Perasaan adalah hal pertama yang harus ada dalam hati seseorang untuk menggubah puisi. Tanpa perasaan tidak mungkin lahir gubahan, Bukan hanya puisi. Semua karya sastra bahkan di luar karya sastra memerlukan adanya rasa sebagai modal utama penciptaan. Tentu saja kedalaman dan kedangkalan rasa seseorang akan sangat tampak pada hasil gubahannya.
Perasaan yang pada awalnya merupakan sebuah keadaan dan berada dalam suasana “awang-uwung” memerlukan objek pemantik untuk menjadi kata yang akan menjadi penghantar lahirnya menjadi kalimat-kalimat untuk disusun dalam bait demi bait yang hasil akhirnya adalah puisi.
Objek pemantik –mungkin bisa juga disebut inspirator- bisa berbentuk apa saja. Bisa keadaan nyata bisa juga yang bersifat khayalan. Puisi APA LAGI di bawah ini adalah arsip objek pemantik yang pada umumnya menjadi inspirator bagi para penggubah puisi.
APA LAGI
Lewat apa lagi aku bisa bercerita tentang rindu dan cinta
Tangkai kelopak tajuk benang sari dan putik telah kupetik
Langit bumi tanah air sungai daratan danau dan samudra
Hingga cerah bersinar mendung hujan lebat dan rintik-rintik
Api asap panas dahaga bebatuan padang pasir jadi ilham
Sinar mata lentik alis sungging senyum tersipu malu
Dini hari pagi siang tengah hari sore dan malam
Wajah dada pinggang pinggul paha betis telapak dan kuku
Detak jantung tulang sumsum desir darah otot kekar
Sayu sipi pejam melotot wajah indah muka sangar
Rambut panjang pendek keriting ikal dada kecil dada besar
Sunyi bukit riak air gelap gua kabut embun ramai pasar
Tunda dulu ah, aku tunda puisiku di pilar jembatan saja
Barangkali saja hantu tuyul kuntilanak ikut membaca
Setelah itu berbondong-bondong datang mengetuk pintu
Dengan suara sengau berkata “jadikan kami ilhammu”
201607271153 Kotabaru Karawang
Seindah apapun objek pemantik dalam perasaan penggubah puisi tidak akan menghasilkan puisi yang bernas jika tidak didukung oleh kekayaan kosakata dalam benak seorang penggubah puisi. Para penulis yang miskin semangat membaca, para penulis yang angkuh yang merasa cukup dengan apa yang sudah ada dalam kerja otaknya tidak akan pernah bernas karyanya.
Jadi sangat penting adanya keseimbangan antara kerja otak yang berpikir dan kerja hati yang merasa agar tercipta karya yang pantas untuk disebut sebagai puisi. Bukan asal tulis saja.
Demikian pengantar singkat untuk 3 puisi berikut ini. 3 puisi yang objek pemantiknya sama, yaitu mata, payung, dan lidi.
202007150834 Kotabaru Karawang
PAYUNG MATA LIDI
Ada payung pelangi indah menaungi sebuah hati
Hati yang rindu pelukan erat namun takut didekap
Kadang terapung kadang melayang dibuai sunyi
Sesekali khayalnya melesat terbang tanpa sayap
Ada mata yang menatap memancarkan berjuta kata
Mata yang bicara tentang pemilik rahasia cinta
Bibir kaku lidah kelu tak kuasa mengungkap rasa
Ada lidi terikat erat menahan gejolak hasrat
Hasrat membubung gila menerjang sekat-sekat
Payung lidi dan mata lelah membaca sebab akibat
Payungmu matamu lidimu pelangiku bisuku hasratku
Bersama mengeja rindu dan cinta sepanjang malam
Jika siang tiba selalu ada pertanyaan baru
Biarlah tanpa jawaban biarlah berlalu semua kelam
201905182041_Kotabaru_Karawang
LIDI PAYUNG MATA
Lidi terikat kini terurai lepas satu satu menusuk hati
Karatnya racun berbisa menyiram dinding yang luka
Darah menjadi nanah luka parah tak pernah sembuh lagi
Borok bernanah kini bertambah pedih tersiram cuka
Payung terlipat tergulung rebah di sudut gelap
Tak lagi menaungi payung kini hanya pendamping senyap
Sepi pada malam panjang menyiksa membunuh semua harap
Mata yang melirik tajamnya beralih ke mata badik
Kilatnya berubah menjelma menjadi lilitan mencekik
Putus nafas lidah menjulur dan tak bisa memekik
Dimana madu yang dahulu kemana perginya rindu
Mengapa buluh perindu menghantar isak dan sedu
Bagaimana bisa langit mendadak hitam hilang biru
Dinding hati luka berdarah bernanah bersaksi bisu
201908201024_Kotabaru_Karawang
MATA LIDI PAYUNG
Aku bertanya hai mata engkau melirik siapa
Kalimat apa yang akan kau lukis dengan tajam
Kekasihmu atau dinding hati tak berupa
Yang menyimpan rindu pada siang dan malam
Aku bertanya hai lidi dengan tali apa diikat
Hingga tampak sebagai sebuah dekapan erat
Apakah dengan cinta dan rindu yang saling lekat
Aku bertanya hai payung siapa yang engkau naungi
Hingga tampak setia meski ramai berganti sunyi
Apakah mega berarak langit biru atau pelangi
Mata lidi dan payung membisu seribu bahasa
Tanya tak berjawab gayung tidak bersambut
Karena mata lidi dan payung hanya untaian kata
Bukan basah embun pagi dalam selimut kabut
201912052200_Kotabaru_Karawang
Tulis komentar baru