Skip to Content

SEMUA KARENA CINTA

Foto Ramdan Linguis

SEMUA KARENA CINTA

Seorang pemikir Mazhab Frankfurt Erich Fromm dalam bukunya yang berjudul “The Art Of Loving”[1] menegaskan pentingnya relevansi cinta untuk terdisintegrasi oleh ketimpangan sosial. Bagi Fromm, disintegrasi itu adalah cerminan dari eksistensi manusia yang tidak menjadi solusi bagi masyarakat kapitalis modern yang telah dapat mengatasi keterpisahan (separateness) ketika cinta itu sendiri tidak mungkin dibahas tanpa menganalisa eksistensi manusia itu sendiri. Menurut Fromm, ”Teori apapun tentang cinta harus mulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia”.

Peradaban yang baik ditentukan oleh hubungan manusia yang dihiasi dengan penuh perhatian (mutual understanding) dan penghormatan. Fromm, misalnya, memberikan contoh mengenai hubungan dua orang yang sedang jatuh cinta. Tentunya mereka berdua saling memperhatikan dan cinta mereka bisa menyatukan individu dalam sebuah integrasi sosial. Cinta tidak membedakan ras, suku bangsa, agama, dan kelas sosial karena cinta membuat segalanya menjadi mungkin.

     Cinta adalah jawaban bagi problem eksistensi manusia yang berasal secara alamiah dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan “meninggalkan penjara kesepian”. Tetapi penyatuan dalam cinta melebihi suatu simbiosis karena “cinta yang dewasa adalah penyatuan di dalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang”. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan “yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya”.

     Sayangnya Cinta di era kapitalisme sekarang hanya menjadi barang dagangan (komoditas). Begitu banyaknya kisah cinta diumbar dalam lagu-lagu, sinetron, dan lain-lainnya. Karenanya komersialisasi Cinta semacam itu justru menunjukkan bahwa kata cinta dan prakteknya dalam hubungan sosial mengalami degradasi.

Ibn‘Arabi membedakan cinta menjadi tiga macam,[2] yaitu:

  1. Cinta Ilahiah (hibb Ilahi)

            Yaitu cinta Khalik kepada makhluk di mana Dia menciptakan diri-Nya, yaitu menerbitkan bentuk tempat Dia mengungkapkan diri- Nya, dan sisi lain cinta makhluk kepada Khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali kepada Dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi di antara pasangan Ilahi manusia.

 

  1. Cinta Spiritual (hibb ruhani)

            Cinta yang terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud di mana bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa bayangan (citra, image) itu adalah dia sendiri. Inilah cinta yang tidak mempedulikan, mengarah, atau menghendaki apapun selain kekasih agar terpenuhi apa yang dia kehendaki.

  1. Cinta Alami (hibb tabi’i)

            Yaitu cinta yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa mempedulikan kepuasan kekasih.

Dilihat dari segi subjek dan objeknya, cinta dapat dibagi menjadi dua macam,[3] yaitu :

  1. Cinta Allah Kepada Hamba-Nya

            Yaitu kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hambanya, sebagimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi cinta lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Inilah yang disebut rahmat.Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ikhwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.

  1. Cinta Hamba Kepada Allah

            Yaitu keadaan yang dialami dalam hati si hamba yang mendorong untuk ta’zhim kepada Allah, mempreoritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduan yang mendesak kepada-Nya, tidak menemukan kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya dan mengalami keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir terus-menerus kepada-Nya di dalam hatinya.

            Dalam ajaran agama Islam juga dikenal dua cinta, yaitu cinta majazi dan cinta hakiki. Cinta majazi adalah cinta yang mendefinisikan dirinya sendiri dalam kesenangan dan kenikmatan badani, atau kenikmatan ragawi, atau kenikmatan jasadi. Tujuannya adalah “pemuasan” nafsu. Sedang cinta hakiki ialah apa yang sebaliknya dari cinta majazi. Pusat cinta hakiki bukan ego atau nafsu individual, tetapi pusat cinta tersebut adalah yang Ilahi.

 

 

                [1] Form, Eric, The Art Of Living, (Jakarta :  PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014)

                [2] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, (Yogyakarta : Lkis, 2002) ha. 187.

                [3] Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi Perpestif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001), hal. 120.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler