Skip to Content

Ani*

Foto Sadam Husaen Mohammad

Ia diam-diam saja di kursinya, seolah ia tak pernah ada di antara saudara-saudaranya. Ia tak tahu. Di ruang sebelah, televisi menyala menayangkan Termehek-mehek. Tapi sepertinya tak ada yang peduli. Siapa pula yang peduli dengan jenis acara senorak itu. Anak-anak lebih tertarik bermain Monopoli daripada memelototi orang yang merengek-rengek mencari orang yang tak jelas. Mereka lebih asik belajar berbagi lewat lemparan dadu, seolah benar-benar akan ada sesuatu yang akan ditemukan dalam setiap lemparan itu: barangkali sekedar kebohongan. Sebab itulah Ani enggan ikut bermain, karena baginya, setiap kebohongan selalu sia-sia.

Ia masih tetap saja diam di kursinya tanpa merasa bahwa dia dikucilkan dari saudara-saudaranya. Di ruang sebelah televisi masih menyala, tapi sudah berganti dengan acara Mamamia, dan seorang anak yang sedang bermain Monopoli menyebar semua uangnya seperti politikus busuk yang sedang membeli suara.

Ia tetap duduk tanpa ada rasa ingin membaur dan bersenang-senang dengan saudaranya. Orang mungkin mengira ia sedang melamun, atau jangan-jangan autis? Tidak mungkin. Sejauh ini ia baik-baik saja—dan sama sekali tak cacat.

Ia adalah Ani, anak bungsu dari empat bersaudara: Shanti, Ranti, Rina. Dia adalah anak yang paling cantik dan paling disayang. Apakah karena itu dia dikucilkan saudaranya? Kenapa mereka tidak membunuhnya saja atau membuangnya ke sumur seperti cerita Nabi Yusuf As? Mungkin mereka masih punya rasa sayang padanya walaupun mereka iri melihatnya.

Hanya ada mereka bertujuh dan Bik Iyung, pembantu sekaligus pengasuh mereka. Mereka sudah sudah terbiasa dengan Bik Iyung karena orang tua mereka pergi ke luar negeri untuk bekerja. Orang tua mereka jarang pulang. Kadang satu bulan sekali. Pernah juga hanya satu tahun sekali.

Ani memandang kosong ke depan dan masih duduk di kursinya yang mengarah ke pintu, entah apa yang dilihatnya. Sebuah mobil oranye tiba-tiba mengisi pandangan Ani, tapi ia tetap diam dalam ketegangannya menanti sang orang tua. Seorang laki-laki lalu bergegas keluar mobil dan menghampiri Ani.

“Permisi, adek apa benar ini rumah bapak Subur Subagyo?”

Ani masih dalam pandangan kosongnya, tapi seolah pandanganya kabur setelah laki-laki itu mengulangi pertanyaannya.

“Oh iya pak, betul ini rumah bapak Subur Subagyo. Ada apa ya pak?” dengan sifat lugu seorang anak berusia enam tahun Ani mencoba melayani pertanyaan laki-laki itu.

“Ada kiriman dari bapak Subur dek,” sembari menyodorkan sebuah kotak.

“Terima kasih pak, lalu kapan mereka pulang?” dengan lugu ia bertanya pada laki-laki itu

“Saya tidak tahu dek, saya hanya jasa pengantar barang,” tiba-tiba raut wajah Ani berubah muram dan ia langsung masuk ke dalam tanpa berucap.

“Dek, tanda tangan dulu!” Teriak laki-laki itu.

Ani berbalik dan kembali menuju laki-laki itu tapi ia tidak keluar, ia menggapai gagang pintu dan menutupnya. Entah apa yang ada dipikiran Ani saat itu.

Ia kembali duduk di kursinya sambil sesekali membalikan kotak kiriman dari ayahnya.

“Apa itu dek?” suara Bik Iyung menjatuhkan kotak dari tangan Ani.

“Tidak tahu Bik tadi ada orang pakai pakaian oranye mengantarkan ini, katanya dari ayah,” jawab Ani ketika Bik Iyung merunduk mengambil kotak itu.

“Mungkin ini hadiah buat adek dan yang lain,” sahut Bik Iyung.

Tapi Ani masih tetap setia dengan wajah muramnya, dia tidak mau hadiah, dia mau orang tuanya pulang dan menetap di rumah.

“Kenapa dek? ayo cepat panggil yang lain lalu buka hadiah ini!” Tegas Bik Iyung sambil bergegas meninggalkan Ani.

Ani menghapus wajah muramnya dan mencoba membuka kotak dari ayahnya tanpa memanggil saudara-saudaranya. Ia tampak ragu membukanya. Atau ia memang tak tahu cara membukanya? Tak mungkin. Ani bukan anak kecil yang masih terkurung dalam umur. Ia sudah belajar banyak saat kesendirian menyelimutinya. Di kamarnya berserakan buku yang sepertinya lebih sulit dipahami daripada buku pelajaran untuk anak seumurnya, tapi ia bisa memahaminya tanpa bimbingan dari siapapun. Ia berhasil membuka kertas pembungkus kotak, namun ia tampak ragu-ragu membuka kotak itu. Yang ada di benaknya, kotak itu berisi surat yang memberitahu bahwa orang tuanya pulang bulan depan. Satu demi satu penutup kotak itu ia tanggalkan. Seperti melihat cahaya yang menyilaukan mata, Ani kaget, ternyata benar kotak itu berisi surat, ia bergegas mengambil surat itu dan berlari ke kamar bagai burung camar yang terbang di atas air laut. Ia berlari tanpa melihat sekitarnya.

“Bruuaak..!” Ani terjatuh tersandung mainan saudara-saudaranya, tapi Ani segera berdiri dan berlari lagi.

Ani masuk ke kamar dengan wajah yang berbeda dari semula, bergeletakan di atas kasur. Kasur itu dipenuhi gambar anak-anak kecil yang terlihat bahagia bergandengan dengan ayah ibunya.

Ani memandang surat yang masih dipegangnya lalu dibuka. Perlahan ia keluarkan isi surat itu sambil berdoa ramalannya benar lagi seperti tadi. Tapi, raut wajahnya kembali muram. Surat itu bukan dari ayahnya, tetapi dari asuransi kecelakaan ayahnya yang memuat beberapa kalimat yang tak bisa ia terima: orang tuanya telah meninggal. Ani—semakin muram.

 Dengan dada yang berat, ia lanjutkan juga membaca surat itu. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan pulang. Mereka masih sempat menulis surat warisan untuknya dan saudara-saudaranya sebelum kecelakaan itu. Anehnya, Ani tak menangis saat membaca surat itu. Ia malah tersenyum dan kembali memasukkan surat itu kembali ke amplopnya kemudian meyimpan di laci lemarinya.

 

****

 

Hari itu berbeda sekali, kursi yang biasanya menemani Ani ditinggalkan olehnya. Ia  membaur dangan saudara-saudaranya bermain dan bergurau, tak seperti Ani yang biasanya.

“Kemana Bik Iyung ya?” Shanti bertanya.

“Tadi pamit mau ke pasar kak!” jawab Ranti.

“Wah bakalan makan enak kita hari ini dek,” sahut Shanti. Karena biasanya Bik Iyung hanya berbelanja di tukang sayur keliling di depan rumah.

Lalu mereka mulai bergurau dan merajut beberapa tawa di dalamnya, tapi tiba-tiba Rina menangis.

“Kenapa Rina?” Shanti heran melihat adiknya yang tiba-tiba menangis.

“Aku kangen ayah dan ibu kak,” sambil mengusap parit matanya yang basah.

“Iya kak, kapan ayah dan ibu pulang lagi?” sahut Ranti. Shanti mencoba menenangkan adek-adeknya dengan beberapa belaian, padahal disamping itu Shanti juga menyimpan berjuta rasa rindu pada orang tuanya.

“Ayolah dek, kita harus belajar mandiri. Ayah dan ibu pasti pulang kok, kita berdoa saja,” Shanti mencoba menekan rasa rindunya dan mulai membujuk adek-adeknya, karena Shanti adalah anak paling tua.

“Aku juga kangen ayah dan ibu Kak, tapi mereka di sana bukan senang-senang. Mereka bekerja untuk kita Kak! Kita harus berdoa untuk mereka karena cuma itu yang bisa kita lakukan. Mari kita berdoa kak!” Ani mulai ikut dalam pembicaraan sendu itu.

Merekapun mulai berceloteh memohon kepada Tuhan agar mereka cepat bertemu dengan orang tua mereka.

“Amien!” Suara mereka berempat serempak.

“Kapan Bik Iyung datang ya? Aku mulai lapar,” kata Shanti setelah mereka berdoa.

“Sebentar Kak, biar aku ambilkan beberapa camilan di kulkas,” dengan rela Ani berjalan mengambilkan saudara-saudaranya makanan.

“Hanya ada ini di dalam kulkas,” Ani menyodorkan beberapa camilan dan minuman yang sudah di tuangnya ke teko.

“Okelah, mari kita makan bersama, mungkin setalah ini Bik Iyung pulang dan memasakkan kita makanan enak,” kata Ranti bersemangat.

“Terima kasih ya Ani!” Sahut Rina, sambil tersenyum Ani berdiri dan meninggalkan saudara-saudaranya menuju kamar. Dia mengambil surat dari lacinya.

“Ayah ibu, semoga kami bisa bertemu dangan kalian di surga,”  Ani berbicara sambil mendekap surat itu seperti dia sedang merangkul ayah dan ibunya.

Sambil tetap mendekap surat itu Ani kembali ke saudara-saudaranya, tapi semua saudaranya sudah tertidur dengan posisi yang berantakan.

“Ayah ibu, aku dan kakak-kakak akan menyusul kalian ke surga,” Ani menenggak minuman yang tinggal separuh karena sudah diminum saudara-saudaranya.

“Tunggu kami ayah ibu!” Ani mulai mengambil posisi tidur di dekat saudara-saudaranya.

Setengah jam kemudian Bik Iyung datang. Ia berjalan dengan langkah berat karena beberapa barang belanjaan yang dibawanya.

“Anak-anak?” suara Bik Iyung dari depan pintu.

“Wah mereka tidur semua, baiklah! akan kubuatkan mereka makan enak biar nanti saat mereka bangun bisa makan banyak,” Bik Iyung berjalan menuju dapur sambil menenteng barang belanjaanya. Sesampainya di dapur Bik Iyung menemukan sebuah botol obat sakit jantung yang tercecer di lantai.

“Apa ini? Kenapa botol ini ada di sini? Ini kan obat tuan subur yang sudah expired.” Bik Iyung heran.

“Siapa yang menaruh ini sembarangan,” Bik Iyung menggerutu sembari membuang botol itu ke tempat sampah karena obat itu sudah tidak layak untuk digunakan.

“Anak-anak ayo bangun! makanan sudah siap!” teriak Bik Iyung sembari menghampiri Ani dan saudara-saudaranya, tapi Bik Iyung kaget saat melihat Ani bersama saudara-saudaranya yang tadinya tidur pulas tanpa ada kejanggalan berubah, dari mulut mereka keluar busa.

     “Ani bangun nak! Ada apa dengan kalian?” Bik Iyung manggoyang-goyangkan tubuh Ani dan saudara-saudaranya, tapi pandangan Bik Iyung tertuju pada amplop yang dipegang oleh Ani, Bik Iyung heran dan bergegas mengambil amplop itu. Ia kemudian membuka dan membacanya.

 

Bik, kami mau menyusul ayah dan ibu ke surga, Kami ingin bahagia bersama di surga. Amplop ini berisi surat dari asuransi kecelakaan ayah, juga berisi surat warisan dari ayah yang mungkin bisa membantu Bik Iyung. Selamat tinggal Bik, terima kasih sudah menjaga kami.

Ani

 

Seperti tersentak beberapa irama tembakan Bik Iyung kaget sembari meneteskan bulir air mata setelah membaca isi amplop itu, dipeluknya Ani erat-erat seperti seorang Ibu yang tak rela kehilangan anaknya.

Astaghfirullah, anak-anak……!”

 

****

 

Pagi itu ada banyak orang berpakaian hitam dan tujuh liang kubur siap untuk diisi di sebuah taman pemakaman. Itu adalah pemakaman keluarga Subur Subagyo. Satu keluarga yang serentak dipanggil Tuhan. Tujuh nisan juga telah siap dipasang, masing masing bertuliskan nama keluarga Subur Subagyo. Yang pertama dikuburkan adalah Subur Subagyo, yang kedua adalah Anisa Anshori, istri Subur Subagyo, kemudian berturut-turut anak anak mereka, Shanti Ashori Subagyo, Ranti Ashori Subagyo, Rina Ashori Subagyo, Ani Ashori Subagyo, dan yang terakhir adalah Rayung Kuncoro alias Bik Iyung—yang juga ingin ke surga.


Cerpen ini pernah dimuat di jurnal cerpen Tikungan

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler