Skip to Content

Aku Bukan Pahlawan

Foto satria winarah

Januari 1945 begitu beda dengan paginya yang cerah. Matahari dengan mudahnya menampilkan diri di cakrawala. Dan menyobek tirai malam, membuncah bintang-bintang hingga segala di langit jadi hilang, hingga tinggal langit bersih biru. Begitu tidak tampak kemelut dunia saat ini, ketika Eropa sedang diguncang oleh kobaran api perang dunia ke-II yang sedang semangat-semangatnya, sebab Jerman semakin terdesak. Pada saat itulah, Kurt menerima surat perintah dari kolonel Braumman untuk menyelamatkan Rica, seorang dokter wanita yang belum sempat diamankan. Dan berhasil tidaknya misi ini, entahlah?
“Bagaimana menurutmu, Heinz?” tanya Kurt melirik, setelah keluar dari ruangan kolonel Braumman. Helmut dan Gunter juga melakukan hal yang sama.
Heinz hanya tersenyum-senyum saja.
“Tampaknya kita mujur, karena semakin menjauh dari garis depan, betulkan?” ujar Heinz, mengalihkan.
Kurt, Helmut, dan Gunter mengangguk-angguk tanda mengerti maksud dan intisari kata-kata Heinz, sambil terus tersenyum.
Empat prajurit itu terus bergerak menuju sebuah rumah dimana Rica tinggal bersama seorang ibu dan beberapa anaknya yang masih gadis.
“Heinz, kau jemput Rica, sementara aku, Helmut, dan Gunter mengambil jip, oke,” ujar Kurt sambil tersenyum menggoda.
Heinz mengangguk, dan balas tersenyum.
Heinz berjalan santai menuju rumah Rica, sambil bersenandung kecil. Tak lupa, ia juga sempat memperhatikan dirinya yang mengenakan seragam abu-abu berdebu, sepatu lars  yang mulai terkelupas, helm yang bertanah tak pernah dicuci, muka yang cemong-berminyak tanda belum mandi, segalanya kotor seolah menandakan jiwa seorang prajurit sejati. Entah iya atau tidak? Tapi bagi Heinz, segalanya tergantung hati!
Lalu, hal yang tidak pernah diduga oleh pasukan Jerman dan Heinz sebelumnya, terjadi.
Ketika di depan desa dan jauh, terdengar teriakkan : “Hura………!!!!!!!!!!!!!!!!”
Ratusan ledakan dan tembakan terjadi. Jerman – Rusia berbalas-balasan.
Heinz panik. Dengan segera ia berlari menuju rumah Rica untuk menyelesaikan tugasnya.
Pasukan Rusia maju tanpa gentar, berlari menghampiri pasukan Jerman yang kalap karena kejutan yang dahsyat. Tank-tank Rusia menyerbu, infanteri menyerbu, segala menyerbu, disambut oleh pasukan Jerman dengan senjata terbuka.
“Kita harus cepat lari dari sini!” teriak Heinz kepada Rica setelah sampai di rumahnya.
“Bagaimana dengan warga yang lain?” tanya Rica.
“Kau yang lebih penting untuk selamat. Jika kau selamat, akan ada belasan warga lagi yang akan selamat! Ayo cepat!”
“Baik.”
Rica segera menyiapkan segala sesuatu yang perlu dibawa. Tas berisi segala morfin dan perlengkapan berkilat para dokter, dan segala tetek bengek lainnya. Rica tidak lagi memperdulikan penampilannya yang berbaju putih kotor oleh darah kering yang sudah menjadi coklat, berbau amis, rambut acak-acakan, bibir kering, dan berkeringat dingin, berlari menghampiri Heinz, lalu pergi.
Sesampainya di persimpangan jalan, sebuah jip menjemput mereka. Dalam jip itu berisi sekitar 3 orang prajurit berseragam dan bersenjata lengkap.
Heinz dan Rica menaiki jip tersebut, yang kini terus melaju.
Rute yang akan ditempuh mereka merupakan sebuah rute yang aman karena semakin menjauh dari lokasi pertempuran.
Misi penyelamatan seorang dokter ini tampaknya cukup memberikan untung kepada 4 prajurit yang kini selamat dari tugas bertempur membendung prajurit Rusia yang menyerbu pangkal desa secara serampangan itu.
“Rica, kuharap kau mengerti alasan kami menyelamatkanmu,” ujar Kurt, yang terus memperlaju mobil di jalan yang lurus, seolah tak bertepi atau bertujuan yang takkan tercapai.
“Ya, aku mengerti. Tapi aku merasa tidak enak dengan seluruh warga yang kukenal. Pasti disana mereka sedang mengharapkanku mengobati setiap yang terluka,” jelas Rica.
“Tak perlu khawatir atau merasa tidak enak. Seluruh mereka akan diselamatkan sepertimu juga. Yang penting kau selamat sekarang, sebagaimana dokter-dokter yang sudah dikirim mundur sedari kemarin,” balas Kurt, memperjelas.
“Ya! Kau tidak perlu khawatir Rica,” tambah Helmut, yang dengan tekun memandang segala penjuru sambil meneropongnya dengan senjata mesin.
Perbincangan terus berlanjut dan meluas hingga jip mencapai sebuah hutan dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang ke atas.
Pepohonan itu amat tampak rapi disertai udara dingin dan oksigen yang melimpah. Melempar segala sesak yang mereka rasakan dari asap desa yang mengepul berlebihan karena pertempuran. Lima orang itu dengan nikmatnya menghirup kesegaran hutan disela-sela pagi. Tambah bersyukur 4 prajurit itu, yang sebelumnya merasa risih dengan perintah yang datang kepada mereka untuk menyelamatkan Rica.
Tapi apa yang dikatakan para atasan mereka sebagai tugas yang berat, nyatanya memang demikian.
Sebuah roket meluncur, berusaha mengenai jip mereka dari samping.
Dengan sigap, Kurt melempar stir jipnya ke kiri, menjauhi arah datangnya peluru bazooka itu.
Kini jip mereka keluar dari jalur dan terpaksa menerobos segala semak dengan kasar, hingga pada akhirnya berujung pada sebuah pohon besar yang menghentikan laju jip mereka. Mendapati keadaan yang demikian, mereka segera turun dan mulai berlari.
Lima manusia itu berlari dari jip mereka, terus masuk ke dalam hutan.
Mereka tetap mencoba mencapai target mereka yakni base pertahanan Jerman sekitar 1 mil dari situ, sekalipun dilakukan dengan berjalan kaki. Yang penting tugas selesai karena Rica selamat dan mereka semakin mendapat jaminan hidup yang lebih tinggi dengan penyatuan ke dalam kesatuan yang lebih besar.
Pasukan Rusia menyerang dari segala arah dengan jumlah yang luar biasa besar. Tapi mereka belum tahu, apakah pasukan Rusia yang tadi menyerang mereka memiliki vehicle  atau tidak. Sekalipun kemungkinan besar pasukan Rusia yang berhasil menyelundupkan diri kesitu tidak menggunakan apapun yang berat, mereka tetap harus waspada jika sewaktu-waktu terdengar decit rantai tank yang memijak bumi.
Mereka terus berlari. Gunter dengan snipernya sesekali melihat kebelakang, kalau-kalau prajurit Rusia sudah bisa menyusul mereka.
Tak lama kemudian, sebuah peluru melesat kencang ke arah mereka, menyerempet daun-daun dan hampir saja menembus kepala Helmut.
“Berlindung!!!”
Lima manusia itu segera tiarap dalam sekejap.
Matahari yang mulai terang, membuat Gunter semakin mudah membedakan warna hijau muda seragam prajurit Rusia dengan hutan yang cenderung berwarna hijau tua dan kehitam-hitaman. Dalam bidang penyamaran, prajurit Jerman lebih beruntung dengan seragam abu-abu mereka.
Hanya sebuah tekanan kecil dari jari telunjuk Gunter, yang mengakibatkan timbulnya lubang disertai percikan darah pada kepala prajurit Rusia ceroboh itu. Tapi, kali ini Gunter juga ceroboh. Suara tembakannya membuat pasukan Rusia menemukan letak mereka. Dan tiba-tiba, serentetan senjata mesin terdengar menggelegar. Menghancurkan segala apa yang menjadi perlindungan mereka. Pasukan Rusia menembakkan senjatanya secara asal, yang hampir-hampir membunuh mereka semua.
“Cepat beranjak!” perintah Kurt, sebagai yang berpangkat paling tinggi.
“Ayo Rica!” tuntun Heinz.
Peluru menyebar tak karuan, mereka berlari dibalik pepohonan besar yang sebentar-sebentar tersambar peluru.
“Kenapa mereka begitu ingin membunuh kita?” heran Helmut.
“Karena mereka menyelundup. Sehingga, mereka tidak mau kita memberitahukan keberadaan mereka disini kepada pasukan Jerman lainnya,” jawab Gunter terengah-engah.
Heinz hanya diam tertegun, sambil terus memegang tangan Rica.
“Pokoknya biar bagaimanapun, kita harus selamat. Baik itu bersama Rica ataupun tidak, yang penting setiap orang yang ada disini harus ada yang memberitahukan berita ini kepada pasukan Jerman manapun,” ujar Kurt.
Mereka terus berlari hingga akhirnya menjumpai hutan yang lebih lengang, bahkan cenderung dapat disebut sebagai padang rumput. Hanya satu dua pohon saja yang tumbuh, selebihnya adalah rumput dengan ketinggian yang cukup memberi kesempatan kepada mereka untuk tertembak.
Sebuah lengkingan keras terjadi ketika mereka sedang berlari di padang rumput itu. Lalu ledakan menyusulnya dengan semburan tanah mengangkasa.
“Celaka!!!” seru Helmut.
“Cepat! Mortar gila itu semakin banyak!!” ajak Gunter.
Tak hanya sebatas mortar. Pasukan Rusia mulai menembak lagi ke arah mereka. Seorang prajurit Rusia yang menggunakan ppsh 41 benar-benar mengajak ribut. Dia menembakkan senjatanya yang magasennya berpeluru banyak itu secara asal ke arah mereka, seperti tidak memberi sedikitpun belas kasihan. Tanah yang ditembus peluru mengepul ke atas, mengerikan.
Dedahanan rontok, batang pohon tembus, tanah terkoyak, batu meretak, dan punggung Helmut hancur dibabat peluru ppsh 41 tadi.
Helmut seketika roboh. Dari mulutnya tersembur darah segar. Hidung juga turut mengeluarkan darah. Mata terbelalak merah. Tubuhnya mengerang sebentar lalu lemas selamanya. Senjatanya terlempar saat peluru-peluru itu menyambar tubuhnya. Kawan-kawan yang melihatnya, tidak mampu melakukan apapun selain terus berlari. Kini sudah hilang satu nyawa dan tinggal 3 lagi tersisa yang masih berjuang menyelamatkan Rica dan menyebarkan berita.
“Sial!!!” gerutu Kurt.
Mereka terus berlari dan kembali masuk ke dalam hutan…
Tapi tak lama, mereka sudah kehabisan segala tenaga. Di pohon besar yang tumbang ini, mereka harus membuat pertahanan, karena jika tidak, tubuh mereka yang sudah lemah hanya akan membahayakan mereka karena pasukan Rusia pasti bisa mengejar lari mereka yang melambat. Maka, selagi pasukan Rusia tidak melihat mereka, mereka harus membuat kejutan.
“Diam disini!” perintah Kurt. “Heinz, bawa Rica terus berjalan. Aku dan Gunter akan menghalau mereka.”
“Tidak mungkin!!!” lawan Heinz. “Kalian pasti mati jika melawan mereka!”
“Itu lebih baik. Yang penting kalian lolos dan bisa menyebarkan berita.”
“Tidak!! Kenapa harus aku?” sanggah Heinz.
“Aku tahu kau mencintai Rica, Heinz,” ujar Kurt pelan, setengah berbisik. Kata-kata itu benar-benar membuat Heinz mati kutu, dan Rica bersemu merah.
Heinz tidak punya kata-kata lagi untuk membantah.
“Pergilah…” ujar Kurt pelan.
“Pergilah kawan, biarkan kami mati,” ujar Gunter, berusaha menghilangkan rasa khawatir Heinz dengan penyebutan kata mati dan gaya yang santai. Jika mereka memang ingin mati, pasti Heinz dan Rica akan tenang meninggalkan mereka. Sekalipun pada kenyataannya, amit-amit cabang bayi!!
Oleh kata-kata itu, Heinz mulai melanjutkan perjalanan bersama Rica dengan berlari pelan. Tapi sebelumnya, Heinz berkata kepada Kurt dan Gunter : “Dalam perang ini, aku sungguh melihat pahlawan di depan mataku!”
‘Setiap prajurit bukanlah pahlawan’ itu yang mungkin hendak dikatakan Heinz. ‘Pahlawan adalah prajurit yang mau mengorbankan dirinya hingga demikian. Dan karena cinta, aku kehilangan kesempatan untuk jadi pahlawan…’
Rica dan Heinz terus berjalan.
Tak lama kemudian, rentetan senjata bertalu-talu dan saling sahut. Menyakitkan bagi Heinz, tidak ikut terlibat. Seberapa besar cintanya kepada negerinya, dan kepada Rica? Mana yang lebih utama? Heinz bimbang! Ia memejamkan matanya dengan keras, menahan tangis. Tapi ia menangis…
“Ada apa denganmu Heinz?” tanya Rica.
“Tak apa, aku hanya menyesal telah kehilangan kesempatan untuk menjadi pahlawan…”
“Setiap prajurit yang mengorbankan jiwa dan raga mereka adalah pahlawan Heinz,” bujuk Rica.
“Tidak semua. Jika kau jadi prajurit, kau akan tahu, siapa yang benar-benar mengorbankan jiwa dan raga, dan siapa yang tidak. Tidak semua dari kami yang hendak mengikuti setiap pertempuran dengan hati dan kemauan yang sungguh. Bahkan lebih banyak yang hanya karena telah melekat seragam prajurit pada badannya. Dan sekedar menjaga kehormatan depan orang, yang jika tidak ada siapapun, maka ia akan menyerah atau lari,” balas Heinz.
“Ya, tapi kau adalah pahlawan Heinz, karena kau telah menyesali kemunduranmu denganku. Penyesalanmu menyodorkan bukti bahwa kau mengikuti setiap pertempuran dengan hati dan kemauan yang sungguh. Kolonel Braumman tampaknya telah memilih orang-orang yang tepat.”
“Aku butuh realisasi dari hatiku! Aku tidak mau hanya seperti ini!”
“Setidaknya kau sudah menjadi pahlawan untukku Heinz…” bisik Rica.
Heinz berpaling, menghadap Rica.
“Apa katamu……?” heran Heinz.
“Aku juga mencintaimu Heinz…” bisik Rica lagi. Sesuatu yang tidak mengherankan, karena Heinz dan Rica memang sudah dikenal akrab.
Dalam hati Heinz berkecamuk berbagai macam rasa yang gila! Senang mendengar apa yang Rica katakan, juga ia masih merasa sedih karena kehilangan kesempatan menjadi pahlawan.
“Kau sungguh-sungguh Rica?”
“Ya. Mendengar apa yang tadi dikatakan oleh Kurt, aku tidak ingin membuang waktu lagi. Aku takut…”
“Tenanglah Rica, aku akan menjagamu hingga sampai di base nanti.”
“Lalu setelah itu kau akan pergi meninggalkanku. Entah untuk sementara atau…”
“Jangan kita terlalu memikirkan diri kita Rica. Kita harus memikirkan nasib bangsa ini, karena di dalamnya terdapat jutaan manusia, termasuk kita.”
“Tapi aku tidak mau kehilanganmu setelah aku tahu kau juga mencintaiku.”
“Jadikanlah cinta kita sebagai tekad untuk tetap bertahan hidup…”
Beberapa detik berdiam, lalu :
“Heinz… untuk menjadi pahlawan, kita tidak harus mati!” ucap Rica sambil menggelengkan kepala.
Heinz terdiam dan menganggukkan kepalanya. Ia mengerti dan ia bertekad kini, hingga decit rantai terdengar di depan mereka…
“Celaka!” seru Heinz. “Cepat bersembunyi!”
Mereka segera meringkuk di akar pohon yang besar. Berharap agar selamat, atau mati bersama-sama.
Decit tank itu semakin mengeras dan akhirnya…
Sebuah Panzer IV keluar dari balik semak belukar, menampilkan rupanya yang perkasa. Di kanan kirinya terdapat prajurit-prajurit Jerman, bersenjata lengkap dan penuh keberanian berjalan.
Heinz dan Rica pada akhirnya tahu tank siapa itu, dan lalu berjalan menghampiri mereka.
“Sieg Heil!” seru Heinz. “Kalian punya radio? Saya membawa seorang dokter untuk segera digabungkan ke kesatuan terdekat. Di belakang ada ratusan pasukan Rusia mengejarku…”
Beberapa prajurit Jerman berbisik, lalu : “Hei nak, kau tahu cerita tentang kemahiran seorang komando Rusia?”
“Maksudmu?” heran Heinz.
“Bedebah!” seru seorang prajurit, lalu memukul Heinz.
“Tidak mungkin ada pasukan Rusia disekitar sini! Kecuali kalian, komando Rusia yang mencoba menyusup,” jelas seorang prajurit.
“Kalian semua akan mati jika seperti ini! Aku…” terpotong.
“Kami akan mati jika kalian berhasil mencapai base, tahu!”
“Kami sudah terlatih! Jadi untuk apa pula kau bersama komando wanita ini? Untuk meyakinkan kami, begitu?” ucap seorang prajurit lagi.
“Eksekusi!” seru seorang perwira yang melihat kejadian itu dari atas tank.
Kar 98 diangkat, lalu diarahkan ke kening Heinz…
Heinz diam, tidak mampu berkata-kata. Begitu juga yang terjadi pada Rica. Mereka benar-benar terkejut, melihat segala yang berlangsung demikian cepatnya, hingga sekarang mereka sudah dihadapkan pada maut.
Lenting selongsong peluru keluar ketika kar 98 itu di kokang. Dan kemudian, ketika sinar matahari merayap masuk menemu tubuh Heinz yang sudah tak mampu bergerak oleh keheranan yang sangat, di antara dedahanan hutan…
Daaaaarrrr!!!!!!!!!!!!
Seorang prajurit Jerman yang bertugas sebagai scout di depan, terkejut mendengar suara tembakan itu. Pada saat itu pula, ia melihat pepohonan bergoyang, seolah ada ratusan orang berlarian.
Hingga akhirnya, tampaklah apa yang membuat pepohonan itu bergoyang. Prajurit itu segera lari mundur ketakutan.
Entah apa yang dirasakan Rica, ketika di depan matanya ia melihat kepala orang yang dicintainya meledak!
“Tidakkk!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” jerit Rica.
Rica menangis seketika…
Dan sebelum prajurit-prajurit Jerman itu terbahak, terdengar seruan : “Rusia!!!!!!!!!!!”
Semuanya tertegun. Rica masih terisak keras…
“Rusia menyerang! Rusia menyerang!” seru seorang prajurit scout tadi.
 “Hah!!! Jadi, dia benar-benar prajurit Jerman!” seru seorang prajurit yang tadi melihat eksekusi.
Rica masih terisak dan semakin keras…
“Bawa dokter ini, selamatkan nyawanya! Mundur ke base!!!” perintah sang perwira bobrok.
Rica meronta ketika beberapa tangan berusaha membuatnya bangkit untuk lari. Ia lebih ingin mati disini, bersama Heinz!
“Dok, maafkan kami… kami tidak tahu! Ayo cepat sekarang kita mundur ke base!” rayu seorang prajurit.
Rica meronta, lalu dengan cekatan menarik sebuah pistol yang tergantung di pinggang seorang prajurit.
Dan sebelum pistol itu diarahkan ke kepalanya…
Prajurit Jerman lainnya berhasil menahannya, lalu prajurit-prajurit itu menggendong Rica dan mundur.
Tank mundur sambil terus menembakkan pelurunya.
Tapi, tank itu terhenti ketika sebuah ledakan terjadi padanya, dan salah satu pecahan menewaskan prajurit Jerman yang menggotong Rica paling depan.
Rica jatuh, seorang prajurit Jerman yang masih hidup itu tidak mampu menggendong Rica yang terus meronta. Tapi ia sempat mengatakan sesuatu sebelum ia menyerah dan lari : “Maaf dok, aku punya tanggung jawab pada negeriku. Aku tidak mau mati hanya karenamu disini…”
Kata-kata itu… sekejap menyeka segala tangis dan air mata. Segala kenang terhadap Heinz. Dan mengingatkan Rica pada pesan Heinz sendiri.
Untuk negeri!!!!!!!
Rica bangun dan mulai berlari mengikuti pasukan Jerman yang tadi mundur. Ia tahu ia amat diharapkan bantuannya di base, untuk menyelamatkan para prajurit dan membuat para prajurit itu kembali bangkit untuk bertempur.
‘Untuk negeri ini! Untuk Heinz juga!! Untuk semangatnya!!! Untuk kematiannya!!!! Untuk kepahlawanannya!!!!!’ jerit Rica dalam hati.
Rica terus berlari, disela-sela mortar Rusia mulai yang bertaburan berjatuhan…
Rica terus berlari menuju base sejati…
Base sejati…
Setiap orang adalah pahlawan. Tidak hanya prajurit, tidak hanya para pengorban. Pahlawan, juga seorang dokter yang berusaha dan telah menolong setiap yang sakit. Atau dokter yang bertekad atas nama negeri dan cinta, untuk menolong setiap yang sakit, tapi mati di perjalanan……………!!![]


Semoga mendapatkan manfaat darinya...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler