Oleh: Alysha Saina Tantri - SMA Negeri 1 Atambua
Akhirnya, semua perjuanganku berakhir tanpa hasil. Waktu, perasaan, harapan—semuanya sia-sia. Kupikir aku cukup kuat untuk ini, tapi nyatanya.
Hai, namaku Ellnavier Navendarana. Teman-temanku biasa memanggilku Vie. Mungkin kau akan heran kenapa aku merasa begitu hancur. Tapi, biarlah aku ceritakan, agar mungkin kau bisa mengerti.
Kisah ini dimulai saat aku pertama kali masuk SMA. Dengan seragam baru dan semangat yang menggebu, aku melangkah penuh harap ke sekolah favoritku. Entah kenapa, aku merasa ada yang istimewa menantiku di sini.
Seminggu setelahnya, aku melihatnya. Sosok itu berdiri di ujung lorong, bercanda dengan teman-temannya. Wajahnya teduh, sorot matanya tenang, seakan mampu menghapuskan kekhawatiran siapa pun yang melihatnya. Hatiku berdesir. Rasanya, tak ada orang lain yang bisa menandingi kehadirannya.
"Siapa dia?" gumamku, penuh rasa ingin tahu. Dan begitulah, sejak hari itu, pikiranku dipenuhi oleh dirinya. Aku tak tahu kenapa, tapi hatiku mendesak untuk mengenalnya lebih dalam, bahkan hanya sekadar tahu namanya sudah cukup bagiku.
Aku mencari tahu dengan berbagai cara. Setelah bertanya pada teman-teman, aku akhirnya tahu namanya. Nicholas Verzenka. Nama yang begitu asing, tapi langsung terasa akrab di hati. Sambil tersenyum, aku berpikir, "Nicholas… Nama itu begitu cocok untuknya." Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di pikiranku, "Bisakah kami berkenalan? Bisakah kami berteman? Atau bahkan… bisakah kami lebih dari itu?"
***
Hari-hariku berubah menjadi pencarian tanpa lelah tentang dirinya. Hingga akhirnya aku tahu bahwa Nicholas adalah kakak kelasku. Rasa penasaranku makin tumbuh, seakan ada sesuatu yang menuntunku untuk tahu lebih banyak lagi. Aku mencoba menunggu di dekat ruang kelas kakak-kakak kelasku, berharap melihatnya meskipun dari jauh. Dan akhirnya, aku melihatnya keluar dari kelas XI S7. Sederhana, tapi hatiku sudah begitu lega. Setidaknya aku tahu di mana dia berada setiap harinya.
Sejak hari itu, aku sering duduk di bangku yang cukup dekat dengan kelasnya, berharap bisa sekilas melihatnya lewat. Setiap dia melintas, dadaku selalu berdebar-debar, dan entah kenapa, itu sudah cukup untuk membuat hariku cerah.
Hari-hari berlalu, dan perasaanku semakin dalam. Hingga akhirnya, saat semester II sudah berjalan, hari itu tiba. Hari yang paling membahagiakanku—mungkin juga paling tak terduga. Nicholas menghampiriku di depan kelasku, tersenyum, dan memperkenalkan dirinya. Rasanya seperti mimpi yang tak pernah berani kubayangkan. Hatiku seperti dihiasi bintang-bintang, dan pipiku terasa panas. Aku tak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya.
Sejak saat itu, aku mulai bermimpi lebih besar. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, meski diam-diam. Aku mencari akun instagram-nya, berharap bisa tahu lebih banyak tentangnya. Namun, ternyata dia tak memakai media sosial itu. Sedikit kecewa, tapi aku tak menyerah. Aku mencoba mencari akun teman-temannya, berharap bisa melihat wajahnya di foto-foto mereka. Tapi sayangnya, usahaku sia-sia. Meski teman-temannya sering berfoto bersama, mereka tak pernah mengunggah foto-foto itu.
Hari demi hari, aku menanti momen-momen kecil untuk sekadar melihat senyumnya, mendengar tawanya, tanpa pernah ia tahu. Tapi semua usahaku, semua harapanku, hancur dalam sekejap saat aku melihatnya bergandengan tangan dengan seorang kakak kelasku yang lain—Zevannya, gadis cantik yang selalu terlihat sempurna. Hatiku langsung runtuh. Rasa sakit itu begitu dalam, seperti ribuan jarum yang menusuk setiap inci hatiku.
Aku ingin tahu lebih jauh, tapi aku takut pada kebenaran yang mungkin kudengar. Hingga suatu hari, kudapatkan kenyataan yang pahit: mereka sudah berpacaran sejak awal masuk SMA. Saat itu, semua harapan yang selama ini kugenggam, luruh begitu saja. Perasaanku yang dulu penuh warna, kini hanya meninggalkan luka yang dalam. Semua yang kubayangkan, mimpi-mimpi kecil yang kusimpan rapat, hanya bayangan semu yang tak pernah nyata.
***
Setahun berlalu. Aku sudah naik ke kelas XI, dan perasaanku pada Nicholas mulai pudar. Tapi setiap kali melihatnya, kenangan itu kembali—seolah-olah waktu berhenti di sana. Aku tersenyum pahit, bertanya pada diri sendiri, "Begini saja akhirnya? Semua perjuanganku hanya berujung pada kehampaan? Betapa bodohnya aku, menanti pada hati yang tak pernah bisa kumiliki."
Dan begitulah, aku belajar satu hal. Bahwa kadang, rasa yang indah tak harus menjadi nyata. Mungkin dia akan selalu menjadi kisah yang tak terselesaikan, sebuah kenangan yang kusembunyikan di hati, bersama harapan yang tak pernah terwujud.
***
Tentang Penulis:
Alysha Saina Tantri, lebih akrab disapa Alysha. Lahir di Kota Perbatasan RI-RDTL yakni Atambua Kabupaten Belu-NTT pada tanggal 19 September 2008. Cewek penyuka sastra ini sedang duduk di bangku SMA Negeri 1 Atambua—Kelas XI.5. Tinggal di Tenubot, Jln Marsda Adisucipto Manumutin. Penulis bisa dihubungi melalui WA 082147932484 dan emai Alyshatantrii@gmail.com, jika ingin berdiskusi tentang sastra (puisi, cerpen, dan lainnya).
Oleh: Alysha Saina Tantri - SMA Negeri 1 Atambua
Akhirnya, semua perjuanganku berakhir tanpa hasil. Waktu, perasaan, harapan—semuanya sia-sia. Kupikir aku cukup kuat untuk ini, tapi nyatanya.
Hai, namaku Ellnavier Navendarana. Teman-temanku biasa memanggilku Vie. Mungkin kau akan heran kenapa aku merasa begitu hancur. Tapi, biarlah aku ceritakan, agar mungkin kau bisa mengerti.
Kisah ini dimulai saat aku pertama kali masuk SMA. Dengan seragam baru dan semangat yang menggebu, aku melangkah penuh harap ke sekolah favoritku. Entah kenapa, aku merasa ada yang istimewa menantiku di sini.
Seminggu setelahnya, aku melihatnya. Sosok itu berdiri di ujung lorong, bercanda dengan teman-temannya. Wajahnya teduh, sorot matanya tenang, seakan mampu menghapuskan kekhawatiran siapa pun yang melihatnya. Hatiku berdesir. Rasanya, tak ada orang lain yang bisa menandingi kehadirannya.
"Siapa dia?" gumamku, penuh rasa ingin tahu. Dan begitulah, sejak hari itu, pikiranku dipenuhi oleh dirinya. Aku tak tahu kenapa, tapi hatiku mendesak untuk mengenalnya lebih dalam, bahkan hanya sekadar tahu namanya sudah cukup bagiku.
Aku mencari tahu dengan berbagai cara. Setelah bertanya pada teman-teman, aku akhirnya tahu namanya. Nicholas Verzenka. Nama yang begitu asing, tapi langsung terasa akrab di hati. Sambil tersenyum, aku berpikir, "Nicholas… Nama itu begitu cocok untuknya." Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di pikiranku, "Bisakah kami berkenalan? Bisakah kami berteman? Atau bahkan… bisakah kami lebih dari itu?"
***
Hari-hariku berubah menjadi pencarian tanpa lelah tentang dirinya. Hingga akhirnya aku tahu bahwa Nicholas adalah kakak kelasku. Rasa penasaranku makin tumbuh, seakan ada sesuatu yang menuntunku untuk tahu lebih banyak lagi. Aku mencoba menunggu di dekat ruang kelas kakak-kakak kelasku, berharap melihatnya meskipun dari jauh. Dan akhirnya, aku melihatnya keluar dari kelas XI S7. Sederhana, tapi hatiku sudah begitu lega. Setidaknya aku tahu di mana dia berada setiap harinya.
Sejak hari itu, aku sering duduk di bangku yang cukup dekat dengan kelasnya, berharap bisa sekilas melihatnya lewat. Setiap dia melintas, dadaku selalu berdebar-debar, dan entah kenapa, itu sudah cukup untuk membuat hariku cerah.
Hari-hari berlalu, dan perasaanku semakin dalam. Hingga akhirnya, saat semester II sudah berjalan, hari itu tiba. Hari yang paling membahagiakanku—mungkin juga paling tak terduga. Nicholas menghampiriku di depan kelasku, tersenyum, dan memperkenalkan dirinya. Rasanya seperti mimpi yang tak pernah berani kubayangkan. Hatiku seperti dihiasi bintang-bintang, dan pipiku terasa panas. Aku tak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya.
Sejak saat itu, aku mulai bermimpi lebih besar. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, meski diam-diam. Aku mencari akun instagram-nya, berharap bisa tahu lebih banyak tentangnya. Namun, ternyata dia tak memakai media sosial itu. Sedikit kecewa, tapi aku tak menyerah. Aku mencoba mencari akun teman-temannya, berharap bisa melihat wajahnya di foto-foto mereka. Tapi sayangnya, usahaku sia-sia. Meski teman-temannya sering berfoto bersama, mereka tak pernah mengunggah foto-foto itu.
Hari demi hari, aku menanti momen-momen kecil untuk sekadar melihat senyumnya, mendengar tawanya, tanpa pernah ia tahu. Tapi semua usahaku, semua harapanku, hancur dalam sekejap saat aku melihatnya bergandengan tangan dengan seorang kakak kelasku yang lain—Zevannya, gadis cantik yang selalu terlihat sempurna. Hatiku langsung runtuh. Rasa sakit itu begitu dalam, seperti ribuan jarum yang menusuk setiap inci hatiku.
Aku ingin tahu lebih jauh, tapi aku takut pada kebenaran yang mungkin kudengar. Hingga suatu hari, kudapatkan kenyataan yang pahit: mereka sudah berpacaran sejak awal masuk SMA. Saat itu, semua harapan yang selama ini kugenggam, luruh begitu saja. Perasaanku yang dulu penuh warna, kini hanya meninggalkan luka yang dalam. Semua yang kubayangkan, mimpi-mimpi kecil yang kusimpan rapat, hanya bayangan semu yang tak pernah nyata.
***
Setahun berlalu. Aku sudah naik ke kelas XI, dan perasaanku pada Nicholas mulai pudar. Tapi setiap kali melihatnya, kenangan itu kembali—seolah-olah waktu berhenti di sana. Aku tersenyum pahit, bertanya pada diri sendiri, "Begini saja akhirnya? Semua perjuanganku hanya berujung pada kehampaan? Betapa bodohnya aku, menanti pada hati yang tak pernah bisa kumiliki."
Dan begitulah, aku belajar satu hal. Bahwa kadang, rasa yang indah tak harus menjadi nyata. Mungkin dia akan selalu menjadi kisah yang tak terselesaikan, sebuah kenangan yang kusembunyikan di hati, bersama harapan yang tak pernah terwujud.
***
Tentang Penulis:
Alysha Saina Tantri, lebih akrab disapa Alysha. Lahir di Kota Perbatasan RI-RDTL yakni Atambua Kabupaten Belu-NTT pada tanggal 19 September 2008. Cewek penyuka sastra ini sedang duduk di bangku SMA Negeri 1 Atambua—Kelas XI.5. Tinggal di Tenubot, Jln Marsda Adisucipto Manumutin. Penulis bisa dihubungi melalui WA 082147932484 dan emai Alyshatantrii@gmail.com, jika ingin berdiskusi tentang sastra (puisi, cerpen, dan lainnya).
Komentar
Tulis komentar baru