Beliau guruku ketika aku masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Waktu itu masih disebut sekolah rakyat.
Tahun 1957. Yang paling aku ingat adalah tatapan tajamnya saat aku menjawab pertanyaan beliau tentang cita-citaku.
Aku masih kecil waktu itu. Tak dapat berpikir panjang, tak dapat menebak apa yang diucapkannya lewat tatapan tajam namun lembut itu. Lama sekali, jauh kurun waktu kutempuh untuk kemudian berani menebak isi hatinya.
Beliau berdo'a agar cita-citaku tercapai. Dan ketika cita-cita itu memang tercapai, orang yang pertama melintas dalam pikiranku adalah beliau. Sepuluh tahun kemudian setelah menempuh liku-liku perjalanan hidup dengan manis dan pahitnya, tahun 1967 aku resmi menjadi guru.
Aku bangga dengan mengaku sebagai guru daripada disebut atau menyebut diriku pegawai negeri. Itu adalah resminya aku menjadi guru, sebelum itu aku sudah menjadi guru tidak resmi.
Bahkan hingga sekarang perasaan sebagai guru masih tetap melekat dalam hatiku meski sebagai PNS aku sudah pensiun.
Aku ingat sebuah lagu yang diajarkan oleh Pak Musa. Lagu itu memberi kesan mendalam. Lama setelah aku berpisah dengan beliau baru aku tahu bahwa itu adalah sejenis lagu seriosa.
Aku menitikkan air mata ketika suatu saat lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi seriosa (nama belakangnya
Katamsi/kalau tidak salah nama depannya adalah Amoroso) di televisi nasional. Aku ingat liriknya :
engkaulah embun turun dinihari
dikala rumput kering melayu
engkaulah hujan intan menyirami
lapangan cita-cita hatiku.
beresahan hasratku dikalbu
dijalin cemerlang olehmu
jadilah lambang segar s'tiap masa
dikala jiwa haus dahaga
Tahun 1997 aku diangkat menjadi kepala sekolah. Aku menerima jabatan itu pada panggilan ke 12, setelah aku bertahan untuk tidak mau mengeluarkan uang sepeserpun.
Selain syarat itu aku menerimanya karena ada seorang yang dulu pernah menjadi muridku yang hanya mau diangkat asal tidak melangkahi aku.
Keputusanku untuk menerima jabatan kepala sekolah berbuntut pahit. Aku tidak kuat dalam sistem amburadul.
Tapi ingatanku berubah jadi marah kepada beliau. Kemarahan itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk berlayar ke Pulau Bangka menemui beliau. Dua hari satu malam dengan Bukit Raya aku sampai di Pelabuhan Tanjung Gudang, Belinyu.
Dua hari berikutnya aku sudah berada di Padang Penyapu, bertemu dengan Pak Musa. Kami berpelukan. Beliau masih ingat aku. Dia sudah tampak tua, namun tatapan itu. Tatapan itu yang membuat airmataku tak tertahan dan aku menangis tersedu di pelukannya.
Setelah beberapa saat barulah kami bisa berbicara. Aku berkata bahwa aku menyesal menerima nasihat untuk selalu jujur, apalagi nanti kalau aku sudah jadi guru, begitu nasihatnya dulu.
“Jujur yang Bapak ajarkan kepada saya sekarang tak laku lagi Pak,” kataku.
Beliau diam dan aku melanjutkan,
Saya akan mengambil pensiun dini, seharusnya saya pensiun tahun 2006, kalau panjang umur. Tapi tidak. Sepulang dari sini saya akan mengajukan pensiun?.
Beliau mengeluarkan saputangan, mengeringkan air mata. Jawaban beliau singkat sekali,
“Kalau bisa ...jangan, selesaikan saja.”
Dan jawabanku, “Tidak Pak, saya akan tetap pada keputusan saya karena saya menghormati bapak. Semoga kita bisa jumpa lagi nanti. Saya permisi Pak.”
Itulah pertemuan terakhirku dengan Pak Musa.
Kalau ingat saat itu aku merasa bersalah. Tapi untuk sebuah prisnsip aku tak merasa bersalah.
Tahun 1998 aku mengajukan pensiun dini.
Dialah Pak Musa, sosok yang menenggelamkan aku dalam bermain kata-kata.
Sosok yang membuat aku malu jika kedatanganku ke sekolah didahului oleh murid-muridku.
20100711509_Kotabaru_Karawang
Komentar
Tulis komentar baru