Skip to Content

Bale di Bukit Teletubbies

Foto Muharomi


    Hari itu aku pergi bersama bayanganku dari kampus karena dosenku tidak datang mengajar. Aku naik angkot jurusan pulang namun diturunkan di tengah jalan. Kata supirnya tubuhku dan bayanganku terlalu besar, bangku yang kami duduki seharusnya bisa diisi sampai 4 orang. Matilah aku! sisa uang di dompetku hanya 12.000 rupiah, berarti hanya cukup untuk bayar ongkos aku dan bayanganku. Aku tidak mungkin menyuruh bayanganku turun. Bisa dimarahi oleh bapak jika aku pulang tanpa bayangan. alhasil kami terpaksa turun. Aku diturunkan di tempat yang biasa orang-orang sebut dengan antah-berantah yaitu sebuah tempat di mana hanya ada barisan bukit nan curam. Bukit-bukit itu memanggilku lewat desiran angin. Tanpa pikir panjang kuikuti instingku. Kudaki bukit pertama dan betapa terkejutnya ketika kulihat padang rumput ilalang luas setinggi dengkul. Aku juga melihat sebuah bale yang letaknya di atas bukit. Bukit yang berlawanan dengan bukit yang kudaki tadi. Aku turun lewat lereng terjal, kurebahkan tubuhku di padang rumput. Ketika aku merebahkan diri di padang rumput capung-capung beterbangan menghindari tubuhku sementara bayanganku bermain dengan capung-capung tersebut. Aku juga mendaki gundukan tanah beselimut rumput yang kunamakan bukit teletubbies untuk berkunjung ke bale tak berpenghuni tersebut. Belum jelas siapa dan bagaimana cara membuat bale di atas bukit yang pasti itu bukan buatan tuhan. Bukit yang mengelilinginya saling menempel satu sama lain, mereka terlalu takut berpisah karena jika berpisah mereka tidak punya kekuatan untuk saling menopang. Mereka takut longsor jika berpisah. Kalau sampai mereka rata dengan tanah, siapa yang akan melindungi padang rumput dan bale di atas bukit teletubbies? Kalau sampai mereka longsor, orang-orang akan tau surga dunia ini. Mereka akan berbondong-bondong piknik membawa tikar. Mengajak sanak saudara dari luar pulau sambil makan mie goreng dingin yang sudah tercetak pada tupperware berbagai bentuk. Ada yang berbentuk kotak, bulat, hati dan banteng. Aku akan kesal juga jika tempat ini dijadikan area camping lalu bale di atas bukit tersebut dijadikan kedai kopi. Nanti bukannya menjual kopi yang murah dan enan, malahan hanya menjual kopi sachet dengan harga 15.000 dan pemandangan indah ciptaan tuhan yang harus seharusnya gratis. Tidak perlu bayar tiket,parkir dan yang terpenting tidak perlu bayar pajak.

    Di tempat indah itu, angin selalu bertiup ke arah timur satu arah hingga menciptakan sebuah harmoni. Aku juga tidak pernah menemukan binatang buas ataupun berbisa. Yang ada hanya capung terbang dan burung puyuh. Ketika sampai di bale biasanya aku hanya duduk-duduk istirahat 45 - 60 menit setelah itu pulang. Rumputnya tidak pernah kering. Langitnya selalu cerah bahkan ketika hujan. Tidak ada siang dan malam, yang ada hanya pagi cerah. Kalau beruntung kita bisa merasakan gerimis tipis-tipis. Seperti yang aku bilang di awal angin selalu bertiup ke arah timur dengan gumpalan awan putih tebal. Tidak ada doktrinan ilmu pengetahuan, tidak ada hukum fisika dan pertentangan logika. Semua terjadi secara alami, semua mekanisme bekerja dari hati dan mengandalkan imajinasi. Buang jauh-jauh rasionalitas, tidak ada yang perlu dipertanyakan. Nikmati saja keindahannya tapi ingat satu pesanku, jika ingin ke tempat itu usahakan ikat bayangan kalian. Mereka akan sulit diajak pulang. Tidak mau lagi mereka pulang ke realitas. Mereka malas jika harus kembali ke dunia hipokrit. Saranku sih selalu sedia borgol, seret paksa bayangan kalian agar mau kembali ke dunia nyata. Dunia di mana hukum fisika bekerja. Dunia di mana nominal adalah segalanya. Dunia di mana ada kamu yang tidak akan pernah menjadi milikku ataupun bayanganku.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler