Skip to Content

menghimpun kabut

Foto alfia rochmatullah
seperti biasa, wanita itu menghampiriku dari bias jendela asrama di kala sang fajar menyapa. tetapi anehnya semakin kudekati semakin ia menjauh pergi beriring noktah kabut yang kian menipis ditelan sang surya.
sempat pula aku mencoba berbicara dengannya saat dia tengah sendiri duduk di tepi danau sarangan, namun bagaimana pun caraku untuk meraihnya aku hanya mampu menatapnya dari bias air yang memantulkan wajahnya, pun nihil hasilnya, saat aku bertanya seddang apa dirinya? aku hanya mendapati tangisnya yang mengisak mengiris sukma.
di pagi yang lain aku mencoba untuk kembali menemukannya, dan memang benar adanya, ku lihat dia dengan senyum manisnya menyambutku dengan penuh hangat yang tak dapat ku jabarkan bagaimana itu terasa. sebenarnya ingin ku balas senyum itu dengan peluk hangatku padanya, tetapi aku sadar bahwa aku hanya dapat meraihnya sebagai bias, jadi kuputuskan untuk kembali tersenyum padanya. tetapi tunggu, apa tadi aku bilang bahwa dia tersenyum? mungkin itu adalah pertama kali aku menjumpai senyumnya.
"dinda, ayo jama'ah, malah senyum - senyum sendiri dekat jendela", suara indah memaksaku untuk beranjak meninggalkan wanita itu.
"ah indah, kamu mengganggu pertemuanku dengan teman baruku".
"teman baru? siapa?" tanya indah yang terlihat bingung.
"itu yang ada di luar jendela, ayo ku ajak kamu bertemu dengannya!"
ku tarik tangan indah menuju jendela tempat aku berjumpa dengan wanita itu di setiap paginya.
"siapa? dimana?" indah menatapku penuh heran.
"dia, dia yang ada tepat di sebelahmu." jawabku sambil menunjuk ke arah wanita itu.
"dinda, aku tahu apa yang terjadi padamu, tapi kamu harus bangkit kawan... sudahlah shalat subuh dulu yuk."
indah menarik tanganku untuk bergabung dengan barisan jama'ah shalat subuh. aku heran mengapa indah tak dapat melihat wanita itu, atau mungkin indah yang memang tak dapat memahami apa yang kami rasa. hmm, sudahlah toh aku tak perlu memikirkannya.
pagi ini aku ada jam kuliah pagi, maka jam 7 tepat aku sudah beranjak meninggalkan asrama. jalanan menuju kampus belum sepenuhnya tercemari polusi kendaraan, jadi aku masih dapat merdeka menghirup nafas dalam - dalam. tetapi nampaknya ada seseorang yang mengikuti tiap dera langkahku, dengan cekatan aku pun mengambil posisi siaga, ku pandangi tiap sudut sambil memasang tajam telingaku.
namun syukurlah kecurigaanku tak lagi berarti, ternyata wanita itu yang memata - matai langkahku sedari tadi. aku pun tersenyum padanya setelah ku temukan biasnya di salah satu gedung perkuliahan.
"dinda, ayo masuk, mengapa kamu hanya berdiri di depan lift?" tanya indah sambil menarikku ke dalam kelas.
"aku bertemu wanita itu lagi ind, dia mengikutiku sampai ke kampus."
"wanita mana? siapa? akhir - akhir ini kamu aneh din, kamu seperti..."
"gila maksudmu!? aku benar - benar melihat wanita itu ind, aku memang tak tahu dia siapa dan aku tak pernah menyentuhnya, tapi dia ada. aku berani bersumpah untuk hal itu."
aku berusaha meyakinkan indah yang memang sudah tak percaya dengan kata - kataku tentang wanita itu.
"semua ini gara - gara anas kan din? laki - laki itu yang membuatmu seperti ini, iya kan din?"
otakku seolah kacau saat indah menyebut nama anas, laki - laki yang aku cintai sekaligus ku benci. aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku sendiri, aku hanya menangis, menangis, dan menangis, lalu semua gelap, hanya ada aku dan fatamorganaku sendiri.
tubuhku kaku, kepalaku rasanya enggan untuk diangkat. namun ku coba memaksa kedua mataku untuk berani menatap lagi dunia yang kejam ini.
namun nampaknya semua masih sepi, hanya ada aku dengan selang yang terhubung di pergelangan tanganku di ruangan hening berwarna putih ini. ku telusuri tiap sudut ruang ini, hanya hampa yang ku temukan tanpa jeda warna yang berbeda. tak lama berselang ku dengar seseorang tengah membuka pintu yang ada di pojok ruangan ini.
nampak seorang laki - laki tengah menujuku dengan tatapan teduh dan senyum lembutnya. laki- laki ini tak mampu ku deskripsikan bagaimana dirinya, aku hanya ingin menangis saat dia semakin dekat menghampiriku. laki - laki yang membuat diriku bermain dengan bayangku sendiri, bayangku yang rapuh yang terbias dalam cermin, ada, terlihat, tapi tak dapat tersentuh, aku yang rapuh, bukankah itu lebih menyakitkan?
"mengapa  tak kau katakan dari dulu? mengapa aku harus menunggu yang tak pasti baru aku mengerti?" dia berkata dengan nada suara yang terbata, menatapku penuh sesal akan sesuatu yang tak dapat dia pahami.
"lantas apa aku tak layak untuk kau cintai" jawabku sambil menatap tajam kedua matanya yang sembab.
"aku mencintaimu dinda, tapi aku hanya takut tak layak untukmu."
"kamu lebih kejam dari itu, kini kamu biarkan aku rapuh sendiri dalam penyesalan mengapa tak ku ungkapkan bahwa aku mencintaimu? lalu mengapa tak kau saja yang ungkapkan itu padaku? dan adilkah jika kini hanya kau yang bahagia dengan wanita yang telah kau pilih sedang aku harus menahan cinta yang tak layak ku peruntukkan untukmu?"
"lalu apa yang harus aku lakukan untukmu sedang aku telah beristri dinda?"
"nikahi aku juga mas anas..."

cerita ini terinspirasi pada kisah cinta para demonstran yang ditinggal nikah kekasihnya, maaf saya terlalu mendramatisir ceritanya, dan saya ambil dari sudut pandang wanita :D

CTRL + Q to Enable/Disable GoPhoto.it
CTRL + Q to Enable/Disable GoPhoto.it

Komentar

Foto :)

Sungguh inspiratif cerpen ini

Sungguh inspiratif cerpen ini :)

Foto Beni Guntarman

Romantika...

romantika kehidupan
penuh dengan warna-warni
fatamorgana tidak pernah memberikan apa-apa
imajinasi membangun dunia dengan caranya sendiri!

Beni Guntarman

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler