Skip to Content

JIKA PUISI ADALAH SUARA HATI

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

JIKA PUISI ADALAH SUARA HATI

 

Lilik Puji Astutik, untuknya aku pernah membuat puisi akronim. Aku ingin mengunggah puisi akronim itu tapi kecari dalam arsip tidak ketemu.

 

Berbeda dengan Suyatmi yang lebih sering menggubah 437. Lilik Puji Astutik lebih banyak menggubah dalam bentuk 4334. Mendekati 100 atau mungkin lebih dari 100.

 

Dari sekian banyak yang bergulat mencoba 4334 dan 437 yang produktif dalam artian sering mengunggah ada 3 orang yaitu Ifa Arifin Faqih, Suyatmi, dan yang ini, Lilik Puji Astutik.

 

Di Jendela SAstra Media Sastra Indonesia karya 3 orang ini sudah dibaca ribuan kali. Terutama Lilik Puji Astutik. Dia bahkan sudah mengalahkan saya dalam hal jumlah pembaca puisi-puisinya.

 

Dari sinilah saya ingin memulao bicara tentang puisi gubahan Lilik Puji Astutik. Seyogyanya dengan fans yang ribuan LPA tidak akan kesunyian. Ia seharusnya tertawa gembira, Banyak orang di sekelilingnya meski hanya di dunia maya.

 

Tapi puisinya berkata lain. Hampir semua puisinya bernada sunyi. Dari puisi-puisimua –karena ia pandai merangkai kata- kita akan ikut merasakan kesunyian yang dirasa oleh LPA.

 

Meski tidak memberi kode pada puisinya, LPA ingat betul puisi gubahannya yang telah diunggah ke Jendela Sastra. 60 katanya. Dan kembali saya tulis bahwa kebanyakan bernuansa sunyi.

 

Kita tidak tahu kenapa kesunyian begitu terasa. Atau hanya saya saja yang merasakan itu. Karena bisa jadi kesunyian LPA tidak sampai ke perasaan pembaca lainnya.

Beda dengan aliran sungai yang hanya punya satu muara saja maka puisi bisa punya banyak muara. Dan muara-muara itu adalah hati pembacanya.

 

Puisi yang penggubahnya telah jungkir balik menulis dengan segenap perasaan, telah terasa sebagai indah oleh penggubahnya belum tentu demikian ketika sampai ke pembacanya.

Berikut ini bebeapa puisi LPA yang menurut saya layak untuk dibaca. Jika puisi adalah suara hati maka kita bisa katakana ini kesunyian Lilik Puji Astutik.

 

 

202010212016 Kotabaaaaru Karawang

 

 

 

AKHIRNYA SENDIRI  

 

 

Daun daun berjatuhan satu satu

Selangkah bersama jalannya waktu

Berterbangan tiada arah bersama debu

Pergi entah kemana bersama angin lalu

 

 

Akhirnya semua menjadi sepi

Gersang saat melihat mengiris hati

Mengapa ketakutan selalu berteman sunyi

 

 

Akhirnya memang harus sendiri

Satu satu pasti akan pergi

Kita pasti akan menyusulnya nanti

 

 

Daun daun berjatuhan satu satu

Perlahan kita kembali pada beku

Dingin yang menyusup tertelan waktu

Entah kembali ke arah mana yang tertuju

 

 

Krian 20 Oktober 2020

 

 

DAN 

 

 

Dan ketika hatiku mulai terluka

Seribu doa telah kupinta

Agar ikhlas diri menerima

Segala keputusan yang ada

 

 

Bukan hasrat ingin berlari

Mengapa cerita terulang kembali

Kenyataan ini terasa pahit di hati

 

 

Dan kenangan itu selalu tinggi dalam ilusi

Menari nari sendiri di lembaran diksi

Hingga tersayat luka dalam barisan puisi

 

 

Dan telah kuterima kenyataan

Walau kadang rasaku penuh pemberontakan

Walau kadang hatiku terus ingin berlarian

Aku tetap bertahan di sini dengan kesetiaan

 

 

Krian 19 Oktober 2020

 

 

 

 

SEBELUM TIDUR PANJANGKU

 

Setiap detik terliputi keresahan

Entah pada bagian mana ada kedamaian

Tak berjeda segala yang kurisaukan

Semua terasa hampa dalam kegelisahan

 

Aku hanya ingin semua terselesaikan

Sebelum aku tidur pada alam keabadian

Aku ingin lunasi semua kewajiban

 

Aku tak ingin ketakutan

Saat tanah memelukku dalam kedinginan

Akupun telah relakan tubuh rentaku berbaring sendirian

 

Sebelum tidur panjangku

Kan kulepas semua ketidakberdayaanku

Aku rela ikhlas kembali padaMu

Syurga atau neraka aku pasrah pada semua keputusanMu

 

 

Krian 17 Oktober 2020

 

 

 

 

SENJA BERKABUT UNGU 

 

Perlahan mentari kembali ke peraduan

Sinar jingga elok di sudut pandangan

Merayu serumpun bambu di ujung pegunungan

Memeluk rindu ilalang kering yang berhamburan

 

Duhai kelana sang puja dalam rasa

Kembalilah peluk jiwa nan hampa

Agar tak lagi mengusik rindu dalam dilema

 

Senja kelam berkabut ungu

Saat rindu mulai berpacu dengan waktu

Ingin sudahi agar tak melayu

 

Perlahan kutinggalkan semua harapan

Agar yakin pada suatu kenyataan

Bahwa hadirmu hanya sebuah bayangan

Yang menjadikan aku sebagai pesakitan

 

 

Krian 12 Oktober 2020

 

 

 

 

HATI YANG TERPIKAT 

 

 

Hati semakin terpikat

Rindu semakin melekat

Rasa semakin begitu sarat

Semoga hati teguh tak berkhianat

 

 

Duhai hati mengapa terus berlari

Mengejar yang jadi tambatan hati

Walau diri telah terikat janji suci

 

 

Dari bibirmu selalu terlantun kalam suci

Hingga diri ingin bersanding menemani

Walau tak mungkin kau kumiliki

 

 

Angin teduh datang menyapa

Menghadirkan gelisah yang merejam di dada

Rindu tak jua berakhir dengan jumpa

Karena semua hanya hadir celoteh saja

 

 

Krian 10 Oktober 2020

 

 

AKU PINJAM  BAYANGANMU

 

 

Senja mulai hadirkan bayangan yang menggoda

Ingin rasanya memeluk dalam dekap mesra

Walau hanya sekedar dalam imajinasi saja

Kau sempurna membuat aku menggila

 

 

Ingin rasanya tenggelam dalam teduh matamu

Walau hanya sekedar ilusi semu

Ternikmati segala desiran halus yang menjamu

 

 

Mungkinkah rasa ini tak pantas untukku

Tapi siapa yang bisa hentikan hasrat yang melaju

Ingin mendekap mesra penuh rindu

 

 

Aku pinjam sesaat bayanganmu

Untuk mengobati segala rindu yang menggebu

Tak usah kau datang padaku

Cukup kirim senyum lewat angin lalu

 

 

Krian 9 Oktober 2020

 

 

UDARA SEMAKIN BERBISA

 

 

Dedaunan kering mulai terbakar

Api besar dan menyambar

Terlahap pula semak belukar

Yang berada di tepian melingkar

 

Panas api penuhi rasa

Asap pengap penuhi udara

Apipun merah menyala membara

 

Angin menerbangkan debu ke angkasa

Hitam pekat awan tak berpelita

Sepi senyap udara semakin berbisa

 

Kembali kebakaran merajalela

Hanya karena keserakahan sang penguasa

Hutan dibabat habis di ganti dengan sawit

Akhirnya rakyat sekitar yang menjadi sakit

 

Krian 4 Oktober 2020

 

 

TEMANI AKU WALAU HANYA BAYANGANMU   

 

Merintih sendiri di sudut sunyi

Sepi menepi tiada yang menemani

Hati terus saja ingin berlari

Walau telah kuikat dengan janji suci

 

Mengapa aku terus merindu

Bila engkau hanyalah bayangan semu

Mengapa terus berharap bila semua palsu

 

Temani aku walau hanya bayanganmu

Dekap aku biar aku bisa merasakan hangatmu

Walau semu kunikmati segalanya dalam gairahku

 

Terhempas rasa saat kembali pada nyata

Menangis menjerit tiada guna

Telah lama kita terpisah jarak juga raga

Mencari entah kau berada di alam mana

 

Krian 20 Oktober 2020

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler