Skip to Content

ALTAR SUCI, ANAK-ANAK LANGIT

Foto agiz

Di sudut lorong itu aku duduk, menekuk lutut memperhatikan lalu lalang kendaraan yang
melintas di hadapanku. tak lama berselang datanglah lima anak kecil berlari kegirangan
melintas di depanku tanpa ambil pusing, seolah - olah aku hanyalah seonggok daging tak
bernyawa yang tak perlu disapa. atau juga mereka pikir aku adalah sekarung sampah yang
memenuhi singgasana kerajaan mereka, dan seharusnya sudah mereka buang kemarin.

"tiiiin..tinnn". bunyi klason bergantian. serasa sebuah parade simfoni di ruang kelas mozart,
namun mereka masih amatir, hingga nada2 tak beraturan memekakkan telinga. "hey, lihat pakai mata dong", seorang pengendara motor meneriaki seorang pengamen jalan. raut muka kesal
terpancar dari sorot mata yang hanya terlihat diantara lubang helm fullfacenya. sedang si
pengamen hanya meringis sambil menjulurkan lidahnya. mungkin dalam hatinya menggerutu, "
habisnya tadi kau tak memberiku koin walau seratus perak"

ku alihkan pandanganku kelima anak di lorong tadi, kini mereka duduk melingkar, membentuk
halaqoh layaknya perjamuan makan malam resmi di sebuah restoran mewah. Bukannya tidak tahu
sopan santun, namun jarak yang terlalu dekat dengan tempat dudukku, memaksaku mendengarkan
perbincangan kurcaci 2 itu. dari perbincangan mereka, ku ketahui mereka bernama. anton, toni, cempluk, abeng, dan sinur.

satu persatu merka mengeuarkan koin dari saku celana maupun bungkus permen yang mereka
jadikan kantong ajaib penampung dolar dari para donatur tidak tetap mereka. " wah, hari ini
cuman dapet 8.000, lebih ramean kemarin" celetuk anton
"kayaknya orang jakarta ini makin hari makin pelit saja" sahut abeng.
"sudah lah nggak usah ngributin duit. sekarang saatnya kita makan malam" potong si nur
" Yak, siiip cuy. dari tadi perut sudah berontak nih, hajar bleh" teriak toni tak kalah garang.
"ssst, plak". tangan cempluk menampar tangan toni yang menyerobot begitu saja bungkusan
dalam kantong plastik berwarna hitam.
" do'a dulu"
"aah, nggak usah pakai do'a segala. nanti juga sama2 kenyang"
" setidaknya kita harus bersyukur sama Tuhan"
" haah, Tuhan yang mana?, aku rasa Tuhan nggak ada, lagian kenapa Tuhan menciptakan kita
jadi orang miskin"
"sudahlah terserah keputusan masing2, yang penting resiko di tanggung pak sopir,
hahahaha..."
kelima anak itu masing2 mengeluarkan tangannya, melakukan permainan batu, gunting, kertas
untuk mengundi siapa yang duluan memilih sajian yang tersedia.
"aku dapat kikil"
" siip, aku dapat sate"
" yah ..aku cuma dapet telur dadar"
"yang penting malam ini kita makan nasi padang"

hampir seminggu sudah aku melewati hari2 dengan cara dan kejadian yang sama,(bangun,
bekerja,macet, lari mengejar bis, pulang, dan tidur). aku muak terjebak dengan rutinitas
yang ada. mungkin aku bisa mati muda jika harus berkubang dalam
lubang yang sama tiap hari, minggu, bulan , dan tahun. mungkin saatnya semua harus di rubah
sedikit demi sedikit. tapi dari semua rutinitas itu, episode yang selalu kunantikan adalah
saat2 dimana aku menghabiskan waktu menunggu bis kota, dan mendengarkan jamuan makan malam kelima kurcaci kecilku. terkadang terbersit rasa iri melihat menu makanan tiap malam mereka.
hari ini nasi padang, besoknya ayam bakar, besoknya lagi soto, bahkan tak jarang pizza
tersaji di depan "altar suci" tempat mereka makan malam. dalam lorong yang gelap itu.

sesekali aku serius mendengarkan perbincangan "anak2 langit" yang terpaksa dan dipaksa untuk
tumbuh dewasa, di kota metro ini. kemarin mereka protes keras terhadap PLN, katanya kabel2
listrik yang mereka pasang menggangu pemandangan langit dan sering kali mengganggu benang2
layang2 mereka. lebih heran lagi ketika cempluk membaca keras2 sebuah artikel koran harian
yang menuliskan slogan "pilihlah saya dari partai anu...karena kami telah berhasil
mengentaskan kemiskinan" lalu serta merta mereka tertawa terbahak2. Tak kusangka bocah2 itu
tumbuh sedemikian dahsyatnya. di ranah kerasnya kota Jakarta. Sempat terpikir juga olehku untuk nimbrung jadi pengamen,jika mendengar menu makanan mereka tiap malam. berarti pendapatan mereka sehari lumayan, terbukti dari sajian tiap hari.bila dibandingkan diriku yang kerja berangkat pagi pulang larut, menu yang bisa ku hadirkan di meja makan tak jauh dari, nasi telur dadar, tahu tempe, dan kalau akhir bulan paling banter bubur kacang ijo bahkan pernah juga tidak ketemu nasi seharian-pun oernah kualami. pikiran itu terus membayangiku, hingga suatu sore di gang itu, aku bertemu "manusia langit",

ya....awalnya aku risih melihat raut wajah dan pakaian kotornya. sore itu tiba2 saja langit
menangis,hingga mau tidak mau aku berteduh di emperan toko, lalu datanglah perempuan paruh
baya, dengan sekarung harta bawaannya. seorang pegemis jalanan setengah gila pikirku. karena
selama hujan turun ia bermonolog sendiri, seolah2 ada seseorang yang duduk
disampingnya."hmmmm", yaa.."
"oohhh, begitu"
perempuan itu dengan santainya duduk disampingku, sambil menghisap sebatang rokok yang
separuh ujungnya basah.awalnya aku takut, sampai akhirnya ia menghitung lembaran uang dari
sakunya. satu hal yang kupahami didunia ini, hal yang membedakan antara orang waras dan
orang gila adalah "uang", walaupun terkadang banyak orang yang kalap, bila melihat segepok
uang disodorkan kepadanya.
kusodorkan selembar uang, seribu tepatnya. di sambarnya uang itu
"terima kasih" ia bergumam sedikit hampir tak terdengar olehku.awalnya aku agak kikuk,
karena ini pengalaman pertamaku ngobrol dengan orang setengah waras, kutanya siapa namanya,
bagaimana ia sampai jadi gelandangan. ia bercarita bahwa ia berasal dari sebuah kampung di
Tegal, dulu ia di janjikan pergi keluar negeri tapi akhirnya ia tahu bahwa ia ditipu oleh
teman sekampungnya, ia bercerita banyak hal tentang hidupnya. "yaah... awalnya saya biasa
saja tidur dari emperan satu ke emperan yang lain, hingga suatu hari...." ia terdiam agak
lama, sebentar kemudian ia menatap langit, dan ..................ia menangis.
"sampai suatu hari petugas bangsat itu memperkosa saya", aku merinding mendengar letupan kalimat terkhirnya yang seakan
tertimbun begitu dalam dari mulutnya belasan tahun yang lalu. memang jika di lihat sekilas,
mungkin ia cantik, cantik sekali jika ia masih muda. ia bercerita bahwa suatu malam ada razia gepeng, nah saat itu ia tak bisa lari kemana2 karena sehari tadi ia tidak makan, hingga akhirnya iatertangkap dan di gagahi.
"itulah anak muda, terkadang kita mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi ternyata keinginan itu bertolak dengan kebutuhan
kita". ia bercerita bahwa sejak saat itu keinginan untuk pulang kampung telah sirna dari
kamus hidupnya. " oh yaa anak muda kalau suatu waktu kau hendak bertemu aku, datang lah ke
manggarai" di bawah jembatan, aku tinggal di sana. sambil setengah berdiri ia melontarkan
pesan terkhirnya,"cinta memang mudah di ucapkan. namun bukti darinya akan selalu
dipintakan". "kosongkanlah gelas jika kau ingin minum anggur cinta dan mabuk dalam cinta"
semenit kemudian ia berlalu dari hadapanku. punggungnya kini berubah dari tampak, menjadi
garis, hingga kemudian menjadi titik, dan hilang di kejauhan mata memandang.

beberapa hari kemudian aku secara tidak sengaja melihat lima kurcaci itu di sebuah warung
padang, keesokan harinya di warung soto, mencuci piring . kulihat mereka membungkus ulang
sisa makanan yang ada. besoknya aku melihat mereka mengais- ngais tong sampah di belakang
sebuah toko pizza.

saat itu kepalaku seperti di timpa 5 ton karung batu. ooh.. ternyata di selama ini prasangka-ku keliru.

senin malam seperti biasa aku duduk menekuk lutut, dengan episode yang sama seperti hari2
sebelumnya, namun dengan sudut pandang yang berbeda. ternyata kelima kurcaci itu secara
bergilir tiap sorenya mencuci secara gratis di warung2 itu, dengan perjanjian tak tertulis
yang mereka sepakati, bahwa mereka boleh mengambil sisa makanan yang tak dihabiskan
pengunjung. mereka mengumpulkan sisa yang tak termakan untuk makan malam mereka. sungguh
ironi yang menyesakkan hati. dikala di lain tempat di meja makan kita tersaji berjenis2
sayur-mayur yang terkadang tak sempat kita cicipi dan hanya masuk dalam tong sampah. aku
baru sadar saat mereka menertawakan sebuah artikel di koran beberapa minggu yang lalu.
yaa... bagi mereka slogan kampanye itu merpakan slogan dari mimpi busuk para anggota dewan
yang selalu mereka bawa dari tahun ketahun. " kami akan mengentaskan kemiskinan", "dengan
data sekian persen kami telah berhasil mengurangi kaum miskin dan gepeng". hhaah semua itu
hanya retorika belaka. Ternyata kelima kurcaci itu tidak sembarangan memilih arena untuk makan malam. mereka memilih tempat gelap dan sengaja menghadirkan kata2 sihir, agar mereka tidak jijik dengan makanan sisa tersebut.

hufttts, aku menghela nafas panjang dan hanya bisa mengurai pesan terkhir mbak sri, wanita gelandangan yang kemarin ku temui."cinta memang mudah di ucapkan. namun bukti darinya akan selalu dipintakan".

"tiiiin" bunyi keras klakson mobil menghenyakkanku dari lamunanku. entah lah? ada apa dengan malam ini, rasa2nya aku enggan pulang ke kontrakanku, maklum di kontrakanku tak ada apa2 hanya bangku kecil serta kipas angin butut yang berderit jika di nyalakan. tak ada TV atau internet.

tiba2 serombongan orang, lebih dari 20 orang berbaju seragam datang menangkapi anak2 itu. rupa2nya petugas trantib. seorang laki2 dengan kaki pincang lari tergopoh2. yang lain lari terbirit2, kearah mana saja, ada yang ke kali, sembunyi di rimbunan taman, tapi yang sugguh mengherankanku, kumpulan lima anak itu dengan santainya tetap mengunyah makanan mereka tanpa ambil pusing. sedang aku hanya bersembunyi di balik sebatang pohon mahoni.

kelima anak itu diangkut kedalam bak terbuka, rupa2nya salah satu dari mereka melihatku dan ia hanya tersenyum simpul, sambil menunjuk kearah poster yang tergantung di antara dua tiang listrik.
aku baca sekilas dan masih tak mengerti kenapa anak itu menunjuk2 poster itu. di disitu tertulis bahwa 2 hari lagi akan diadakan rapat besar partai anu. pada jam sekian.

" Saudara 2 jika nanti partai kita menang, saya akan mengentaskan kemiskinan sebesar 20 persen, anggaran buat pendidikan sekain persen, blaa...blaaa... dan blaaa..." kejadian itu berlangsung sekitar 30 menit. setelah itu ribuan konvoi motor berkeliling ke jalan2 protokol.

2 hari kemudian aku terduduk di tempat yang sama, di dekat altar suci tempat makan anak2 itu. tiba2 seorang anak duduk di sampingku, aku kaget, rupa2nya ia adalah salah satu dari lima kurcaci itu. ia memperkenalkan diri Nur. ia bercerita tentang kejadian2 seperti yang kemarin itu adalah hal yang wajar. justru kadang2 mereka malah senang mereka menganggapnya sebuah piknik gratis. karena seharian penuh mereka tidak mengamen, tapi di kasih makan.

yahh, begitulah salah satu wajah negeri ini. semua bisa di atur, termasuk menyinggkirkan sementara para gepeng2 dari pinggiran jalanan untuk kepentingan tertentu. bahkan yang lebih menjijikkan lagi bila suatu saat terjadi bencana, mereka berlomba2 pasang bendera.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler