Skip to Content

Asingnya Aku

Foto Farhad Shameel Abd

   Terlalu pagi untuk berbicara akan bagaimana cara aku menyikapi suasana yang begitu sering sehingga apa yang kita lakukan selalu saja tak pernah menjadi suatu hal yang cukup berarti bagi diri kita sendiri. Selalu saja aku mencoba berhenti sejenak dengan tak pernah ingin tahu di manakah aku harus menjalin suatu ikatan yang baik antara diriku dan hidupku saat ini. Aku tak pernah bisa memutuskan apa yang harus kulakukan di saat seperti ini, bisa .dibilang aku hanya ingin berhenti hidup meski hanya 1 menit.

“bagaimana kau tahu jika kau tak pernah senang dengan keadaanmu saat ini?” kata Riska teman sekelasku.

   Katika itu aku berada di kantin sekolah bersama dengan teman-temanku yang lain. Sembari meletakkan minumanku, aku menjawab apa yang barusan Riska tanyakan, dia memang sangat perhatian terhadapku ....

“kau tak akan pernah tahu jika kau tak pernah berhenti sejenak untuk mengosongkan seluruh jiwa dan pikiranmu pada saat yang tepat untuk melakukannya, sangat sulit kita menemukan saat waktu sedang bangun atau tidur untuk menemani kita berlamun atau bercanda. Kau tahu, aku sebenarnya belum mengerti konsep yang ku pelajari saat ini !” jawabku.

“maksudmu, saat ini kau masih bisa dibilang anak kecil yang tersesat di rumahnya sendiri ?” respon lutfhi teman sekelasku juga.

“apakah kau tahu siapa dirimu sebenarnya?” tanya Riska kembali.

“entahlah teman-teman, yang jelas kalian teman terbaik yang pernah ku miliki” dengan kata itu aku mengakhiri pembicaraan ini.

    Sebenarnya aku kurang setuju atas kewajiban jiwa-jiwa bening anak dan pemuda-pemudi di kekang di dalam sebuah gedung bertingkat yang isinya hanyalah sebuah ulangan rutinitas yang mereka alami di hari kemarin. Apalagi melihat bagaimana keadaan sekolah-sekolah di pelosok justru membuatku mempunyai sudut pandang yang berbeda dari orang lain. Mereka mempunyai gedung sekolah yang tak bertingkat bahkan sampai ada yang kondisinya tak layak untuk kegiatan belajar, tetapi dengan semua itu seharusnya sekolah yang menjulang tinggi di perkotaan dapat melihat bagaimana murid-murid di pelosok lebih mendarah daging ilmu yang mereka terima dari pada yang ada di gedung berjulang tinggi, karena ku yakin alam punya andil sendiri di setiap makhluk-makhluk didalamnya.

   Selalu saja aku merasa penat dan bosan dengan rutinitasku saat ini. Semua terasa hambar dan begitu saja berlalu sehingga membuat waktu yang selalu ku kejar sekarang kian menjauh. Selurus dari semua itu aku ingin berdialog dengan alam secara langsung, bukan dengan meja dan bangku dari kayu yang selalu menghiasi hariku.

“hari ini kau tahu kepala sekolah kita sekarang lagi marah besar akibat banyaknya guru yang terlambat di upacara tadi pagi ?” dengan penuh keseriusan Reka mengatakan itu di samping tempat dudukku.

“kau tahu aku tak pernah peduli akan hal itu ! kalo begitu kepala sekolah bagus dong dengan sikapnya itu !” sahutku. “lagi pula semua sudah biasa terjadi setiap hari!” sambungku.

“kali ini beda kawan ! kau tahu, menurutku kepala sekolah itu tak tahu diri ! ! !” sebelum dia melanjutkannya aku sudah lalu dari hadapannya.

“kau mau kemana ? aku belum selesai bicara malah ditinggal pergi ! sinilah sebentar, lagi pula jam istirahat tinggal 3 menit lagi!” respon dia ketika melihat tingkahku.

“beberapa kali sudah kukatakan aku tak peduli akan semua hal itu !” seraya kembali duduk di tempatku tadi.

“kali ini kau harus dengarkan aku, kepala sekolah itu memarahi para guru yang terlambat sedangkan dia sendiri tiba ke sekolah pas upacaranya sudah selesai. Alasannya katanya ban mobilnya bocor. Ku baru tahu tadi pagi sebelum berangkat sekolah dia masih terlihat  sedang tidur di kamar tidurnya!” terang dia dengan pembawaan jengkel.

    Rumah Reka memang dekat sekali dengan rumah kepala sekolah. Bahkan bagian kamarnya saling berhadapan dengan kamar Reka, dengan kata lain dia selalu memegang rahasia kepala sekolah yang tidak diketahui oleh siapapun, karena itulah kepala sekolah selalu mengalah ketika berhadapan dengannya.

“kalau menurtku kau tak perlu mencampuri urusan orang lain . . .” lanjutku seraya pergi keluar meniggalkannya yang keliatan kecewa dengan responku.

    Semua berjalan seperti biasa. Selanjutnya aku akan masuk kelas dan belajar hingga sore, kemudian besoknya dapatlah ku tebak kembali. Tak ada misteri dalam hidupku . . .

*****

“aku rasa kau perlu mengajak teman berdialog untuk menjawab semua teka-teki yang mengisi otakmu selama ini !” kata itu membuatku terhentak sejenak.

“apakah kau bersedia ? kurasa aku suka dengan semua pikiran dan lamunanmu !” jawabku terhadap Riska dengan membenarkan posisi dudukku.

“apa kau benar suka denganku ? ya, itulah maksudku. Aku selalu berpikir bahwa semua teorimu itu benar apa adanya. Meski Luthfi tak pernah sependapat denganmu, dengan sikap kediamanku selama ini merasa bahwa aku setuju seratus persen akan dirimu itu !” jelas dia.

“sebenarnya gini, aku hanya ingin menciptakan sebuah jembatan baru untuk kita tempuh bersama menuju masa depan kita yang lebih bercabang lagi. Aku merasa jembatan sekolah telah penuh dengan banyaknya teori palsu dan wacana tak berlogika yang di tayangkan, yang akhirnya di masa depan yang akan datang semua kegiatan kita akan monoton dan tak akan pernah ada warna kehidupan lagi yang menghiasi manusia. Sekolah telah tua untuk teori masa kini !”

“mungkin setidaknya lebih baik kita mengajak mereka untuk membuat jembatan-jembatan meraka permasing. Dengan bantuan alam sekitar, ku rasa semua itu dapat kita wujudkan. Lagi pula kita tak pernah tahu apa isi dari mereka-mereka saat ini” balas dia untuk membantuku.

“kau benar juga. Tapi yang masih jadi pikiranku, apa yang harus kita lakukan dengan gedung sekolah saat ini ?” saat itu aku memang senang ada yang dapat ku ajak bicara.

“kita tak perlu menghapus apa yang ada pada saat ini. Semua itu bisa saja menjadi sebuah jalan dari mereka yang cocok dengan suasana di sekolah. Kita bukan akan memusuhi gedung sekolah, tetapi seharusnya kita membuat sesuatu inovasi suatu jalan lain yang dapat memudahkan para pemuda kita dapat mendapatkan apa yang lebih baik dari hari ini.....” jelas dia.

    Perkataan itu sebenarnya sudah pernah ku dengar tapi entah dari siapa. Dalam hal ini aku selalu berpikir akan merombak dan membumikan semua hal itu. Sesuatu hal yang belum pernah terbayangkan.

“kau benar. Seharusnya kita begitu.....”

    Ketika itu aku sedang duduk dengan Riska di taman kota yang terkenal di tempatku. Semua kaum pemuda rata-rata mengenal taman ini, akupun suka dengan beberapa motif keindahan di sini. Beberapa aku mengalami kajadian-kejadian yang tak pernah ku lupakan hingga saat ini. Kurasa ini adalah rumah keduaku.

“selalu saja aku penasaran akan dirimu? Kau sebenarnya siapa?.....” pertanyaan Riska membuyarkan lamunanku.

“aku hanya seorang pemuda yang mencintai pendidikan dan budaya. Aku hanya seorang pemuda yang senang berangan-angan. Aku hanya seorang yang merasa bingung akan diriku ini.” Jelasku tanpa berbohong.

“dengan latar belakang keluarga yang berada dan penuh kasih sayang, apakah belum cukup untuk mengetahui bagaimana dirimu sebenarnya” saat itu juga aku menatap mata Riska tajam-tajam.

“sebenarnya apa rasa kau terhadapmu?” setelah berselang beberapa menit aku menyakan hal itu.

“kau tahu matahari tak pernah bersinar di malam hari ! dari situ aku mulai mengerti bagaimana aku terhadapmu......” dia menatapku sejenak .... “aku sangat mengagumi seluruh dari apanya dirimu” lanjutnya dengan memalingkan wajahnya.

“kau tahu, aku sulit untuk berbicara suka ataupun cinta terhadap orang lain. Hanya saja kau istimewa untukku Riska . .. .” dengan kata itu aku mulai takut terhadapnya.

“hari sudah sore, lebih baik kita beranjak pulang sebelum malam menjelang. Aku bisa dimarahi mamaku kalau pulang terlalu larut ...” pinta dia seraya merapikan buku-bukunya.

    Tampak ia ingin mengalihkan perkataan terakhirku. Aku selalu kagum atas sikap dia ketika sedang tidak ingin melanjutkan pembicaraan, ia selalu berbicara secara lugas dan dari matanyapun tak pernah tampak sedikitpun terlihat kebohongan.

“kau benar, lebih baik kita segera pulang..........”

*****

    Bagaimana mungkin aku melawan apa yang seharusnya ku lakukan saat ini. Meski ku tak suka, tak seharusnya aku berpikran untuk menjadi seperti orang yang lupa diri dan tak tahu berterima kasih. Kadang aku bingung memulai dari mana, yang jelas semua yang telah kulakukan tak pernah terlihat oleh mereka (meski memang aku belum berbuat apa-apa).

“kau tak pernah suka dengan kami berdua kan Rangga?” tanya ibuku.

    Waktu itu aku sedang memikirkan apa yang di tanyakan oleh ibu saat itu. Entah kenapa kebetulan saja ibu juga menanyakannya.

“maksud ibu kalian berdua ?” seraya mengkerutkan jidatku.

“ya.. ibu dan ayah mu , , , , siapa lagi !”

“aku selalu merasa diriku ini belum cukup dapat berbuat sesuatu kepada orang tuaku, terutama ibu. Sebenarnya aku menginginkan kalian berdua dapat melihatku besar hingga saat ini atau mungkin hingga aku sudah mulai dewasa nanti” jelasku. “aku juga tahu diri bahwa aku harus tetap berjalan dan suatu saat nanti kalian berdua akan baru tahu kalau aku ini adalah anak kalian” lanjutku.

    Sebenarnya aku tak tahu apakah ucapanku itu benar atau salah dan mungkin membuat perasaan ibu menjadi tersinggung. Aku tak tahu harus bicara apa lagi, yang jelas aku pantang berbohong terhadap kedua orangtuaku.

“ibu sebenarnya sudah mengawasimu sejak kecil. Ibu rasa kau tak seharusnya mendapat yang kau harapkan itu, karena itu akan menjadi bumerang tersendiri di masa depanmu yang akan datang. Suatu saat kau akan mengerti semuanya . . .” balas ibu seraya pergi dari hadapanku.

    Mungkin aku memang lebih menagmbil sikap ibu yang sangat dingin. Aku mulai berpikir perkataan ibu tadi, dia sosok yang tak begitu ku pahami. Rutinitas kami berdua membuat pertemuan kami sangat jarang, bahkan pada hari liburku dia tak pernah menjadi selimut rasa kangenku atas kasih hangat seorang ibu. Aku juga belum mengerti mengapa kedua orangtuaku tak pernah begitu melihatku, berbeda dengan adikku yang selalu mereka gandeng kemana-mana. Tapi aku tak pernah iri ataupun berpikiran negatif terhdap adikku, karena akupun tak pantas untuk itu . . . .

“aku keluar dulu ya bu . . . .” seraya membuka pintu rumah.

“kemana ?” tanya ibu.

“bertemu Luthfi sebentar, Rangga udah janji . . . .”

*****

“kau selalu saja berpikir yang tidak-tidak, semua hal yang kau layangkan selama ini tak pernah masuk dalam nalar pikiranku. Semuanya terasa melawan dari kenyataan yang memang ada saat ini...” saat itu Lutfhi sudah mulai putus asa.

“kau masih belum mengerti apa yang sebenarnya aku maksudkan, kau selalu berbeda sudut pandang denganku atas seluruh teori yang pernah ku ceritakan terhadapmu” saat itu aku mulai meninggikan suaraku.

“maaf jika aku menyinggung perasaanmu. Aku sangat menghomatimu seluruh apa adanya dirimu, kau telah membuat arti hidupku lebih berarti. sekali lagi aku minta-maaf . . .” spontan dia ketika suasana memang sudah tak bersahabat.

    Saat itu aku mulai menyadari apa sebabnya aku tak pernah bisa meninggalkan temanku yang satu ini. Semua dari cara pembawaannya terhadap suasana dapat membuatku sedikit menyukainya. Sangatlah tampak dari raut wajahnya yang ikut bicara bagaimana dia membawa angin segar ditengah-tengah pembicaraan kami. Aku mengerti bagaimana dia memang tak pernah mau membawa secangkir teh kepadaku jika tak benar-benar hangat, ku telah lama mengenali bagaimana dia selalu menjadi salah satu episode dari langkah-langkah pikiranku.

“tak perlu meminta maaf, aku paling tak suka pada orang yang ringan untuk berkata maaf . . .” setelah berselang waktu.

“aku tahu itu ! karena itu aku masih bingung akan seluruh tingkah lakumu itu. Ku tetap harus menerima semua yang tak ku pahami darimu, kau tahukan bagaimana rasanya ketika kita diharuskan untuk memahami sesuatu yang menurut kita sendiri itu gak masuk akal !” balas dia

    Sebenarnya cuaca hari itu sangatlah sejuk meski matahari sedang menunjukkan keperkasaannya. Entah kenapa selalu saja ada kecairan dalam sitiasi yang begitu membeku seperti ini. Semua seakan seperti ketika bumi lebih tinggi dari langit yang rasanya kurang masuk nalar manusia. Aku selalu berdebat panjang dengan Luthfi meski itu hanya suatu hal yang menurut kebanyakan orang tak pernah menjadi pikiran. Mungkin perdebatan kamilah yang membuat keakaraban terus terjaga karena saling penasaran antara kita berdua yang telah lama saling kenal.

“aku pernah membaca perkataan seperti ini Hari ini bukanlah kepastian di hari esok, dan hari ini adalah kepastian dari hari kemarin.” Katalah aku seraya ingin meminta saran dari Lutfhi.

    Aku pernah membaca sebuah buku yang isinya tentang “bagaimana hari itu berbicara”. Tak ada semua kalimat dari buku itu yang membuatku merasa pantas untuk ku beri nilai kecuali kata-kata tersebut. Menurutku kata ini adalah jantung dari semua isi dari buku itu.

“kata-katanya bagus, menurutku sekuat apapun kita berusaha sesuatu di kemarin, hari ini, dan esok semuanya pasti sudah terbuku di tempat yang entah tak kuketahui. Semua mengalir seperti seharusnya . . . .”

“tetapi, apakah kau tak mau menulis bukumu sendiri ? aku bahkan tak pernah tahu ada buku seperti itu !” balasku. “menurutku ada benarnya kalimat itu di kalimat pertama. Sebenarnya bagaimana cara kita memahami waktu yang kita jalani haruslah kita bersahabat dengan waktu itu . . . .

“dan alam pun juga punya andil !” potong Luthfi.

“seleksi alam maksudmu ?” tanyaku.

“ya, kita takkan pernah melawan bagaimana alam menyeleksi kita. Semua hal yang terjadi, pasti ada peran dari alam itu sendiri meski hanya sebutir beras”

“tetapi waktu di zaman sekarang tak pernah berdiskusi dengan alam itu sendiri. Kau tahu bagaimana sekolah memakan semua waktu kita ?” jelasku.

“tetapi aku masih yakin jika yang kau katakan barusan masih ada peran dari alam itu sendiri. Meski memang semuanya belum ada yang memberikan sesuatu” pikirannya sudah mulai jauh.

    Seteklah umurku yang sudah mulai mengenal bagaimana cara kita menjadi manusia sesungguhnya, aku merasa tak pernah menikmati waktu yang melucuti seluruh raga dan pikiranku. Dalam hal ini aku masih belum mengetahui untuk apa diriku mennjalani kehidupan.

“kau selalu tahu yang tak pernah ku tahu . . . . .”

“janganlah begitu kawan, semua tahu kalau kau begitu tahu yang kau tahu !”

“tapi menurutku kau sangatlah membantuku selama ini Luthfi !”

“memang itulah gunanya kawan . . .” dia mulai memberi analogi gila.

    Terimanya atas keadaanku saat ini yang begitu membuatku berpikir bahwasanya adalah suatu permainan alunan kehidupan yang sudah tak tahu dibawa kemana, aku merasa resah sendiri ketika memikirkan apa yang selalu menjadi pikiranku belakangan. Aku hanya ingin lahir di masa lalu . . . .  .

“kau tahu apa yang dilakukan Reka di jam-jam segini ?” tanyaku.

“biasanya sore-sore begini ia sedang main ps di tempat langganannya!”

“tunggu apa lagi ! kita susul saja dia, kau tahu aku sudah lama tak bermain ps!”

“kau sendiri sajalah, aku masih ada urusan dengan sepupuku jam 5 nanti. Aku duluan ya . . .” jelas dia seraya beranjak dari tempat duduknya.

“kalu begitu ya sudah, hati-hati di jalan !” kataku meski tak terlalu duhiraukannya.

*****

“lagi asik ya ? memangnya enak kalo maen sendiri ? boleh gabung . . . .”

“ternyata kau Rangga ! dari mana kau ??” tanya Reka ketika melihatku.

“baru saja bertemu Luthfi. Berdua dong ! kayaknya kau sudah lama disini!”

“lumayan lama. Kebetulan kau kemari, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu dan juga Luthfi!” seraya menyerahkan stik ps kepadaku.

“memangnya apa?”

“Kau tahu pikiranku terhadap kalian berdua ?” tanya dia dengan serius.

“makasudmu aku dengan Luthfi !”

“sebenarnya kalian maunya apa sih ! tak pernah ujungnya kalian untuk berbicara”

“aku pun juga masih bingung ! ayo cepatlah jangan banyak bicara !”

“iya-iya . . . .”

    Setelah aku bertemu Luthfi aku pergi untuk bermain dengan Reka. Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengannya, hanya saja aku pikir tak ada salahnya jika aku keluar untuk melepaskan penat.

“kau belum menjawab pertanyaanku !”tiba-tiba dia mengatakan itu.

“tumben kau bicaranya serius. Memangnya kenapa ?”

“di tanya malah nanya balik ! jawab dulu pertanyaanku”

“kami hanya hobi saja untuk bersilang pendapat. Lagi pula dengan begitu hubungan kami juga semakin baik dan lebih sering bertemu karena hal itu !”kata ku seraya membagi konsentrasiku antara main ps dan ngobrol.

“jadi begitu, sebenarnya aku suka akan sikapmu selama ini. Mungkin saatnya aku mulai terus terang, sebenarnya selama ini aku hanya mengetes sejauh mana kau bisa bersikap. Sebenarnya aku orangnya sangat serius!” terus terang dia.

“aku masih bingung ! sebenranya apa maksud dari katamu barusan ?”

“aku mengerti bagaimana kau berbicara dengan apa adanya dirimu dan tak pernah mau bersandiwara. Kau tahu selama ini selalu memerhatikanmu, selalu saja aku tertarik akan dirimu yang sekarang. Dan aku suka dengan orang yang dingin !” jelas dia.

    Aku memang selalu meremehkan dia atas segala-galanya, menurutku dia tak pernah bisa berpikir untuk menjadi untuk dewasa. Semua hal tentang dia selalu saja canda-candaan, aku juga kurang tertarik tehadapnya. Dengan dia mengatakan seperti itu aku mulai tahu siapa dia sebenarnya.

“aku selama ini tertipu dengan seluruh sikap jengkelmu ! sebenarnya apa maumu ?” dengan sedikit terkejut.

    Wajar saja aku terkejut atas kalimat terakhir dia. Selama ini aku mengenalnya sebagai sama halnya dengan remaja pada umumnya, tak pernah sedikitpun aku tertarik untuk meliriknya. Setelah itu akupun berniat lebih mengorek lagi tentang siapa Reka sebenarnya.in

“di masa sekarang untuk menemukan teman sejati sangatlah susah, bagiku itu semua mustahil dapat ku dapatkan saat ini ! aku juga suka dengan orang yang bersikap dingin terhadap sekelilingnya. Dengan bersikap seperti kemarin aku mencoba mendekatimu untuk mendapatka teman yang ku mau !” terang dia.

“jadi maksudmu kau telah mengenggapkku teman sejatimu ? aku bahkan belum bisa menerka siapa dirimu apalagi untuk mengenal siapa dirimu sebenarnya !” kataku seraya memberi sinyal bahwa aku ingin dia bercerita lebih panjang.

“dari dulu aku gak pernah punya teman yang selalu aku harapkan, semuanya masih belum bisa dapat membuatku merasakan rasa aman dan punya arti dalam berteman. Aku mulai berpikir untuk menjalani hidupku seorang diri, tapi . . . .”

“tapi apa ?” tanyaku karena ia tiba-tiba menghentikan ucapannya.

“kau tahu bagaimana rasa kehilangan  sesrang yang begitu berharga bagimu ?” tiba-tiba dia tanyakan itu kepadaku.

“apa aku sudah mulai mengajakmu ke masa lalumu yang menyedihkan ?”

“bukan itu maksudku. Aku tak pernah punya orang yang begitu sangat berarti bagiku. Bahkan aku sudah dari kecil terbiasa untuk berjalan dengan hampa tanpa ada rasa bahwa ada sesuatu yang membuat aku menjadi berarti.”

    Sampai sini aku mulai bingung dan merasa resah sendiri. Ku tahu bahwa dia benar telah membuka topeng yang ia tampilkan kepadaku selama ini. Aku mulai berpikir aku bersama dengan orang yang begitu tak pernah kukenal. Aku takjub dengan bagaimana dia membawa alunan kata demi kata yang ia ucapakan membuatku menarik perhatianku. Topeng yang ia kenakan sungguh membuatku silau akan siapa dirinya sebenarnya. Baru kali ini aku tak bisa menguasai pembicaran dengan orang lain.

“kau tahu …… aku mulai takut terhadap dirimu saat ini !”

“aku tahu itu …… kau mungkin berpikir bahwa aku sedang mengigau atau aku lupa meminum obat. Tapi yang jelas memang adanya aku saat ini yang telah ku jelaskan terhadapmu !” jelas dia.

“kau tak perlu memakai topeng lagi dihadapanku. Aku pasti akan menjadi kawan baikmu, kali ini aku kagum kepadamu !”

“terserah sajalah kau mau ngomong apa. kita akan lebih mengenal lebih satu sama lain” jelas tampak dia yang tak suka dipuji.

    Dalam perjalanan pulang aku tak pernah lepas dari pikiranku atas Reka yang baru saja menelanjangi seluruh hidupnya di hadapanku. Aku rasa baru kali ini aku mengenal orang dan membuatku iri terhadap kehidupannya. Dia cerita bahwa dia berada dalam lingkungan yang begitu ku dambakan, ku tak tahu bagaimana masa kecilnya yang dapat membuatnya menjadi seperti halnya dia sekarang.

    Banyak hal yang dia utarakan dan rasanya aku mulai paham bagaimana kita menyikapi seluruh lingkungan yang masih asing untuk diri kita pribadi. Meski hanya beberapa menit sesungguhnya aku banyak belajar atas apa adanya yang menjadi tujuan semua apa yang telah menjadi pikiranku selama ini. Beberapa kali aku mulai liar dalam mengendalikan suasana pikiranku yang mulai berani untuk keluar dari apa yang seharusnya. Dan rasanya semua seudah usai permainan yang sudah menyetir bagaimana diriku dapat menyanyi dalam kahruan dan bagaimana aku terkadang bingung di tengah-tengah orang-orang yang tertawa tanpa tahu diri.

    Entah apa yang terjadinya selanjutnya aku pun belum terlalu jelas terasa. Deraianku selama ini telah mengantarku kepada titik terakhir disaat semua telah lepas dalam angan yang telah menungguku untuk berdialog di masa-masa akhirku, masduku di masa-masa aku sudah tak menjalani kodrat sebagaimana seorang manusia seutuhnya.

    Tabrakan itu tak bisa kuelakan lagi, sore menjelang malam semua rasa telah bebas berterbangan dalam haluan pikiranku yang sudah tak tahu harus berbuat apa. Semua terbayang saat itu ketika bagaimanake-1 aku merencana sesuatu hal yang besar dengan Riska akan sesuatu yang belum juga aku mengerti, tapi aku sudah tahu jika perkataan terakhirku kepadanya membuatnya mengerti jikalau aku sangat mempercayainya. Semua pesan yang tersirat dalam kata terakhirku terhadapnya sungguhlah membuatnya akan mengabulkan seluruh doa yang selalu aku lantunkan selagi masih hidup. Dia memang belum mengerti untuk saat ini, yang jelas aku masih yakin kalau jiwanya akan membawa seluruh apa adanya aku waktu itu. Aku sayang padamu Riska . . . . . .

    Bagaimanake-2 maksud ibuku jika dia tahu betul siapa aku sebenarnya. Aku merasa kasihan terhadapnya yang sudah menahan sebegitu lama akan rindunya memeluk anak sulung kebanggaanya. Dari situ sebuah pesan telah ku sampaikan jika aku tak pernah ingin dia menderita untuk selanjutnya. Meski aku belum memberinya sedikitpun kebahagiaan, tapi semua telah jelas nampak semua itu ada pada adik kebanggaanku, aku yakin dia akan membawa sejuta bunga yang aku titipkan kepadanya agar dia dapat memberikan semuanya kepada Ibu dan Ayah. Dalam hal ini tak ada yang perlu ku cemaskan.

    Bagaimanake-3 belum tuntasnya hubungan saling silang pendapat antara aku dan Luthfi. Semua masih belum mencapai titik dimana aku mengerti apa yang menjadi makna yang ada dalam perwujudan, tapi pembicaraan terakhirku bersamanya merasa bahwa ada sesuatu yang dapat membantunya di kemudian hari. Bagaimana di percaya dengan suatu keperkasaan alam atasa alunan kehidupan yang mulai liar dan ganas. Semuanya pasti menjadi seimbang karena alam itu sendiri. Dia sudah tahu bagaimana dia berguling diatas pasir yang begitu panas, meski aku tak terlalu mempedulikannya hanya saja aku sudah mulai terlanjur memikirkannya. Aku masih ingat kata dia waktu itu Ku tetap harus menerima semua yang tak ku pahami darimu, kau tahukan bagaimana rasanya ketika kita diharuskan untuk memahami sesuatu yang menurut kita sendiri itu gak masuk akal !”. dari situ aku tahu jika dia berhak untuk mengenalku dan sebaliknya.

    Bagaimanake-4 perkenalan diriku atas apa adanya Reka yang baru saja aku tahu belakangan kalau dia juga begitu istimewa. Aku juga masih belum bisa menerka siapa dia sebenarnya. Alunan cerita yang ia flimkan kedalam suatu adegan yang begitu membuatku sangat memperhatinkannya. Aku rasa dialah sutradara dalam hidupku selama ini, dia begitu mengerti bagaimana aku selama ini yang akupun sendiri masih belum tahu siapa diriku sebenarnya. Mungkin dia juga tahu bagaimana aku selanjutnya, yang jelas selanjutnya aku akan bertemu dia kembali untuk menanyakan siapa aku sebenarnya . . . . . . . . . . . . . . . . .

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler