Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 112: RAHASIA MAWAR BERACUN

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS112.jpg
WS112.jpg

"MAWAR KUNING…" DESIS PERI ANGSA PUTIH. "BUNGA INI HANYA TUMBUH DI TAMAN LARANGAN. MENGAPA BISA BERADA DI SINI? APAKAH PERI BUNDA TAHU KALAU DUA KUNTUM MAWAR KUNING INI TERSELIP DI ANTARA BUNGA-BUNGA LAIN DALAM JAMBANGAN?" TIBA-TIBA PERI ANGSA PUTIH INGAT. TANGANNYA BERGETAR. "MAWAR INILAH YANG TEMPO HARI HAMPIR MEMBUNUH WIRO DI TELAGA. WAHAI PARA DEWA! JANGAN-JANGAN… MUNGKINKAH DIA YANG MELEMPARKAN BUNGA ITU KE DALAM ANAK SUNGAI. UNTUK MERACUN PENDEKAR 212 WIRO SABLENG? APAKAH PERI BUNDA SEJAHAT ITU? BAGAIMANA AKU HARUS MENYELIDIK?"

 

SATU

 

DUA SOSOK putih berkelebat. Begitu cepatnya gerakan mereka hingga kelihatan seperti bayang-bayang setan, menembus kelebatan rimba belantara. Di satu tempat setelah keluar dari kawasan hutan sosok di sebelah depan berhenti. Astaga! Ternyata dia adalah manusia biasa juga adanya tapi luar biasanya dia adalah seorang dara berwajah cantik. Pakaiannya putih tipis keabu-abuan. Rambutnya yang tergerai lepas di punggung berwarna pirang membuatnya selain tambah cantik juga tampak anggun.

Sosok ke dua berhenti disamping dara cantik pertama. Ternyata dia juga seorang dara jelita. Raut tubuh dan potongan badannya sangat menyerupai gadis satunya. Siapa gerangan sepasang gadis berwajah sama yang barusan memasuki kawasan rimba belantara sunyi dan berbahaya itu?

Di Negeri Latanahsilam keduanya dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia. Di balik kecantikan mereka yang mempesona itu tersembunyi satu sifat yang membuat orang lain bisa merinding jika mengetahui, terutama kaum perempuan. Sejak lama diketahui sepasang gadis kembar ini memiliki kelainan. Begitu banyak para pemuda yang tertarik pada mereka namun segera menjauhkan diri dengan perasaan ngeri begitu mengetahui bahwa dua gadis itu hanya berselera pada kaum sejenisnya.

"Luhkemboja, ada apa kau berhenti?" bertanya dara bernama Luhkenanga pada dara satunya yang adalah kakaknya.

Sebelum menjawab, dari balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan sebuah tongkat terbuat dari batu berwarna biru. Tongkat itu digosok-gosokkannya ke leher. Lalu diturunkan ke dada. Si gadis menggeliat sendiri lalu tertawa panjang.

"Tingkahmu membuat aku ingat pada gadis bernama Luhjelita itu," berkata Luhkenanga. Sepasang matanya membesar berbinar-binar.

Luhkemboja si kakak telan ludahnya sendiri. "Aku juga selalu ingat padanya. Belum pernah kita menemui gadis secantik dia. Memiliki tubuh padat kencang. Waktu dia mendesah memohon agar kita tidak menyentuh dadanya…. Wahai! Apa yang diucapkan dan bagaimana dia menggerakkan tubuh malah membuat aku tambah bergairah. Kapan-kapan aku ingin mencarinya kembali.”

"Gadis satu itu memang luar biasa. Terus terang aku juga belum puas wahai kakakku Luhkemboja. Tapi kita harus hati-hati. Kau tahu siapa adanya gadis itu. Dia pasti membekal dendam terhadap kita."

"Mengapa perlu merasa takut padanya. Jika dia berani muncul siapa tahu dia memang sengaja mencari kita karena ketagihan…." kata Luhkemboja lalu tertawa.

(Untuk mengetahui apa yang terjadi antara sepasang dara kembar ini dengan Luhjelita harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir").

"Tongkat batu ini," kata Luhkemboja setelah puas tertawa.

"Sesuai yang dipesankan kakek, kita harus segera menyerahkan padanya. Tetapi aku punya rencana lain!"

"Heh, apa yang ada di benakmu?" bertanya sang adik.

"Kalau kakek menginginkan tongkat ini berarti benda ini adalah satu benda sangat penting. Pasti mengandung satu kekuatan atau satu kesaktian. Buktinya kau lihat sendiri. Tongkat ini mengeluarkan cahaya biru."

"Jangan-jangan tongkat itu menyembunyikan satu rahasia yang si kakek tidak pernah atau tidak mau menceritakannya pada kita."

"Boleh jadi," kata Luhkemboja pula lalu memperhatikan tongkat batu yang dipegangnya dengan seksama mulai dari ujung satu sampai ujung lainnya.

"Aku tidak melihat sesuatu yang aneh pada tongkat ini. Kecuali sangat enteng…."

"Coba kuperiksa," kata Luhkenanga pula lalu ganti memeriksa. Seperti kakaknya gadis satu inipun tidak melihat keanehan atau kelainan pada tongkat batu itu. Benda ini ditirnang-timangnya lalu diusap-usapnya beberapa kali. Ketika hendak dipulangkannya pada kakaknya, selintas pikiran muncul dalam benaknya.

Tongkat ditariknya kembali. Lalu dengan ujung jari tengahnya tongkat itu disentil-sentilnya mulai dari ujung kiri sampai ujung kanan.

"Apa yang kau lakukan Luhkenanga?" tanya Luhkemboja.

"Coba kau perhatikan. Dengar…." Sambil terus menyentil Luhkenanga dekatkan tongkat batu biru itu ke telinga kiri kakaknya. "Kau mendengar sesuatu?"

"Tentu saja. Suara jarimu beradu dengan tongkat batu biru. Apa anehnya?"

Luhkenanga gelengkan kepala. "Ada bunyi atau suara berlainan. Pada dua ujung kiri kanan berlainan dengan bagian tengah…."

"Bagiku sama saja Tidak ada bedanya," kata Luhkemboja. Tongkat itu diambilnya kembali.

"Dengar Luhkemboja. Aku punya satu rencana. Bagaimana kalau…."

Luhkemboja tertawa ketika mendengar apa yang kemudian diucapkan adiknya. Dia membalikkan badan lalu memberi isyarat untuk segera melanjutkan perjalanan. Belum jauh meninggalkan ujung rimba belantara, di satu tempat mendaki dimana udara terasa sejuk Luhkenanga tiba-tiba berkata. "Ada seorang perempuan berpakaian serba putih seperti kita duduk di sebelah sana…."

Luhkemboja hentikan larinya dan memandang ke arah yang ditunjuk sang adik. Memang benar. Di kejauhan sana seorang perempuan muda berparas cantik jelita duduk bertopang dagu di atas bukit berumput. Langsung saja dada sepasang gadis kembar ini jadi berdebar dan rasa gairah menjalari tubuh mereka.

"Wajahnya cantik sekali. Kulitnya bersih…." ucap Luhkemboja.

"Harum bau tubuhnya tercium sampai ke sini. Aku rasa-rasa tahu siapa adanya orang itu. Kelihatannya dia sengaja duduk bersunyi diri. Seperti memikirkan sesuatu," ujar Luhkenanga pula.

"Mari kita dekati. Siapa tahu rejeki besar menjadi bagian kita," kata Luhkemboja mengajak.

Dua gadis kembar segera berkelebat Sebentar saja mereka sudah berada di hadapan perempuan muda yang duduk di atas rumput itu. Orang ini turunkan tangannya lalu mengangkat kepala memandang pada sepasang dara yang baru datang. Kagetlah Luhkemboja dan Luhkenanga ketika mereka melihat dan menyadari siapa adanya orang itu. Sebaliknya orang yang duduk di atas rumput tetap tenang saja walau dia sudah mengenali dua gadis yang berdiri di hadapannya.

"Peri Angsa Putih…." menyapa Luhkemboja sementara Luhkenanga pandangi peri cantik itu sambil berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah.

Dibanding dengan kakaknya Luhkenanga memang dia tidak bisa menyembunyikan gelora hatinya melihat kecantikan wajah dan kemulusan tubuh Peri Angsa Putih. Apa lagi tubuh peri ini menebar bau harum mewangi yang menambah rangsangan dalam dirinya.

"Wahai, sungguh pertemuan tidak disangka. Bukankah kalian berdua kerabat yang dijuluki Sepasang Gadis Bahagia?" balas menegur Peri Angsa Putih.

Dua gadis kembar jatuhkan diri, berlutut di hadapan sang Peri. Luhkemboja malah ulurkan tangan memegang lalu mengangkat tangan Peri Angsa Putih, kemudian menciumnya dengan sikap hormat walau sebenarnya perbuatannya itu lebih didorong oleh hawa gairah. Luhkenanga tidak tinggal diam. Dia tirukan apa yang dilakukan kakaknya dan mencium belakang telapak tangan malah sampai ujung lengan Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum Peri Angsa Putih tarik tangannya.

"Aku sudah lama mendengar perihal kalian berdua. Hanya tidak tahu mana yang bernama Luhkemboja dan mana yang bernama Luhkenanga."

Dua gadis kembar lalu memperkenalkan diri masingmasing.

"Wahai Peri Angsa Putih, gerangan apakah yang membuat kau berada di bukit sunyi ini?" bertanya Luhkemboja.

"Sepertinya tengah menunggu seseorang," menyambung Luhkenanga.

"Wahai, jika kau benar menunggu seseorang biar aku coba menerka," kata Luhkemboja sambil tersenyum dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikir-pikir.

"Kalau salah dugaanku mohon maafmu wahai Peri cantik dari Negeri Atas Langit. Bukankah kau tengah menunggu lelaki gagah bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu itu?"

"Wahai! Dugaan kakakku pasti betul. Sudah lama kami menyirap kabar kalau lelaki itu tertarik padamu dan kau. Hemm…." Luhkenanga tidak teruskan katakatanya.

Bersama kakaknya dia tertawa panjang.

Wajah Peri Angsa Putih sesaat kelihatan menjadi merah. Namun sambi! mengulum senyum Peri ini kemudian berkata. "Dugaan kalian memang betul. Aku berada di bukit berumput ini tengah menunggu orang. Tapi bukan lelaki bernama Lakasipo itu. Melainkan justru aku menunggu kedatangan kalian berdua."

"Kami?!" ujar Luhkenanga dan Luhkemboja terpekik girang hampir bersamaan. Sepasang gadis kembar ini saling melirik lalu duduk bersimpuh di atas rumput. Satu di kiri, satu di kanan. Demikian dekatnya mereka mengapit hingga pinggul dan bahu mereka bersentuhan hangat dengan pinggul serta bahu Peri Angsa Putih. Bahkan hembusan nafas keduanya menyentuh permukaan wajah sang Peri.

"Sungguh kami merasa bahagia mengetahui kau berada di sini sengaja menunggu kami," kata Luhkenanga seraya memegang iengan Peri Angsa Putih dan mengusap-usapnya. "Tentu ada sesuatu yang bisa kami lakukan untukmu."

Sementara itu Luhkemboja mulai pula meraba lengan Peri Angsa Putih satunya.

Peri Angsa Putih yang sudah tahu kelainan sifat dua gadis kembar ini perlahan-lahan lepaskan kedua tangannya dari genggaman Luhkemboja dan Luhkenanga.

Lalu berkata. "Aku ingin mengetahui dan meyakini satu hal. Mudah-mudahan kalian berdua bisa memberi penjelasan…."

"Wahai, hal apakah itu Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga seraya rapatkan duduknya. Pahanya sampai menindih paha sang Peri.

"Beberapa waktu yang lalu aku melihat kalian berdua keluar dari sebuah goa di kawasan barat sana…."

Wajah dua gadis kembar mendadak sontak jadi berubah. Adik kakak ini saling melirik. Dalam hati mereka menduga-duga apakah sang Peri tahu apa yang telah terjadi, apa yang telah mereka lakukan di goa itu?

"Wahai, tidak disangka kau mengetahui kehadiran kami di goa itu…" kata Luhkemboja. Dia tak berani berdusta karena khawatir sang Peri tahu banyak tentang mereka. "Kami kebetulan saja lewat di kawasan itu…."

"Betul, kami memang kebetulan lewat di sana," menyambungi Luhkenanga.

"Ketika melihat sebuah goa kami mencoba masuk…" Luhkemboja meneruskan.

Luhkenanga kembali menyambung. "Kami masuk sekedar untuk mencari tempat yang teduh dan aman untuk beristirahat"

"Kalian masuk dan jadi beristirahat dalam goa itu?" tanya Peri Angsa Putih.

Luhkemboja menggeleng. Luhkenanga memandang pada kakaknya lalu ikut menggeleng.

"Jadi kalian tidak masuk…?" tanya Peri Angsa Putih.

"Kami memang masuk…" jawab Luhkenanga dengan suara perlahan.

"Tapi kami segera keluar lagi!" kata Luhkenanga.

"Kenapa?" tanya Peri Angsa Putih.

"Ada orang lain dalam goa itu!"

"Ada satu pemandangan menusuk mata yang membuat kami tak sanggup berada di situ dan cepatcepat keluar…."

Peri Angsa Putih menatap dua gadis kembar berganti-ganti lalu bertanya. "Siapa orang lain yang kalian lihat dalam goa itu? Kaitan mengenalnya? Lalu….Memangnya apa yang dia lakukan di situ…."

"Ada dua orang dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih. Satu gadis, satu pemuda…" kata Luhkemboja.

"Yang gadis berada dalam keadaan bugil. Tengah berpelukan dengan seorang pemuda berambut panjang. Kalau kami tidak salah dia adalah pemuda asing yang belum lama berselang berada di Negeri Latanahsilam ini…."

"Kalau tidak salah dia pemuda yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212."

***

 

DUA

 

TENGGOROKAN Peri Angsa Putih kelihatan turun naik. Suaranya agak tersendat ketika bertanya.

"Apa kalian mengenali siapa adanya gadis di dalam goa yang bersama pemuda bernama Wiro Sableng itu?"

"Luhjelita. Gadis yang dikenal sebagai penunggang kura-kura terbang itu!"

"Kalian tidak salah lihat?"

"Kami berdua. Mana mungkin salah lihat!" jawab Luhkenanga.

"Kalau begitu…." Peri Angsa Putih tidak meneruskan ucapannya.

"Kalau begitu apa wahai Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga sambil kembali tangannya merayap ke lengan sang Peri.

"Tidak…. Tidak apa-apa. Keterangan kalian sangat berguna. Paling tidak aku kini benar-benar yakin dan mengetahui apa yang terjadi dalam goa itu…." Lalu dalam hati sang Peri berkata. "Aku juga menyaksikan sendiri. Tadinya aku seperti ingin mengatakan tidak yakin pada penglihatanku sendiri. Tapi kini ada dua orang yang menyaksikan hai yang sama. Berarti tidak perlu aku menyelidik lebih jauh. Wahai mengapa kejam sekali rasanya dunia ini memperlakukan diriku. Peri Bunda, kau benar. Aku harus menjauhkan diri dari pemuda bernama Wiro itu. Aku harus kembali ke Negeri Atas Langit…" Peri Angsa Putih memandang pada dua gadis kembar lalu bangkit berdiri. "Terima kasih atas semua keterangan kalian. Aku harus pergi sekarang…."

"Wahai," ujar Luhkenanga seraya berdiri pula.

"Tak jauh dari sini ada sebuah dangau. Dibangun orang di atas sebuah telaga jernih. Udara di sana sejuk sekali. Pemandangannya indah nian. Bagaimana kalau kita bertiga pergi ke sana. Beristirahat barang setengah hari sambil berbincang-bincang. Siapa tahu ada keterangan lain yang ingin kau dapatkan dan kebetulan kami ketahui…."

"Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Tapi keterangan yang aku cari sudah kudapat. Lain waktu undangan kalian tentu ada kupenuhi…."

"Sayang sekali. Kalau kau mau pergi kamipun hendak pergi pula…" kata Luhkenanga.

Saat itu sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan.

"Dua gadis kembar! Jangan kalian berani pergi! Kembalikan dulu tongkat yang kau curi dariku!"

Belum habis kejut Luhkemboja dan Luhkenanga tahutahu seorang pemuda berambut gondrong sambil menyeringai dan berkacak pinggang telah berdiri di hadapan mereka.

"Peri Angsa Putih! Ini pemuda bernama Wiro Sableng yang barusan kita bicarakan!" berkata Luhkenanga.

Sementara Luhkemboja cepat menjauh karena khawatir Wiro akan merampas tongkat batu biru yang dipegangnya.

Pemuda berambut gondrong yang memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya melirik ke kiri dimana berdiri Peri Angsa Putih. Murid Sinto Gendeng hendak layangkan senyum pada sang Peri namun batal ketika dilihatnya Peri Angsa Putih unjukkan wajah kaku malah kemudian palingkan muka ke jurusan lain.

"Kalian membicarakan aku mengenai apa?!" tanya Wiro.

Luhkemboja dan Luhkenanga tidak segera menjawab tapi tertawa cekikikan.

"Gadis-gadis aneh! Ada apa kalian tertawa. Luhkemboja! Lekas serahkan tongkat di tanganmu itu padaku!"

"Kau sungguhan mau tahu apa yang barusan kami bicarakan?!" Luhkemboja berkata seraya senyum-senyum.

Wiro mulai mencium ada yang tidak beres. Tapi dia segera menjawab. "Katakan saja. Aku ingin tahu!"

"Kau tidak malu Peri Angsa Putih ikut mendengar?" tanya Luhkenanga lalu tertawa cekikikan.

"Kami melihat kau dan gadis bernama Luhjelita berbugil-bugil di dalam goa!" Berucap Luhkemboja.

"Gadis kurang ajar! Jangan kau berani memfitnah!" teriak Pendekar 212 marah.

"Kalian berzinah di dalam goa!" ujar Luhkenanga.

Amarah murid Sinto Gendeng tidak terkendalikan lagi. Mukanya mengelam. Kupingnya seperti dipanggang.

Sekali lompat saja Wiro layangkan satu tamparan ke muka Luhkenanga. Seperti diketahui dua kakak beradik kembar yang dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia ini bukanlah gadis-gadis sembarangan.

Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi sekali hingga mampu bergerak cepat dan ringan. Selain itu mereka juga memiliki jurus-jurus ilmu silat aneh. Sekali bergerak Luhkenanga berhasil selamatkan diri dari tamparan Wiro yang bisa meremukkan tulang pipinya.

Penasaran Wiro kembali mengejar Luhkenanga. Namun saat itu satu bayangan putih berkelebat dari samping. Angin yang menyambar membuat Wiro terpaksa hentikan niatnya. Ketika dia memandang ke depan pendekar kita jadi tertegun. Yang menghadang di hadapannya adalah Peri Angsa Putih.

"Peri Angsa Putih…. Apa maksudmu menghalangi gerakanku?!" tanya Wiro heran.

"Apa maksudmu menyerang gadis itu?!" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tapi dia tidak memandang ke arah Wiro karena wajahnya seperti tadi lagi-lagi dipalingkan ke jurusan lain.

"Dia…. Gadis itu kau dengar sendiri! Dia berkata jahat! Memfitnahku!"

Peri Angsa Putih mendengus. Wajahnya tersenyum sinis. Membuat Wiro menjadi tambah marah walau bercampur heran. "Peri Angsa Putih. Ada apa ini?! Kau bicara tapi tidak mau melihat padaku! Kau sepertinya membela gadis-gadis tukang fitnah ini!"

"Mereka tidak memfitnah. Aku melihat sendiri kau dan Luhjelita di dalam goa itu. Jangan mengira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?!"

Wiro hendak menggaruk kepala habis-habisan lalu dekati Peri Angsa Putih.

"Jangan kau berani bergerak lebih dekat!" membentak Peri Angsa Putih.

Wiro kaget bukan main. Dia ulurkan tangan hendak memegang lengan Peri Angsa Putih tapi kembali sang Peri membentak. Air mukanya membayangkan ancaman.

"Pendekar 212! Jangan sentuh diriku! Aku bukan Luhjelita gadis yang bisa menjadi pemuas nafsu bejatmu!"

Wiro ternganga besar. Dua kakinya seperti dipantek ke tanah. "Peri Angsa Putih, aku…."

"Aku tak sudi kau menyebut namaku! Berlalulah dari hadapanku!"

"Mati aku! Apa yang terjadi dengan Peri satu ini?!" membatin Wiro. Ketika dia berpaling ke samping, dua gadis kembar tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi.

Wiro tak mau mengejar karena khawatir Peri Angsa Putih akan kembali menghadang dan bisa-bisa antara mereka terjadi bentrokan yang tak diinginkan. Dengan menahan hawa amarahnya terhadap dua dara yang kabur itu Wiro bertanya. "Aku tidak mengeri. Ada apa ini?! Wajahmu melihat aku seperti melihat hantu…."

"Aku tidak melihat hantu! Tapi melihat makhluk sangat menjijikkan!" tukas Peri Angsa Putih.

Wiro garuk kepala. "Tampangku memang jelek!

Terserah kau mau bilang apa! Tapi harap kau jelaskan dulu mengapa kau membela dua gadis jahat tadi. Lalu mengapa kau marah-marah dan berkata tak karuan padaku. Aku merasa tidak punya salah padamu. Dua gadis kembar itu mencuri tongkat batu titipan orang. Mereka juga memfitnah diriku lalu enak saja melarikan diri. Aku tidak…."

Saat itu mendadak ada suara menderu dahsyat disertai suara ringkikan kuda. Sesaat kemudian seekor kuda hitam besar berkaki enam muncul dan berhenti di tempat itu. Di atasnya duduk Lakasipo dengan sikap gagah.

"Saudaraku Wiro Sableng! Kerabatku Peri Angsa Putih! Aku merasa gembira bisa menemui kalian berdua di tempat ini!" Lakasipo hendak tertawa lebar.

Tapi tidak jadi ketika dia melihat raut wajah Peri Angsa Putih serta Wiro yang tampak kebingungan. Pendekar 212 kedipkan mata. Maksudnya hendak memberi tahu tapi Lakasipo yang tidak mengerti malah berucap.

"Wahai, aku tidak ingin mengganggu. Rupanya kalian sedang asyik berdua-dua di tempat ini. Wiro, biaraku pergi dulu. Nanti aku akan mencarimu kembali. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu!"

"Kuharap kau jangan pergi dulu Lakasipo. Aku juga banyak pembicaraan denganmu!" kata Wiro.

"Kerabat Lakasipo, jika kau memang mau pergi bolehkah aku ikut menumpang bersamamu sampai di kaki bukit sana?"

Ucapan Peri Angsa Putih itu membuat Lakasipo terheran-heran dan memandang Wiro yang saat itu hanya bisa tegak sambil garuk-garuk kepala. Mengira Peri Angsa Putih menyindirnya Lakasipo cepat membungkuk dan berkata. "Maafkan, tidak maksudku mengganggu kalian. Aku mohon diri dulu…."

"Lakasipo, tunggu! Aku ikut bersamamu!" seru Peri Angsa Putih.

"Peri Angsa Putih, bukankah kau…? Wahai mana tungganganmu angsa putih itu?" tanya Lakasipo.

"Dia tak ada di sini. Itu sebabnya aku minta ikut bersamamu…."

Lakasipo memandang pada Wiro seolah mau bertanya. Tapi pendekar kita hanya tegak diam dan kini tidak lagi menggaruk kepala, memandang pada Lakasipo dan Peri Angsa Putih dengan raut muka membayangkan heran dan bingung.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Peri Angsa Putih melompat ke atas punggung kuda hitam kaki enam dan duduk di belakang Lakasipo.

"Peri Angsa Putih, bagaimana ini. Mungkin aku perlu bertanya…."

"Pacu kudamu Lakasipo. Dalam perjalanan kau boleh mengajukan seribu pertanyaan. Semuanya akan kujawab! Apa lagi menyangkut saudara angkatmu yang kau anggap baik dan suci itu!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih menggebrak pinggul Laekakienam dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya enak saja merangkul ke pinggang Lakasipo. Kuda hitam raksasa berkaki enam itu meringkik keras lalu melompat ke depan.

"Peri geblek!" Wiro memaki sendirian dalam hati.

"Apa yang terjadi dengan dirinya! Katanya dia melihat sendiri aku dan Luhjelita di dalam goa. Melihat apa?"

Wiro garuk-garuk kepala. "Jangan-jangan…. Bayangan yang kulihat dalam goa memang adalah bayangannya. Gila betul! Dia menyangka…. Aku tidak percaya! Dia bukan makhluk sembarangan. Masakan bisa percaya saja pada ucapan dua gadis kembar sialan itu. Tapi….Memangnya aku sedang apa di dalam goa ketika dia melihat!" Wiro geleng-geleng kepala dan tendangtendang rumput liar di depannya. "Caranya dia pergi dengan Lakasipo. Seperti sengaja hendak membuat aku sakit hati. Dia pakai merangkul pinggang lelaki itu segala. Mungkin agar aku sakit hati dan cemburu! Gila, perlu apa aku sakit hati dan cemburu! Kupikirkanpun tidak! Sayang…. Kenapa dia jadi begitu. Padahal dia pernah menyelamatkan nyawaku, aku juga begitu…."

Akhirnya Wiro hanya bisa menghela nafas panjang sambil jambak-jambak rambut sendiri. Saat itulah tibatiba ada satu suara berucap.

"Kalau kasih sejati berubah menjadi kebencian memang hebat akibatnya. Wahai Pendekar 212, kau tengah menghadapi ujian berat! Ujian itu akan berubah menjadi malapetaka jika kau memang berbuat apa yang dikatakan Peri tadi…."

"Siapa yang bicara?!" seru murid Sinto Gendeng.

Dalam kagetnya Wiro segera palingkan kepala.

***

 

TIGA

 

DI HADAPAN Wiro berdiri seorang gadis tinggi semampai berkulit putih. Pakaiannya yang biru gelap membuat kecantikannya tambah menonjol. Rambutnya yang panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di keningnya yang putih licin melekat sebuah bunga tanjung kuning.

"Luhcinta…" ujar Wiro perlahan setengah berbisik.

Apa yang barusan dialaminya membuat Wiro tidak kuasa tersenyum padahal kemunculan Luhcinta murid Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau ini sangat menggembirakan dan mampu menghibur hatinya.

"Aku bersyukur kau berada di sini…" kata Pendekar 212. Lalu dia ingat pada ucapan Luhcinta tadi.

"Kata-katamu tadi, apakah kau sudah lama berada di sini dan mendengar…."

"Aku mendengar semua yang dikatakan dua gadis kembar itu. Aku juga mendengar apa yang diucapkan Peri Angsa Putih…" kata Luhcinta sambil tersenyum.

Senyuman yang benar-benar tulus dan membuat hati murid Sinto Gendeng merasa sejuk hingga kemarahan dan kejengkelannya berangsur lenyap.

"Kau… kau mempercayai apa yang mereka katakan?" Wiro bertanya.

"Kau tidak boleh bertanya seperti itu. Tapi kau justru harus membuktikan bahwa kau tidak melakukan apa yang dituduhkan mereka…."

"Mereka bertiga menuduhku. Aku sendirian! Fitnah mereka dalam waktu singkat tentu akan tersebar luas di Negeri Latahansilam ini. Sebelum aku bisa membuktikan diriku tidak berbuat keji, namaku sudah tak karuan tercemar."

"Itulah hidup. Ketulusan kasih tidak selalu muncul cerah dimana-mana. Sesekali redup bahkan pupus oleh hal-hal yang tidak terduga. Apa lagi jika kau tidak bisa membuktikan dirimu benar-benar bersih…."

"Aku bersumpah…!" Wiro gelengkan kepalanya.

"Percuma saja! Siapa yang mau percaya! Di tanah Jawa saja aku tidak pernah berbuat serendah itu. Apa lagi di sini di negeri orang…."

"Soal dirimu di tanah Jawa siapa yang tahu. Yang jadi masalah justru sepak terjangmu di negeri ini…."

"Agaknya kau seperti mempercayai apa yang diucapkan tiga orang itu…" kata Wiro dengan nada kecewa.

"Wahai, adakah aku mengatakan seperti itu Wiro? Fitnah adalah penodaan paling jahat atas kasih sayang. Tapi bagaimana kasih sayang akan menunjukkan kebersihan jati dirinya kalau kau tidak mampu membuktikan bahwa dirimu sungguh bersih?"

"Jadi kau tidak mempercayai tuduhan ketiga orang itu?"

Luhcinta tersenyum. "Masalahnya bukan percaya atau tidak. Tapi kemampuan dirimu untuk menyatakan bahwa kau benar-benar bersih…."

"Aku tidak ingin membela diri. Tapi dua gadis kembar itulah yang telah berbuat keji terhadap Luhjelita. Kau mungkin belum tahu. Mereka dua gadis yang punya kelainan jiwa. Hanya suka…."

"Aku tak Ingin mendengar hal itu," kata Luhcinta memotong dengan suara halus. "Seharusnya hal itu pantas kau ucapkan pada Peri Angsa Putih…."

"Percuma saja. Dia tidak akan percaya. Dia tidak memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan…."

Pendekar 212 terdiam. Dia menarik nafas berulang kali lalu berkata. "Aku berterima kasih padamu. Kau memberi petunjuk padaku bagaimana harus berbuat. Aku akan melakukan sesuatu. Melakukan apa saja untuk membersihkan diriku…."

"Aku gembira mendengar ucapanmu. Ingatlah selalu, hidup yang didasarkan pada kasih sejati tidak ada pernah menempuh jalan keliru…."

"Tapi aku tidak mencintai Luhjelita atau Peri Angsa Putih. Jika itu maksudmu. Sekalipun demikian tidak mungkin aku akan berbuat keji terhadap salah satu dari mereka…."

"Wahai, aku tidak membicarakan cinta. Aku menyebut kasih. Karena kasih adalah lebih kudus dan lebih agung dari pada cinta. Kasih sejati tidak dapat digantikan oleh cinta, betapapun murninya…."

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.

"Suatu ketika kau pasti akan mengerti."

"Luhcinta, apakah kau pernah mengasihi seseorang?" tanya Pendekar 212 pula.

Luhcinta tertawa perlahan sambil palingkan wajahnya yang bersemu merah ke jurusan lain. Lalu gadis berhiasan bunga tanjung di keningnya ini berkata.

"Teka teki hidupku masih menjadi beban berat dalam hatiku. Bagaimana mungkin aku memikirkan hal yang kau tanyakan itu?"

"Kurasa jika kau pernah mengasihi seseorang, beban hidupmu mungkin bisa berkurang. Tapi entahlah…. Aku bukan orang yang ahli dalam soal kasih sayang," kata Wiro pula lalu tertawa tapi kecut.

"Luhcinta, apakah kau telah berhasil mengungkapkan rahasia kehidupan kedua orang tuamu?" Wiro alihkan pembicaraan.

"Masih jauh panggang dari api. Tapi siapa tahu, segala sesuatunya bisa berubah secara tidak terduga. Kekuatan kasih bisa meruntuhkan tembok baja yang mengelilingi kita. Mudah-mudahan semua teka teki hidup yang menyelubungi diriku bisa terungkap secepatnya…."

"Jika kau suka, aku bersedia membantu…."

"Terima kasih. Bahtera hidup ini biar kukayuh sendiri. Kita berpisah dulu sampai di sini…."

"Tunggu, kau mau menuju ke mana?"

"Terus terang aku sendiri tidak tahu harus meneruskan perjalanan ke mana…."

"Kasih ada membimbing perjalananmu," kata Wiro.

Luhcinta tertawa lepas. "Ternyata kau lebih cepat mengetahui arti kasih dari pada yang kau duga sendiri…."

Wiro tertawa dan memperhatikan gadis itu membalikkan badannya siap untuk berlalu. Ketika Luhcinta berputar ke kiri Wiro melihat robek berlubang pada bagian bahu kanan pakaian biru yang dikenakan si gadis. Saat itu Wiro tidak ingat apa-apa. Tetapi begitu Luhcinta sudah jauh di ujung sana tiba-tiba dia ingat akan secarik sobekan kain biru yang disimpannya di dalam saku pakaiannya. Wiro segera keluarkan robekan itu.

Robekan kain itu ditemuinya ketika dia keluar dari goa, tersangkut di ujung ranting tak jauh dari goa di mana Luhjelita disekap.

"Cabikan pakaian ini…. Jelas cabikan baju biru Luhcinta," kata Wiro dalam hati. "Berarti dia juga berada dekat goa itu. Jangan-jangan sebenarnya dia juga punya dugaan yang sama dengan Peri Angsa Putih. Celaka! Aku harus mencarinya. Aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin hanya dia satu-satunya gadis yang bisa menerima penjelasanku." Wiro mengejar ke kaki bukit Tapi gadis cantik berpakaian biru itu tak kelihatan lagi.

Tertegun sendirian Wiro ingat pada ucapan Hantu Raja Obat alias Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani yaitu bahwa di Negeri Latanahsilam ini ada seorang gadis yang mencintainya dengan sepenuh hati. "Luhjelita jelas bukan, entah kalau dia bersandiwara," pikir Pendekar 212. "Peri Angsa Putih juga pasti bukan. Dulu selendangnya saja dimintanya kembali. Tadi sikapnya begitu ketus dan garang. Selain itu Luhjelita atau Peri Angsa Putih masih kucurigai sebagai pelaku yang hendak meracuni diriku dengan mawar kuning di telaga tempo hari. Lalu bagaimana dengan Luhcinta?"

Wiro berpikir-pikir. "Dulu Hantu Seribu Obat pernah mengatakan bahwa diantara sekian banyak gadis di Negeri Latahansilam ini hanya Luhcinta seorang yang mencintai diriku. Mungkin benar. Walau dia agak mencurigai aku telah berbuat aib tapi tadi dia menunjukkan sikap lembut Mungkin gadis satu ini pandai menyembunyikan perasaan hatinya? Kalau aku terlalu mempercayai ucapan Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani, aku khawatir terlalu berharap yang bukan-bukan…."

Dalam bayangan Wiro saat itu mendadak muncul bayangan wajah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Bunga, tiga gadis yang pernah menempati hatinya. Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sambil berjalan otaknya bekerja terus. Dia ingat pada kakek berjuluk Si Pelawak Sinting.

"Aku harus mencari Si Pelawak Sinting yang palsu. Kakek itu satu-satunya orang yang melihat kejadian di telaga tempo hari. Aku harus dapat mengorek keterangan dari dirinya."

***

DI SATU tempat sunyi, di balik semak belukar lebat di kaki sebuah bukit sebelah timur, Luhcinta duduk termenung sendirian. Dia mengingat-ingat kembali pertemuan serta semua ucapannya dengan Wiro tadi.

"Aku memang tidak melihat sendiri apa yang terjadi di dalam goa. Aku hanya melihat Luhjelita keluar dari dalam goa, disusul pemuda itu. Sepasang gadis kembar mungkin saja mengarang cerita. Aku tahu sifat perangai mereka. Tapi Peri Angsa Putih tidak mungkin memfitnah. Apa lagi kudengar dia berkata bahwa dia juga melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan Wiro dan Luhjelita…"

Luhcinta menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya berulang kali. "Wahai…” katanya dalam hati.

"Sudah seburuk inikah sifat dan perbuatan makhluk hidup di atas muka bumi Negeri Lahtanahsilam ini? Aku tak ingin mempercayai dia tega berbuat sekeji itu. Tapi kenyataan mengatakan demikian, bagaimana mau membantahnya. Dia mengatakan tidak mencintai Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Wahai…. Mungkin itu sengaja diucapkannya untuk menghilangkan jejak, untuk menutupi keaiban dirinya. Agaknya dia pandai bersandiwara. Tapi jika yang dikatakannya itu benar, lalu siapakah gadis yang dicintainya di Negeri Latanahsilam ini?"

Lama Luhcinta duduk termenung di balik semak belukar lebat itu. Lalu dia menarik nafas dalam berulang kali dan berkata. "Mudah-mudahan dia bisa melakukan sesuatu untuk membersihkan dirinya…. Sementara itu, bagaimana aku harus mengambil sikap? Mungkin lebih baik aku mengurus persoalan diriku sendiri.

Tapi….Wiro…. Ah, bagaimana ini…. Apa yang harus aku lakukan?"

Luhcinta memandang berkeliling. Dia ingat pada orang berpakaian hitam yang mukanya ditempeli tanah liat kering yang selama ini selalu menguntit dirinya. Sejak beberapa waktu belakangan ini orang aneh itu tak pernah lagi kelihatan membayang-bayangi dirinya. Pertemuan terakhir dengan orang aneh berkepandaian tinggi itu Luhcinta sempat memintanya untuk menanggalkan tanah liat hitam yang selalu menutupi wajahnya. Luhcinta melihat satu wajah yang tidak dikenalnya. Sebagai imbalan Luhcinta siap menerangkan apa hubungannya dengan Luhpiranti dan Latampi. Namun sebelum sempat bicara terjadi satu hal yang hebat.

Serombongan Peri turun dari atas langit hendak memboyong patung Luhmintari (ibu Hantu Jatilandak).

Maksud para Peri itu digagalkan oleh Peri Angsa Putih. Ketika patung berhasil diselamatkan, orang berpakaian serba hitam yang dikenal dengan panggilan Si Penolong Budiman tak ada lagi di tempat tersebut (Baca Episode berjudul "Rahasia Patung Menangis").

***

 

EMPAT

 

UNTUK menghilangkan kerisauan hatinya sambil berjalan Pendekar 212 bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di langit sang surya mulai condong ke barat Udara yang tadinya panas berangsur-angsur terasa teduh. Selagi asyik berjalan sambil bersiul-siul begitu tiba-tiba Wiro melihat seseorang di tengah jalan, duduk menjelepok di tanah membelakanginya. Orang ini mengenakan pakaian berwarna hijau tua. Kepalanya separuh botak separuh lagi ditumbuhi rambut panjang berwarna putih, kusut masai riap-riapan.

"Dari caranya duduk di tengah jalan, jelas dia seperti sengaja menghadang jalanku," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. "Aku belum dapat melihat wajahnya. Apa aku kenal padanya? Lelaki atau perempuan dia adanya?"

Wiro hentikan langkahnya tapi terus saja bersiul-siul. Tanpa berpaling tiba-tiba orang yang duduk di tengah jalan hamburkan suara tertawa. Dari suaranya ternyata dia adalah seorang perempuan.

"Umur tinggal sejengkal buruk! Masih bisa gembira diri bersiul-siul!" Orang di tengah jalan keluarkan ucapan. Suara siulan Pendekar 212 langsung berhenti.

"Bicara tapi tak mau melihat! Menegur tapi membelakangi orang! Kalau kau masih muda pasti kurang mendapat pelajaran sopan santun dari orang tuamu! Kalau kau sudah tua bangka mungkin kau sudah pikun atau kurang waras?"

Baru saja Wiro berkata begitu sosok yang duduk di tengah jalan mendadak sontak melesat ke atas. Begitu turun ke tanah orang ini telah berdiri menghadang tepattepat ke arah Wiro. Sebelumnya Pendekar 212 telah banyak melihat manusia berwajah seram. Tapi yang satu ini sungguh dahsyat hingga Wiro tersurut sampai dua langkah!

Yang tegak di hadapan Wiro saat itu adalah seorang nenek angker. Sebagian besar wajahnya tidak berdaging lagi, terkelupas begitu rupa hingga tulang kening, pipi, hidung, mulut dan dagu menyembul putih mengerikan. Mata kirinya hanya merupakan satu rongga besar sementara bola matanya tersembul bergelantungan keluar. Bagian depan pakaian hijau si nenek sengaja dibuka hingga dada dan sebagian perutnya kelihatan jelas. Dada dan perut inipun tidak lagi berdaging hingga tulang dada dan tulang-tulang iganya menyembul menyeramkan!

"Hik… hik!" Si nenek tertawa pendek. "Anak muda berambut panjang! Matamu melotot, keningmu mengerenyit tanda berpikir. Apakah kau ingat dan sudah mengenali siapa diriku?!"

Wiro garuk kepalanya lalu menjawab. "Gadis cantik saja jarang kuingat-ingat apa lagi kau yang sudah nenek dan buruk pula!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Lalu dia menyambung. "Pakaianmu boleh juga Nek! Cuma kurang kau buka sampai ke bawah. Kalau lebih ke bawah pasti aku bisa melihat pemandangan yang lebih apik! Ha.,, ha… ha!"

Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hunjamkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah berlobang besar. Pasir dan debu beterbangan ke udara.

"Buset! Nenek ini punya ilmu juga rupanya. Aku harus hati-hati," membatin Wiro dan bersikap waspada.

"Kekasihku Lajahilio!" si nenek tiba-tiba berseru memanggil seseorang. "Lekas unjukkan diri! Katakan pada pemuda keparat ini siapa aku adanya!"

Ada angin bersiur. Lalu dari atas sebatang pohon besar melayang turun sosok seorang kakek berambut putih awut-awutan. Mata kanan sipit, sebaliknya mata kiri besar mendelik. Kakek ini mengenakan jubah kuning pekat Melihat si kakek Pendekar 212 segera ingat. Kakek ini adalah Lajahilio. Si nenek pastilah kekasihnya yang bernama Luhjahilio. Di dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam mereka dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta walau mereka selama puluhan tahun memang hidup bersama tanpa kawin.

Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Rahasia Patung Menangis" sepasang kakek nenek ini pernah muncul untuk membalaskan dendam kesumat kematian dua murid mereka yakni Lagandring dan Lagandrung. Yang mereka serbu saat itu antara lain Hantu Jatilandak yang membunuh Lagandring. Hantu Jatilandak hampir menemui ajalnya kalau tidak ditolong oleh orang sakti berjuluk Si Penolong Budiman dan Luhcinta yang muncul secara berbarengan. Malang bagi si nenek saat itu, dia terkena hantaman pukulan sakti Pukulan Kasih Mendorong Bumi yang dilepaskan Luhcinta. Tak ampun lagi sosok si nenek amblas terpendam seolah tercetak ke dinding batu. Walau Luhjahilio tak sempat menemui ajal, tapi ketika Lajahilio menolong mengeluarkan sosoknya dari dalam batu, sebagian daging muka dan tubuhnya masih tertinggal di batu! Itu sebabnya kini dia menderita cacat yang sangat mengerikan.

Lajahilio tegak berkacak pinggang tapi agak terbungkuk. Sepasang matanya membeliak pandangi Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Anak muda yang umurnya tinggal sejengkal buruk! Kau berhadapan dengan Sepasang Hantu Bercinta! Aku Lajahilio dan nenek itu kekasihku bernama Luhjahilio!"

"Hebat!" memuji Wiro sambil acungkan jari tapi bukan jari jempol melainkan jari kelingking tangan kirinya! "Julukan kalian sungguh luar biasa. Aku salah menduga. Tadinya kukira bangsa hantu itu tak bisa bercinta. Ternyata kalian bisa. Pasti kalian bercintanya di sekitar kuburan! Kalian bernama Lajahilio dan Luhjahilio. Pasti kalian orang-orang dari abad jahiliah! Tapi ada satu hal aku ingin tahu! Bagaimana kalian bisa menghitung kalau umurku cuma tinggal sejengkal buruk?!"

Si kakek menyeringai, si nenek mendengus. "Anak muda, nasibmu yang malang!" kata Lajahilio. "Sebenarnya kekasihku bukan mencari dirimu, tetapi mencari kekasihmu yang bernama Luhcinta itu! Dia yang menyebabkan kekasihku cacat begini rupa! Luhcinta belum ditemui, kaupun tak ada salahnya dipesiangi lebih dulu! Ha… ha… ha!"

"Tua bangka pikun! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Luhcinta. Dan dia bukan kekasihku! Jika kalian punya silang sengketa dengan dirinya, mengapa melampiaskan dendam padaku?!"

"Rupanya takut mati juga kau! Hik… hik… hik! Lajahilio! Lekas kau panggil sahabat kita si muka kuning itu! Kalian berdua harap awasi jangan sampai pemuda ini melarikan diri!"

Mendengar kata-kata si nenek kekasihnya Lajahilio lantas keluarkan satu suitan keras. Saat itu juga dari balik pohon kayu besar terdengar suara "Buuuttttt!"

Lalu kelihatan melangkah keluar seorang nenek. Mulai dari rambut sampai ke ujung kaki nenek ini berwarna kuning. Di lehernya bergelantungan berbagai macam kalung. Semuanya berwarna kuning. Salah satu kalung itu adalah sendok emas sakti yakni Sendok Pemasung Nasib yang dirampasnya dari Lakasipo sewaktu Lakasipo hendak menyerahkan benda itu pada Hantu Langit Terjungkir. Di kepala si nenek menancap tiga buah sunting yang bergoyang-goyang kian kemari setiap dia bergerak. Dia juga mengenakan anting-anting bulat besar berwarna kuning.

Sambil berjalan sesekali si nenek songgengkan pantatnya. Lalu "buuuutttttt"…. Enak sajadia keluarkan kentut panjang dan keras.

Di punggungnya nenek muka kuning itu memanggul sebuah keranjang besar. Keranjang ini berisi belasan ekor ayam jantan. Sambil berjalan si nenek pegang seekor ayam jantan di tangan kirinya. Lalu dengan tangan kanannya enak saja nenek ini memuntir dan mencabut daging yang menonjol di ujung dubur ayam. Binatang ini keluarkan suara kesakitan. Si nenek lemparkan binatang itu ke tanah. Ayam yang kesakitan setengah mati ini seperti celeng menghambur sempoyongan. Seolah menenggak penganan lezat, si nenek kemudian mengunyah dan menelan kibul ayam dalam mulutnya mentah-mentah! Selagi mulutnya mengunyah, di sebelah bawah kentutnya bertabur tiada henti!

Ketika melihat si nenek bermuka dan berpakaian serba kuning ini kaget Wiro bukan alang kepalang.

Ternyata si nenek yang dikenal dengan nama Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin ini adalah kambratnya Sepasang Hantu Bercinta!

Menghadapi dua kakek nenek aneh itu bukan hal mudah, apalagi kalau mereka dibantu pula oleh Luhkentut!

Sungguh Wiro tidak menduga kalau Sepasang Hantu Bercinta punya hubungan tertentu dengan si nenek muka kuning.

"Celaka! Bagaimana urusan bisa kapiran begini!"

Wiro mengeluh dalam hati. "Jangan-jangan nenek tukang kentut itu tahu kalau aku menipunya! Tapi siapa tahu ada harapan. Kulihat dia masih asyik menenggak kibul ayam jantan! Seolah tidak acuh akan kehadiranku!"

Tapi saat itu si nenek justru putar kepala, memandang melotot pada Wiro dengan mulut gembung karena tersumpal kibul ayam.

Ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng, Nenek Selaksa Kentut tak kalah kejutnya. Mulutnya termonyong-monyong. Dia segera telan habis kibul ayam dalam mulutnya, kentutnya dulu "buuuutttttt"… lalu berseru.

"Sepasang Hantu Bercinta, ini urusan salah kaprah! Wahai! Aku tidak tahu kalau yang ingin kalian pesiangi adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang ini! Aku tak mungkin membantumu! Dia tak boleh kalian bunuh!"

"Buuuuttttttt..!"

Sepasang kakek nenek bernama Luhjahilio dan Lajahilio sama-sama delikkan mata. Luhjahilio berteriak marah.

"Luhkentut! Jangan kau berani menipu mengingkari perjanjian! Ingat! Aku dan kekasihku sudah mencarikan hampir tiga puluh ayam jantan untuk kau jadikan santapan kibulnya!"

"Tua bangka muka setan! Siapa menipu! Siapa ingkari perjanjian! Aku cuma bilang tidak mau membantumu. Dan kalian tidak boleh membunuh pemuda itu!"

"Buuuttt…" Luhkentut kembali pancarkan kentutnya.

Lajahilio maju dekati nenek muka kuning. Dia sengaja bicara lembut, berusaha membujuk.

"Mengapa begitu wahai kerabatku Luhkentut? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?"

"Buuuuttttt!" Si nenek kentut dulu sebelum menjawab.

"Aku punya urusan besar dengan pemuda itu! Aku tak ingin dia mampus sebelum urusanku selesai!"

"Kurang ajar! Kalau kau tak mau membantu harap lekas angkat kaki dari sini! Lain hari urusan dustamu ini akan kita selesaikan!" Kembali Luhjahilio berteriak marah.

"Aku tidak akan pergi dari sini! Kalian berdua saja yang lekas menyingkir!" Nenek muka kuning ulurkan tangannya ke belakang, mencekal seekor ayam jantan.

Seperti tadi kibul ayam ini dipuntirnya sampai putus lalu dikunyah dan ditelannya. Ayam yang terkuik-kuik kesakitan enak saja dilemparkannya ke muka Luhjahilio sambil tertawa-tawa. Luhjahilio marah besar.

Sekali hantam saja ayam jantan itu cerai berai berkepingkeping.

Bulunya beterbangan di udara. Kemarahan Luhjahilio tidak sampai di sana. Dia segera menerjang ke arah nenek muka kuning dan lepaskan satu pukulan sakti mengandung tenaga dalam hebat. Angin deras menyapu ke depan. Nenek muka kuning sesaat terhuyung dan terkentut-kentut "Buutt… buuttt". Tapi dia tidak tinggal diam dan cepat bertindak.

"Kurang ajar! Berani kau menyerangku! Rasakan!" teriak Luhkentut Entah kapan nenek ini bergerak tahu-tahu tangan kanannya telah mencengkeram tangan kanan Luhjahilio yang hendak menghantam dadanya.

Lajahilio, kakek kekasih, Luhjahilio tahu benar kehebatan si nenek muka kuning berjuluk Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin itu. Kalau dia tidak segera turun tangan pasti tangan kanan kekasihnya akan mengalami cidera berat. Tidak menunggu lebih lama kakek ini segera menyerang dari samping.

Melihat orang bertindak curang, walau dia kurang suka terhadap nenek muka kuning namun Wiro tak mau berpangku tangan saja. Sebenarnya saat itu dia bisa saja cari selamat menyelinap tinggalkan tempat itu. Namun yang dilakukannya adalah berkelebat menghadang gerakan Lajahilio.

"Bukkkk!"

***

 

LIMA

 

LENGAN kanan Wiro saling bentrokan dengan lengan kanan Lajahilio. Pendekar 212 mengerenyit dan terhuyung dua langkah. Di depannya si kakek keluarkan jeritan tertahan. Dia hampir terjengkang. Ketika diperhatikannya ternyata lengannya telah bengkak merah, sakitnya bukan kepalang. Mukanya kelam merah menahan sakit dan juga ada rasa tidak percaya. Selama ini kekuatan tangannya mampu menghancurkan batu. Tapi kini si pemuda bukan saja sanggup menahan malah membuat dia kesakitan setengah mati. Masih untung tulang lengannya tidak cidera.

"Pemuda asing jahanam! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu! Makan seranganku ini!"

Lajahilio dorongkan dua tangannya ke arah Pendekar 212. Dua rangkum angin menggebubu, menyapu dahsyat Murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Wiro cepat tekuk lututnya agar dia tidak jatuh duduk. Ketika Lajahilio susul serangannya tadi dengan tendangan ke arah kepala, Wiro serta merta pukulkan tangan kanannya. Serangkum angin laksana topan melabrak ke depan. Sosok Lajahilio sesaat mengapung di udara lalu terangkat dan mental jungkir balik di udara. Ketika jatuh di tanah punggungnya terbanting lebih dulu. Lajahilio mengeluh tinggi. Di sebelah belakang sekujur tulangtulangnya serasa remuk. Sedang di bagian depan yang barusan dihantam angin pukulan Benteng Topan Melanda Samudra yang tadi dilepaskan Wiro dadanya serasa amblas.

"Buuuttttt…"

Kembali terdengar kentut panjang nenek muka kuning, disusul ucapannya.

"Luar biasa! Anak muda rambut panjang! Ilmu apa yang kau pergunakan menghantam kakek jelek itu! Hik… hiik… hik…?" Di samping kiri si nenek muka kuning tertawa cekikikan. Untuk kesekian kalinya tangannya siap memuntir kibul seekor ayam jantan.

Terhuyung-huyung, dengan dada sesak dan darah mengucur di sela bibir, Lajahilio bangkit berdiri.

Memandang ke samping kiri dia keluarkan seruan tertahan. Tadi ketika melihat kekasihnya saling mencengkeram dengan nenek muka kuning dia berusaha untuk membantu karena tahu betul bahaya besar yang mengancam Luhjahilio. Tapi gerakannya dihadang oleh Wiro. Kini ketika dia memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang melihat apa yang terjadi. Saat itu Luhjahilio dilihatnya tegak sambil pegangi jidatnya. Di jidat itu kini menempel potongan tangan kanan miliknya sendiri! Sebatas lengan sampai ke ujung jari. Dengan muka pucat si nenek berusaha menanggalkan tangan yang menempel di keningnya itu tapi sia-sia saja. Luhjahilio berteriak dan hentak-hentakkan kakinya kalang kabut!

"Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad!" desis Lajahilio dalam hati. "Jadi benar rupanya nenek muka kuning ini memiliki ilmu dahsyat itu. Dia sanggup memindah bagian-bagian tubuh manusia tanpa mengeluarkan darah tanpa membunuh! Tapi akibatnya lebih mengenaskan dari kematian!"

"Luhjahilio! Mari kita tinggalkan tempat ini!" Lajahilio berseru.

"Buuuutttt…!"

"Tidak sebelum tanganku ini bisa ditanggalkan!" jawab Luhjahilio. Kembali dia menarik-narik potongan tangannya. Tetap tidak berhasil. Nenek muka kuning tertawa gelak-gelak.

"Luhjahilio, bagusnya kau ikuti ucapan kekasihmu. Sebelum aku memindahkan bagian tubuhmu yang lain ke jidat atau pipimu!" berkata Luhkentut lalu "buuuttttt…!"

Luhjahilio meradang marah. Tapi Lajahilio cepat menarik tangan kekasihnya dan setengah menyeret membawa nenek itu kabur dari tempat tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tengkuknya dingin ketika nenek muka kuning tiba-tiba berpaling ke arahnya. Sepasang mata si nenek memandang lekat-lekat, mulutnya komat kamit mengunyah kibul ayam. Dia menyeringai, lalu tertawa mengekeh hingga sebagian kibul ayam yang ada di mulutnya tersembur keluar. Melihat si nenek tertawa Wiro merasa lega sedikit. Namun dia tetap berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.

Si nenek songgengkan pantatnya lalu "buuuttt..!"

"Anak muda bernama Wiro Sableng! Mana dua kawanmu yang dulu turut memperdayaiku di gua yang ada patungnya?"

"Anu Nek…. Mereka berada di Latanahsilam…"

"Pasti mencari perempuan! Hik… hik… hik!" Si nenek tertawa lalu sambung tawanya dengan kentut dua kali buuuttt.. buutttt! Puas tertawa dan terkentutkentut si nenek perhatikan tangan kanan Wiro Sableng.

terbangan ke udara. Si nenek muka kuning berseru keras. Tubuhnya tergontai-gontai sementara dua kakinya laksana ditanam ke tanah. Dia kerahkan seluruh tenaganya tapi tak urung lututnya mulai goyah. Pakaiannya berkibar-kibar. Keranjang ayam di punggungnya berderak-derak. Belasan ayam yang ada dalam keranjang itu berkotek-kotek ketakutan lalu semuanya amblas terpental dihantam sambaran angin deras, beterbangan cerai berai di udara. Sesaat kemudian keranjang ayam ikut terbang hancur berantakan. Tiga buah sunting di kepala si nenek bergoyang keras lalu mencelat mental. Begitu juga sepasang anting ditelinganya, copot mental. Masih untung rangkaian kalung yang tergantung di lehernya tak ikut diterbangkan angin pukulan, tertahan di bawah dagu!

Bagaimanapun Luhkentut bertahan namun tak urung dua kakinya yang terpendam di tanah perlahanlahan terangkat ke atas. Di lain saat sosok tubuhnya tampak limbung naik ke udara. Mengapung sejajar tanah dengan sepasang kaki menghadap ke arah Wiro.

"Buuuttt… buuuutttt.. buuttttt!" Si nenek kentut berulang kali.

Tiba-tiba wut.. wuuutt… wuutttt! Pakaian kuning yang melekat di tubuh si nenek terlepas tanggal dari tubuhnya, terbang ke udara lalu menyangkut jauh di atas sebatang pohon!

"Kurang ajar! Hai! Kau apakan diriku?!" Teriak Luhkentut sambil kalang kabut menutupi tubuhnya yang kini bugil polos sementara kentutnya keluar bertalu-talu.

Wiro tersentak kaget Serta merta dia hentikan serangan Benteng Topan Melanda Samudera. Walau si nenek ternyata mempunyai kehebatan untuk bertahan tapi dia tidak menyangka akibatnya akan seperti itu. Ketika Luhkentut berhasil turunkan dua kakinya ke tanah, Wiro tak berani berada lebih lama di tempat itu. Takut dilabrak si nenek murid Sinto Gendeng segera tancap ambil langkah seribu. Sambil kabur dia memaki dalam hati.

"Nenek sinting! Salah sendiri mengapa tidak pakai celana dalam!"

***

 

ENAM

 

PERI Bunda pegang lengan Peri bermata biru yang duduk di hadapannya. Untuk beberapa lamanya tak satupun diantara mereka yang membuka mulut bicara. Akhirnya Peri Bunda memecah kesunyian di dalam kamar besar dan bagus itu.

"Aku tahu hatimu masih terguncang hebat wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Tidak mudah memang menghadapi kejadian seperti ini karena menyangkut jauh sampai ke bagian terdalam dari hati nuranimu. Tapi ketahuilah kerabatku, apa yang telah kau lakukan adalah tindakan yang benar. Pemuda itu harus kau jauhi. Bahkan harus kau tinggalkan sebelum malapetaka menimpa dirimu seperti yang terjadi dengan diri Luhmintari, Peri yang jadi ibu Hantu Jatilandak ketika dia bersuamikan Lahambalang. Aku akan melindungimu terhadap para Peri lainnya. Jika Peri Sesepuh bertanya biar aku yang menghadap. Aku akan membantumu jika terjadi apa-apa."

"Peri Bunda kau sangat baitetoati. Tapi bagaimana kalau pemuda itu berdendam terhadapku dan melakukan sesuatu yang tidak baik?" tanya Peri Angsa Putih pula.

"Kau tak usah kawatir wahai kerabatku. Aku sendiri yang akan turun tangan menghadapinya jika dia berani berbuat begitu. Kalau perlu kita bisa perguna kan para tokoh Hantu di Negeri Latanasilam untuk membantu. Jangan harap dia bisa kembali ke tanah asalnya jika dia berani mencideraimu…" Peri Bunda diam sejenak. Lalu dia bertanya. "Peri Angsa Putih, apakah kau pernah mengatakan isi hatimu pada pemuda bernama Wiro Sableng itu? Apakah dia tahu kau mencintainya?"

Sepasang mata biru Peri Angsa Putih memandang lekat-lekat pada Peri Bunda, seolah membesar dan berbinar. Di lubuk hatinya dia berkata. "Aku memang tidak pernah berterus terang pada Wiro. Tidak mungkin seorang perempuan, apa lagi seorang Peri mendahului membuka isi hatinya. Namun… mungkin ketidaktahuan ini membuat dia bersikap seperti itu padaku. Tapi apa gunanya. Sekalipun kini dia tahu tak ada artinya lagi. Aib yang telah dilakukannya terlalu besar. Aku tidak mungkin menerima seorang kekasih seperti itu…." Peri Angsa Putih usap pinggiran ke dua matanya lalu berkata. "Kau betul Peri Bunda. Aku memang tak pernah mengatakan isi hatiku pada Wiro. Sekarang semuanya sudah kasip. Biar tetap kupendam seumur hidupku…."

"Aku bangga melihat ketabahanmu wahai Peri Angsa Putih. Kau tak usah kawatir pemuda itu akan melakukan sesuatu. Jika perlu aku akan turun ke Negeri Latanahsilam menemuinya…."

"Apa yang akan kau lakukan Peri Bunda? Apa yang hendak kau katakan padanya?"

"Kau tak usah kawatir, kau tak usah takut. Serahkan semua padaku. Pasti akan dapat kuselesaikan demi untuk kebaikan dirimu dan kesucian kita sebagai kaum Peri yang tidak bisa disamakan dengan bangsa manusia biasa…" Peri Bunda belai pipi Peri Angsa Putih lalu bangkit berdiri. "Aku akan pergi ke Negeri Latanahsilam sekarang juga. Kau tetap di sini. Jangan kemana-mana. Kau boleh berada di kamarku ini sampai aku kembali…."

"Terima kasih Peri Bunda. Aku memang merasa lebih tenteram berada di kamarmu ini," kata Peri Angsa Putih pula.

"Sebelum aku pergi ada satu hal lagi yang perlu kukatakan padamu. Jika aku tidak mengeluarkan hal ini rasanya akan menjadi ganjalan yang tidak enak."

"Katakanlah Peri Bunda. Wahai gerangan apa yang hendak kau sampaikan?" ujar Peri Angsa Putih pula.

"Menurut ceritamu kau meninggalkan Wiro pergi bersama Lakasipo, menunggangi kuda hitam berkaki enam berdua-dua."

"Betul Peri Bunda," membenarkan Peri Angsa Putih sambil anggukkan kepala.

"Dengan caramu itu kau bermaksud hendak sekedar membalaskan sakit hatimu pada Wiro. Mungkin juga hendak mengatakan bahwa bukan dia seorang lelaki di atas dunia ini. Tapi kau lupa satu hal. Entah kau sadari atau tidak kau seolah memberi harapan pada Lakasipo…"

Peri Angsa Putih terdiam. Peri Bunda melanjutkan kata-katanya. "Mungkin aku salah menduga. Tapi setahuku, sebelum Wiro muncul di Negeri Latanahsilam kau pernah memperlihatkan sikap dan rasa tertarik pada Lakasipo. Sikapmu berubah begitu Wiro datang…."

Wajah Peri Angsa Putih bersemu merah. Peri ini coba tertawa. "Peri Bunda, kau meminta aku melupakan pemuda itu. Aku telah melakukannya…. Mengenai Lakasipo, bukankah dia juga telah masuk dalam pikatan Luhjelita?"

"Itu dulu. Bagaimana kini kalau dia tahu apa yang telah dilakukan Wiro dengan Luhjelita? Dia pasti akan kecewa besar, mungkin marah sakit hati dan mengarahkan pilihannya padamu. Apalagi sejak lama tersiar kabar bahwa Luhjelita konon adalah kekasih Hantu Muka Dua…."

"Wahai, terus terang aku tidak memikir sampai ke sana, Peri Bunda…."

Peri Bunda cium kening kerabatnya itu lalu tinggalkan tempat tersebut Tak lama setelah Peri Bunda pergi, walau berada dalam kamar yang luas dan bagus lamalama Peri Angsa Putih merasa gelisah sendiri. Dia duduk di tepi pembaringan yang empuk. Lalu melangkah mundar-mandir. Sesekali dia berdiri di belakang satu jendela, memandang keluar ke arah sebuah taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tengah berkembang. Di tengah taman tiba-tiba seolah muncul bayangan sosok Pendekar 212 Wiro Sableng, melambaikan tangan kearahnya.

Peri Angsa Putih sampai tersurut "Wahai…. Pertanda apa ini?. Mengapa bayangannya mendadak muncul seperti itu. Apakah satu pertanda bahwa aku sebenarnya tidak bisa melupakan dirinya? Bahwa semua apa yang aku katakan pada Peri Bunda sebenarnya tidak keluar dari lubuk hatiku? Wahai…. Antara aku dan dia mungkin tidak bisa pernah terjalin tali perkawinan. Tapi apa yang telah dilakukannya memperjauh jarak antara aku dengan dia. Wiro, mengapa kau melakukan perbuatan aib itu…?"

Peri Angsa Putih jauhi jendela. Lalu kembali dia melangkah mundar mandir di dalam kamar yang luas dan bagus itu. Di sudut kamartergantung serangkaian jambangan bunga dari rotan bersusun enam. Yang sebelah bawah paling besar, sebelah atasnya lebih kecil demikian seterusnya. Peri Angsa Putih telah beberapa kali memperhatikan jambangan yang berisi bunga hidup itu. Namun entah mengapa kali ini tergerak hatinya untuk mendekati jambangan tersebut dan melihat bunga-bunga yang ada di situ lebih dekat. Semua bunga yang ada dalam jambangan selain bagus dan memiliki warna indah juga menebar bau harum semerbak.

Peri Angsa Putih hendak melangkah pergi ketika tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu pada jambangan paling besar di sebelah bawah. Sang Peri membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya dia ulurkan tangan mengambil benda itu. Yang diambil Peri Angsa Putih, terselip di antara kembang-kembang bagus dan harum ternyata adalah dua buah bunga mawar kuning.

"Mawar kuning…" desis Peri Angsa Putih. "Bunga ini hanya tumbuh di Taman Larangan. Mengapa bisa berada di sini? Apakah Peri Bunda tahu kalau dua kuntum mawar kuning ini terselip di antara bungabunga lainnya dalam jambangan?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih ingat. Tangannya bergetar. "Mawar kuning ini mawar beracun! Mawar inilah yang tempo hari hampir membunuh Wiro di telaga. Wahai para Dewa! Janganjangan…."

Takut keracunan Peri Angsa Putih selipkan kembali dua kuntum mawar kuning itu di antara bunga-bunga dijambangan rotan paling bawah. Namun selintas pikiran muncul di benaknya. "Kalau benar apa yang kuduga, aku harus mempunyai bukti. Dua bunga mawar kuning beracun itu harus kuambil dan kusembunyikan. Lalu aku harus menyelidik. Atau mungkin aku akan tanyakan terus terang padanya? Berarti aku harus menyusulnya saat ini juga! Tidak kusangka! Wahai, sungguh tidak kusangka!"

Cepat-cepat Peri Angsa Putih hendak mengambil dua kuntum bunga mawar yang barusan diletakkannya. Namun gerakannya tertahan. Dia merasa ada seseorang tegak di belakangnya, memperhatikannya. Pasti Peri Bunda, pikir Peri bermata biru itu. Dia segera membalikkan badan. Dugaannya ternyata salah!

***

 

TUJUH

 

YANG tegak di depan pintu kamar itu adalah seorang perempuan cantik berpakaian putih sangat tipis hingga beberapa bagian auratnya terlihat jelas. Bagaimana orang ini bisa masuk tanpa membuka pintu bagi Peri Angsa Putih tidak mengherankan. Karena perempuan itu adalah roh dari seseorang yang sebenarnya telah mati, namun bisa muncul dalam wujud seperti manusia biasa berkat pertolongan para Peri dibantu para Dewa. Sebagai mahluk setengah gaib sosok ini secara aneh sanggup masuk ke dalam sebuah ruangan melalui celah atau lobang kecil.

"Luhrinjani…." Peri Angsa Putih menyebut nama perempuan itu dengan suara bergetar. Lalu tangan kirinya diletakkan di atas bibir seolah tak berani lagi bersuara membuka mulut.

Perempuan yang dipanggil dengan nama Luhrinjani tersenyum. "Wahai, kau masih ingat namaku. Apakah kau juga masih ingat siapa diriku ini adanya Peri Angsa Putih?"

"Aku ingat, kau adalah roh yang mampu mewujudkan diri karena pertolongan para Peri dan para Dewa…." jawab Peri Angsa Putih.

"Jawabanmu tidak salah, tapi bukan itu yang aku maksudkan wahai Peri Angsa Putih," kata Luhrinjani sambil layangkan senyum.

"Senyumnya sinis…. Apa yang dimaksudkan mahluk ini?" membatin Peri Angsa Putih. "Wahai, aku kurang paham maksudmu Luhrinjani."

"Begitu? Dengar baik-baik wahai Peri bermata biru. Aku adalah Luhrinjani. Sampai saat ini aku masih istri seorang lelaki bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu yang dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Jelas…?"

Peri Angsa Putih anggukkan kepala namun tetap bertanya-tanya apa maksud Luhrinjani dengan semua tanya dan ucapannya itu.

"Aku tidak melupakan budi baik dan jasa para Peri termasuk dirimu yang telah mampu membuat diriku bisa berkeadaan seperti ini. Tapi itu bukan berarti aku harus begitu saja menerima perlakuan menyakitkan dari para Peri!"

"Wahai, sepanjang aku tahu kami para Peri tidak pernah menyakiti hatimu. Mungkin kau…."

"Peri Angsa Putih, ayam putih terbang siang kata orang. Apa yang kau telah lakukan terlihat jelas karena aku tidak buta!"

"Wahai, memangnya apa yang telah aku lakukan?" Peri Angsa Putih bertanya heran.

"Kau lupa pada ucapanku tadi. Sampai saat ini Lakasipo masih suamiku dan aku masih istrinya. Jangan ada perempuan lain yang berani bermain api cinta dengan suamiku, termasuk kau!"

Waktu menyebut "kau" itu Luhrinjani beliakkan sepasang matanya dan jari telunjuk tangan kirinya ditudingkan tepat-tepat ke wajah Peri Angsa Putih, membuat Peri ini terkejut dan tersurut satu langkah! Wajahnya yang jelita berubah pucat.

"Luhrinjani, bagaimana kau bisa menuduhku bermain cinta dengan suamimu? Memangnya aku ini…."

"Kau Peri pertama yang kuketahui berani berkata dusta!" Membentak Luhrinjani.

Kalau tadi wajah Peri Angsa Putih putih pucat, maka kini paras itu berubah merah. "Luhrinjani, apa maksudmu! Kedustaan apa yang telah aku lakukan?!" Peri Angsa Putih bertanya dengan suara keras lantang.

Matanya yang biru membersitkan sinar pertanda dia tengah dilanda kemarahan besar. "Jangan berani bicara yang bukan-bukan! Tempat ini bukan duniamu! Jika kau masih bermulut lancang lekas angkat kaki dari sini sebelum kuperintahkan barisan para Peri untuk menyeretmu dan melemparkan rohmu ke bumi sana!"

Luhrinjani kembali layangkan senyum sinis.

"Aku tidak bicara yang bukan-bukan. Justru aku datang untuk bicara yang benar-benar!" menyahuti Luhrinjani si mahluk gaib setengah roh setengah manusia itu. "Aku tidak pula bermulut lancang! Dan terus terang aku merasa senang jika ada Peri lain di tempat ini mendengar apa yang akan kusampaikan padamu!"

"Rupanya kemunculanmu sengaja hendak mempermainkan dan mempermalukan diriku!" kata Peri Angsa Putih dengan suara bergetar.

"Peri Angsa Putih, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku tidak, suka kau memikat suamiku! Aku tidak suka melihat kau bercinta dengan Lakasipo!"

"Mahluk kurang ajar! Siapa memikat suamimu! Siapa bercinta dengan Lakasipo!" Teriakan Peri Angsa Putih menggelegar di dalam kamar besar itu.

"Jangan kira aku buta wahai Peri Angsa Putih. Aku punya kemampuan melihat apa yang kau lakukan. Aku punya kemampuan mengawasi tindak tanduk suamiku!"

"Kalau kau mempunyai kemampuan mengapa kau tidak bertindak ketika Lakasipo bercinta di sebuah goa batu pualam dengan Luhjelita?! Jika kau punya kemampuan mengapa kau tidak bertindak terhadap Luhsantini istri Hantu Bara Kaliatus yang sejak beberapa lama ini selalu kemana-mana bersama Lakasipo?!"

Luhrinjani tertawa panjang mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. "Kau hendak mengalihkan pembicaraan. Saat ini bukan perihal gadis bernama Luhjelita itu yang ingin aku bicarakan. Soal Luhsantini tidak usah kau korek-korek karena aku sudah ada rencana tersendiri terhadapnya. Aku datang ke sini untuk membicarakan dirimu! Hanya karena perselisihanmu dengan pemuda gagah bernama Wiro Sableng itu lantas kau berbuat tak karuan! Wahai! Apa kau kira aku tidak tahu bagaimana kau meninggalkan pemuda itu lalu memikat suamiku?! Menunggangi Laekakienam bersama-sama sambil tanganmu merangkul ke pinggang Lakasipo? Kau sungguh cerdik Peri Angsa Putih! Kau sakiti hati Wiro Sableng, sekaligus kau rayu suamiku!"

"Luhrinjani! Tuduhanmu busuk sekali! Aku tidak punya niat memikat suamimu! Juga tidak punya keinginan bercinta dengannya!"

"Yang kau ucapkan justru berlainan dengan apa yang aku rasa dan aku lihat sendiri!" jawab Luhrinjani.

"Sebagai Peri kau tentu tahu apa yang kau ucapkan benar-benar putih bersih! Terus terang aku meragukan kebersihan diri dan hatimu Peri Angsa Putih! Sebagai Peri kau lebih banyak berkeliaran di Negeri Latanahsilam. Kau lebih banyak terpikat pada urusan dunia. Jangan kira aku tidak tahu kalau kau telah jatuh hati pada pemuda bernama Wiro Sableng itu! Jangan kira aku tidak tahu karena Wiro tidak membalas cintamu kau lantas berbalik hati berusaha mendekatkan diri pada suamiku! Aku ingin tahu apa kau berani menyangkal ucapanku! Berarti kau menambah dalam kedustaanmu sendiri!" Luhrinjani tertawa panjang.

Belum puas sehabis tertawa kembali dia menyemprotkan kata-kata. "Peri Angsa Putih, kau memang cantik. Banyak lelaki bisa tertarik padamu. Tapi selain cantik kau ternyata picik! Apa kau kira begitu mudah mendapatkan seorang suami berasal dari Negeri Latanahsilam? Atau kau memang sudah siap menerima kutuk para Peri dan para Dewa. Seperti yang dialami Luhmintari dan Lahambalang yang melahirkan bayi pembawa malapetaka si Hantu Jatilandak itu? Hik…hik… hik! Rupanya memang bakal ada satu Peri lagi yang akan menerima kutuk laknat! Dan kaulah mahluknya!"

Kembali Luhrinjani keluarkan tawa panjang.

"Mahluk roh busuk jahanam!" teriak Peri Angsa Putih. Amarahnya tak terkendalikan lagi. Dari dua bola matanya menyambar sinar biru ke arah Luhrinjani.

Tapi orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat lenyap seolah sirna ditelan dinding kamar. Yang tertinggal hanya suara tertawanya. Dua larik sinar biru yang tidak mengenali sasarannya melabrak sebagian pintu dan dinding kamar hingga hancur berantakan dan kepulkan asap biru.

Peri Angsa Putih sadar lalu bingung sendiri melihat apa yang telah dilakukannya. "Celaka…. Kamar Peri Bunda kubuat rusak. Sebentar lagi para Peri akan datang ke tempat ini. Aku harus segera pergi sebelum mereka muncul!"

Peri Angsa Putih segera berkelebat ke arah pintu yang jebol. Tapi dia ingat sesuatu. Cepat dia mendekati jambangan rotan lalu mengambil dua kuntum mawar beracun. Bunga-bunga ini digulungnya dibalik pakaian putihnya lalu dengan cepat dia tinggalkan tempat itu. Ketika enam orang Peri berpakaian serba merah di bawah pimpinan Peri Sesepuh yang luar biasa gemuknya itu sampai di kamar tersebut, Peri Angsa Putih tak ada lagi disitu.

Peri Sesepuh usap mukanya yang putih gembrot dan selalu keringatan. Dia memandang berkeliling.

"Wahai, gerangan apa yang terjadi di tempat ini? Mana Peri Bunda? Aku mencium bau harum. Pertanda ada seseorang memasuki kamar ini sebelumnya…." Peri gemuk berpakaian merah dan memiliki bulu ketiak panjang berserabutan itu memandang pada anak buahnya. Lalu memberi perintah. "Lekas selidiki apa yang terjadi! Cari Peri Bunda sampai dapat!"

***

 

DELAPAN

 

KAKEK berpenampilan dahsyat di puncak bukit batu yang menghadap ke laut itu hentikan samadinya. Telinganya menangkap suara kaki-kaki berlari di kejauhan. Matanya yang tadi terpejam dibuka sedikit.

"Ada dua orang yang berlari. Mudah-mudahan mereka…" membatin si kakek. Orang tua ini mengenakan sehelai jubah putih. Rambutnya panjang di sebelah belakang, melambai-lambai ditiup angin laut Yang dahsyat dari manusia ini adalah kepalanya. Dia memiliki otak yang terletak di luar kepala, antara kening dan ubun-ubun. Otak ini diselubungi oleh sejenis benda atos berbentuk kening sehingga otak yang bergerak berdenyut-denyut itu bisa dilihat dengan jelas!

"Kakek Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Kami datang!"

Kesunyian yang hanya dibayangi suara halus tiupan angin laut di tempat itu dipecah oleh dua seruan perempuan berseru berbarengan.

Kakek yang tengah bersamadi gerakkan kepalanya. Begitu dia membuka sepasang matanya lebih besar, dua gadis berparas cantik, sama-sama mengenakan pakaian putih dan sama-sama berambut pirang tahu-tahu telah berlutut di hadapannya.

"Cucuku Luhkemboja dan Luhkenanga. Lama aku menunggu akhirnya kalian datang juga. Apakah kalian berhasil melaksanakan tugas. Mendapatkan benda yang aku inginkan?"

Dua gadis cantik yang bukan lain adalah Sepasang Gadis Bahagia tundukkan kepala lalu sama-sama menjawab.

"Berkat petunjukmu kami berhasil mendapatkannya."

Ternyata dua gadis kembar ini adalah cucucucu dari tokoh paling terkemuka di Negeri Latanahsilam yakni yang dikenal dengan julukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

Tidak menunggu lebih lama gadis bernama Luhkemboja segera keluarkan tongkat batu biru dari balik pakaiannya lalu diserahkan pada si kakek.

Hantu Sejuta Tanya menyambut benda itu dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Tongkat batu diusapnya berulangkali. "Tongkat Bahagia Biru…" kata si kakek perlahan menyebut nama tongkat itu.

"Akhirnya kau kembali juga ke tanganku."

Luhkemboja dan Luhkenaga saling melontar pandang. Kini mereka baru tahu kalau tongkat batu biru itu bernama Tongkat Bahagia Biru. Keduanya menduga-duga apakah tongkat tersebut ada hubungan atau sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan, pelambang Kerajaan Hantu Muka Dua.

Sebelumnya telah dituturkan bahwa tongkat sakti ini pernah berada di tangan tokoh berjuluk si Tongkat Biru Pengukur Bumi yang mayatnya ditemukan oleh Luhjelita. Ketika Luhjelita menemukan mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi, tongkat tersebut ada di dekat mayat, lalu di ambil oleh Luhjelita. Si gadis kemudian menyerahkan tongkat tersebut kepada Pendekar 212. Lalu belum lama berselang Sepasang Gadis Bahagia yang memang mendapat perintah dari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berhasil mengambil tongkat itu dari tangan Wiro setelah lebih dulu melakukan perbuatan keji terhadap Luhjelita.

"Luhkemboja dan Luhkenanga, tidak sia-sia aku mempunyai cucu seperti kalian. Aku sangat berterima kasih kalian sudah dapatkan tongkat ini…."

Waktu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berkata Luhkenanga melirik pada kakaknya. Luhkemboja memberi isyarat dengan kedipan mata. Maka Luhkenanga lantas berucap. "Kek, mataku yang awam melihat tongkat batu itu biasa-biasa saja. Buruk seperti tiada berguna. Tetapi agaknya bagimu sangat penting. Apakah ada sesuatu rahasia atau satu kekuatan sakti yang terkandung dalam tongkat itu? Yang kami tidak tahu?"

Hantu Sejuta Tanya Jawab tersenyum. "Tongkat buruk ini bagi orang lain tak ada artinya. Tapi bagiku sangat berharga dan penuh kenangan. Tongkat ini diberikan oleh seorang sahabat bernama Lasedayu. Beberapa lama berada di tanganku tongkat dicuri oleh seorang tak dikenal. Setelah menguasai tongkat ini dia kemudian menjuluki dirinya sebagai si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Dengan tongkat ini dia gentayangan di Negeri Latanahsilam, menebar angkara muka hingga dia menjadi momok ditakuti. Kemudian kusirap kabar dia pernah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua. Namun kemudian konon dia menemui ajal di bunuh seseorang. Aku sangat berbahagia karena tongkat pemberian sahabatku ini sekarang telah berada di tanganku kembali. Jasamu sangat besar. Aku tidak akan melupakan seumur hidup…."

"Kau kakek kami, kami cucumu. Pantas sekali kalau kami berbakti padamu!" kata Luhkemboja.

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersenyum.

Tongkat Bahagia Biru diletakannya di atas pangkuan. Lalu tangannya kiri kanan mengusap kepala dua gadis kembar itu.

"Luhkenanga dan Luhkemboja. Sewaktu kalian kutugaskan mencari tongkat ini, aku juga telah meminta kalian agar menyirap kabar tentang seorang pemuda asing bernama Wiro Sableng. Apa kalian berhasil mengetahui dimana dia berada?"

"Kakek Sejuta Tanya Sejuta Jawab," kata Luhkenanga.

"Jangan kau terkejut kalau mengetahui justru tongkat itu kami rampas dari pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!"

Kakek yang otaknya berada di luar kepala itu tampak terkejut. Dia usap-usap janggut putihnya berulang kali. "Sungguh tidak kuduga…. Bagaimana tongkat ini bisa berada di tangannya. Harap kau mau menceritakan lebih banyak dan lebih jelas…."

Luhkemboja lalu menuturkan riwayat pertemuannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lupa dia juga menerangkan kemunculan Peri Angsa Putih.

"Wahai, banyak keanehan rupanya terjadi di Negeri Latanahsilam. Menurut kabar yang aku dengar sebenarnya Peri Angsa Putih sudah sejak lama menaruh hati pada pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Mengapa kini dia bersekutu membantu kalian?"

"Bisa saja terjadi kalau pemuda itu sebenarnya adalah seorang hidung belang!" kata Luhkenanga.

"Apa maksudmu cucuku Luhkenanga?" tanya Hantu Sejuta Tanya Jawab.

Luhkemboja dan Luhkenanga lalu mengarang cerita bahwa mereka telah memergoki Pendekar 212 dan Luhjelita tengah melakukan perbuatan mesum di sebuah goa di kawasan terpencil.

Berubahlah wajah tua Hantu Sejuta Tanya Jawab. Otaknya tampak menggembung lebih besar dan berdenyut keras. Berkali-kali kakek ini gelengkan kepalanya.

"Tak bisa kupercaya! Wahai, sungguh tak bisa kupercaya…. Dua cucuku, kalian menyaksikan sendiri kejadian itu?" tanya Hantu Sejuta Tanya jawab.

"Bukan cuma kami Kek," jawab Luhkenanga. "Peri Angsa Putih juga ikut melihat karena kebetulan dia berada di sana!"

Si kakek hembuskan udara dari dalam mulutnya seolah menghembuskan hawa panas mengandung bara api yang membakar perut dan dadanya.

"Wahai para Dewa. Sungguh tak bisa kupercaya! Kacau sudah semua rencanaku. Bagaimana aku akan meneruskan. Pertanda Negeri Latanahsilam tak bisa diselamatkan! Malapetaka akan melanda negeri ini! Istana kebahagiaan akan menjadi pusat bahala. Nyawa akan bertabur dimana-mana. Darah akan menganak sungai membasahi negeri! Apa yang aku takutkan kelak akan terjadi! Wahai para Dewa apa yang harus aku lakukan? Pemuda bernama Wiro Sableng! Wahai, mengapa yang aku lihat dulu tentang dirimu tidak sama dengan kenyataan?!" Kembali kakek yang otaknya berada di luar kepala itu menggeleng berulang kali.

Wajahnya yang keriput tampak memucat penuh kecewa. Luhkemboja dan Luhkenanga saling bertukar pandang mendengar ucapan Hantu Sejuta Tanya Jawab yang tidak mereka mengerti itu.

"Kek, kalau kami boleh bertanya apa maksud semua ucapanmu tadi?" bertanya Luhkemboja.

Sang adik menyambung. "Kau punya rencana. Tapi kacau katamu. Rencana apa Kek? Malapetaka apa yang akan menimpa Negeri Latanashilam? Ada apa dengan Hantu Muka Dua di Istana Kebahagiaan? Apa dia yang akan jadi biang racun rencana di negeri ini?"

Luhkemboja kembali membuka mulut. "Kek, tadi kau berucap sepertinya dulu pernah menyirap diri Wiro Sableng dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Lalu kau melihat kenyataan lain…. Kek, agaknya kau punya satu rencana besar yang tidak pernah kami ketahui. Kau merahasiakan sesuatu!"

"Cucu-cucuku, maafkan diriku. Perasaan hati dan tubuhku mendadak tidak enak. Aku berterima kasih kalian telah mendapatkan tongkat ini. Namun harap dimaafkan. Harap kalian suka meninggalkan aku seorang diri. Aku ingin bersamadi kembali. Mungkin satu hari suntuk. Mungkin berhari-hari sampai satu minggu. Tergantung petunjuk yang aku dapat dari para Dewa…"

"Kek, jika kami dapat membantu…." kata Luhkemboja pula.

Hantu Sejuta Tanya Jawab gelengkan kepala. "Terima kasih, kurasa saat ini tak ada seorangpun yang bisa menolongku. Karenanya aku perlu mendekatkan diri pada Yang Kuasa…."

Luhkemboja dan Luhkenanga saling pandang seketika. Lalu ke dua gadis kembar ini sama-sama membungkuk memberi hormat Setelah itu keduanya segera tinggalkan tempat itu.

Tak lama setelah dua gadis itu berlalu Hantu Sejuta Tanya Jawab ambil Tongkat Bahagia Biru dari atas pangkuannya. Tongkat dipegangnya dengan ke dua tangannya. Dia membaca satu mantera pendek. Dari telapak tangan kiri kanannya mengepul asap biru pekat dan menebar bau harum. Si kakek gerakkan tangannya, membuat gerakan berputar. Yang kiri didorong ke arah depan, yang kanan ditarik ke belakang.

Seharusnya tongkat batu itu akan berputar. Tetapi hal itu tidak terjadi. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab baca kembali manteranya. Sampai tiga kali. Lalu dua tangannya diputar kuat-kuat.

"Kraaakkkk!"

Tongkat batu biru patah dua! Sepasang mata si kakek membeliak besar perhatikan tongkat yang patah. Masih kurang percaya dia dekatkan tongkat itu ke matanya, memeriksa ujungujung yang patah.

"Palsu!" teriak si kakek tiba-tiba. "Kurang ajar! Dua gadis celaka itu pasti telah menipuku!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tancapkan dua patahan tongkat batu ke batu hitam di atas mana dia duduk. Dua patahan tongkat amblas ke dalam batu sampai dua pertiganya!

"Luhkemboja! Luhkenanga! Kalian berada di mana?! Lekas kembali ke sini!" teriak si kakek.

Jawaban yang diterimanya hanyalah gema suaranya yang kemudian pupus ditelan hembusan angin laut Tapi perlu apa aku mencari kebenaran? Hanya untuk membela pemuda berhati keji itu? Bukankah lebih baik aku memencilkan diri bersunyi diri di satu tempat? Biarlah terjadi apa yang akan terjadi! Kelak semuanya akan selesai dengan sendirinya."

"Peri Angsa Putih! Kami sahabatmu datang!"

Peri Angsa Putih terkejut Ada orang berseru memanggilnya. Dia cepat berpaling dan dapatkan Naga Kuning serta Si Setan Ngompol sudah berada di sampingnya.

"Hemm… Kalian…." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut sang Peri. Dalam keadaan seperti itu, apalagi Naga Kuning dan Si Setan Ngompol adalah sahabatsahabat Wiro yang kini dibencinya, Peri Angsa Putih bersikap seperti tidak acuh. Dalam hati dia berkata.

"Kalau Wiro bersifat sekeji itu, dua sahabatnya ini walau satu masih bocah dan lainnya sudah kakekkakek, keduanya pasti bangsa bajingan juga! Aku tidak lagi bisa mempercayai orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu! Ternyata mereka jahat busuk semua!"

"Peri Angsa Putih, apakah kau baik-baik saja selama ini?" bertanya Si Setan Ngompol.

Peri Angsa Putih pandangi wajah kakek itu. Dia tidak mau menjawab. Sebenarnya dia merasa heran dan ingin bertanya sewaktu melihat si kakek tidak lagi mempunyai daun telinga sebelah kanan. Tapi karena sedang kalut ditambah mendadak saja timbul rasa benci terhadap dua sahabat Wiro ini maka Peri Angsa Putih tidak ajukan pertanyaan.

"Wahai, kau diam saja!" berkata Naga Kuning.

"Melihat wajahmu yang murung agaknya ada sesuatu yang menjadi ganjalan hatimu."

"Apapun yang sedang kurasa dan kualami, semua bukan menjadi urusan kalian…."

Mendengar kata-kata sang Peri Naga Kuning dan si kakek jadi sama-sama saling pandang. Si bocah berbisik. "Tidak biasanya dia seperti ini. Mengapa berubah jadi ketus dan tak acuh pada kita?"

Si Setan Ngompol sesaat diam saja. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Naga Kuning, memang kita tidak boleh mengganggu orang yang sedang kalut. Urusan orang jangan dijadikan urusan kita." Lalu pada Peri Angsa Putih si kakek berkata. "Peri, kami tidak berniat mengganggumu. Kami tidak berkeinginan mencampuri apapun yang jadi urusanmu. Kami kebetulan lewat di sini dan melihatmu sendirian. Karena kita bersahabat itu sebabnya kami mendatangi dan bertegur sapa. Kami tadinya ingin menanyakan apakah kau mengetahui dimana beradanya sahabat kami Pendekar 212 Wiro Sableng."

"Pemuda itu, aku tak tahu dia berada di mana. Kalaupun tahu rasanya bukan menjadi urusanku…."

Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali saling berpandangan. "Kenapa dia jadi ketus judes begini…?" Bisik si bocah.

"Jangan-jangan si sableng itu telah menyakitinya. Pasti terjadi sesuatu antara mereka!" jawab Si Setan Ngompol.

"Kalaupun itu betul, itu urusan dia dengan Wiro. Tidak selayaknya dia bersikap seperti ini terhadap kita!" tukas Naga Kuning.

"Kalian mencari Wiro?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya. Di wajahnya kelihatan seulas senyum. Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi lega. Tapi hanya sesaat. Karena di lain kejap senyum itu lenyap dan sang Peri berucap. "Jika ingin tahu dimana sahabat kalian itu berada, tanyakan pada kekasihnya, Luhjelita!"

"Eh, sejak kapan Luhjelita jadi kekasih sahabat kami?" tanya Naga Kuning. Sementara Setan Ngompol bengong tak mengerti.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kalian bertiga pasti sama saja! Muncul di Negeri Latanashilam untuk mencari gadis-gadis menghibur diri secara keji! Kami di sini bukan gadis-gadis barang mainan!"

"Astaga." Si Setan Ngompol sampai tersentak mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Kencingnya yang sejak tadi ditahan-tahannya langsung muncrat.

"Jangan-jangan Wiro telah melakukan sesuatu pada Peri ini. Mungkin sudah dipeluk atau diciumnya!"

"Mungkin juga sudah digerayanginya!" sambung Si Setan Ngompol.

"Gila! Dia enak-enakan dapat anak orang, kita berdua yang dapat dampratan! Kek, mari kita tinggalkan tempat ini. Tapi biaraku mengatakan sesuatu dulu pada Peri ini agar dia tahu rasa!" Habis berkata begitu si bocah memandang pada Peri Angsa Putih dan berkata.

"Peri cantik bermata biru! Apapun urusanmu dengan Wiro bukan urusan kami! Apapun urusan Wiro dengan Luhjelita, juga urusanmu dengan Luhjelita, bukan pula urusan kami! Tapi satu hal aku beritahu padamu! Waktu di tanah Jawa ada lusinan gadis tergila-gila pada Wiro. Mereka semua mengasihi sahabatku itu! Kecantikan mereka tidak kalah dengan kau! Jangan kau merasa paling cantik karena punya sepasang mata biru. Di tanah Jawa juga ada seorang gadis bernama Ratu Duyung, memiliki mata lebih biru dan lebih bening dari kau! Memiliki kecantikan yang tidak kalah dengan kau! Lalu masih ada segudang gadis cantik lainnya. Biar aku sebutkan nama mereka satu persatu. Pandansuri! Anggini! Bidadari Angin Timur. Yang satu ini memiliki rambut bagus pirang, tubuhnya tak kalah harum semerbak dengan dirimu! Banyak lagi gadis-gadis lain yang tergila-gila pada Wiro. Tapi Wiro memperlakukan mereka sebagai sahabat dengan hati tulus! Tidak pernah dia berhati culas memanfaatkan kasih orang untuk dijadikan barang permainan seperti katamu tadi!

Kalau dia ingin berlaku serong mengapa dilakukannya di tanah brengsek ini? Di tanah Jawa banyak gadis yang bersedia menyerahkan dirinya secara pasrah! Tapi dia tidak mau melakukannya! Aku tidak tahu apakah kau masih perawan atau tidak! Tapi sahabatku itu aku tahu betul! Sampai saat ini dia masih bujang!"

Peri Angsa Putih terbelalak ternganga mendengar kata-kata Naga Kuning itu. Wajahnya merah sampai ke telinga. Tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun.

"Kau dengar baik-baik Peri Angsa Putih!" Naga Kuning menyambung ucapannya. "Sebenarnya kami tidak ingin menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini! Kalau bukan kami tersesat siapa sudi! Negeri kami di tanah Jawa jauh lebih indah! Orangnya ramahramah. Kalian di sini apa! Pakaian saja tidak karuan! Sebagian dari kalian bertubuh bau! Malah banyak yang tidak pernah mandi-mandi! Kita pernah bersahabat! Tapi sikap dan ucapanmu barusan sangat merendah kan diri kami dan sahabatku Wiro Sableng!"

Habis berkata begitu Naga Kuning tarik tangan Si Setan Ngompol mengajaknya pergi dari tempat itu.

Sambil melangkah mengikuti si bocah dengan celana kuyup oleh kencingnya sendiri si kakek berkata. "Anak geblek! Perlu apa kau memberi tahu nama gadis-gadis yang tergila-gila pada Wiro itu. Peri Angsa Putih tidak kenal mereka semua!"

"Kenal atau tidak biar dia tahu rasa! Mungkin dia merasa cantik sendiri di atas langit dan di kolong bumi ini! Kalau saja dia bisa datang ke tanah Jawa dia akan lihat bahwa gadis-gadis di sana banyak yang lebih cantik dan lebih mulus kulitnya dari dia…. Mentangmentang kita orang kesasar enak saja dia mau melecehkan kita! Aku sebenarnya sudah gerah. Ingin buru-buru angkat kaki dari negeri celaka ini…."

"Aku juga," menyahuti Setan Ngompol. "Tapi sebelum daun telingaku sebelah kanan kudapat kembali bagaimana mungkin aku bisa pergi. Selain itu aku juga belum bertemu dengan Luhlampiri si nenek yang membuat hatiku empot-empotan itu!"

"Jangan jadi kakek tolol! Di tanah Jawa ada ratusan nenek lebih montok segar dibanding si nenek peot itu. Namanya saja Luhlampiri! Pasti dia turunan nenek lampir!"

"Jangan kau menghina kekasihku itu!" Setan Ngompol marah.

Naga Kuning tertawa lalu mencibir. "Tua bangka itu kenal kau saja belum, bagaimana kau bisa bilang dia kekasihmu!"

"Kenal memang belum tapi kami berdua sudah pernah saling berlirik mata dan berbalas senyum!"

Naga Kuning tertawa cekikikan. "Lama-lama di negeri aneh ini kau bisa berubah jadi mahluk aneh.

Sekarang saja tampangmu sudah tidak karuan! Mata lebar jereng! Kuping cuma satu! Celana kuyup bau pesing! Kek, apa hari ini kau sudah mandi?!"

"Anak sialan! Jangan sampai kuremas kantong menyanmu!" teriak Setan Ngompol marah. Tangan kanannya tiba-tiba menyelonong ke bawah perut Naga Kuning. Si bocah cepat melompat selamatkan diri seraya berteriak.

"Kek! Baru satu hari kau kenal pemuda banci bernama Si Binal Bercula itu, kini kau sudah ketularan senang memegang bagian terlarang!"

"Bocah setan! Kurobek mulutmu!" teriak Setan Ngompol marah. Dia mengejartapi Naga Kuning sudah menghambur lari sambil tertawa cekikikan. (Mengenai tokoh banci berjuluk Si Binal Bercula harap baca Episode berjudul "Hantu Muka Dua")

***

HANYA sesaat setelah Naga Kuning dan Setan Ngompol tinggalkan pedataran tinggi itu, Peri Angsa Putih merasa sekujur tubuhnya lemas. Dia terduduk di tanah. Wajahnya mengelam dan air mata tak kuasa dibendungnya. Dia mulai menangis sesengukan. Ucapan Naga Kuning sangat memukul sanubarinya. Hatinya seperti disayat-sayat.

"Ucapan anak itu mungkin betul. Tapi…." Peri Angsa Putih tutupkan dua tangannya ke wajah dan menangis keras. Tiba-tiba hidungnya membaui sesuatu. Dia turunkan dua tangan, memandang berkeliling. Ketika dia mendongak ke atas, di langit dilihatnya ada satu bayangan biru berkelebat rendah menuju ke arah barat dimana saat itu sang surya yang hendak tenggelam menyaput langit dengan cahayanya yang merah keemasan.

"Peri Bunda…." desis Peri Angsa Putih. "Dia turun lebih dulu dari aku. Mengapa baru sampai di sekitar sini. Wahai, kulihat dia berputar-putar di sebelah sana. Itu arah Gunung Latinggimeru. Agaknya ada sesuatu yang tengah diperhatikannya di sekitar situ. Bukankah dia mengatakan padaku hendak mencari dan menemui Wiro? Jangan-jangan dia sudah membayangi pemuda itu. Apa yang harus aku lakukan…?"

Peri Angsa Putih memandang ke arah barat. Saat itu dilihatnya sosok biru Peri Bunda tengah menukik ke bawah, ke arah selatan gunung lalu lenyap dari pemandangan.

"Aku harus mengintai ke sana…" kata Peri Angsa Putih lalu bangkit berdiri. "Kawasan selatan itu adalah daerah berbatu-batu berbentuk aneh. Jarang orang datang ke sana. Mungkin ada seseorang yang menunggunya di sana?"

Peri Angsa Putih cepat melangkah ke tempat dia meninggalkan Laeputih, angsa putih raksasa tunggangannya. Sesaat kemudian kelihatan Peri itu telah melayang di udara menunggangi angsa putihnya. Dia sengaja menempuh arah berputar agar tidak terlihat oleh Peri Bunda.

Di atas punggung angsa tunggangannya Peri Angsa Putih keluarkan dua mawar kuning beracun dari balik lipatan pakaiannya. "Peri Bunda…." desis nya. "Jadi kau rupanya…. Sungguh aku tidak percaya…. Mengapa Peri Bunda? Mengapa kau lakukan itu? Apa dosa pemuda itu terhadapmu?"

***

 

SEPULUH

 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di atas kepingan batu besar berbentuk perahu tertelungkup itu. Jauh di sebelah utara menjulang Gunung Latinggimeru.

"Kawasan aneh…" membatin murid Sinto Gendeng.

"Batu-batu yang ada di sini semuanya berbentuk ganjil. Mengapa Luhjelita meminta aku datang ke bukit batu ini?" Agak jauh di sebelah sana ada tiga buah batu berbentuk tiang. Ujungnya lancip runcing seolah hendak menusuk langit Sang pendekar ingat. "Itu tiga batu yang dikatakan Luhjelita. Di situ dia akan menemuiku."

(Mengenai perjanjian bertemu antara Wiro dengan Luhjelita harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir")

Memandang ke arah barat Wiro melihat matahari sedang menggelincir ke titik tenggelamnya. "Malam masih agak lama. Rembulan belum tentu cepat muncul. Apakah benar dugaanku bahwa malam ini malam bulan purnama penuh seperti yang dikatakan Luhjelita?" Saat itu Wiro mendadak ingat pada pertemuannya terakhir sekali dengan Luhcinta beberapa waktu lalu. "Aku sempat berkata padanya bahwa aku tidak mencintai Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Mungkin aku terlalu tolol! Mengapa aku sampai berucap begitu? Bisa-bisa dia salah menduga dan salah mengharap. Tapi kalau kubanding-banding sifat budi pekertinya, cara dia bicara, semuanya sangat berbeda dengan sang Peri maupun Luhjelita. Aku punya kesan dia mencurigaiku berbuat mesum dengan Luhjelita. Tapi sikapnya tetap tidak berubah, bicaranya tetap lembut. Dia seperti tidak membenciku sama sekali. Mungkinkah dia gadis yang dimaksudkan si Hantu Raja Obat dan Luhrinjani? Gila! Tak berani aku menduga! Aku masih dijerat urusan gila! Dipermalukan sepasang gadis kembar sialan itu! Semua orang di Negeri Latanahsilam pasti sudah tahu cerita gila itu!"

Selagi Wiro tegak di atas batu dan berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dia melihat satu cahaya biru melesat di udara. Tak lama kemudian cahaya ini menukik ke bawah. Hawa harum menebar di Seantero bukit batu. Seorang perempuan berkulit putih bagus, berwajah cantik anggun tahu-tahu telah tegak di hadapan Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng tentu saja terkejut ketika dia mengenali siapa yang berdiri di depannya. Dalam hati dia membatin.

"Lain yang dinanti lain yang datang. Lain yang dicari lain yang unjukkan diri!"

Namun sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala murid Sinto Gendeng menyapa.

"Peri Bunda…."

"Aku gembira kau masih mengenaliku walau jarang kita bersua…." kata si baju biru yang bagian bawahnya panjang menjela-jela yang memang Peri Bunda adanya.

"Siapa yang bisa melupakan seorang Peri cantik sepertimu. Yang konon adalah Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Simpul Agung Dari Segala Peri…."

Peri Bunda tertawa senang. "Hatiku gembira mendengar kau menyebut semua itu wahai pemuda bernama Wiro Sableng. Datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Lebih gembira lagi karena aku bisa menemui lebih cepat dari yang aku duga…."

"Ini memang pertemuan yang tidak terduga, Peri Bunda. Hanya sayang sebentar lagi malam akan turun. Tempat ini pasti akan diselimuti kegelapan. Kecuali…."

"Kecuali bulan purnama penuh muncul menerangi jagat," sambung Peri Bunda sambil melayangkan senyum.

"Lagi pula, terus terang saat pertemuan ini aku lebih suka jika udara malam yang gelap mau membantu. Hingga kita disini tidak terlihat siapa-siapa…."

Saat itu pantulan cahaya sang surya yang hendak tenggelam jatuh di wajah Peri Bunda hingga parasnya kelihatan cantik sekali, membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi terpesona.

Dalam hati Wiro bertanya-tanya apa maksud sang Puteri bahwa dia lebih suka udara malam yang gelap hingga tidak ada yang melihat mereka berdua di kawasan bukit batu aneh itu.

"Peri Bunda, apakah kau memang sengaja mencari diriku?"

Sang Peri anggukkan kepala. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Pembicaraan ini cukup panjang. Mari kita memilih tempat duduk yang enak…."

Wiro jadi merasa tidak enak. "Bagaimana kalau sebelum pembicaraan selesai tahu-tahu Luhcinta muncul?"

"Hai, parasmu sesaat terlihat gelisah. Apakah kehadiranmu di tempat ini tengah menunggu seseorang?" bertanya Peri Bunda.

Wiro garuk-garuk kepala. "Aku menunggu dua orang sahabatku. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Kami berjanji bertemu di bukit batu ini," kata Wiro berdusta. Lalu dia memandang berkeliling dan berkata.

"Batu panjang tempat aku berdiri ini cukup baik untuk tempat kita duduk berbicara. Kau duduk di sebelah sana, aku di ujung sini."

Sang Peri mengangguk tanda setuju. Keduanya lalu duduk di atas batu panjang berbentuk perahu tertelungkup itu. Peri Bunda menggeser duduknya, sengaja agak lebih dekat dengan Wiro. Hal ini membuat sang pendekar kembali bertanya-tanya dalam hati.

"Peri Bunda, kau bisa mulai. Hal apakah yang hendak kau bicarakan?"

"Wahai, bagaimana aku harus memulai. Ujung yang mana yang hendak aku sibakkan lebih dulu,"

ujar Peri Bunda dan kembali mengulum senyum. "Aku khawatir jika salah aku mengucap, jika keliru aku mengambil langkah permulaan kau akan salah menduga terhadap diriku…."

"Aku percaya, maksudmu sengaja mencari diriku adalah maksud baik semata. Mengapa ragu untuk memulai?" ujar Wiro pula. Dalam hati dia berkata.

"Jangan-jangan Peri ini mencariku ada sangkut pautnya dengan urusan gila di goa itu. Bukan mustahil Sepasang Gadis Bahagia telah menemuinya lalu mengadukan apa yang terjadi. Edan betul!"

"Aku gembira kau bisa berkesimpulan baik seperti itu. Biar aku menggeser dudukku lebih dekat." Sang Peri lalu bergerak ke kiri hingga jaraknya dengan Wiro hanya terpisah dua jengkal. Berada sedekat itu murid Sinto Gendeng seolah dapat mencium keharuman bau tubuh Peri Bunda sampai ke lekuk-lekuknya yang tersembunyi sekalipun! "Aneh, mengapa Peri satu ini berperangai lain sekali?" tanya Wiro dalam hati.

"Aku sengaja bicara berdekat-dekat begini, bukan maksud apa-apa," kata Peri Bunda seolah tahu apa yang ada dalam benak atau hati sang Pendekar. "Kegelapan malam bisa saja memiliki telinga yang dapat mendengar. Saputan angin mungkin saja merupakan suara yang menebar jauh ke tempat takterduga. Duduk berdekatan begini aku bisa bicara lebih perlahan, untuk menjaga segala kemungkinan."

Wiro tambah tidak mengerti. Mengapa pembicaraan itu seolah satu rahasia besar yang jangankan orang lain tapi udara malampun tak boleh mendengarkanya? Dia menunggu sampai sang Peri akhirnya melanjutkan bicaranya.

"Wahai, sejak beberapa waktu lalu telah tersebar kabar bahwa kau telah melakukan satu aib besar terhadap Luhjelita, di satu goa…. Kau tahu, perbuatan ini bukan saja mencemari Negeri Latanahsilam, tetapi juga menjadikan satu pemandangan menusuk mata bagi kami para Peri di Negeri Atas Langit."

"Dugaanku tidak meleset!" kata Wiro dalam hati.

"Hal sialan itu yang hendak dibicarakannya! Sepasang Gadis Bahagia, pasti kalian sudah menyebar kabar. Awas kalian!"

"Kau hendak mengatakan sesuatu Wiro? Kulihat bibir dan pelipismu bergerak-gerak." Bertanya Peri Bunda. Wajahnya ditundukkan sedikit dan dia memperhatikan Wiro dari bawah dengan kepala dimiringkan.

"Peri Bunda, kalau saya boleh bertanya dari mana atau dari siapa kau mendapat keterangan bahwa saya telah melakukan aib besar terhadap Luhjelita?" Wiro menjawab dengan balas bertanya.

"Wahai…. Aku ingin menjaga semua yang terbaik. Karenanya tak perlu kujelaskan dari mana sumber kabar yang aku terima. Kuharap kau tidak kecewa…" jawab Peri Bunda.

"Kalau kau tak mau memberitahu tak jadi apa. Tapi saya sudah bisa mengira, siapa biang racun penyebar fitnah itu," kata Wiro pula. "Sekarang ingin saya mengetahui, apakah kau mempercayai hal itu?"

"Setiap hal yang disertai kenyataan dan saksi hidup tidak dapat dikatakan sebagai fitnah…."

Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. "Kenyataan bisa dibuat diciptakan oleh orang yang tidak senang terhadap seseorang. Apapun alasannya. Saksi hidup bisa saja memberikan kesaksian salah atau kesaksian palsu apapun alasannya. Saat ini kita berdua-dua di sini. Jika kemudian hari tersebar kabar bahwa kita telah berbuatu sesuatu yang memalukan di tempat ini, bagaimana perasaan dan tanggapanmu Peri Bunda…."

Saat itu sang surya telah tenggelam. Udara mulai gelap. Namun Wiro dapat melihat bagaimana wajah sang Peri bersemu merah mendengar kata-katanya barusan.

"Jadi kau menyangkal telah melakukan perbuatan itu?"

"Saya menyangkal karena di dalam goa memang saya tidak melakukan perbuatan seperti dituduhkan itu. Saya tidak berbuat apa-apa, kecuali menolong gadis bernama Luhjelita itu. Kalau kau suka mendengar akan saya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi…."

"Wahai…. Bagaimana kalau kukatakan bahwa Peri Angsa Putih ikut melihat apa yang kau lakukan bersama Luhjelita."

"Bisa saja dia memang melihat kami berdua. Tapi apa yang dilihatnya? Ketika saya masuk ke dalam goa, gadis bernama Luhjelita itu memang sudah tidak dalam keadaan berpakaian. Dia telah menjadi korban kebejatan…."

"Tunggu dulu wahai pemuda bernama Wiro. Peri Angsa Putih tidak mungkin berdusta…" memotong Peri Bunda.

"Saya tidak mengatakan dia berdusta. Mungkin sekali dia hanya melihat ekor dari satu kejadian. Dia tidak melihat permulaan, ketika saya masuk dan menemukan Luhjelita. Ketika saya menolongnya…. Saya tidak mengerti, mengapa Peri Angsa Putih mempunyai dugaan serta tuduhan seperti itu. Padahal dia mungkin hanya melihat sebagian dari kejadian…."

"Anggaplah Peri Angsa Putih melihat bagian terakhir dari apa yang terjadi. Tapi bagaimana dengan dua gadis kembar berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu? Mereka melihat bagian pertama dari apa yang terjadi!"

"Peri Bunda, tadi kau menolak memberitahu siapa sumber yang menebar berita. Kini akhirnya kau mengungkap sendiri. Peri Angsa Putih dan Sepasang Gadis Bahagia! Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Peri satu itu. Dulu dia sangat baik terhadap saya. Banyak budi pertolongannya yang sangat besar dan tidak dapat saya balas. Tapi mengenai Sepasang Gadis Bahagia, saya tahu kalau mereka adalah gadis-gadis berkelakuan aneh tidak karuan…."

"Aku tahu siapa mereka. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa mereka menebar fitnah. Api, yang dilihat orang jahat dan orang baik dari satu kenyataan pasti tidak akan berbeda dan tidak berubah!"

Pendekar 212 jadi panas hati mendengar ucapan sang Peri. Maka diapun berkata. "Peri Bunda, hari sudah gelap. Saya tak ingin lagi meneruskan pembicaraan ini. Jangan sampai saya mendapat fitnah untuk kedua kalinya di Negeri Latanah silam ini. Negeri yang saya tahu tidak semua penghuninya merupakan mahluk-mahluk suci! Saya juga tahu bahwa tidak semua Peri di atas langit sana agung dan kudus! Banyak diantara mereka yang telah menempuh hidup keliru menurut ukuran para Peri. Padahal mereka hanya sekedar ingin melepaskan diri dari kepalsuan hidup dan menginginkan harkat mereka sebagai mahluk hidup. Saya kasihan melihat nasib seorang sahabat saya bernama Hantu Jatilandak. Dia adalah korban kutukan salah kaprah dari para Peri! Dia hidup dalam keadaan sebagai mahluk mengerikan! Padahal apa dosanya! Ibunya menjadi patung mengenasksn! Apakah perlakuan hidup seperti itu yang hendak dibanggakan dan dianggap paling sesuai oleh para Peri di atas langit sana? Terus terang saja Peri Bunda. Maukah kau berterus terang bahwa jauh di lubuk hatimu kau juga mendambakan satu kehidupan wajar yang dijalin cinta kasih sesama mahluk bernyawa?"

Lama Peri Bunda terpana mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu. Untuk beberapa saat sepasang matanya sampai tidak berkedip-kedip memandangi si pemuda. Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. Tapi tiba-tiba Peri Bunda memegang lengan ’sang Pendekar dan berkata. "Jangan pergi dulu. Pembicaraan kita belum selesai…."

Wiro merasa adanya kehangatan dalam pegangan Peri Bunda. "Aku ingin melakukan sesuatu untuk menolongmu," bisik sang Peri.

"Apa yang hendak kau lakukan Peri Bunda?"

"Kau tahu, dengan tersebarnya berita aib itu keadaan dirimu sebenarnya terancam bahaya. Bukan mustahil ada pihak tertentu ingin mencelakai dirimu…."

"Saya memang sudah dicelakai!" kata Wiro pula sambil menyeringai.

"Mungkin juga ada yang berniat jahat hendak membunuhmu," ujar Peri Bunda.

"Itupun sudah dilakukan orang. Secara kasar dan secara diam-diam. Terakhir sekali saya pernah hendak dibunuh dengan mawar kuning beracun yang kabarnya hanya tumbuh di Negeri Atas Langit. Dan saya juga sudah tahu siapa pelakunya…."

"Siapa?" tanya Peri Bunda.

"Satu diantara dua orang ini. Luhjelita atau Peri Angsa Putih!" jawab Wiro.

"Wiro…."

"Dan saya punya saksi hidupnya!" kata Wiro lagi-lagi sambil menyeringai.

"Siapa?!" Peri Bunda sangat ingin tahu.

"Seorang kakek berjuluk Si Pelawak Sinting. Dia adalah Si Pelawak Sinting yang palsu!"

"Kau percaya pada kakek sinting itu?" tanya Peri Bunda pula.

"Lagaknya memang sinting. Tapi saya tahu otak orang tua satu itu lebih cerdik dari ular kepala dua!" jawab Wiro.

Peri Bunda menghela nafas dalam. "Wiro," katanya perlahan. "Apapun yang barusan aku dengar terucap dari mulutmu, saat ini ada satu hal yang ingin kutanyakan. Aku ingin kejelasan. Apakah kau mencintai gadis bernama Luhjelita itu?"

"Aku tak ingin menjawab pertanyaan aneh itu!" kata Wiro. Padahal pada Luhcinta sebelumnya dia pernah mengatakan bahwa dia tidak mencintai Luhjelita.

"Kau tak mau menjawab tak jadi apa. Bagiku jawabnya bisa ya bisa tidak." Berkata Peri Bunda sambil tersenyum dan sampai saat itu tangannya masih saja memegangi lengan Pendekar 212. "Pertanyaanku selanjutnya. Jika seandainya kau benar tidak mencintai Luhjelita, lalu apakah kau mencintai kerabatku si mata biru Peri Angsa Putih?"

Di balik sebuah batu besar, di udara malam yang gelap karena bulan purnama empat belas hari masih belum muncul, seorang yang sejak tadi mendekam mendengar semua pembicaraan itu letakkan dua tangannya di atas leher, menahan seruan tertahan yang hampir tersembur. Dua matanya membeliak, mulutnya ternganga dan sepasang telinganya berusaha dan ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulut Pendekar 212. Orang ini bukan lain adalah si mata biru Peri Angsa Putih.

Peri Bunda yang tadi mengajukan pertanyaan diam-diam sebenarnya juga ingin sekali mendengar jawaban Pendekar 212.

Tanpa diketahui orang ini, satu sosok lain di kegelapan malam menahan debaran yang menggoncang dadanya. Dia juga ingin tahu apa yang akan keluar sebagai jawaban dari mulut Wiro. Apakah masih sama seperti yang dulu pernah didengarnya? Dan orang ini adalah gadis cantik bernama Luhcinta. Di samping kiri orang ini, dua orang yang ikut bersamanya juga merasa tegang. Salah seorang diantara mereka bukan lain Naga Kuning adanya, berbisik pada kawan di sebelahnya yaitu kakek Si Setan Ngompol.

"Kalau salah si sableng itu berucap, sahabat kita ini bisa seperti disambar petir!"

Sang kawan menjawab. "Aku tidak mengira kita akan kedahuluan Peri Bunda. Lebih celaka lagi kalau Peri Angsa Putih juga sudah ada di sekitar sini!"

Yang diajak bicara memandang berkeliling. Lalu berkata. "Orang yang menurut sahabat kita ini katanya akan muncul di bukit batu ini juga belum kelihatan. Kalau dia tidak datang urusan bisa tambah ruwet. Rahasia mawar beracun itu mungkin tidak akan bisa terungkap."

"Aku punya firasat gadis itu pasti datang. Luhjelita memang punya sifat aneh, pandai merayu membuat lelaki mudah terpikat dan menganggap dirinya dicintai gadis itu. Tapi untuk urusan seperti ini dia pasti muncul. Apa lagi namanya sudah babak belur dibuat sebusuk comberan." kata Setan Ngompol.

"Kek," Kata Naga kuning pada Setan Ngompol.

"Menurutmu apa benar Wiro main burung-burungan dengan Luhjelita?"

"Bocah geblek! Apa maksudmu main burungburungan?!" tukas Si Setan Ngompol.

Naga Kuning menutup mulut menahan tawa. "Kau jangan berpura-pura tidak tahu! Kau lebih banyak pengalaman dariku! Hik…hik…hik!"

***

 

SEBELAS

 

KITA tinggalkan dulu ketegangan yang mulai menggantung di bukit berbatu-batu sementara bulan purnama masih juga belum memunculkan diri. Langit diatas sana masih masih gelap disaput awan. Angin bertiup sayup dan dingin.

Di saat sore menjelang senja di hari yang sama, dua bayangan putih berkelebat ke arah timur meninggalkan kawasan pantai. Sambil lari dua orang itu tidak hentinya tertawa cekikikan. Dari tawa mereka jelas bahwa keduanya adalah perempuan. Ketika akhirnya mereka hentikan lari di satu tempat kelihatan mereka adalah dua gadis cantik berwajah sama. Ternyata mereka bukan lain Sepasang Gadis bahagia, cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang belum lama berselang telah menipu kakek itu.

"Aku tak habis pikir!" berkata gadis di sebelah kanan yaitu Luhkenanga. "Bagaimana mungkin mudah sekali kita membohongi orang tua itu! Padahal dia pandai dan cerdik luar biasa! Hik… hik!"

"Kau benar! Kurasa hari ini hari apesnya!" jawab Luhkemboja sang kakak.

Mungkin juga! Tapi jangan-jangan orang tua itu sudah lamur matanya! Hingga tidak bisa membedakan lagi tongkat yang asli dan tongkat yang palsu!"

"Malah, jangan-jangan dia juga tidak kenal lagi pada tongkatnya yang ada di bawah perut!"

Dua gadis itu tertawa cekikikan. Lalu Luhkemboja bertanya."Menurutmu apa saat ini dia sudah tahu kalau kita membohonginya?"

"Pertanyaanmu itu membuat aku kecut!" berkata Luhkenanga."Ayo kita lari biar jauh dulu. Nanti kita berhenti di bukit Tanah Bertengger. Di sana pasti aman. Kita periksa lagi tongkat ini. Bukankah tadi kita sempat melihat bagaimana kakek memuntir-muntir tongkat yang kita berikan? Tapi karena tongkat itu palsu, akhirnya patah! Aku yakin ada yang tengah diselidikinya. Berarti tongkat asli yang ada pada kita menyembunyikan sesuatu!"

Dua gadis kembar itu lalu lari ke arah timur di mana terdapat sebuah kawasan berbukit-bukit. Bukit di tempat itu bersusun-susun demikian rupa hingga diberi nama Tanah Bertengger. Di satu tempat yang mereka rasakan aman, keduanya hentikan lari. Di langit bulan purnama mulai menyembulkan diri.

Dari balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan Tongkat Bahagia Biru. Setelah ditimang-timang lalu dia mulai memeriksa.

Aku yakin tongkat ini menyembunyikan sesuatu. Kau ingat bagaimana kakek kita memeriksa tongkat palsu waktu benda itu patah dua? Sayang kita keburu kabur karena takut. Kalau tidak pasti kita bisa mendapatkan lebih banyak kejelasan." Luhkemboja memuntir-muntir tongkat yang dipegangnya.

"Apa yang hendak kau lakukan?" bertanya Luhkenanga.

"Meniru gerakan kakek. Bukan mustahil tongkat ini sebenarnya terdiri dari dua bagian yang bisa bertaut dan bisa dipisahkan…."

Luhkemboja terus memuntir-muntir tongkat batu berwarna biru redup itu. Namun sampai beberapa lama dia tidak terjadi apa-apa.

"Biar aku yang lakukan!" kata Luhkenanga lalu mengambil tongkat batu dari tangan kakaknya.

Namun baru sesaat tongkat batu berada dalam pegangannya sekonyong-konyong ada sambaran angin datang dari samping. Luhkenanga berseru kaget. Luhkemboja yang sempat melihat ada bayangan orang berkelebat cepat bergerak melakukan sesuatu. Namun satu kekuatan tenaga yang tidak kelihatan mendorong tubuhnya, membuat gadis ini terjajar sampai lima langkah. Sebelum dia bisa mengimbangi diri dan sebelum Luhkenanga sempat bertindak, bayangan tadi telah lenyap seolah ditelan keremangan malam yang walau ada bulan purnama tapi sinarnya terhalang oleh sekelompok awan gelap.

"Celaka! Tongkat batu kena dirampas orang!" Berteriak Luhkenanga.

Tiba-tiba satu bayangan hitam besar kelihatan di tanah. Lalu ada suara tawa berat bergelak. Dua dara kembar cepat berbalik.

Empat langkah di hadapan mereka tegak satu sosok tubuh tinggi besar memiliki sepasang mata angker.

Bola matanya tidak berbentuk bundar melainkan berupa segitiga memancarkan warna hijau. Yang luar biasanya orang ini mempunyai kepala dengan dua wajah. Wajah di sebelah depan berupa wajah seorang lelaki separuh baya berwarna putih. Sedang di wajah sebelah belakang berwarna hitam keling.

"Hantu Muka Dua!" seru Luhkemboja.

"Dia yang mencuri tongkat biru kita!" teriak Luhkenanga.

Orang bermuka dua yang memang adalah Hantu Muka Dua tertawa bergelak. "Gadis-gadis cantik! Aku sudah lama mengincar kalian! Malam ini bakal merupakan malam bahagia bagi kita bertiga!"

"Makhluk muka dua! Apa maksudmu?!" sentak Luhkemboja.

"Kembalikan tongkat itu pada kami!" teriak Luhkenanga.

Hantu Muka Dua kembali tertawa. "Aku tidak mungkin mengembalikan tongkat batu ini. Benda ini sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tapi jika kalian memang menginginkan tongkat, aku akan memberikan tongkat lain!" Habis berkata begitu Hantu Muka Dua menunjuk ke bawah lalu tertawa gelak-gelak.

“Mahluk jahanam kurang ajar!" maki Luhkemboja.

"Walau kau punya nama besar dan ilmu setinggi langit! Jangan kira kami takut padamu! Malam ini akan jadi malam kematian bagimu! Riwayat Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam akan berakhir! Istana Kebahagiaan akan menjadi milik kami Sepasang Gadis Bahagia!"

"Hebat sekali ucapan kalian! Tidak ada salahnya aku menjajagi dulu sampai dimana kehebatan ilmu kalian. Setelah itu baru aku menjajagi sampai dimana kenikmatan yang tubuh kalian bisa berikan padaku! Ha… ha… ha!"

Dua gadis kembar berteriak marah. Tubuh mereka lenyap menjadi bayang-bayang dan berkelebat seraya menghantam ke arah Hantu Muka Dua.

"Bukkk!"

"Bukkk!"

Dua gadis kembar menjerit dan cepat melompat mundur seraya pegangi lengan mereka yang menggembung merah dan sakit akibat bentrokan lengan dengan lawan. Hantu Muka Dua sendiri tertawa mengekeh walau diam-diam dia merasa kagum karena kekuatan dua pukulan sepasang gadis kembar membuat tulang lengannya menjadi nyeri. "Aku harus cepat-cepat melumpuhkan mereka. Kalau tidak bisa-bisa aku kena dicelakai!"

Sambil tertawa Hantu Muka Dua maju mendekati dua lawan. "Dua gadis kembar! Aku tahu selama ini kalian hanya suka pada makhluk sejenis. Hari ini aku akan memberi pengalaman baru pada kalian. Bagaimana nikmatnya bersenang-senang dengan seorang lelaki! H… ha… ha! Kalau kalian sudah merasakan, kalian pasti akan mengekoriku kemana aku pergi!"

"Hantu keparat!" maki Luhkemboja lalu dia berteriak menyebut jurus serangan yang hendak dilancarkannya.

"Bahagia Naik Ke Pelaminan!"

Luhkenanga tidak tinggal diam. Didahuiui teriakan "Bahagia Menukik Menjebol Pusar Bumi!" gadis ini melesat ke arah Hantu Muka Dua. Gerakan mereka hebat sekali. Hampir tak kelihatan. Tahu-tahu kaki kanan Luhkemboja sudah menghujam ke arah kepala sedang tinju kanan Luhkenanga menyodok ke perut Hantu Muka Dua.

"Hebat… hebat! Kalian memang dua gadis hebat! Aku senang! Kalian berdua juga pasti hebat di atas ranjang! Kalian memang pantas kujadikan penghuni kamar dari Istana Kebahagiaan!"

"Habis berkata begitu Hantu Muka Dua gerakkan tangannya kiri kanan.

"Wuuuttt!"

"Wuuuttt!"

Dua larik angin menderu.

Luhkemboja terpekik sambil pegangi lehernya. Luhkenanga juga menjerit. Seperti kakaknya gadis ini juga pegangi lehernya. Tubuh mereka menggeliat beberapa kali lalu terhampar terguling di tanah. Sepasang kaki bagus kedua gadis ini menyentaknyentak hingga pakaian mereka tersingkap sampai ke pinggul. Sesaat kemudian sosok keduanya diam tak berkutik lagi. Tak bisa bergerak dan tak mampu keluarkan suara. Itulah kehebatan ilmu Menjirat Urat yang dilancarkan Hantu Muka Dua. Mampu membuat lawan tak berdaya, semacam ilmu melumpuhkan tanpa menyentuh. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu yang dirampasnya beberapa waktu lalu dari Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.

"Putih mulus! Ha… ha… ha! Kalian benar-benar tidak mengecewakan aku!" kata Hantu Muka Dua. Lalu dia bertepuk tiga kali. Dari kegelapan muncul enam orang lelaki mengusung sebuah tandu.

"Naikkan dua gadis ini ke atas tandu. Segera bawa ke Istana Kebahagiaan! Aku menunggu di sana!"

Enam anak buah Hantu Muka Dua menjura hormat.

Dengan cepat mereka menaikkan sosok dua gadis kembar ke atas tandu lalu mengusung ke arah berkelebatnya makhluk berjuluk Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!

***

 

DUABELAS

 

SEPASANG daun telinga Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bergerak-gerak. Dia mendengar suara kaki-kaki berlari, banyak sekali dan masih berada di kejauhan.

"Itu bukan suara lari Luhkemboja dan Luhkenanga…"

membatin si orang tua yang otaknya berada di luar batok kepala. "Mereka berjumlah lebih dari empat orang. Aneh, mengapa mereka tidak segera menuju ke sini. Tapi berlari berputar-putar di tebing laut sebelah timur. Aku akan menunggu. Jika mereka muncul membawa niat jahat akan kuhabisi!"

Sejak kejadian dua cucunya menipu dirinya dengan Tongkat Bahagia Biru orang tua ini selalu diselubungi hawa amarah. Dia seperti mau marah melihat siapa saja. Tidak heran kalau dia berucap dalam hati seperti itu. Suara kaki-kaki yang berlari terdengar makin keras.

"Mereka mulai mendekat," kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tak selang berapa lama kakek ini melihat satu pemandangan aneh dihadapannya. Enam orang lelaki bertubuh besar bertelanjang dada mengusung sebuah tandu yang ditutupi sehelai tikar tipis terbuat dari jerami kering berwarna hitam.

Mereka berlari berputar-putar mengelilingi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah duduk di satu pedataran tinggi menghadap ke laut Setelah memperhatikan sesaat dan enam pengusung tandu seperti tidak mau hentikan larinya, hilanglah kesabaran si kakek. Dia pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Bukit pasir di tepi laut itu bergoncang seperti di landa gempa. Debu dan pasir membubung sampai setinggi tiga tombak. Enam pengusung tandu terhuyung-huyung. Jika mereka tidak segera jatuhkan diri berlutut niscaya ke enamnya akan jatuh berserabutan di tanah.

"Enam lelaki sinting kesasar! Pertunjukkan arakarakan gila apa yang tengah kalian lakukan?!" membentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

Enam orang bertubuh besar penuh otot itu segera turunkan tandu yang mereka usung dari bahu masingmasing, diletakkan di tanah. Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai wakil teman-temannya palingkan kepala ke arah si kakek lalu membuka mulut.

"Kami mendapat perintah, membawa tandu ini kepadamu!"

Anehnya lima orang kawan lelaki yang barusan bicara secara bersamaan mengulang ucapan kawannya tadi.

"Kami mendapat perintah, membawa tandu ini kepadamu!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kerenyitkan kening. Otaknya yang tembus pandang berdenyut keras. Matanya pandangi enam orang yang berlutut di tanah di hadapannya.

"Siapa yang memberi perintah?!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ajukan pertanyaan.

"Pendekar 212 Wiro Sableng!’ jawab lelaki tadi. Lima kawannya mengikuti.

"Pendekar 212 Wiro Sableng!"

"Hah! Siapa?!"

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang!"

Seperti tadi lima pengusung tandu lainnya mengulangi ucapan temannya. "Pendekar212 Wiro Sableng! Pemuda asing dari negeri seribu dua rarus tahun mendatang!"

"Kalian jahanam semua!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak. "Apa kalian kira aku tuli hingga bicara diulang-ulang seperti itu?!"

"kami hanya menjalankan perintah dari Wiro Sableng!"

"kami hanya menjalankan perintah dari Wiro Sableng!"

"Aku tak ingin kalian bicara diulang-ulang! Jika kalian berani berlaku seperti itu satu peratu akan kupatahkan leher kalian!"

Enam orang lelaki tidak menjawab, hanya memandang pada si kakek. Si kakek sendiri menatap ke arah usungan. Dari apa yang dilihatnya dia maklum ada sesuatu di atas tandu dibawah hamparan tikar tipis hitam yang menutupinya.

"Apa yang ada di bawah tikar di atas tandu itu?!" Hantu Sejuta Tanya bertanya.

"Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"

"Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"

Lima lelaki bertelanjang dada seperti tadi mengikuti ucapan temannya.

Kesabaran Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sirna. Tubuhnya dimiringkan condong ke depan. Entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu kraaakkk! Salah seorang dari enam lelaki pengusung tandu terkapar di tanah dengan leher patah! Lima temannya membeliak marah tapi tidak berani melakukan sesuatu.

"Siapa yang mau jadi korban ke dua? Silahkan bicara diulang-ulang!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pula. Lalu keluarkan suara menggereng dari tenggorokkannya.

Lima lelaki pengusung tandu tidak menjawab.

"Aku perintahkan salah satu dari kalian segera menyibakkan tikar hitam!" membentak si kakek.

Salah seorang dari lima lelaki ulurkan tangan kanan.

"Bettttt!"

Tikar hitam jerami kering tersingkap lalu dilemparkan ke udara, melayang jatuh ke arah pantai. Dua mata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membeliak. Dari mulutnya menggembor teriakan dahsyat. Sekali bergerak tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Ketika turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam tanah sampai pergelangan kaki. Di atas tandu menggeletak dua sosok tubuh gadis yang nyaris tidak tertutup apa-apa. Sepasang mata mereka mendelik. Sebatang tongkat batu berwarna biru melintang di dada salah seorang gadis ini.

"Cucuku!" teriak si kakek. "Luhkemboja! Luhkenanga!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendekati tandu. Dia membungkuk memeriksa dan dapatkan dua gadis di atas tandu masih bernafas dan berada dibawah satu kekuatan aneh yang melumpuhkan. Keadaan mereka mengenaskan sekali. Dari tanda-tanda yang ada di aurat mereka si orang tua maklum kalau dua cucunya ini telah dirusak kehormatannya secara keji.

"Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!" teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tangan kirinya menyambar. Laki-laki di samping kiri dijambak lalu diangkat ke atas. Tangan kanannya menghantam.

"Praakkkk!"

Tulang muka lelaki itu melesak hancur. Darah muncrat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bantingkan sosok yang sudah jadi mayat itu. Lalu dia menjambak lelaki berikutnya. Takut setengah mati dan tak mau jadi korban keganasan si kakek orang ini segera membuka mulut.

"Yang melakukan adalah pendekar 212 Wiro Sableng!"

Tidak seperti tadi, kini lelaki-lelaki lainnya tidak mengulangi ucapan kawannya itu.

Bergetar sekujur tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Dia memperkosa dua cucuku! Lalu menyuruh kalian membawa gadis-gadis ini ke sini?! Begitukah hah?!"

Empat lelaki pengusung tandu anggukan kepala.

"Manusia jahanam! Kenalpun aku tidak! Bertemu muka belum pernah! Mengapa dia berbuat sekeji ini pada dua cucuku!"

Lelaki di samping tandu sebelah kiri menjawab.

"Menurut Wiro,dua cucumu telah mencuri tongkat batu berwarna biru. Wiro berusaha mendapatkannya kembali dan menghadang dua gadis itu di satu tempat. Dia mendapatkan tongkat sakti kembali tapi ternyata palsu. Wiro lalu menghajar dan memperkosa dua gadis ini. Menurut Wiro dua gadis ini punya kelainan menebar aib dan kekejian dimana-mana. Jadi pantas menerima hukuman berat dan diperlakukan secara keji pula! Lalu kami disuruhnya mengantarkan sosok-sosok mereka padamu!"

"Dimana pemuda asing itu sekarang?!" tanya si kakek dengan sekujur tubuh bergeletar.

"Kami tidak tahu! Dia membunuh dua sahabat kami. Lalu sehabis memberi perintah yang disertai ancaman dia kabur entah kemana."

"Kalian lekas angkat kaki dari sini sebelum kubunuh semua!" Menghardik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

Empat lelaki bertubuh besar serta merta berdiri lalu tinggalkan tempat itu dengan cepat. Si kakek segera menyambar tongkat batu biru yang tergeletak di atas dada Luhkenanga. Dia cepat memeriksa. Dengan dua tangannya tongkat dipatahkan. Lalu dia kembali memeriksa.

"Tongkat ini memang palsu! Tapi mengapa ini dijadikan alasan oleh pemuda asing itu untuk berbuat keji pada dua cucuku! Aku tahu dua cucuku memang mengidap penyakit tidak wajar. Yang tidak bisa disembuhkan seumur-umur. Tapi itupun tidak bisa dijadikan alasan untuk mencelakai mereka. Kabar yang aku dengar tentang kehebatan dan kebaikan pemuda itu ternyata jauh berbeda dengan kenyataan! Aku akan mencarinya! Akan kulumat dengan dua tanganku! Berarti benar kabar yang kusirap selama ini. Bahwa pemuda itu telah berbuat cabul dengan gadis bernama Luhjelita! Kalau tidak diambil tindakan lama-lama bisa habis semua anak gadis orang di negeri ini!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kembali perhatikan sosok dua cucunya. Sepasang mata tua ini tiba-tiba mengerenyit.

"Ada keanehan…. Luhkemboja dan Luhkenanga seperti berada dalam kelumpuhan. Tak bisa bergerak dan tak bisa bicara. Ilmu kekuatan apa yang menguasai mereka. Aku seperti…." Orang tua itu mengingatngingat.

"Dua cucuku.’Wahai! Dia berada dibawah pengaruh Ilmu Menjerat Urat! Ilmu ini hanya Hantu Muka dua dan beberapa orang anak buahnya yang memiliki! Jangan-jangan Pendekar 212 Wiro Sableng telah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku harus mencari pemuda keparat itu. Mengorek lidahnya agar mau mengaku lalu melumat sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!"

***

 

TIGABELAS

 

KEMBALI ke bukit yang dipenuhi batu-batu berbentuk aneh di selatan Gunung Latinggimeru. Bulan purnama empat belas hari, bulat penuh telah muncul sejak beberapa waktu lalu. Keadaan di tempat itu kini tidak lagi diselimuti kegelapan.

Peri Bunda gerak-gerakkan jari-jari tangannya yang halus di atas lengan Wiro. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi Wiro. Malu menjawab atau memang tidak mau menjawab?! Apakah kau mencintai Peri Angsa Putih?"

Wiro coba sunggingkan senyum lalu garuk-garuk kepalanya. Diusapnya tangan Peri Bunda lalu perlahan-lahan dilepaskannya pegangan Peri itu dari lengannya.

"Saya tidak tahu apa maksudmu dengan semua pertanyaan itu. Mungkin sekali kau tengah mempelajari seluk beluk ilmu bercinta?" Wiro tertawa lebar.

Peri Bunda juga tertawa tapi kembali mendesak.

"Wahai, kau pandai mengalihkan pembicaraan. Tapi benar dugaanku kau tak mau menjawab pertanyaanku."

Kembali murid Sinto Gendeng ini dibuat garuk-garuk kepala.

"Aku menunggu jawabanmu, Wiro," kata Peri Bunda.

"Peri Bunda, kerabatmu Peri Angsa Putih itu bukan saja Peri berhati baik, tapi juga memiliki wajah sangat cantik. Sepasang matanya yang biru membuat orang memandangnya tak jemu. Tak ada orang yang bisa melupakannya jika sudah sekali bertemu. Jangankan lelaki, kaum perempuan pasti akan mengaguminya…."

Peri Bunda tersenyum. "Kata-katamu sungguh Sejuk didengar dan polos. Kau seperti seorang penyair. Kalau Peri Angsa Putih ada di sini pasti dia akan senang mendengarnya…."

"Mungkin juga terharu!" kata Wiro sambil tersenyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Di hadapannya Wiro melihat Peri Bunda kerenyitkan kening, mungkin tidak paham mengapa Wiro berkata begitu. Di tempat persembunyiannya Peri Angsa Putih sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Seolah ada hawa dingin menyelubunginya mulai dari kepala sampai ke kaki.

Sementara itu Luhcinta yang berada bersama Naga Kuning dan si kakek Ngompol tegak mematung walau di dalam dadanya bergoncang menahan rasa tegang. Sejak tadi dia ingin beranjak pergi, takut tak kuasa mendengar pembicaraan Peri Bunda dan Wiro yang semakin mempengaruhi hati dan perasaannya itu. Tapi dua kakinya seolah diganduli batu besar hingga dia tak mampu bergerak. Gadis ini akhirnya setengah terpaksa memilih tetap berdiri di tempat itu.

"Wahai, tabahkan diriku jika seandainya jawaban yang diberikan Wiro seolah petir menyambar di depan wajahku?" begitu Luhcinta Membatin.

Lain halnya dengan Peri Angsa Putih sendiri. "Aku tidak mengerti, mengapa Peri Bunda mendesak bahkan seperti memaksa ingin mengetahui apakah Wiro mencintai aku atau tidak. Walau hati ini juga sangat mengharap mendapatkan jawaban, tetapi bagaimana kalau jawaban nanti berlainan dari yang diharapkan? Jangan-jangan Peri Bunda tahu aku sembunyi di sini. Lalu sengaja mengorek keterangan dari pemuda itu. Bagiku kalaupun dia…." Peri Angsa Putih tidak berani meneruskan kata hatinya itu.

"Wiro, jawaban tak kunjung keluar dari mulutmu. Sangat susahkah bagimu untuk mengatakan bahwa kau mencintai kerabatku Peri Angsa Putih. Ya atau tidak?" Kembali Peri Bunda mendesak.

"Peri Bunda," Wiro berucap. "Cinta kasih itu adalah sesuatu yang suci dan sangat pribadi. Penuh rahasia. Dan ada kebahagiaan dalam kerahasiaan itu. Jika seorang lelaki mencintai seorang gadis atau sebaliknya atau seorang gadis mencintai seorang pemuda, apakah dia akan begitu saja mengatakan, menceritakan kepada setiap orang, pada siapa saja yang menanyakannya karena rasa ingin tahu yang sulit diduga alasannya? Peri Bunda, jika aku mencintai seseorang, aku tidak akan mengatakan pada orang lain tapi akan mengatakan sendiri pada orang yang aku cintai itu. Akan kubisikkan ketelinganya. Jadi yang tahu hanya kami berdua. Buat apa orang lain yang tak ada urusannya perlu mengetahui isi hati kami berdua?"

Suasana di bukit batu itu untuk beberapa lamanya dicekam kesunyian. Ada ketidak enakan seolah menggantung di udara, menyusup ke lubuk hati orang-orang yang ada di tempat itu. Peri Bunda terdiam lalu menghela nafas berulang kali. Agaknya dia kehabisan akal dan cara untuk mengorek keterangan dari mulut Pendekar 212. Di tempat gelap Peri Angsa Putih tundukkan kepala. Hati kecilnya sangat ingin mendengar satu jawaban lain. Satu pengakuan.

Namun jawaban yang didengarnya justru tambah membungkus hati sanubarinya dalam ketidakpastian yang mengiris-iris. Dalam hati Peri Angsa Putih berkata. "Peri Bunda, kau tahu bagaimana perasaanku terhadap pemuda itu. Memang salahku aku tak pernah berkata terus terang padanya. Tapi apakah wajar aku mengatakan hal itu padanya? Bukankah aku terikat larangan dan pantangan Negeri Atas Langit? Peri Bunda, jika aku hubungkan dua kuntum bunga mawar kuning yang ada di kamarmu itu, apakah sebenarnya yang tengah kau lakukan?"

Di bagian lain Naga Kuning berbisik pada si kakek Setan Ngompol. "Untung pandai juga si sableng itu memberikan jawaban. Tidak ada yang tersinggung dan kecewa. Rahasia hatinya tetap tersembunyi…."

"Soal bicara kawan kita itu memang pandai. Dia bisa berubah jadi penyair, terkadang seperti juru dakwah. Tapi jika kau perhatikan dalam setiap sikap dan ucapannya selalu saja terselip sifat konyol dan sinting! Dasar sableng!"

Dalam diamnya Peri Bunda akhirnya menyadari bahwa tak mungkin baginya mendapatkan jawaban yang diinginkan dari Wiro. "Pemuda ini benar-benar cerdik. Membuat aku bertambah kagum padanya. Mungkin memang lebih baik bagiku kalau dia tidak menjawab. Siapa tahu dia memang tidak mencintai Luhjelita, Peri Angsa Putih ataupun Luhcinta. Mudahmudahan ada setitik harapan…."

"Wiro, kau tak mau menjawab berterus terang tak jadi apa. Tapi aku tetap mengkhawatirkan keselamatanmu. Aku tak ingin kau mendapat celaka. Aku tak ingin kau menemui malapetaka dan merasa berdosa kalau itu terjadi sementara aku tidak berbuat sesuatu apa demi keselamatan dirimu…."

"Peri Bunda, saya sangat berterima kasih kau memperhatikan keselamatan saya. Mudah-mudahan saya bisa menjaga diri…."

"Dalam hal keselamatan diri apa lagi menyangkut keselamatan jiwa jangan berpegang dan mengandalkan apa yang disebut mudah-mudahan. Kematian tidak bisa dicegah dengan yang namanya mudahmudahan. Kematian bisa ditimbulkan oleh orangorang yang tidak kita duga. Kau telah mengalami sendiri. Bahkan tadi kau telah menyebutkannya. Kau hampir menemui kematian akibat sekuntum mawar kuning beracun. Dan kau sudah yakin pelakunya salah satu dari dua orang yakni Peri Angsa Putih atau Luhjelita. Wahai, apakah kau hendak mensia-siakan jiwamu untuk kedua kalinya? Kau harus menjauhkan dirimu dari ke dua orang itu Wiro. Jika sekali mereka telah mencoba dan tidak berhasil, bukan mustahil mereka akan melakukannya kembali. Jika itu sampai terjadi mungkin nyawamu sulit untuk diselamatkan…."

Kalau Luhcinta hanya kerenyitkan kening mendengar ucapan Peri Bunda itu, lain halnya dengan Peri Angsa Putih. Dia sangat terkejut karena tidak menyangka Peri Bunda akan berkata seperti itu. "Peri Bunda sepertinya ikut mempercayai bahwa memang aku atau Luhjelita yang hendak membunuh Wiro dengan mawar beracun. Padahal aku menemukan bukti nyata, bunga-bunga itu berada dalam kamarnya Untuk apa dia menyimpan bunga mawar itu kalau bukan ada maksud jahat? Wahai Peri Bunda, sejak aku menemukan dua kuntum mawar beracun dalam kamarmu aku sudah menaruh curiga. Kau berada di belakang semua bencana itu! Kau yang jadi biang racunnya. Sekarang kau hendak lempar batu sembunyi tangan. Peri Bunda, walau kau junjunganku tapi untuk urusan satu ini aku melawanmu habis-habisan!" Selesai berkata begitu Peri Angsa Putih segera bergerak keluar dari balik persembunyiannya. Tapi langkahnya tertahan ketika telinganya kembali mendengar Peri Bunda berucap.

"Wiro, ada satu tempat yang aman bagimu. Jika kau suka aku akan mengantarkanmu ke sana…."

"Tempat aman apa maksudmu Peri Bunda?" tanya Wiro.

"Tempat itu, terletak antara Negeri Atas Langit dan Negeri Latanahsilam. Di situ ada sebuah puri bernama Puri Kebahagiaan. Aku akan membawamu ke sana. Sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana."

Pendekar 212 menatap lekat-lekat ke wajah sang Peri. Dia melihat satu wajah cantik mempesona. Ketika Peri Bunda merangkum senyum dibibirnya yang merah, murid Sinto Gendeng ini merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Dia hendak menggaruk kepala. Tak jadi, Wiro malah balas tersenyum!

"Ikut aku Wiro,"’ bisik Peri Bunda sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212.

Luhcinta merasakan degupan jantungnya mengeras.

"Peran apa sebenarnya yang tengah dilakukan Peri Bunda," dia membatin. "Puri Kebahagiaan…. Baru sekali ini aku mendengar nama itu. Jangan-jangan ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua?"

Ditempat lain Peri Angsa Putih merasakan tubuhnya seperti terbakar. "Peri Bunda! Sekarang aku tahu apa yang ada dihatimu! Kau Peri penghianat culas! Kau memainkan pisau bermata dua! Wahai!"

"Puri Kebahagiaan yang kau sebutkan itu Peri Bunda, tempat apakah itu?" Wiro terdengar bertanya.

"Puri Kebahagiaan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Para Peri di Negeri Atas Langit telah lama mendengar dan mencurigai keberadaan puri tersebut. Namun sulit untuk mengetahui dimana beradanya.

Karena setiap hendak diselidiki ada satu hawa aneh mengambang di udara, membendung penglihatan! Kini aku mendengar sendiri. Ternyata Peri Bunda berada di belakang keberadaaan Puri Kebahagiaan itu!" Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan gejolak darah dan gejolak hati. "Peri itu tadi mengucapkan sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana. Kita! Kita siapa maksudnya? Dia dan Wiro? Sungguh culas! Kalau aku ingat semua pembicaraan sebelumnya. Dia melarang diriku berhubungan dengan pemuda itu. Aku dimintanya agar menjauhkan diri dan melupakan Wiro. Kini dia malah ingin berdua-dua bersama pemuda itu! Berarti selama ini dia telah menipu diriku!"

Di tempatnya bersembunyi bersama Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, Luhcinta tegak tertegun. Dia tatap wajah Peri Bunda. Dengan ilmu kesaktian langka yang dimilikinya gadis ini dalam pandangannya mampu mendekatkan wajah Peri itu hingga dia dapat melihat jelas air muka dan tatapan Peri Bunda yang ditujukan pada Wiro.

"Peri Bunda…" membatin Luhcinta. "Dari tatapan wajahmu, dari pandangan sepasang matamu, aku dapat meraba ke dalam relung hatimu paling dalam.

Kau mencintai pemuda itu…. Apa kau lupa pantangan dan larangan di Negeri Atas Langit? Kau seorang Peri sanjungan, junjungan dari segala Peri, hendak berselingkuh melanggar larangan. Peri Bunda, aku sungguh tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi aku sadar sedalam-dalamnya. Kasih yang selama ini dimiliki kami manusia biasa ternyata juga masih menjadi bagian kalian. Selama ini kalian berusaha menutupi.

Tetapi keadaan membuat semakin ditutupi semakin kuat dorongan hati kalian untuk menyingkap dan membuangnya. Kita sama-sama perempuan wahai Peri Bunda. Kasih yang ada dalam hatimu dan ada yang dalam hati semua perempuan tiada beda. Selama hayat dikandung badan kaum perempuan ditakdirkan untuk berbagi kasih pada seorang lelaki. Kasih mempunyai kekuatan sangat kokoh. Sanggup menghancurkan tembok bernama larangan sekalipun tembok itu terbuat dari baja. Peri Bunda, mungkin kau tidak mengetahui. Kau bukan saja berperang rasa dengan Peri Angsa Putih, tetapi juga dengan diriku…."

Kalau Luhcinta masih mampu membendung gejolak yang menggoncang hati dan pikirannya, lain halnya dengan Peri Angsa Putih yang merasa dikhianati oleh Peri Bunda.

Tidak dapat menahan hatinya lagi Peri Angsa Putih segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi lagi-lagi gerakannya tertahan karena saat itu di langit sebelah timur kelihatan sebuah benda bulat besar bersayap, terbang berputar-putar. Sesaat kemudian benda ini yang ternyata adalah seekor kura-kura raksasa mendarat di bukit batu. Dua orang melompat turun.

Orang sebelah depan adalah seorang gadis berpakaian ungu yang rambutnya digulung ke atas. Dia bukan lain Luhjelita. Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpipi kempot. Mulutnya yang tonggos kelihatan cengengesan sedang matanya belok lebar.

Kakek berhidung pesek ini mengenakan celana yang bagian belakangnya sengaja didodorkan ke bawah demikian rupa hingga pantatnya yang hitam kasap budukan kelihatan ogel-ogelan kemana-mana. Di tangan kanannya kakek ini memegang sebuah rebana yang pinggirannya diberi kerincingan. Sambil menyanyi na… na… na… ni… ni… ni kakek ini pukul-pukulkan rebana itu ke pantatnya. Gerakan kakinya berjalan seperti orang menari.

" Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku Luhjelita datang sesuai perjanjian! Lihat siapa ikut bersamaku!"

Habis berseru begitu Luhjelita melangkah mendekati tiga buah batu berbentuk tiang yang ujungnya lancip mencuat ke arah langit berhias bulan purnama penuh.

***

 

EMPATBELAS

 

SEMUA orang yang ada di bukit batu sama terkejut. Wiro segera bangkit berdiri. Peri Bunda serta merta melompat bangun. "Wahai, jadi ini sebabnya kau datang ke bukit batu aneh ini, Wiro. Rupanya kau telah membuat perjanjian dengan Luhjelita…! Aku tidak cemburu. Tapi akan lebih baik kalau kita berdua segera tinggalkan bukit ini, pergi ke Puri Bahagia! Tak ada yang bisa mengikuti kita sampai di sana…."

"Tidak mungkin saya ikut bersamamu Peri Bunda. Ada urusan yang harus diperjelas dengan gadis itu."

"Membuat urusan dengan Luhjelita tidak akan memperjelas masalah. Malah akan memperburuk dan memperuncing suasana! Ikuti aku Wiro. Lekas tinggalkan tempat ini!" Peri Bunda ulurkan tangan menarik lengan Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng ini segera mengelak.

Tiba-tiba ada cahaya merah melewati bulan purnama. Lalu satu sosok gemuk luar biasa, berpakaian serba merah, menjela panjang sampai ke tanah tahutahu kelihatan tegak di tiang batu runcing sebelah tengah. Demikian gemuknya makhluk ini tinggi lehernya dan dagu jadi satu. Selain gemuk gembrot tak karuan, dia juga memiliki wajah buruk. Bulat selalu keringatan, dihias hidung pesek serta tahi lalat sebesar telur burung dara di pipi kiri. Karena bagian samping kiri kanan pakaian sang Peri ini dibelah tinggi, tiupan angin membuat pakaian itu tersingkap lebar menyembulkan auratnya sampai ke pinggul.

"Aku sebenarnya sudah jemu dengan suasana di tempat ini! Sekarang untung ada hiburan! Ada pemandangan sedap menyegarkan! Waw! Montoknya pinggul peri gendut itu. Putih lagi!" bisik Setan Ngompol sambil cengengesan dan matanya melotot memandang ke arah Peri Sesepuh.

"Ini belum seberapa," balas berbisik Naga Kuning.

"Ingat waktu dia duduk mengongkong pada saat menolong kita dulu? Aku tidak dapat memastikan apa kali ini dia pakai celana dalam atau tidak! Hik… hik…hik!" (Baca Episode sebelumnya berjudul "Peri Angsa Putih")

"Aku yakin, seperti dulu sekarang ini dia juga tidak pakai celana dalam. Jadi buka matamu lebar-lebar. Jangan berkedip. Telat memandang hilang rejeki!"

kata Setan Ngompol pula lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.

Luhcinta yang merasa terganggu oleh bisik-bisik serta tawa dua orang itu berpaling dan bertanya. "Apa yang kalian tertawakan? Kalian mentertawaiku?"

"Bukan! Tidak…. anu…. Peri gemuk itu. Biasanya dia tidak pakai celana dalam!" jawab Naga Kuning seenaknya walau Setan Ngompol telah menginjak kakinya agar dia tidak bicara teledor.

Walau mukanya jadi berkerut mendengar katakata Naga Kuning itu namun Luhcinta kembali bertanya.

"Kau bisa berkata begitu, memangnya apa pernah melihat?"

"Hik… hik…. Tanyakan saja pada kakek ini! Dia yang paling lama dan paling asyik melihatnya!" jawab Naga Kuning. Luhcinta tersenyum dan geleng-geleng kan kepala lalu berpaling ke arah deretan tiga batu berbentuk tiang.

"Peri Sesepuh!"

Peri Angsa Putih berseru kaget Siapa mengira kalau Peri yang menjadi pimpinan tertinggi di Negeri Atas Langit itu akan muncul di tempat itu.

"Peri Bunda, sedang apa kau di sini?!" Peri Sesepuh yang mukanya gembrot keringatan menegur.

Matanya memandang ke arah Peri Bunda. Sesaat kemudian dia alihkan pandangan, menyapu ke Seantero bukit batu yang diterangi cahaya bulan purnama.

"Hemm…. Ternyata ada banyak orang di tempat ini. Beberapa diantaranya sengaja sembunyi di balik bebatuan…." Peri Sesepuh yang sakti ini ternyata sudah mengetahui bahwa selain Peri Bunda, Wiro Sableng, Luhjelita dan kakek aneh yang dikenalnya dengan nama Si Pelawak Sinting, masih ada beberapa orang lain di bawah sana.

Peri Bunda tekukkan lututnya memberi hormat lalu mendongak ke arah Peri Sesepuh yang tegak di atas tiang batu runcing.

"Peri Sesepuh, Peri Pimpinan di Negeri Atas Langit, mohon maafmu. Aku tidak sempat memberi tahu sebelum turun ke bumi. Ada satu keperluan yang harus aku urus di tempat ini."

"Aku tidak ingin tahu apa urusanmu. Tapi aku melihat ada yang tidak beres bakal terjadi di bukit batu ini. Karenanya lekas kau ikut aku kembali ke Negeri Atas Langit. Sesuatu telah terjadi di sana. Kamar ketiduranmu dijebol orang!"

Terkejutlah Peri Bunda mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu. Hatinya sesaat bimbang sebelum berkata.

"Terima kasih wahai Peri Sesepuh. Kau telah sudi datang memberi tahu. Aku akan segera kembali. Tapi aku mohon biarkan aku menyelesaikan urusan lebih dulu. Izinkan aku membawa pemuda ini ke satu tempat. Dia harus diselamatkan dari ancaman maut…."

"Wahai Peri Bunda, tidak pernah kutahu kalau kau bersahabat dengan pemuda asing yang datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Setahuku dia adalah sahabatnya Peri Angsa Putih…."

"Peri Sesepuh, izinkan kami pergi…."

Peri Sesepuh tersenyum. "Jika kau memikirkan keselamatan pemuda itu, biar aku yang membawanya. Katakan ke tempat mana aku harus pergi. Sementara kau boleh menyelesaikan urusan di tempat ini!"

Peri Bunda jadi bingung mendengar kata-kata Peri pimpinannya itu. "Peri Sesepuh, aku mohon…. Aku tak ingin merepotkanmu. Biar aku yang membawa pemuda ini…."

"Para Peri dari atas langit!" tiba-tiba Luhjelita berseru. Dari tadi dia sudah tidak sabaran melihat dan mendengar percakapan dua Peri itu. "Jika kalian hendak berbincang-bincang menyelesaikan urusan, cari saja tempat lain. Jauh-jauh hari tempat ini sudah kutetapkan sebagai tempat pertemuan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Harap kalian suka pergi dari sini!"

Peri Sesepuh yang merasa tersinggung mendengar kata-kata Luhjelita itu sunggingkan senyum mengejek lalu menjawab. "Luhjelita, gadis perayu lelaki! Kau rupanya! Apakah pertemuanmu dengan pemuda itu menyangkut urusan rayu merayu, urusan cinta murah? Atau kau hendak melanjutkan perbuatan aib yang kau lakukan bersamanya di dalam goa dulu?"

"Peri lancang mulut! Tidak kukira mulutmu sekotor itu! Kau berserikat dalam tuduhan! Aku ke bukit batu ini justru untuk membuktikan bahwa kalian bangsa Peri bukanlah makhluk suci dan baik!"

"Wahai, apa maksudmu gadis perayu?" tanya Peri Sesepuh.

"Aku akan membuktikan bahwa salah seorang Perimu yakni yang bernama Peri Angsa Putih adalah peri jahat yang bermaksud hendak membunuh pemuda asing itu dengan sekuntum mawar beracun! Tapi kenyataan diputar balik. Tuduhan diacungkan ke arahku! Sungguh keji dan busuk!"

Muka bulat gemuk dan keringatan Peri Sesepuh kelihatan berkerut. "Kau menuduh Peri Angsa Putih selagi dia tidak berada di sini untuk membela diri. Aku tidak bisa menerima tuduhan seperti itu! Karenanya kuharap kau dan kawanmu kakek sinting itulah yang segera angkat kaki dari bukit batu ini!"

"Peri Sesepuh! Aku ada di sini!" Tiba-tiba ada suara berseru dari balik sebuah batu besar. Di lain kejap muncullah Peri Angsa Putih. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya seperti sembab.

"Wahai! Sungguh tidak disangka kau rupanya telah ada di sini Peri Angsa Putih. Mengapa sengaja bersembunyi sejak tadi?"

Wajah Peri Angsa Putih menjadi bersemu merah.

"Maafkan saya Peri Sesepuh. Saya tidak ingin merusak suasana pertemuan antara Peri Bunda dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu," jawab Peri Angsa Putih pula. Kini wajah Peri Bundalah yang berubah merah.

"Peri Angsa Putih!" Peri Bunda menegur. "Ucapanmu seolah memberi kesan aku punya hubungan rahasia dan tidak baik dengan pemuda ini!"

"Aku tidak mengatakan begitu Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih. "Tapi aku memang ingin menyampaikan sesuatu yang bukan saja memberi kesan, tapi mungkin bisa membuktikan bahwa memang ada sesuatu yang hendak kau sembunyikan di balik pertemuanmu dengan pemuda itu!"

Peri Bunda maju dua langkah mendekati Peri Angsa Putih. Suaranya keras tapi bergetar ketika dia bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapanmu itu Peri Angsa Putih?"

Peri Angsa Putih meraba ke balik pakaian putihnya.

"Tunggu dulu!" Peri Sesepuh berseru lalu berpaling pada Luhjelita. "Gadis perayu, karena Peri Angsa Putih sudah ada di sini, aku memberi kesempatan padamu untuk membuktikan bahwa memang dia yang telah berniat jahat hendak membunuh pemuda asing itu dengan mawar kuning beracun!"

Luhjelita yang jadi kesal karena terus-terusan dipanggil dengan sebutan "gadis perayu" menjawab tak kalah ketus bahkan kurang ajar. "Peri gendut hidung pesek! Aku datang kemari membawa seorang saksi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting ini! Dia bersedia memberi kesaksian bahwa bukan aku yang melepas bunga mawar beracun di anak sungai. Bunga yang kemudian diambil oleh Wiro, diciumnya lalu membuatnya jatuh pingsan hampir sekarat"

Peri Sesepuh mendengus marah. Mukanya mengelam.

"Kakek sinting yang otaknya miring bagaimana mungkin bisa dijadikan saksi? Bicaranya saja pasti ngacok! Dari tadi kulihat kerjanya hanya menyanyi dan menari. Pakai celanapun dia tidak karuan!"

Di bawah batu berbentuk tonggak tinggi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting (yang palsu) bernama asli Labodong tertawa mengekeh. Dia goyangkan rebananya hingga mengeluarkan suara berkerincing keras.

Setelah menyanyi na… na… na… ni… ni… ni diapun berkata.

"Peri Sesepuh, waw… waw! Terima kasih kau telah memuji otakku yang miring, bicaraku yang ngacok serta celanaku yang kedodoran! Terima kasih, berarti kau sejak tadi diam-diam memperhatikan diriku! Ha…ha… ha! Wahai, sudah sejak lama tidak ada perempuan yang memperhatikan aku. Apa lagi seorang Peri sepertimu.

Terima kasih… terima kasih! Ha… ha… ha! Kau tahu wahai Peri Sesepuh, seorang saksi berotak waras terkadang bisa jadi sinting karena tekanan. Aku yang kau bilang sinting hari ini tengah berpikiran cerah! Aku ingat betul apa yang terjadi di tepi sungai kecil dulu itu karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.

Sobatku bernama Luhjelita ini memang bukan dia yang meracun pemuda itu dengan mawar kuning. Aku kebetulan berada di anak sungai saat itu. Jadi tahu betul hanya ada dua orang di situ yakni Peri kerabatmu bernama Peri Angsa Putih itu serta Luhjelita…. Ketika Luhjelita muncul di tepi anak sungai, pemuda itu sudah lebih dulu keracunan, pingsan sekarat sehabis mencium bunga mawar beracun yang konon hanya tumbuh di Negeri Atas Langit, negeri kalian kaum Peri…."

"Tidak semudah itu menerima kesaksianmu Pelawak Sinting!" tukas Peri Sesepuh, "Bisa saja Luhjelita telah lebih dulu meluncurkan bunga beracun itu ke dalam aliran sungai kecil. Lalu ketika pemuda itu pingsan dia muncul pura-pura hendak menolong…."

"Tidak, Luhjelita tidak muncul untuk menolong," memotong Si Pelawak Sinting. Lalu sambil melirik pada Luhjelita yang ada di sampingnya dia berbisik.

"Apa aku katakan pada Peri gendut itu kau kulihat dalam keadaan bugil, tengah menggerayangi bagian bawah perut di balik celana Wiro Sableng?"

"Jangan melantur! Kurobek mulutmu jika kau membuka rahasia yang satu itu! Yang jelas kau tahu aku tidak meracuni Wiro dengan bunga mawar kuning!" kata Luhjelita cepat.

"Pelawak sinting, jika tidak bermaksud menolong pemuda itu, lalu apa yang dilakukan Luhjelita?" bertanya Peri Sesepuh.

"Aku tidak tahu. Yang jelas ketika aku mendatangi dia lantas kabur. Aku kemudian menolong pemuda yang keracunan itu. Aku mengetuk pusarnya dengan gagang gayung hingga racun yang ada dalam tubuhnya larut ke bagian tubuh sebelah bawah, tidak memasuki jantung…."

"Pelawak Sinting berapa kau dibayar Luhjelita untuk memberi kesaksian palsu itu?" tanya Peri Sesepuh sambil sunggingkan senyum mengejek di mukanya yang gembrot keringatan.

"Aku tidak dibayar dan kesaksianku tidak palsu!"

jawab Si Pelawak Sinting lalu goyang rebananya beberapa kali. Kakinya bergerak-gerak menari dan dari mulutnya keluar suara nyanyi na… na… na… ni… ni…ni!

"Kalau kau tidak dibayar pasti kau sudah larut dalam peluk rayunya!" Yang berkata adalah Peri Bunda.

Luhjelita delikkan mata dan mendamprat. "Peri baju biru! Mukamu cantik tapi mulutmu kotor. Tubuh dan pakaianmu harum tapi hatimu busuk! Kalau kau tidak bisa membela Peri Angsa Putih jangan bicara serendah itu! Apakah begitu tata cara bicara kaum Peri di Negeri Atas Langit?"

"Aku tak perlu dibela karena memang bukan aku yang membuang mawar kuning beracun ke dalam aliran sungai!" Peri Angsa Putih tiba-tiba berkata seraya maju beberapa langkah hingga dia kini berdiri tepat di hadapan Peri Bunda.

Dari balik pakaiannya Peri Angsa Putih keluarkan dua kuntum mawar kuning yang telah layu. "Peri Bunda, aku tidak tahu kau akan berdalih bagaimana. Tapi dua kuntum mawar beracun ini aku temui dalam jambangan rotan di kamarmu!"

Di atas tiang batu Peri Sesepuh terkejut Peri Bunda sendiri pucat wajahnya. Luhjelita tak kalah kagetnya sedang Pendekar 212 melongo garuk-garuk kepala.

"Peri Bunda, jadi kau rupanya!" ujar Peri Sesepuh sambil geleng-geleng kan kepala.

Setan Ngompol ikut-ikutan gelengkan kepalanya.

"Peri secantik itu tidak sangka berhati begitu jahat!"

"Tapi apa alasannya dia hendak membunuh sahabat kita Wiro?" tanya Naga Kuning.

"Sahabat-sahabatku, kuharap kalian mau bersabar dan tidak berisik. Segala perbuatan yang tidak berdasarkan kasih antara sesama makhluk akan segera tersingkap…" kata Luhcinta. Ketiga orang itu sampai saat itu masih mendekam di tempat persembunyian mereka.

"Peri Bunda!" Dari atas tiang batu berujung lancip kembali Peri Sesepuh menegur. "Kau telah melakukan satu perbuatan sangat keji! Apa alasanmu berbuat begitu?!"

"Peri Sesepuh…." Peri Bunda gigit bibirnya sendiri.

Wajahnya masih pucat Dia pegangi dadanya dengan dua tangan lalu kepalanya digelengkan berulang kali.

"Kau tak mau menjawab. Tapi aku sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik perbuatanmu itu!

Kau sebenarnya mencintai pemuda asing itu. Kau tidak ingin kehilangannya. Kau sudah bertekad menghadapi malapetaka apapun asal kau bisa mendapatkan dia. Karena itu kau lebih dulu ingin mencelakai dan mengadu domba Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Jika pemuda itu menaruh syak wasangka pada mereka bukankah berarti kau mendapat jalan untuk merebut hatinya?!"

Mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu, Peri Angsa Putih mau tak mau membatin. "Itu sebabnya Peri Bunda ingin membawa Wiro ke Puri Bahagia. Dia ingin berdua-dua dengan pemuda yang dikasihinya itu. Sungguh tidak kuduga…."

Peri Bunda mendongak memandang ke arah Peri Sesepuh. "Peri Sesepuh…" desisnya. Lalu satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Peri Bunda. "Tidak…! Tidaaakkkk!"

"Apa yang tidak Peri Bunda.." hardik Peri Sesepuh.

***

 

LIMABELAS

 

WAJAH Peri Bunda yang tadinya pucat kini berubah merah seperti saga. Air mukanya tak kalah bengis dengan paras Peri Sesepuh.

"Tidaaaakkkk!" Peri Bunda kembali berteriak.

Teriakannya menggelegar di seantero malam, menggetarkan Seantero bukit batu.

"Peri Bunda! Jangan sampai membuat aku menjatuhkan tangan hukum dan kutuk saat ini juga! Lekas berlutut dan akui perbuatanmu!" Peri Sesepuh keluarkan suara keras lantang.

"Kau!"

Tiba-tiba Peri Bunda tudingkan jari telunjuk tangan kanannya tepat-tepat ke arah Peri Sesepuh. "Aku tidak berbuat! Bukan aku yang meracuni pemuda itu. Tapi kau! Kau Peri Sesepuh! Kau! Dua bunga mawar kuning beracun itu aku temukan dalam kamarmu! Sengaja aku ambil lalu aku simpan dalam kamarku! Ketika kejadian bunga itu hanyut di aliran anak sungai, bukankah kau juga berada di sekitar situ? Bahkan sempat bicara denganku? Waktu itu sebenarnya aku juga melihat dua kuntum bunga mawar ada di balik lipatan pakaian merahmu!"

Semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut besar. Luhcinta saking kagetnya sampai-sampai melompat keluar dari persembunyiannya. Diikuti oleh Naga Kuning dan Setan Ngompol.

Di atas batu wajah Peri Sesepuh pucat pasi seperti melihat setan. Mulutnya bergetar.

"Peri Bunda! Kau menuduhku? Kau sengaja hendak memutar balik kenyataan? Benar-benar busuk budi pekertimu! Kau layak kuhabisi saat ini juga!"

Selesai berkata begitu Peri Sesepuh kibaskan tangan kanannya ke bawah. Segulung cahaya merah menggelegar, menyambar ke arah Peri Bunda.

"Tunggu!" teriak Luhjelita.

"Tahan!" Pendekar 212 ikut berteriak.

"Peri Sesepuh! Jangan!" Peri Angsa Putih juga berteriak keras.

Namun Peri Sesepuh tetap terus menghantam. Larikan sinar merah menggelombang membuntal tambah cepat dan tambah dekat ke arah Peri Bunda.

Sementara Peri Bunda sendiri tidak melakukan sesuatu seolah pasrah dirinya hendak dibantai orang!

Terpaksa tiga orang itu bertindak cepat. Wiro, Luhjelita dan Peri Angsa Putih sama-sama gerakkan tangan kanan, menghantam ke atas.

Selarik sinar Jingga menderu dahsyat keluar dari telapak tangan Luhjelita. Selain menebar hawa panas pukulan ini sanggup membuat lawan menjadi lemas tak berdaya.

Dari tangan kanan Peri Angsa Putih melesat satu sinar putih. Inilah pukulan sakti yang disebut Membalik Langit Menggulung Bumi. Pukulan ini sanggup membuat setiap serangan lawan berbalik menghantam pemiliknya sendiri!

Sinar ke tiga yang mencuat laksana perak menyala menyilaukan mata dan menebar panas luar biasa adalah pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212.

"Bummm!"

"Bummm!"

"Blaarrr!"

Tiga dentuman dahsyat menggelegar di malam bulan purnama itu. Bukit batu laksana dilanda geluduk dihantam gempa. Batu-batu besar bergelundung bergemuruh. Beberapa orang keluarkan seruan tegang. Tiga batu hitam berbentuk tiang berujung lancip, termasuk dimana Peri Sesepuh sejak tadi berdiri tegak, keluarkan suara berderak. Lalu patah dan roboh berkeping-keping. Sosok Peri Sesepuh sendiri kelihatan mencelat tinggi ke udara. Pakaian merahnya terbakar hangus di beberapa tempat Walau kemudian dia mampu berjungkir balik dan melayang turun injakkan kaki di tanah namun tubuhnya tampak menghuyung. Rambutnya yang digulung berbusai riap-riapan. Wajahnya sepucat kain kafan. Pakaian merahnya hangus dan robek hingga dada, perut dan pahanya tersingkap bugil. Sang Peri sadar akan keadaan auratnya. Dia berusaha gerakkan tangan untuk menutupi tubuh. Tapi sepasang tangannya seolah kaku, sulit digerakkan!

Dari mulutnya perlahan-lahan keluar lelehan darah. Bentrokan kekuatan sakti dahsyat tadi membuat pendekar 212 Wiro Sableng terjengkang dan sesak nafas untuk beberapa saat Tangan kanannya kaku. Di bagian lain Peri Angsa Putih terpental dan jatuh tak jauh dari Luhcinta. Luhcinta segera memberi pertolongan.

Luhjelita sendiri saat itu tampak merangkak, berusaha berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu semburkan darah kental. Peri Bunda yang berada di dekatnya segera mendatangi.

Si Pelawak Sinting tampak kelabakan, melangkah kian kemari mencari-cari rebananya yang tadi mental akibat letusan-letusan dahsyat Celananya yang selalu kedodoran saat itu bukan cuma kedodoran tapi sudah merosot sampai ke bawah paha. Dia tidak sadar kalau auratnya tersembul ke mana-mana.

Naga Kuning tersandar di sebuah batu, pucat pasi dan sulit bernafas. Tapi tawanya kemudian tersembur ketika melihat keadaan Si Pelawak Sinting yang pakaiannya tidak karuan disebelah bawah. Akan halnya Si Setan Ngompol, kakek satu ini terbadai di tanah dalam keadaan menungging. Mulutnya komat kamit entah mengucap apa. Di sebelah bawah air kencingnya mengucur tiada henti!

Sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mendekati Peri Sesepuh. Sang Peri memandang dengan mata besar dan wajah membayangkan rasa takut

"Wiro, aku mengaku salah…. Kalaupun kau bunuh aku saat ini aku menerima pasrah…" kata sang Peri dengan suara sangat perlahan dan bergetar.

"Peri Sesepuh, apa benar kau yang hendak membunuh saya dengan mawar beracun itu?" bertanya Pendekar 212.

Peri Sesepuh semburkan ratap tangis lalu anggukkan kepalanya berulang kali. Suara tangisnya semakin menjadi-jadi ketika Wiro pegang bahunya dan bertanya dengan suara lembut, sepertinya tanpa ada rasa marah, tanpa ada rasa dendam. Hal ini membuat hati Peri Sesepuh serasa disayat-sayat.

"Memang… memang aku yang melakukannya…"

ucap Peri Sesepuh mengakui dan kembali menganggukkan kepala berulang kali sambil tekap wajahnya dengan dua tangan. Murid Sinto Gendeng terdiam lalu garuk-garuk kepalanya.

"Kenapa Peri Sesepuh…. Kenapa kau melakukan itu? Apakah saya pernah membuat dosa padamu? Apakah saya pernah menyakiti hatimu?"

"Tidak… Kau tidak pernah berbuat salah apaapa…. Kau lelaki paling baik yang pernah aku kenal…."

"Atau mungkin karena kau juga ikut mengira aku telah berbuat aib dengan Luhjelita seperti yang kini tersebar luas di seluruh negeri? Tapi bukankah kabar jahat itu tersiar kemudian, setelah peristiwa mawar beracun itu?"

"Wiro, aku tahu kau orang baik. Aku juga yakin kau tidak berbuat sekeji itu terhadap siapapun, juga terhadap Luhjelita…."

"Lalu Peri Sesepuh, kenapa kau hendak meracuni saya? Apa alasanmu? Kau belum menjawab…."

Tangis Peri Sesepuh semakin keras. Bahunya berguncang-guncang.

"Peri Sesepuh, apakah kau mau menjelaskan alasanmu hendak meracuni saya?" Wiro kembali bertanya.

Setelah tangisnya reda perlahan-lahan Peri Sesepuh turunkan ke dua tangannya. Dia menatap pada Wiro, lalu pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Dia juga melayangkan pandangan pada Luhjelita dan Luhcinta. Dalam sesenggukan dia berucap.

"Aku Peri tertinggi di Negeri Atas Langit. Tapi nasibku sangat malang. Aku adalah Peri dengan wajah dan tubuh paling buruk. Aku tak mungkin bersaing dengan Peri lainnya, terutama Peri Bunda dan Peri Angsa Putih…."

"Kau Peri pimpinan mereka, kau peri panutan. Mereka bisa disebut sebagai Peri-Peri asuhmu. Lalu mengapa kau mengatakan tidak mungkin bersaing dengan mereka? Apa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Wiro.

"Mereka memiliki paras wajah sangat cantik. Sedang aku… kau lihat sendiri. Mana mungkin aku bersaing memperebutkan dirimu…."

"Memperebutkan diriku?" ujar Wiro heran.

Peri Sesepuh usap wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat lalu mengangguk. "Walau kami saling merahasiakan, tetapi kami sama tahu bahwa kami bertiga sama-sama sangat mencintaimu! Cuma sayang, dalam keterbatasan diriku aku menempuh jalan salah. Aku ingin menyingkirkanmu. Aku berpikir, jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu maka dua peri itu juga tidak boleh mendapatkan dirimu!" Peri Sesepuh kembali menutup wajahnya dengan dua tangan lalu terisak-isak menahan tangis. Dia lalu memandang pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Kemudian menatap kembali pada pemuda di hadapannya.

"Dosaku besar nian. Bukan saja terhadapmu Wiro. Tapi juga pada dua kerabatku Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Juga pada gadis bernama Luhjelita itu. Perbuatanku sempat menyengsarakan dirinya hinga dia terkena tuduhan jahat. Wiro, juga kalian semua. Aku siap menerima hukuman. Kalian bunuhpun saat ini aku ikhlas menerima…."

Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede pandangi wajah Peri Sesepuh beberapa lamanya. Ada rasa hiba menyeruak di lubuk hatinya. Sambil memegang bahu sang Peri dia membungkuk dan berbisik.

"Peri Sesepuh, jangan katakan parasmu tidak cantik. Bagiku kecantikanmu tidak kalah dengan Peri Bunda dan Peri Angsa Putih. Cuma memang kau agak nakal…."

Sepasang mata Peri Sesepuh membesar. Lalu mulutnya menyeruakkan senyum. Tawanya keluar tidak tertahankan lagi.

"Eh, ada apa dengan Peri gendut itu!" kata Naga Kuning heran sambil menggamit Setan Ngompol."

Barusan dia menangis meratap habis-habisan. Sekarang malah tertawa…."

"Peri Sesepuh," Wiro berucap. "Kau tak perlu bersedih. Tak perlu memikirkan masalah ini berpanjangpanjang. Tidak ada dosa dan kesalahan yang harus kau tanggung. Saya memaafkan semua perbuatanmu…."

"Wiro…." ujar Peri Sesepuh, "apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru berucap?"

"Saya memaafkanmu," ulang Wiro.

Peri Sesepuh berseru keras lalu jatuhkan diri hendak memeluk dua kaki Wiro. Sang Pendekar cepat pegang bahu Peri Sesepuh. Susah payah dia mengangkat tubuh yang beratnya ratusan kati itu, membantu sang Peri berdiri. Peri Sesepuh kucurkan air mata dan lingkarkan tangannya ke punggung Wiro. Pendekar 212 tersenyum. Tangan kiri menepuk-nepuk bahu Peri Sesepuh sedang tangan kanan menggaruk kepala.

"Assssyyiiikkkk…" kata Naga Kuning sambil tertawa lebar. "Ini memang kesempatan bagus untuk memeluk si sableng itu. Lain saat bisa banyak yang cemburu!" Lalu bocah konyol ini berpaling pada Setan Ngompol. "Kalau kau ingin dipeluk Peri gembrot itu lekas dekati dia…."

"Bocah setan!" maki si kakek.

"Kami berdua juga memaafkanmu Peri Sesepuh!"

Peri Sesepuh lepaskan pelukannya di punggung Wiro dan memandang ke arah Peri Angsa Putih dan Peri Bunda yang barusan sama-sama berucap. Dengan berurai air mata dia melangkah menghampiri dua kerabatnya itu. Ketiga peri itu lalu saling rangkul bertangis-tangisan. Sambil mengusut air matanya Peri Sesepuh berkata.

"Kerabat-kerabatku, untuk sementara aku tidak akan kembali ke Negeri Atas Langit. Pimpinan negeri kuserahkan padamu wahai Peri Bunda…."

"Memangnya kau mau pergi kemana Peri Sesepuh?" tanya Peri Bunda.

"Aku tidak tahu. Mungkin aku perlu memencilkan diri bersunyi-sunyi di satu tempat. Entah sampai berapa lama." Peri Sesepuh lalu ciumi satu persatu kening dua kerabatnya itu. Sang Peri kemudian menghampiri Luhjelita dan cubit pipi gadis cantik ini dan berkata. "Aku tahu, waktu di tepi telaga kau menggerayangi pemuda itu bukan hendak mencelakainya.

Tapi kau tengah berusaha mendapatkan satu ilmu dahsyat. Kau tak usah kawatir, tiga tahi lalat yang ada di bawah pusar pemuda itu bisa kau dapatkan. Asal kau pandai dan tahu caranya!" Sementara Luhjelita terbelalak kaget mendengar ucapan yang tidak diduganya itu Peri Sesepuh tertawa cekikikan sambil melangkah menghampiri Luhcinta. Dia pegang dua tangan si gadis dan berbisik sangat perlahan hingga tak ada yang mendengar. "Kau yang paling beruntung diantara semua kami. Jika kelak kau mendapatkannya jangan lupakan diri kami. Kami ikut menitipkan kasih sayang kami untuknya dilubuk hatimu yang paling suci…."

"Aku… aku mendapatkan siapa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Luhcinta.

Sang Peri tersenyum lalu membisikkan satu nama ke telinga Luhcinta yang membuat gadis ini melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Sebelum pergi Peri Sesepuh layangkan senyum dan pandangannya pada Si Setan Ngompol, Si Pelawak Sinting dan Naga Kuning. Lalu dia berpaling sekali lagi pada Wiro. Sang Pendekar balas tersenyum. Lalu susun dua jari tangan kanannya di atas bibir kemudian layangkan cium jauh pada Peri Sesepuh. Peri gemuk itu tekap mulutnya menahan tawa tapi masih bisa membalas genit dengan kedipkan mata sebelum berkelebat lenyap.

"Si sableng itu!" kata Setan Ngompol. "Dia yang sebenarnya ganjen duluan! Jangan disalahkan kalau Peri Gendut itu sampai kecantol habis-habisan padanya!"

"Peri Sesepuh, kalau saja kakek sobatku ini yang kau pilih pasti urusan bisa beres dan kita bisa berhelat besar di negeri ini!" kata Naga Kuning pula sambil tepuk-tepuk perut Si Setan Ngompol.

Sambil terkencing-kencing karena perutnya ditepuk Setan Ngompol berkata. "Mana mungkin aku dapatkan peri gendut itu. Saat ini aku punya saingan berat! Lihat kakek berjuluk Pelawak Sinting itu! Dia sampai memperagakan diri menyembulkan anunya agar terlihat kejantanannya o!eh Peri Sesepuh. Padahal menurutku dia cuma punya sebuah terong rebus yang sudah penyok!" Saat itu Si Pelawak Sinting memang masih sibuk melangkah mundar mandir mencari rebananya. Sejak saudaranya Si Pelawak Sinting yang asli tidak memperbolehkannya membawa tambur kulit dan payung daun, dia terpaksa mempergunakan rebana berkerincing.

Semua orang yang ada di situ tertawa bergelak. Termasuk Peri Angsa Putih, Peri Bunda, Luhjelita dan Luhcinta malah wajah keempat mereka ini tampak bersemu merah dan palingkan muka ke jurusan lain, tak berani melihat ke arah Si Pelawak Sinting yang masih terus berjalan kian kemari tanpa sadar kalau bagian bawah tubuhnya terbuka melompong!

 

TAMAT

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler