertahan terhadap serangan mautku?!”

Selagi Wiro menguap dan garuk-garuk kepalanya kembali si jubah merah ini lancarkan satu tendangan. Kali ini yang ditujunya adalah Pendekar 212. Seperti tadi sesaat lagi tendangan itu akan menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng, mendadak tubuh sang pendekar terhuyung ke kiri lalu rebah ke tanah. Di sini dia menguap satu kali lalu berguling ke kiri.

“Jahanam!” rutuk Klewing. Dia melompat. Dengan satu gerakan kilat kaki kanannya dihunjamkan ke perut Wiro.

“Hekkk!”

Pendekar 212 keluarkan suara seperti orang muntah. Klewing terbelalak. Hunjaman kakinya yang sanggup menjebol perut lawan ternyata tidak membuat sang pendekar cidera. Malah Klewing merasakan ada satu kekuatan dahsyat menghantam keluar dari tubuh Wiro, membuatnya terlempar ke udara sampai dua tombak. Penasaran dari atas si botak ini kembali keluarkan ilmu kesaktiannya. Dia meniup dengan tenaga dalam penuh.

“Wuss!”

Satu gelombang angin menghantam. Tanah di bawah pohon terbongkar berubah menjadi satu lobang besar. Pohon waru besar tumbang bergemuruh. Tapi Wiro sendiri lenyap entah ke mana. Ketika Klewing memandang berkeliling dilihatnya pemuda itu duduk tersandar sambil garuk-garuk kepala pada sebatang pohon pisang hutan. Kedua matanya bergerak-gerak tapi masih tetap terpejam!

Merasa dipermainkan si botak nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar ini jadi semakin ganas. Dia kembali menerjang. Dua tangan dihantamkan ke depan. Tapi justru pada saat itu gerakannya tertahan oleh selarik sinar ungu yang berkiblat bukan saja memapasi serangannya terhadap Wiro tapi sekaligus membuatnya terdorong sampai tiga langkah.

Memandang ke depan si botak berjubah merah ini menjadi terkejut. Dia dapatkan seorang dara berpakaian ungu, berwajah cantik tegak di hadapannya sambil bertolak pinggang. Sebuah pita besar berwarna ungu menghiasi kepalanya. Lalu di lehernya melingkar sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Klewing tak pernah melihat atau mengenal gadis ini sebelumnya. Namun dari gerakannya memapasi serangannya tadi dia maklum kalau si cantik ini memiliki kepandaian tinggi.

***

TIGA BELAS

 

Gadis liar! Siapa kau?! bentak Klewing dengan mata berkilat-kilat. Bukan saja karena marah tetapi juga karena diam-diam bernafsu melihat gadis cantik ini. Dia lantas terbayang pada peristiwa sewaktu dia bersama saudara-saudaranya hendak memperkosa Puti Andini di Pangandaran dulu.

“Uahhh!” Di bawah pohon Wiro terdengar menguap lalu mendengkur. Klewing memaki dalam hati. Si gadis hanya melirik sebentar lalu balas menghardik pada Klewing.

“Botak kepala tahi! Jaga mulutmu kalau tidak mau kurobek!”

Klewing tertawa lebar. “Apa urusanmu mencampuri persoalan orang!”

“Persoalanmu yang mana yang merasa aku campuri?!” tanya si gadis sambil kini berkacak pinggang dengan dua tangan sekaligus.

“Liar tapi tolol! Atau berpura-pura tolol! Mengapa kau menolong pemuda yang hendak aku bunuh itu!”

“Ohh… jadi kau hendak membunuh pemuda yang sedang tidur dan tak berdaya itu!”

“Siapa bilang dia tidur dan tak berdaya! Dia justru memiliki ilmu aneh! Ilmu tidur!”

Gadis berbaju ungu tertawa bergelak. “Baru sekali ini aku dengar ada ilmu tidur! Kau yang tolol! Tidak tahu dipermainkan pemuda itu! Hik… hik… hik!”

Tampang si botak jadi merah padam.

“Aku memberi pengampunan padamu! Lekas tinggalkan tempat ini!”

“Hemm…. Kau mengancam! Kalau aku tidak meninggalkan tempat ini apa yang hendak kau lakukan?!” Menantang gadis baju ungu lalu perlahan-lahan tangannya bergerak menarik lepas selendang ungunya yang melingkar di leher. Pada saat itulah Klewing melihat pada salah satu ujung selendang tergurat tiga buah angka. 212!

“Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!” Klewing ajukan pertanyaan.

“Botak tolol! Pertanyaanku tadi belum kau jawab. Malah mengajukan pertanyaan! Ayo katakan apa yang hendak kau lakukan jika aku tidak pergi dari sini!”

“Nasibmu bakal sama dengan pemuda itu. Aku akan membunuhmu! Malah mungkin lebih buruk dari kematian!”

“Maksudmu?!” sentak si gadis.

Klewing tertawa lebar. “Kau tahu apa maksudku! Kelak kau akan menyukai dan minta ampun agar dirimu tidak dibunuh. Karena ingin bersenang-senang lebih lama!”

“Ooo begitu…? Otakmu tolol tapi hatimu keji! Aku menyirap kabar nyawa tujuh saudaramu digusur para tokoh golongan putih karena kekejian yang sama. Apa kau ingin cepat-cepat menyusul mereka?!”

“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” teriak Klewing. Lalu dia meniup kuat-kuat ke arah si gadis. Tapi sebelum angin sakti keluar dari mulutnya, gadis berpakaian Ungu menyergap lebih dahulu seraya kebutkan selendang ungunya.

“Wuuut!”

Klewing kerahkan tenaga dalam dan coba bertahan. Namun sia-sia belaka. Ketika si gadis kembali gerakkan tangannya, selendang ungu yang jadi senjatanya bukan saja menghantamkan angin dahsyat tapi sekaligus laksana kepala seekor ular, mematuk ke muka Klewing.

Mau tak mau si botak kepala kuning ini cepat selamatkan diri dengan melompat ke samping. Begitu menginjakkan kaki di tanah dia balas menghantam. Tapi saat itu kaki kiri Pendekar 212 yang tengah mengorok tiba-tiba menyapu ke depan. Tak ampun lagi si jubah merah ini langsung terjungkal jatuh duduk.

Pada saat itulah selendang ungu si gadis datang menyambar. Leher Klewing masuk dalam jiratan yang membuatnya tak berkutik lagi. Dia tak berani bergerak apalagi mencoba loloskan diri. Dia maklum sekali si gadis sentakkan tangannya yang memegang selendang maka tanggallah lehernya!

Siapakah adanya gadis cantik berkepandaian tinggi dan memiliki gerakan serba cepat ini? Dia bukan lain adalah Anggini, murid tunggal kesayangan Dewa Tuak tokoh silat yang terkenal dengan kegemarannya menenggak tuak harum dan selalu membawa dua tabung tuak kemanapun dia pergi. Dari arah pohon terdengar suara orang menguap panjang disusul suara menggeliat.

Lalu ada suara bertanya. “Eh, enaknya tidurku barusan. Sampai tidak tahu apa yang terjadi!”

Sunyi sesaat, lalu. “Astaga! Anggini, betul engkau yang ada disana itu?!”

“Wiro! Bicara basa-basi kita lupakan dulu! Kau mau aku apakan si botak kepala kuning ini?!”

Wiro usap-usap matanya lalu berdiri dan cepat melangkah ke samping Anggini.

Sesaat dia usap-usap kepala Klewing lalu menjitaknya dua kali hingga si botak ini meringis kesakitan.

“Wiro, kurasa orang ini membunuhmu bukan hanya karena dendam kesumat kematian saudara-saudaranya. Tapi juga karena ada yang menyuruh….”

“Eh, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepalanya.

“Lihat telapak tangan kanannya!”

Wiro tarik tangan kanan Klewing lalu balikkan telapak tangan si botak itu. Ternyata keseluruhan telapak tangannya berwarna merah.

“Botak, apa artinya tanda merah ini?!” tanya Pendekar 212.

Klewing berdiam diri, tak mau menjawab.

“Itu tanda bahwa dia adalah anggota komplotan Lembah Akhirat…” menerangkan Anggini. “Apa kau tidak tahu? Tidak pernah mendengar apa yang tengah terjadi di dunia persilatan akhir-akhir ini?”

Wiro gelengkan kepala. “Selama ini aku menyembunyikan diri….”

“Menyembunyikan diri? Memangnya kenapa?” tanya Anggini. Sejak tadi dia sebenarnya sudah heran melihat tindak tanduk Pendekar 212.

“Nanti saja kita bicara,” jawab Wiro. Lalu kembali dia mengusap-usap kepala botak Klewing. Kepada si gadis dia berkata. “Anggini, pinjamkan aku senjata rahasiamu yang berbentuk paku perak itu!”

“Ah, dia masih ingat senjata rahasiaku. Pertanda dia tidak pernah melupakan diriku…” membatin si gadis. Dengan cepat Anggini mengeluarkan apa yang diminta. Selain selendang ungu maka sejumlah paku perak sepanjang setengah jengkal merupakan senjata rahasia yang tidak bisa dibuat main dan telah membuat ciut nyali tokoh silat golongan hitam. Sebatang paku diserahkannya pada Wiro.

Melihat Wiro mengacung-acungkan paku sambil memeriksa mukanya, si botak kepala kuning jadi merinding juga. “Apa yang hendak kau lakukan?!” tanyanya dengan suara bergetar.

“Hemm…. Menusuk matamu rasanya kurang sedap,” kata Wiro lalu tertawa terbatukbatuk.

“Menindis telingamu atau menambah satu lobang lagi di hidungmu rasanya kurang bagus! Hemm…. Kalau kau anggota satu komplotan dan pimpinan komplotan itu yang menyuruhmu membunuhku, aku akan melakukan sesuatu lain dari yang lain untuknya!”

Dengan gerakan cepat kemudian Wiro pergunakan paku perak itu untuk menggurat angka 212 di kening Klewing. Dengan dalamnya dia menggurat hingga tulang kening si botak ini kelihatan memutih sementara darah mengucur membasahi mukanya.

“Kau kembali pada pimpinanmu! Perlihatkan keningmu dan sampaikan salamku padanya!” Wiro berpaling pada Anggini, memberi isyarat agar si gadis melepaskan jiratan selendangnya.

“Orang ini hendak membunuhmu, kau melepaskannya begitu saja?” ujar Anggini.

“Aku tidak bodoh! Jika dia gagal membunuhku tentu pimpinannya punya perhitungan sendiri terhadapnya….”

Tanpa banyak bicara Anggini lepaskan jiratan selendang ungunya dari leher Klewing. Wiro lantas tendang pant at si botak seraya berkata. “Botak! Lekas minggat dari tempat ini!”

“Kalian akan menerima pembalasan dariku! Kalian akan menerima pembalasan dari Datuk Lembah Akhirat!” kata Klewing seraya bangkit berdiri.

“Hemmm…! Itu rupanya gelar pimpinan komplotanmu!” ujar Wiro sambil menyengir. “Katakan pada Datukmu itu! Akhirat itu tidak ada di lembah! Jika dia kurang jelas aku nanti akan mendatanginya dan menunjukkan jalan ke Akhirat!”

Klewing mendengus lalu tanpa banyak bicara segera tinggalkan tempat itu. Anggini berpaling pada Pendekar 212. Dua orang yang telah sangat lama tak pernah bertemu ini sesaat saling pandang seolah melepas kerinduan. Ternyata itu belum cukup. Keduanya saling mendekat lalu tenggelam dalam saling rangkul.

“Adikku Anggini, apakah selama ini kau baik-baik saja?” bisik Wiro sambil membelai belakang kepala gadis murid tunggal Dewa Tuak itu.

“Aku baik-baik saja. Aku gembira bertemu denganmu Wiro.” Sepasang mata gadis ini berkaca-kaca.

“Aku juga…” jawab Wiro lalu ingat bagaimana guru mereka sangat ingin agar mereka bersatu menjadi sepasang suami istri.

“Apa yang terjadi dengan dirimu Wiro? Ketika kau diserang habis-habisan oleh orang itu tadi, caramu menghadapinya sungguh aneh….”

Wiro menguap lebar-lebar lalu lepaskan pelukannya.

“Sejak kapan kau mengidap penyakit suka menguap dan jadi pengantuk seperti ini…? Lalu kau juga kulihat seperti punya ilmu kebal. Tak mempan gebukan. Apa kau sudah berguru pada orang sakti baru selain Tua Gila dan Sinto Gendeng?”

Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.

“Aku akan ceritakan. Ini semua pekerjaan Si Raja Penidur. Tapi maksudnya baik. Dia ingin menolongku….”

Wiro lalu tuturkan riwayat dirinya sejak dia menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk.

“Pengalamanmu sekali ini sungguh luar biasa. Kau bermaksud menolong orang tetapi kena musibah tidak terduga. Menurut perhitunganmu tinggal berapa hari lagi kau baru bebas dari musibah ini, Wiro?”

Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau aku tidak salah hitung mungkin sekitar tiga puluh hari. Tapi sekarang aku merasa lebih tenteram. Si Raja Penidur memberikan ilmu silat orang tidur itu padaku. Juga ada Jubah Kencono Geni di bawah bajuku….”
Anggini tertawa. “Lain kali kalau hendak menolong aku harus lebih berhati-hati Wiro….”

“Ya, ya…. Memang seharusnya begitu!” ujar Pendekar 212. Dalam hati dia membatin.

“Lain sekali sikap Anggini dengan Bidadari Angin Timur atau Bunga. Dia bisa menerima apa yang telah aku lakukan sebagai satu pertolongan murni, bukan mengandung maksud apa-apa. Ah…. Kalau saja Bidadari Angin Timur bersifat seperti Anggini….

Saat ini aku melihatnya sikapnya juga lain. Jauh lebih dewasa. Seolah dia tidak ingin lagi mengingatingat soal perjodohan itu….” (Mengenai asal usul pertemuan dan hubungan Wiro dengan Anggini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran” dan “Keris Tumbal Wilayuda).

“Anggini, apa yang membawa dirimu sampai tersesat ke tempat ini’?” Wiro ajukan pertanyaan sambil memegang tangan Anggini dan mengajaknya duduk di tanah.

“Guruku, Dewa Tuak…” jawab Anggini.

Wiro melirik pada selendang ungu yang melingkar di leher si gadis. Pada salah satu ujung selendang terdapat guratan angka 212. Sekian tahun berlalu ternyata selendang itu masih ada dan dipeliharanya dengan baik.

“Ada apa dengan Dewa Tuak?” tanya Wiro.

Lama sekali dia tidak pernah kembali ke tempat kediamannya. Kabar pun tidak pernah kudengar. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Di usia setua dia bisa saja dia jatuh sakit atau bagaimana….”

“Hemmm….” Wiro usap-usap dagunya dan unjukkan wajah sedih. “Kau benar, terakhir kali aku bertemu dengan gurumu di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia memang sedang sakit-sakitan….”

Berubahlah paras Anggini. “Apa yang terjadi dengan guruku Wiro? Kau tahu di mana dia sekarang?!”

“Gurumu itu! Dewa Tuak…. Dia tidak tahu menjaga kesehatan. Akibatnya penyakit lamanya kambuh kembali! Ah, kasihan dia…!”

“Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi dengan Dewa Tuak!” kata Anggini setengah berteriak.

“Gurumu itu jatuh sakit, Anggini. Sakit lama. Sakit asmara….”

“Wiro! Jangan bergurau! Aku….”

“Tenang Anggini,” ujar Wiro sambil senyum-senyum membuat si gadis jadi tambah tak karuan rasa. “Aku bilang tadi gurumu itu kambuh penyakit lamanya. Mungkin lebih parah dari yang dulu-dulu. Gurumu kambuh penyakit asmaranya. Penyakit jatuh cinta seri yang ke sekian ratus!”

“Wiro!” Sepasang mata Anggini melotot besar. “Jangan kira aku tidak tega memukulmu kalau masih terus bergurau!”

“Siapa bergurau! Gurumu Dewa Tuak itu memang sedang sakit jatuh cinta pada seorang nenek yang pernah jadi kekasihnya di masa muda. Mereka bertemu di Pangandaran. Sama-sama bertempur melawan para tokoh golongan hitam. Kau tahu sendiri apa akibat pertemuan itu. Segala yang terjadi di masa muda seolah muncul dan mereka rasakan kembali. Kakek dan nenek itu sama-sama jatuh sakit. Tapi sakit enak bahagia! Sakit asmara alias sakit cinta! Ha… ha… ha!”

Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini banting-bantingkan kaki dan menjotos dada Pendekar 212 beberapa kali saking gemasnya. Untung saja saat itu Wiro terlindung oleh jubah sakti Kencono Geni. Kalau tidak pukulan-pukulan yang cukup keras itu bisa menciderainya.

“Siapa nenek kekasih guruku itu?” tanya Anggini akhirnya.

“Seorang nenek cantik dikenal dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis Putih Ratu Pesolek…”

Anggini menarik nafas lega. “Aku pernah mendengar tentang perempuan itu. Guruku sendiri yang menuturkan riwayat mereka. Kalau dia kini memang sedang tergilagila lagi dengan si nenek aku bisa merasa lega. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Kau tahu rimba persilatan di tanah Jawa ini semakin macam-macam. Berbagai kejadian aneh muncul dan semuanya berakhir dalam bayang-bayang maut. Kau pernah mendengar tentang Kitab Wasiat Malaikat yang kini dicari oleh para tokoh?”

“Selama ini keadaanku membuat aku terpaksa seperti menyembunyikan diri. Aku buta segala apa yang terjadi di luaran…. Apa yang kau ketahui tentang Kitab Wasiat Malaikat itu?”

“Kabarnya kitab itu adalah raja diraja segala kitab sakti. Hanya para tokoh silat golongan putih yang akan berjodoh. Konon kitab itu kini berada di tangan seorang Datuk yang bermarkas di Lembah Akhirat. Sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada seseorang tokoh golongan putih yang dianggapnya cocok untuk menerima. Namun apa yang terjadi selama ini beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Kalau mati mayatnya tak pernah ditemui apalagi kuburnya…. Aku khawatir guruku Dewa Tuak terpikat akan berita itu lalu berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Malaikat.”

“Kau sendiri apakah berniat ingin mendapatkannya?”

Anggini menggeleng. “Bagaimana dengan kau?” balik bertanya si gadis.

“Banyak masalah besar masih mengerubungi diriku. Bagaimana mungkin aku memikirkan segala macam kitab…” Wiro hendak menceritakan tentang Kitab Putih Wasiat Dewa yang saat itu disimpannya di balik bajunya. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik tidak mengatakan hal itu pada si gadis.

“Wiro, kita harus meninggalkan tempat ini,” kata Anggini seraya berdiri.

“Ya, aku akan ikut ke mana kau pergi,” jawab Wiro seraya ulurkan tangannya.

Anggini memegang tangan Wiro lalu membantu sang pendekar bangkit berdiri.

"Uaahhhh!" Wiro menguap.

"Hemm…. Penyakit tidurmu kambuh lagi! Kau mau tidur dulu atau mau pergi bersamaku atau bagaimana…? Kalau mau tidur silahkan saja. Aku tak bakal menungguimu!" ujar Anggini menggoda.

Wiro cepat tutup mulutnya dengan tangan kanan. "Uahhh! Aku memilih ikut bersamamu! Biar aku tidur sambil jalan saja!"

***


EMPAT BELAS

 

Tiga pasang mata memandang Klewing dengan membeliak pertanda membersitkan kemarahan. Orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar itu merasa jantungnya berdebar keras dan tengkuknya menjadi dingin. Berulangkali dia mengusap kepalanya yang botak keringatan.

"Ikuti kami!" kata Pengiring Mayat Muka Hitam. Lalu dia memberi isyarat pada dua temannya si muka merah dan muka hijau.

Klewing melangkah mengikuti ketiga orang itu. Dia sudah maklum mau dibawa ke sana. Di hadapan sebuah bangunan batu Klewing disuruh menunggu dijaga oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Muka Merah.

Tak lama kemudian si muka hitam keluar kembali. Di belakangnya mengikuti Datuk Lembah Akhirat yang hanya mengenakan sehelai celana kolor hitam gombrong. Di belakang penguasa Lembah Akhirat ini kelihatan seorang perempuan muda bertubuh sangat gemuk yang nyaris tidak mengenakan apa-apa. Klewing mengenali perempuan gemuk itu bukanlah Yuyulentik yang dulu pernah dilihatnya. Datuk Lembah Akhirat membisikkan sesuatu pada perempuan itu. Si gemuk ini kemudian masuk ke dalam.

Sepasang mata Datuk Lembah Akhirat pandangi tampang Klewing. Tampaknya dia tenang-tenang saja, tak ada bayangan kemarahan. Malah menyeringai. Suaranya pun menegur dengan halus.

"Jadi kau gagal membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…?!"

"Maafkan diriku Datuk…" jawab Klewing tak berani menatap tampang Datuk Lembah Akhirat.

"Kau malah diberinya hadiah tiga guratan angka di kening! Sungguh memalukan!

Tak pernah kejadian anggota komplotan Lembah Akhirat mengalami penghinaan seperti ini!"

"Aku motion maafmu Datuk. Aku sebenarnya hampir dapat membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul seorang perempuan muda berkepandaian tinggi menolong Pendekar 212!"

Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. "Kau tidak mampu membunuh Pendekar 212. Kau juga tidak sanggup mengalahkan lawan yang hanya seorang perempuan muda. Kau tahu nasib apa yang bakal menimpamu Klewing?!"

"Aku mengerti telah berbuat kesalahan besar Datuk! Beri kesempatan padaku sekali lagi…!"

"Kesempatan hanya sekali seumur hidup. Tak mampu mempergunakan kesempatan maka malapetaka besar akan menimpa dirimu!"

"Datuk…. Aku bersedia dihukum dan dibatalkan jadi anggota komplotan Lembah Akhirat…."

"Hukumanmu tidak seringan itu, anjing kurap kepala kuning!" Kemarahan Datuk Lembah Akhirat akhirnya meledak. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Hitam lalu anggukkan kepala. Si muka hitam menoleh pada kawannya si muka merah.

"Lekas panggil Dewa Sedih, bawa ke sini! Dia harus menyaksikan pelaksanaan hukuman agar tidak berbuat kesalahan yang sama!"

Pengiring Mayat Muka Merah segera tinggalkan tempat itu.

"Datuk, apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Klewing dengan muka pucat dan suara bergetar.

"Plaakkk!"

Satu tamparan melanda pipi kiri Klewing hingga kepalanya hampir melintir. Yang menampar adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.

"Sekali lagi kau berani membuka mulut tanpa ditanya kuhancurkan kepala botakmu!" ancam si muka hijau.

Tak lama kemudian Pengiring Mayat Muka Merah muncul bersama seorang kakek berkulit hitam, berpakaian selempang kain putih. Rambutnya yang putih digulung di atas kepala. Alis matanya yang hitam menjulai ke bawah. Tampangnya menunjukkan kesedihan mendalam. Dari hidung dan mulutnya keluar suara sesenggukan seperti hendak menangis.

"Dewa Sedih! Sebentar lagi kau akan melihat pelaksanaan hukuman! Ini agar kau sadar bahwa kejadian serupa bisa terjadi pada dirimu jika kau berbuat kesalahan atau tidak sanggup menjalankan perintah…."

Dewa Sedih langsung keluarkan suara menangis. Dia meratap.

"Aku melihat langit, aku melihat lembah. Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib manusia…."

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Dalam hati dia membatin.

"Orang tua sakti ini sudah mengetahui apa yang bakal terjadi…."

Klewing sendiri semakin pucat mukanya. Kalau tidak bersandar ke dinding batu mungkin kedua lututnya sudah terkulai roboh!

"Pengiring Mayat Muka Merah!" tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata. "Manusia ini berada di bawah pengawasanmu. Selesaikan dia!"

"Datuk!" jerit Klewing seraya hendak menjatuhkan diri minta ampun pada Datuk Lembah Akhirat. Namun lehernya keburu dicekal oleh Pengiring Mayat Muka Merah.

Dalam takut yang amat sangat, Klewing menjadi nekad. Sebelum dijatuhi hukuman yang pasti hukuman mati dia harus dapat membunuh salah seorang yang ada di hadapannya. Dia memilih sang Datuk. Mulutnya terbuka. Dia lalu meniup ke arah Datuk Lembah Akhirat. Satu gelombang angin menderu laksana air bah. Namun setengah jalan serangan itu menjadi buyar. Dewa Sedih meraung keras. Tangan kanannya dipukulkan.

Gelombang angin serangan Klewing terdorong ke samping lalu buyar berantakan!

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia melangkah mendekati Dewa sedih lalu menepuk bahu orang tua ini berulang-ulang seraya berkata. "Kau anak buahku yang hebat! Terima kasih kau telah menolongku dari serangan si botak gila itu!"

Sebagai jawaban Dewa Sedih tutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Telapak tangan kanannya tampak berwarna hitam. Pertanda bahwa dia berada di bawah pengawasan Pengiring Mayat Muka Hitam.

"Pengiring Mayat Muka Merah, kau tunggu apa lagi? Selesaikan dia!" Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hitam.

Mendengar ucapan itu si muka merah cekal leher Klewing kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah. Klewing merasa sekujur tubuhnya hancur luluh. Terhuyunghuyung dia bangkit berdiri. Namun dalam keadaan setengah tegak setengah duduk Pengiring Mayat Muka Merah hantamkan tangan kanannya ke arah si botak.

Selarik sinar merah bertabur. Jeritan Klewing terdengar mengenaskan. Tubuhnya lenyap dalam buntalan api berwarna merah. Sesaat kemudian tubuh itu telah berubah menjadi seonggok debu berwarna merah.

"Aku melihat langit! Aku melihat lembah! Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib manusia! Hik… hik… hik!" Ratap tangis Dewa Sedih si kakek sakti aneh semakin menjadi-jadi.

Pengiring Mayat Muka Merah memanggil dua orang pengawal. Mereka diperintahkan membersihkan debu merah dan membuangnya ke selatan lembah.

"Dewa Sedih, sobat besarku!" Datuk Lembah Akhirat berkata.

"Aku sudah memikirkan satu kedudukan tinggi bagimu. Namun sebelum hal itu aku berikan, kau kini ketambahan satu tugas baru…."

"Hik… hik…. Aku melihat langit. Aku melihat lembah. Aku melihat darah…."

"Bagus, kalau kau bisa melihat darah berarti kau akan sanggup menjalankan tugas!"

"Hik… hik…. Sebutkan tugas itu Datuk. Tanganku sudah gatal untuk melakukannya…" kata Dewa Sedih pula sambil mengusut air matanya.

"Cari Pendekar 212 sampai dapat! Bunuh dan sebarkan berita bahwa yang membunuhnya adalah Iblis Putih Ratu Pesolek karena pemuda itu tak mau melayani dirinya!"

Tangis Dewa Sedih terhenti sesaat. "Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat manusia mati berkaparan. Hik… hik… hik…."

"Kalau tugasmu itu kau laksanakan dengan baik. Kau lekas kembali menemuiku. Satu tugas lagi akan kuberikan padamu. Setelah itu kau akan kuberikan kedudukan tinggi yang aku janjikan…."

"Hik… hik…. Aku melihat langit, aku melihat lembah. Aku melihat kitab. Hik… hik…hik! Kitab Wasiat Malaikat! Datuk, apakah aku akan mendapatkan kitab sakti itu sesuai janjimu?" Dewa Sedih bertanya sesenggukan.

Datuk Lembah Akhirat tersenyum. "Kalau kau memang berjodoh dengan Kitab Wasiat Malaikat, kitab itu pasti akan menjadi milikmu!"

Sang Datuk lalu memberi isyarat pada Pengiring Mayat Muka Hitam. "Antarkan dia ke tempatnya kembali. Berikan makan enak…."

"Datuk, apakah aku boleh minta sesuatu…?" tiba-tiba Dewa Sedih ajukan pertanyaan.

"Hem…. Katakan saja. Jika memang pantas pasti akan kuberikan…"

"Selama dua bulan di tempat ini aku tak pernah melihat perempuan. Aku melihat langit, aku melihat lembah! Tapi tidak melihat perempuan! Hik… hik… hik. Sebelum pergi aku ingin diri tua ini tidur dikeloni perempuan. Tak perlu gadis atau yang masih muda. Hik… hik… hik! Nenek-nenek pun jadilah!"

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Tiga wakilnya ikut-ikutan tertawa.

"Dewa Sedih, sekalipun aku berikan perempuan kau mau berbuat apa?!" ujar sang Datuk. "Apa kau lupa bahwa kau saat ini berada dalam keadaan dikebiri? Barangmu telah kuambil dan kutitipkan pada wakilku Pengiring Mayat Muka Hitam!"

Dewa sedih unjukkan wajah bengong. Lalu tangannya meraba ke bawah perut. Dia tidak merasakan apa-apa. Langsung saja si kakek menangis menggerung-gerung.

***

 

TAMAT

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler