Skip to Content

DI MANA PUISI JATUH

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

DI MANA PUISI JATUH

 

Puisi, setelah digubah lalu diunggah bisa diibaratkan dengan biji-biji benih yang ditaburkan dari ketinggian. Melayang-layang diayun angin, semilir, dan badai, bahkan puting beliung lalu jatuh tak terarah.

 

Jika jatuh di air bisa jadi benih tadi mengambang karena ringannya dan ketika puncak basahnya tercapai maka benih itu akan tenggelam dan dihanyutkan arus entah kemana.

 

Jika jatuh di api bisa dipastikan benih itu dalam sekejap terbakar hangus lenyap tak meninggalkan bekas.

 

Jika benih itu tetap bermain dengan angin maka benih itu melayang tak karuan terombang-ambing. Angin memainkannya sehingga tidak punya kesempatan untuk singgah di tanah.

 

Jika benih itu jatuh di tanah kering tanpa air bisa jadi benih itu akan menghitam kekeringan dan tak ada harapan akan tumbuh menjadi tunas.

 

Jika tanah itu kebanyakan air maka benih itu akan membusuk.

 

Demikianlah kira-kira nasib sebuah gubahan.

 

Lalu bagaimana gubahan itu mempunyai nilai? Harus jatuh di tempat yang bagaimanakan agar benih yang dijatuhkan itu tumbuh, subur, berbunga, dan berbuah?

 

Jika benih jatuh di tempat yang seimbang besar harapan akan tumbuh sebagaimana mestinya. Benih jatuh di tanah yang keadaan airnya cukup untuk mengantar tumbuh dan hidup sang benih, anginnya seimbang, panas mataharinya juga seimbang, benih akan tumbuh wajar hingga berbuah.

 

Bagaimana dengan sebuah gubahan –misalnya puisi-yang telah digubah dengan sepenuh hati oleh penyairnya?

 

Andai air diibaratkan sebagai kemampuan menghayati, tanah sebagai kekayaan unak-anik kebahasaan, api diibaratkan sebagai semangat untuk menggeluti dan mendalami dunia perpuisian, dan angin diibaratkan sebagai kebesaran hati untuk menerima perbedaan, maka ada 4 syarat agar puisi bisa hidup.

 

Jika puisi dibaca oleh seseorang yang tidak punya kemampuan menghayati karena ia hanya sekedarnya saja, dan ini karena ia tidak mumpuni dalam kosakata, dan seseorang itu menutup hati terhadap perbedaan maka dalam pikiran dan perasaan orang itu, puisi yang dibacanya tidak lebih dari secari kertas pembungkus terasi.

 

Satu saja dari 4 syarat itu ada pada diri pembaca maka puisi akan menjadi sesuatu dalam pikiran dan perasaannya.

 

 

202012020928 Kotabaru Karawang

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler