Skip to Content

30 menit

Foto Deden Fahmi Fadilah

30 menit

 

Kejar-kejaran dengan hujan. Hujan saja tak pernah mau mengerti apa yang terrasa saat aku mulai berlari ketakutan di tengah suara-suara mobil di sisi jalan. Sore yang cukup menyanangkan sekaligus mengerikan. Gemuruh-gemuruh langit selalu saja mengiringi setiap langkahku dan tetes airnya. Semua orang tak henti berlari mencari tempat yang cukup untuk melindungi dirinya dari hujan yang datang keroyokkan dan tak pandang bulu. Anehnya, hal itu membuat sebagian orang merasa gembira. Supir angkot, anak-anak kecil yang menjajakan jasa ojek payung, semuanya kebanjiran rejeki.

“ayo bang….ayo bang, langsung tarik….gak pake ngetem.” Teriak seorang bapak tua dengan langkah terpincang-pincang menjajakan jasa angkutan.

Teriakkan semacam itu tak dapat terpungkiri saat kita berada di sebuah halte yang notabennya tempat menaikturunkan penumpang. Tapi ada juga pedagang-pedagang yang ingin meraup rejeki di halte. Menjajakan jualannya kepada calon penumpang angkutan umum. Apa lagi di suasana hujan seperti ini. Wah, laris manis tuh.

Seakan terhipnotis oleh si calo tadi, aku yang tadinya terengah-engah kelelahan akhirnya menaiki sebuah mobil angkutan kota untuk menuju pulang yang jaraknya amat jauh dan harus beberapa kali lagi menaiki mobil angkutan yang berbeda. Sambil melepas lelah aku pun duduk di pojok mobil yang masih sedikit penumpang itu. Tak ayal pikiranku meraung-raung kearah yang tak tentu. Mondar-mandir sambil sesekali melihat penuh iba akan keadaan yang ada di sekelilingku.

“apa hujan tak kasihan?” besit benakku dalam-dalam.

            Tak sadar dan sama sekali tak terrasa, mobil mulai meninggalkan mereka dan pergi menjauh dengan cepat. Deru hujan kian deras. Setiap tetesnya semakin menutupi jarak pandangku yang sudah bermata empat ini. Sambil bengong tak tau memikirkan apa, seorang nenek menyapaku.

“mas,,”

“ia nek, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” jawabku kaget, karena lagi bengong.

“benar tidak mobil ini bisa membawa kita ke surga?”

“alamak, nenek kok ngomong kayak gitu sih?” tanyaku heran sambil sedikit ketakutan melihat wajah si nenek yang terus menunjukan raut wajah seram. Aku tak tahu maksud si nenek.

Hening sejenak, aku terdiam dan si nenek pun diam saja. Aku merenungi apa maksud perkataan si nenek. Kelakson mobil yang saling bersahutan berrebut penumpang makin memusingkan pikiranku yang sudah lelah seharian menerima pengajaran dari dosen dan di tambah lagi ada nenek aneh yang bicara tentang hal yang aneh pula. “Pecah pula ini kepala lama-lama” hatiku berkata pada diri dan pikiranku. Lalu, si nenek menjawab sambil menunujuk ke arah kaca belakang mobil yang terus terguyur hujan dari luar dan sambil sedikit tersenyum,“itu lihat di kaca, ‘MOBILKU SURGAKU’…..hehehe”.

Aku pun ikut tersenyum walau sedikit kesal karena sudah dikerjai nenek itu. ‘sial’ pikirku. Mau bagaimana lagi, nenek tua itu selalu saja becanda dan aneh pula lawakkannya itu. Menyebalkan rasanya.

 

***

 

            Hujan yang mengguyur sudah mulai reda. Mobil angkutan yang aku naiki berhenti di depan sebuah mal yang sudah tua, konon kata orang-orang sekitarnya, mal itu sangat angker. Si nenek yang tadi menoleh dan tersenyum padaku lalu turun dari mobil. Aku jadi bingung kepada si nenek itu, tersenyum kepadaku apa maksudnya? ‘gila’ pikirku kejat. Tapi aku sedikit kasihan kepada nenek itu, sepertinya dia sangat kesepian. Hidup sebatang kara di kota metropolitan seperti ini walau ramai rasa orang di sekelilingnya. Tanpa teman dan hiburan memang itulah yang namanya kesengsaraan.

 Tiba-tiba naiklah dua orang wanita yang sebagian badannya basah karena air yang tak pernah dapat disesali. Duduklah mereka di deretan depanku. Awalnya aku merasa takut karena mereka naik di depan mal angker itu,”Jangan-jangan hantu! Ih seram” pikirku dalam kepala.

Seketika, “oh Tuhan ,siapa ni cewek??? Sesuai seleraku!!!!” sambil sedikit bangkit dari diamku aku bertanya pada apa yang ada di otakku.

Diam-diam aku terus memperhatikan  salah satu wanita yang duduk di hadapanku yang terus saja mengusap kerudungnya yang sudah mulai ‘lepek’ oleh air hujan.

“aduh coba tadi bawa payung ya! basah kuyup deh jadinya….!”

“yasudahlah mau bagaimana lagi, rejeki jangan di tolak….haha” sambil tertawa, temannya meledek wanita yang terus aku pandangi itu.

Mereka berdua terus saja tertawa dan becanda satu sama lain, sambil sesekali mereka menoleh ke arahku, tapi saat itu pula aku alihkan pandanganku dari mereka dengan sedikit tersenyum. “malu, malu, malu, jangan illfeel ya melihatku yang terpesona oleh salah satu dari kalian” pikirku sambil tertunduk dan mengalihkan pandanganku. Aku terus tertunduk. Tak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. ‘Salting’(salah tingkah).

            Mereka berdua terus saja mengobrol dengan asyik. Aku menjadi pendengar setianya, sambil sesekali memandangi tetes hujan yang terus meledekiku. “pecundang, pecundang, pecundang.” Semakin kesal saja aku kepada diri sendiri saat itu. Campuran berbagai macam perasaan menjadi aduk di hatiku. Obat hati susah di dapat, apalagi jika sedang seperti ini, bagai berlari dalam gelap beralaskan duri pula.

            Hujan yang tadi meledek semakin saja meledek dan kian deras. Semakin saja mengeroyokku dalam lamunan. Akan tetapi tak ada sedikit pun dendam terbesit untuk hujan, karena aku tahu hujan akan menyamar menjadi apa yang ada di hati kita. Bila kita sedang sedih, hujan seakan air mata langit yang sedih melihat kita sedang terpojok sedih. Bila kita sedang marah, setiap tetes hujan akan meledekki kita karena marah adalah hal konyol yang menggunakan banyak energi. Bila kita sedang senang dan bahagia, suara tetesan hujan seakan mengalunkan melodi merdu pengiring hati. Itulah hujan. Sulit ditebak mudah diprediksi, tak ayalnya seperti hati manusia. Sifat alami.

 

***

 

Hujan mulai tak nampak. Mobil yang aku naiki terhenti di sebuah jalanan yang ramai. Macet. Senang aku saat seperti ini. Semakin lama macetnya, semakin lama aku bisa memandangi wanita cantik itu. Semoga saja macet terus berlanjut tiada akhir, agar aku tak akan berpisah dengan orang asing berparas bidadari ini. Tak ayal, pandangan mata ini terus saja tertuju pada wanita itu. Selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tersenyum saja, hanya tersenyum, layaknya orang gila yang tersenyum tanpa sebab. Lucu memang, sangat lucu.

Terus saja aku pandangi, dia mengeluarkan telepon genggam dari sakunya. “ahhh….apa dia akan meminta nomor telepon genggamku dan kita bisa mulai pendekatan di situ??? Semoga saja!!” khayalku sambil membayangkan yang eneh-aneh di pikiranku dan mengeluarkan telepon genggamku—tak mau kalah aku olehnya--. Mengharap dia tahu maksudku, langsumg menusuk kedalam asa meremukan tulang sumsum. Sungguh sebuah pengharapan yang sia-sia.

“sudah magrib ternyata, harus cepat-cepat sampai rumah ini.” Katanya pada temannya.

Ternyata dia hanya melihat jam yang terdapat di telepon genggamnya. ‘Sial’ sungguh kecewa, tapi dugaanku tak meleset. Benar-benar harapan yang sia-sia. Inilah aku, mahasiswa penuh khayal dan mimpi yang tak tahu caranya menyatakan semua mimpi dan khayalku. Tapi, masih untung aku punya mimpi dan khayal, dari pada bercita-cita untuk mempunyai cita-cita, akan lebih tak berguna kiranya.

Dari matanya terlihat dan terbaca olehku, bahwa dia ingin sekali berkenalan dan berbincang-bincang sejenak dengan aku. Mungkin untuk lebih mengenal satu sama lainnya. Seakan-akan dia berkata,

“maaf mas, boleh tahu siapa nama mas?”. Sambil aku tertawa dalam hati dan sedikit melampiaskannya dalam senyum, “gila, mana mungkin itu terjadi, it’s immposible…hahahaha”. Cukup sudah, mungkin kurang banyak aku mengkhayal seperti ini, tapi untungnya ini dapat sedikit membahagiakan aku dan hatiku yang sudah lelah dengan kenyataan.

 

***

 

 

Seperti biasa, ada pertemuan pastilah ada perpisahan. Terlihat penghujung jalan sudahlah dekat. Hal yang tak pernah aku sukai dari sebuah pertemuan yang membahagiakan, ‘perpisahan’. Terminal sudah akan dijamahi oleh pak sopir dan kuda besinya ini. Kami, penumpang, harus bergegas turun untuk melanjutkan perjalan kami selanjutnya. Tapi rasanya tak ingin turun dan ingin terus melanjutkan perjalanan bersamanya. Tapi dengan lemah hati dan gembolan tas besar di pundakku, aku turun dan membayar ongkos perjalanan sambil perlahan menjauhi wanita itu. “Selamat jalan cantik”, bisikku pelan seketika terucap dengan wajah mirip kuda.

Aku dan dia berbeda arah perjalalanan. Dia yang berlainan arah denganku itu terus saja aku pandangi. Sekali saat itu dia menoleh kearahku lama, tersentak aku pun balik memandangi dia, dengan senang hati. Perlahan dia mengeluarkan telepon genggamnya lagi dan meletakkannya di kupingnya, seakan dia berkata kepadaku “telepon aku ya…aku ingin mengenalmu jauh dari ini”. Bagaimana caranya? Tapi, tak lama dia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku. Spontan  aku senang sekali, tapi aku berpikir lagi,”percuma, fatamorgana tetaplah fatamorgana, itu hanya sekelibet semu, aku sadar”. Aku tahu, tak mungkin dia bermaksud menyapaku.

 

“sayang………..” Benar saja, teriak dari kejauhan bersosok seorang laki-laki di belakangku menaiki motor besar, lalu menghampirinnya. Hancur, hancur hatiku. Tak sekali ini aku begini, bahkan orang yang aku rangkul di dadaku saja masih sempat bercumbu dengan orang di belakangku. Kenyang sudah aku dengan kecewa. Inilah takdir seorang manusia kelas dua sepertiku.

Dengan raut wajah kecewa aku terus berjalan mencari mobil angkutan yang akan membawaku mendekati rumah yang aku tinggali dengan keluargaku. Pikiranku masih saja tak dapat lepas dari bayang wajahnya. Serasa melayang tubuh ini, setelah mengetahui dia telah mempunyai sandaran hati tempatnya bernaung kala hujan air mata menetes membasahi jiwanya, walaupun aku sendiri tidak tahu siapa dia. Kenal hanya sebatas kenal wajah, selebihnya masih menjadi misteri bagi pengharapan yang terpatahkan oleh waktu. Tak pernah aku menyalahkan waktu, karena waktu memang berjalan dengan semestinya. Waktulah yang memarahiku, karena tak pernah sejalan aku dan dia.

“sudahlah dipikir terus juga tak mungkin merubah apa-apa, talk less do more!!!” lagi-lagi hatiku terus mencoba menenangkan pikiranku yang sudah dimaki hujan dan diceramahi waktu.

Naiklah aku ke mobil angkutan yang selanjutnya untuk melanjutkan perjalananku.            ”wah, siapa ini cewek??? Aku suka dia!!!!!”. Sekejap sakit hatiku kepada wanita tadi hilang. Senang sekali aku bertemu wanita yang lebih dari wanita tadi. Mulai gila aku diberdaya cinta dan keindahan fana. Namun semangat semakin membara. Kurasakan gelora api nafsu seorang pejantan lusuh.

Sudah jelas, lagi-lagi aku bertemu wanita cantik yang lainnya di mobil yang aku naiki itu, mungkin lebih cantik dari yang tadi. Akankah aku kecewa lagi seperti tadi? Ahhhh…..aku sudah sering seperti itu. “Mari berfantasi lagi dengan objek yang berbeda” pikirku menghasut hatiku. Hiburan bagiku yang tak pernah libur dengan kecewa.

***

Bogor, 1 Juni 2011.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler