Skip to Content

BELAJAR PADA PEREMPUAN

Foto mahyut z.a. dawari

Di lengkung langit purnama pucat lesih tersaput awan kelabu berarak-arak. Sesekali kilat menukik, membiak percikan api. Dalam kerjapan mata saja awan kelabu milah rupa mendung pekat. Menelan bulan. Gelap. Lalu gelegar suara petir seperti hendak meruntuhkan langit. Tebar lembut gerimis menderas hujan lebat, mengguyur tubuh KMP Ken Dedes, yang tengah membelah Selat Alas menuju pelabuhan Kayangan.  

Jarum jam di dinding kabin lingsir ke jam sembilan malam. Mulai terasa ombak mengganas, menciptakan gemuruh. Bergedebum menghantam lambung kapal. Nun di haluan, sejauh mata memandang pekat jelanta. Menyiutkan nyali. KMP Ken Dedes dalam cuaca itu serupa sebongkah kayu ditimang gelombang. Jika apes, KMP Ken Dedes akan terseret arus gelombang hingga ke laut lepas. Samudera Indonesia, jauh ke arah Selatan sana. Aku bergidik. Na’udzubillah.

Tertangkap dengar, lamat-lamat, di antara gemuruh gelombang dan pekak suara hujan, penumpang mengumandangkan ayat-ayat Allah. Memohon pertolongan pada Yang Maha Memberi Pertolongan.

Kekalutan memuncak ubun-ubun. Meletupkan resah. Lalu susup takut berujung pada merutuki diri sendiri. Sepatutnya kupertimbangkan saran Idam. Mengambil penyeberangan pagi, esok hari, adalah tindakan yang bijaksana. Tidak malam ini. Tapi, aku keukeuh! SMS Kak Langit membuatku resah.  Bulan, pulanglah. Ibu telah seminggu di rumuh sakit. Begitu terbaca pesan singkat itu di kotak masuk ponselku. Sejurus terdiam. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Ibu sakit. Berita itu mengantarku pada sebuah keputusan. Pulang.    

“Kalau pagi hari laut tenang,” papar Idam. Serius.

Kutampik saran itu. Tiket sudah di tangan. Tak mungkin kuubah jadual itu. Harus malam ini. “Aku ingin menikmati cahaya purnama di atas feri, Idam”     dalihku. “Bukankah nanti malam bulan bundar penuh? Ah, Idam. Pasti sangat romantis jika kubuatkan narasi sebuah cerita pendek!”

Idam menatapku dengan sinar mata mencegah. “Cuaca bulan Desember tak menentu, Bulan!” katanya penuh tekanan.   

“Apa peduliku dengan fluktuasi cuaca?” sergahku, enteng.  

“Jangan kepala batu!” cecar Idam. Sedikit melotot. “Besar ombak kalau kau ambil penyeberangan malam hari. Percayalah padaku!”

Astaghfirullah, Idam. Jangan mengguruiku. Aku akan baik-baik saja!”  

Jakun Idam bergerak. Menelan ludah. Menyipit, ia menatapku. 

“Baiklah,” gumamnya. “Semoga Allah melindungimu di perjalanan!”

Ada getar yang getir dalam nada suara itu. Tersamar dalam desah napas. Semacam firasat tersembunyi dan enggan untuk diuraikan. Idam mengangkat bahu. Pasrah!      

Kutatap Idam tanpa kata-kata. Perhatian tulus itu. Sikap suka mengalah itu. Betapa santun. Mendadak kurasakan sesuatu meruyak hatiku. Aku terhimpit oleh rasa itu. Bukan rasa cinta yang gelisah. Sungguh, bukan itu! Tidak ada semi cinta dalam hubungan kami. Idam lebih menyerupai sosok seorang sahabat. Tak lebih dari itu, simpulku. Tapi, mengapa ada sesuatu menciptakan nelangsa?   

Di tengah hiruk pikuk kehidupan terminal perasaan itu kian menohok. Nelangsa yang buram. Serupa burai cahaya langit ditelan senja. Atau semacam gerak awan kelabu, yang membentuk konvoi di atas pikuk terminal. Berduyun-duyun laksana migrasi kelompok burung mencari mukim sementara. Begitu kira-kira nelangsa itu bermetafora. Menetak ulu hati. Mataku terasa perih.

Sebuah terminal, di mana saja, acap menyimpan peristiwa miris. Ada air mata diam-diam, rembes di pipi ketika harus pergi atau melepas perginya seseorang. Entah kekasih atau cuma sekadar sahabat. Sama saja. Nuansanya tak berbeda. Disadari atau tidak; perpisahan sering memunculkan rasa nglangut bagi yang tertinggal atau yang akan pergi. Aku camkan itu.

“Baca doa sebelum naik bus!” bisik Idam, pelan. Nyaris serupa desahan tertahan.

Subhanallah. Aku tertegun. Sepenuh rasa kumaknai kata-kata Idam. Dan refleks gerakku, berbalik menatap Idam. Sejurus lamanya. Sungguh, Idam telah mengingatkanku akan sesuatu yang tampak sepele, tapi jika dilakoni memberi efek ketenangan luar biasa. Berdoa.

Syukran kau ingatkan, Idam,” kataku hampir tersedak, menahan rasa perih yang menguak di relung dada.

Sesaat kuatur aliran napasku. Betapa selama ini sikapku pada Idam tak mencerminkan pribadi seorang muslimah yang baik. Penuh bantahan. Padanya aku sering ketus. Namun, Idam  tak peduli. Enteng ia tanggapi dumelku. Macam  kakak beradik saja. Entahlah. Tak ada lahirnya kakak laki-laki dari rahim Ibu membuatku tergoda usil padanya. Ada semacam gelora asik jika ia kubentak-bentak dengan ketus. Idam nyengir tak menangkal. Keisengan yang manja.

Keranjingan itu membuatku dekat pada Idam. Idam adalah penampung gairah bercanda. Berteman Idam meredam konflik psikis ulah perbuatan Ayah menduakan Ibu. Hingga dua lebaran berlalu. Mengalir tak terasa. Patut sekali aku bersyukur. Idam memberiku banyak penghiburan. Karena itu aku mampu melupakan sisi lain hidup yang menimpaku. Bak sepenanggungan, Idam selalu menjagaku. Jika tak sempat tandang, ia mengontakku lewat selulernya. Begitu senantiasa.     

Idam adalah sahabat baik. Pasti. Darinya kupetik makna setia kawan itu. Pelajaran moral berharga. Idam adalah laki-laki yang taat menjalankan perintah agama. Perkenalan kami berawal di atas bus yang kami tumpangi bersama, tatkala aku minggat, dulu itu. Kami duduk bersebelahan pada deret nomor kursi sejajar. Sebuah faktor kebetulan terjadi lebih dari dua tahun lewat.

Waktu berpacu, membawa kami pada perpisahan. Di pengasingan diri norak itu, Idam menjadi tempat meminta banyak bantuan. Idam ringan tangan membantu. Mengingat kebaikan Idam, hatiku perih. Menyesal ia kuperlakukan tak patut. Kini aku harus pergi tinggalkan migrasi sementara itu.

Dalam pengasingan, pelarian bisa diibaratkan semacam mencari suaka hati gundah. Rehat sejenak. Setiap orang punya ruang privasi sendiri untuk menyendiri. Setidaknya ada sedikit keleluasan untuk merenung. Introsfeksi diri. Begitu pernah kubaca tulisan seorang psikolog senior pada sebuah rubrik di majalah wanita terbitan ibu kota..

Lalu Idam dikirim Allah padaku dalam perjumpaan kebetulan itu. Idam yang baik. Sahabat yang melindungi. Laiknya sahabat setia kawan, Idam kasak-kusuk mencarikan rumah tinggal yang kondusif untuk seorang perempuan muslimah di perantauan. Ah, Idam…   

Begitulah agaknya jalinan takdir berkelindan. Menyusup, menempatkan seseorang pada kehidupan seseorang yang lain. Mengalir seperti riak air. Tanpa terencana. Suatu saat dipertemukan dan pada lain saat terpisahkan. Pada peristiwa demikian itu mengandung misteri. Begitu tampaknya takdir bekerja. Maka yogianya setiap peristiwa memiliki dimensi misteri yang tidak akan selalu dapat terjelaskan dengan kata-kata, betapapun ribuan kata itu tersedia untuk menalarkannya.   

“SMS kalau ada apa-apa di jalan. Jangan pelit pulsa,” suara Idam sedikit kelakar. Lamunanku kikis. Tertangkap lagi realitas sekeliling. Idam melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Menit-menit terakhir.

“Selamat jalan…!” Terulas senyum tatkala dua patah kata itu terucap. Tak ada jabat tangan. Kami tidak kakak beradik. Idam bukan mahramku. Idam mafhum. Sementara, jauh di palung hati, rinai kesedihan mengguyub, terlontar lewat sorot mata yang menatap.        

Maka, kualihkan sorot tatap itu. Tidak ingin Idam membaca kesedihan pada rautku. Tidak ingin aku tampak cengeng di hadapannya.

Assalamu’alaikum!” ucapku sembari melambai kecil. Tanpa menoleh. Deru mesin bus menguasai udara, menelan balas salam dari Idam. Aku tertuli sejenak oleh bising. Lalu, gegas kulangkahkan kaki, naik ke atas bus. Tak lupa kulontarkan doa pendek dalam hati. Seperti saran Idam; Bismillahi tawakkaltu alallah. Berserah diri pada kebesaran Allah.

Bus bergerak menjauhi terminal. Dari jendela bus yang terhalang kaca terlihat Idam melambai ke arahku. Kuumbar seulas senyum sebelum sosok Idam tertinggal di terminal. Sosok familiar itu tak pernah lelah mengulurkan tangan untuk sesuatu yang kubutuhkan. Seperti itu Idam memperlakukanku. Pulang dari kerja tak jarang pula Idam membelikanku martabak telur kesukaanku. Aku sungkan. Tapi, Idam tulus memberi.

Sebagai perantau mestinya ia pandai berhemat. Pemasukannya sebagai pengelola sebuah bengkel motor sepeda tidak seberapa besar, jika  dibandingkan dengan honor tulisanku pada banyak majalah. Idam tak ambil pusing. Uang gampang dicari. demikian ungkapnya jika kusindir. Easy going. Begitu tampak Idam di mataku menapaki jalan hidupnya. Aku iri.

Dan kini aku terjebak dalam labirin kusut pikiranku. Kepulanganku ini lebih serupa menapaktilasi luka lama. Air mataku meremang. Tersedu seorang diri. Sore merangkak turun dibalut cuaca musim barat. Mendung berawan.   

Sejak Ayah menikahi sorang perempuan dan Ibu menyetujui keinginan itu, aku memilih pergi. Dengan hati tersayat, kupaksakan diri mengambil jalan itu. Menjauh dari rumah. Aku dan Ibu berselisih pendapat. Lelaki poligami di mataku tipikal lelaki serakah. Mementingkan diri sendiri. Apa pun alasannya.  Sebaliknya, dua kakak perempuanku, Kak Langit dan Kak Bintang, memberi dukungan penuh pada Ibu. Ayah merasa terbela. Tiga orang perempuan itu bersekutu pada teritori Ayah. Ugh, mengingat mereka, menggelegak hatiku.  

Dua tahun lebih tak bertemu mereka tak membuatku berkalang rindu. Semua kenangan manis yang tercecap lindap. Air mata Ibu yang berurai saat kepergianku tak juga membuatku rindu rumah. Betapa tanak amarahku saat itu. Namun, apa hendak dikata. Masing-masing diri telah menentukan sebuah pilihan dalam hidupnya. Begitu nyatanya. Tapi, sungguh ironis. Semestinya, di usia senja Ibu tidak terusik keinginan Ayah membelah diri. Macam-macam cara kutentang keputusan Ibu. Kuhasut-hasut, tak bergeming. Kukuh sekali Ibu pada pendiriannya itu.  

“Kalian sudah dewasa. Kajilah keputusan Ayah dari sudut pandang yang sepatutnya,” kata Ibu, mencoba meredakan gelegak amarahku.

Patut? Aku merengut. Kutoleh Ibu. Sangat tak ingin kudengar kata patut disematkan di pundak Ayah. Seberapa jauh kumaknai, patut berkonotasi pada melapangkan jalan sesorang untuk sesuatu. Ada peluang yang wajar dilakukan dan amat senonoh. Mengapa Ibu beranggap patut Ayah menikah lagi? Adakah sesuatu yang tak beres dalam perkawinan Ibu akhir-akhir ini? Rasaku baik-baik saja. Hubungan dua orang suami istri itu tampak harmonis. Tidak ada kemelut kasat mata.  

“Tapi, aku tetap tak setuju Ayah menikah lagi!”

“Ibu sudah memberi restu,” Ibu menegaskan keputusannya.

Memicing mataku menatap Ibu. Kuhela napas panjang. Berat tarikan napas itu.  Percuma menentang. Ibu telah melingkarkan tanda tangannya di atas surat persetujuan bermaterai enam ribu. Sempurna sudah syarat yang sangat dibutuhkan Ayah untuk menikahi seorang perempuan suntingan hatinya.  

Aku meradang serupa kancil masuk perangkap. 

Betapa Ayah adalah panutan. Ayah, lelaki penyayang. Baik hati. Kelak, ketika berumah tangga kudambakan figur suami seperti itu. Lelaki pengayom dengan sorot mata meneduhkan. Pada naung sorot mata teduh itu aku temukan sebuah surga; albaiti jannati. Siapalah tak tersanjung?

Lalu sosok Ibu adalah sosok perempuan yang menomorsatukan keluarga  dan menomorduakan dirinya. Sabar dan taat pada suami. Peremppuan yang   penyayang dan salehah. Jarang absen menunaikan sholat dhuha dan qiyamul lail. Kecuali sakit. Pada kami bertiga, Ibu senantiasa  mengajarkan doa rabithah. Sebuah doa ikatan cinta tulus untuk kebaikan suami, kelak, jika kami berumah tangga. Masya Allah sosok Ibu. 

Meski cuma berprofesi ibu rumah tangga biasa, Ibu menempa kami jadi orang. Ilmu yang diperoleh Ibu di Madrasah Aliyah ditransfer pada kami lewat pendidikan moral budi pekerti. Ayah bangga pada dedikasi Ibu. Alhamdulillah, Ibu mengucap hamdalah setiap mendapat sanjungan Ayah. Perempuan yang tahu bagaimana cara membahagiakan suami. Ibuku tentunya.  

Sebagai Panitera Pengadilan Agama, Ayah banyak menangani masalah rumah tangga berantakan yang tak jarang berujung pada perceraian. Sungguh miris. Dari pekerjaan ditangani Ayah itu, Ibu mendapat hidayah dan secara tak langsung belajar dari pengalaman orang lain. Mawas diri.

Menjaga sikap atau mawas diri sejatinya sebuah proses penaklukan ego diri. Pada ranah perkawinan penaklukan ego diri lebih merupakan bentuk menahan diri. Menciptakan ruang toleransi, agar tak terjadi benturan fatal.  Jika pun ada tikai, maka harus dikedepankan ikhtiar. Jauhi perbuatan halal yang dibenci Allah. Perceraian.  

Kelak, pada saat dewasa, Ibu menyentil pengalaman kelam orang lain itu  dalam bentuk siraman rohani pada kami. Berkaca-kaca mata Ibu. Menatap kami sembari membayangkan peristiwa itu menimpa keluarga kami. Sesunggukan terkadang menahan rasa. Menekur diri. Lantas Ibu berfatwa:

“Muliakanlah keluargamu di mana pun kamu berada. Sesungguhnyalah memuliakan keluarga itu harus dengan cinta dan hormat. Mengapa demikian?” Ibu menerawang. Lama terdiam. Sepenuh rasa ia melanjutkan:

“Karena keluargamu itu adalah sayapmu untuk terbang. Tempat asalmu untuk kembali, dan sebagai tanganmu yang dengannya kamu berusaha dan berjuang. Camkanlah itu. Kelak, pada saatnya, kalian akan berkeluarga juga...”

Kata-kata bijak yang mengandung hikmah. Sangat bertuah.

Demi wanti-wanti itu, di usia dini kami bertiga telah diajar mengeja hijaiyat; alif ba ta, oleh Ibu. Ditanamkannya nilai-nilai spritualitas tinggi sebagai pedoman menapaki hidup. Gencar Ibu mengawasi gerak shalat kami. Shalat itu tiang agama. Shalat mencegah perbuatan mungkar. Al-Quran itu senantiasa bacaan utama harus dibaca saban waktu walau seayat. Al-Quran tidak lain  merupakan tuntunan hidup di samping sunah Rasul, kata Ibu. Kami camkan semua itu. Maka, tak tenggang dalam beberapa lama bertiga kami khatam Al-Quran dalam waktu bersamaan. Di usia masih belia.

Kedua kakakku guru agama. Kak Langit mengajar di MTs, dan Kak Bintang di MA. Mereka berdua qoriah. Dari mulut Kak Langit dan Kak Bintang lantunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar merdu dan berkelas. Syahdu dan berkesan. Akan tetapi aku beda. Suaraku tak merdu. Aku bukan qoriah, tapi fasih baca Al-Quran meski suaraku sering membuat orang meringis. Tak apa.

Berkali-kali Kak Langit dan Kak Bintang menggondol juara MTQ dari sejak duduk di bangku MI, hinggga mereka dewasa. Piala mereka berjejer-jejer di lemari. Hadiah lain dalam bentuk uang mereka tabung. Ketika kuliah mereka mendapat beasiswa dari Depag. Semua itu hasil didikan Ibu. Hasil kerja keras yang terbangun atas paham perempuan adalah tiang rumah tangga. Ibu ingin kami menjadi pilar itu kuat dengan pemahaman agama yang memadai.    

Tipisnya selisih umur membuat pendidikan kami hampir selesai dalam waktu bersamaan. Sebagai sarjana sastra, maka, dunia tulis menulis kugeluti. Ibu bangga dengan profesi kami masing-masing.

Diurapi embun kasih Ibu dan Ayah, kami tumbuh dalam nuansa penuh harmoni. Kami begitu dekat. Sangat dekat, bahkan. Oleh kedekatan itu, kami senantiasa terasa mengalir dalam detak nadi dan bilur-bilur doa satu sama lain. Siluet manis itu mendeskripsikan rumah tangga sakinah. Ah, paripurna sudah bangunan mimpi Ibu dan Ayah tentang keluarga bahagia itu, kurasa.  

Namun, betapa tak dinyana. Segalanya berlaku seperti hukum alam. Pada porosnya, bumi berputar terus. Oleh perputaran waktu, roda kehidupan senantiasa terus berjalan tanpa kendali. Tak dapat dihentikan oleh program  canggih kendali teknologi remote control. Begitulah sunatullah berlaku.

Tidak ada bersit firasat apa pun. Ayah menghimpun kami, suatu malam. Dalam pertemuan itu, Ayah menyitir sebuah firman Allah, yang membolehkan laki-laki beristri lebih dari satu; “…fan kihuu maa taa balakum minan nisaa’i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’a ...” Serupa seorang da’i kawakan, Ayah begitu fasih merapal penggalan Surat An-Nisaa’ ayat 3 itu…  

“Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat…” Takjub Ayah melangit. Sedikit membusung, Ayah menempatkan diri pada level eksekutor. Penentu sebuah kebijakan. Seronoknya dunia lelaki. Pada diri mereka Allah beri peluang melakoni hidup bersama beberapa perempuan dalam ikatan nikah. Begitu Allah memperlakukan kaum berjakun di muka bumi ini. Teramat istimewa, bahkan. Khalifah fil ardh…

Sebagai lelaki, Ayah mengambil peluang itu untuk dirinya. Maka kami dihimpun. Menyimak maksud penggalan surat itu tanpa boleh dikomentari. Ini bukan debat, kata Ayah. Memicing, Ayah menatap kami satu persatu.

Aku mendengus. Tak terima.            

Betapa konyol. Kutatap Kak Langit dan Kak Bintang bergantian. Tak ada komentar. Kulirik Ibu dengan ekor mata. Diam. Tampak mereka larut dengan alam pikiran masing-masing. Aku muak.

“Apa aku tak salah dengar, Ayah?” tanyaku. Kutatap Ayah dengan sorot mata menantang. “Ayah cuma merapal sepenggal. Bukankah ada kelanjutan dari ayat itu, Ayah? Fain khiftum allaata’diluu fa waa hidatan, begitu penggelan berikutnya. Artinya; kemudian jika kamu tidak dapat berbuat adil pada mereka, maka cukuplah kawin dengan seorang saja…”

“Ayah akan berlaku adil!” potong Ayah spontan.

Aku terperangah, mungkin takjub adalah kata yang lebih tepat. Sering kami bedah persoalan lelaki berpoligami pada forum diskusi kampus. Menarik kajian itu, sehingga Surat An-Nisaa’ ayat 3 itu fasih kami hapal di luar kepala. Ada anjuran berpoligami, memang. Akan tetapi,  harus berlaku adil.

Namun, adakah adil itu bisa diibaratkan dengan membagi sesuatu sesuai takaran? Semisal beras satu kuintal dibagi sebanding 50:50. Atau serupa tanah dapat dipetakan sama luasnya. Pada benda kasat mata lumrah jika diurai secara matematis. Bagaimana dengan sebongkah hati?  

Mustahil. Tidak ada jaminan pasti seorang suami mampu membagi sebongkah hatinya sesuai takaran pada dua orang istri. Hati lebih menyerupai kandungan perasaan. Abstrak. Dan perasaan  amatlah sukar dibagi sesuai kadar dan porsinya pada dua orang yang merasa punya hak memilikinya. Jika pada konteks ini seorang suami sukar membagi sebongkah hati, maka, fain khiftum allaata’diluu fa waa hidatan. Monogami saja.        

“Kuharap Ayah mengurungkan niat berpoligami,” datar kataku. Sedatar tatapanku yang menyimpan getir pada Ayah.      

Hening sejenak. Ada aliran senyap, menyemburatkan rasa tak betah berada dalam pertemuan itu. Ayah menghela napas. Kembali ditatapnya kami satu persatu. Dari ekspresi yang tertanggkap, tampak Ayah bersiteguh pada niat berpoligami. Tatap  mata Ayah lebih menyiratkan kesungguhan itu. Maka tentu saja sia-sia berharap Ayah akan membatalkan niatnya. 

Samar-samar kulihat Ayah menggeleng. Aku tergetar.

“Harap kalian tidak keberatan Ayah menikah lagi!” Mutlak. Hak veto itu tak tergugat kata-kata.       

Langit runtuh. Aku tertimbun rongsokan bangunan kata-kata Ayah. Bumi rasanya berhenti berputar pada porosnya. Percuma berdebat. Kulihat tak mungkin Ayah merubah pendiriannya.

Lalu kuambil langkah itu. Menyingkir. Masuk kamar dan mengunci diri di sana. Ibu, Kak Langit, dan Kak Bintang tampaknya tak ingin mencegah gerak langkahku. Tak akan ada faedahnya. Lamat-lamat, masih sempat kudengar mereka bercengkerama. Entah mereka bicara apa lagi. Tidak peduli. Dadaku sesak. Seperti umum perempuan terluka, air mataku deras mengalir. Meratapi kenyataan tersuguh dengan pikiran kusut.

Adalah sia-sia kuidolakan sosok Ayah. Betapa egois ia di mataku. Padahal tidak kurang-kurangnya upaya Ibu menghadirkan kehangatan surga di rumah kami. Pada galibnya, seorang anak tetap dan selalu dekat dengan ibunya. Maka, kubela Ibu mati-matian. Tapi, sungguh di luar dugaan dan bertolak belakang. Ibu meredam pemberontakanku. Sia-sia.

“Ibu ikhlas dan ridho, Bulan!” kata Ibu mantap.  

Kutatap Ibu dengan mata membulat. Betapa tertekan aku berada dalam situasi penuh paradoks itu. Kutelan ludah. Pahit dan getir. Ingin aku bereaksi, meronta lepas dari kungkungan yang sangat menyesak dada. Namun, seberapa ingin aku terlepas dari kungkungan itu semakin aku tersakiti dan membenci Ayah sampai ke sum-sum. Sungguh mati.

Lalu kubayangkan perempuan yang akan menjadi madu Ibu; cantik dan juga tentu anggun dengan tren jilbab masa kini. Umur kutaksir berkisar tiga puluh lebih sedikit. Matang dan mandiri. Setiap ditatap Ayah seulas senyum merekah, aih hatiku sakit seperti ditakik-takik benda tumpul. Ngilu tak ada kira.  

Ugh. Mendidih benciku pada Ayah. Di ubun-ubun. Menggelegak.  

Maka, setiap ada kesempatan tak putus-putus kuhasut Ibu lagi. Ibu pasti luluh dengan gigihku melempar su’udzon pada Ayah. Kujelek-jelekkan tabiat perempuan perusak rumah tangga orang. Serupa orator lantang aku berkoar. Menyulut nyali Ibu. Berusa-busa mulutku beretorika. Namun Ibu tak terusik. Satu hal kutemukan. Terpapar jelas bagiku kesetiaan Ibu pada Ayah. Meski ia tahu hati Ayah tak utuh lagi. Kesetiaan itu menumbuh seperti tunas-tunas baru pada ranting penumbuh. Menyimpan bela rasa sederhana, namun sangat tidak mudah diterima logika.   

“Swarga nunut, neraka katut!” terlontar kata-kata itu disertai tarikan napas yang dalam. “Seorang isteri akan terbawa oleh jalinan tangan suami. Berkelindan serupa benang pada alat pemintal. Sejalan berirama menuju pusar kelindan itu. Serupa demikian yang diemban oleh sosok seorang isteri. Terbawa serta kepada jalan lurus. Terseret jika terjerembab ke jalan gelap! ” Ibu terdiam. Menciptakan jeda dramatik.

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf ra. Rasulullah saw bersabda,” lanjut Ibu takzim. “Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘masuklah engkau ke surga dari pintu yang disukai’. Hadis Riwayat Ahmad!”

“Ibu…”

“Taat kepada suami  bagian dari ibadah yang sangat penting,” lanjut Ibu lembut. Penuh tekanan ia mengajariku. Lebih tepat kukatakan demikan sebab kata-kata itu lebih difokuskan padaku. Aku terperenyak.  

“Demikian jika seandainya seorang istri melakukan banyak kebaikan, akan tetapi bermaksiat kepada suami, maka ia tidak akan membaui surga...” Bernas kata-kata itu, tapi hatiku mengingkarinya. Surga?

“Untuk itukah Ibu mengizinkan Ayah menikah lagi? Aduh, Ibu. Demi selembar tiket menuju surga Ibu taklukkan diri Ibu sendiri. Ada banyak jalan menuju surga, Ibu. Ibadah tidak satu macam, bukan?  Lihat, apa yang tersuguh pada pribadi Ibu lebih menyerupai taklid!” tudingku.

Ibu menatapku. “Bukan taklid buta. Bukan pengorbanan diri, akan tetapi sebuah pilihan!” pangkas Ibu. “Pada setiap pilihan pasti ada resikonya. Insya Allah Ibu ikhlas dan ridho menerima kenyataan ...”

“Aku pikir Ibu keliru. Mengizinkan Ayah menikah lagi sama halnya Ibu  menciptakan peluang bagi Ayah menjauhi Ibu. Perempuan itu akan jadi rival Ibu, yang akan merebut perhatian Ayah!”

“Menurutmu begitu?” Ibu bertanya dengan mimik datar.

Aku mengangguk. “Setidaknya itu akan terjadi, lambat laun.”           

“Tak akan ada yang memisah Ibu dari Ayah!” bantah Ibu cepat. “Bahkan maut sekali pun. Kami akan bersama hingga ke surga kelak. Itulah tekad kami ketika membentuk sebuah rumah tangga dulu.”

“Tapi, Ayah akan menikah lagi, Bu!” sergahku cepat.

“Ayah akan tetap mencintai Ibu dan kalian semua!”

“Omong kosong,” hardikku. “Bagaimana Ibu akan tetap bertahan pada sesuatu yang tak utuh lagi? Hati Ayah akan terbagi.”

“Tak masalah. Ibu yakin Ayah akan berlaku adil. Ayah akan menyintai kita semua seperti apa adanya.”

“Jangan korbankan diri Ibu. Pernikahan Ayah, kelak, di kemudian hari akan menimbulkan masalah. Rumit jadinya!” sungutku.

“Masalah dalam hidup tak akan pernah menjadi kering. Kesemuanya  itu tergantung pada bagaimana cara kita menyikapinya. Ada manajemennya!”

Kugigit bibirku kuat-kuat. Apalah dayaku. Argumentasi Ibu mematahkan segala upaya pemberontakanku. Aku jera dan lelah didera rasa jerih pada sikap Ibu. Sukar sekali menyelami hatinya.   

Aku pikir Ibu mahfum; bahwa poligami merupakan salah satu problem perkawinan yang berpotensi memecah belah perempuan. Poligami memosisikan para perempuan jadi lawan satu dengan lainnya, dalam upaya mendapatkan pembagian berupa perhatian dan cinta. Namun, Ibu bergeming. Tak mempan hasutan. Segencar apa pun hasutan itu kutebar. Bak batu karang, sikap Ibu tak tergoyahkan.        

 “Ibu tahu, kau amat keberatan, Bulan!”  Lembut disentuhnya punggung tanganku. “Belajarlah menerima setiap kenyataan dengan tidak terlalu banyak menuntut jawaban. Anggaplah semua itu telah diporsikan oleh takdir! Dengan demikian segalanya akan beralur normal.”

Kutelan kedongkolanku susah payah. Luar biasa perempuan ini. Tidak pernah kudengar kata-kata serupa menguar dari mulut perempuan lain saat suaminya ingin berbagi ranjang.  Betapa beruntung Ayah memiliki Ibu.  

Swarga nunut, neraka katut, begitu kata Ibu. Aku menerawang. Tak jelas makna kata-kata yang disakralkan itu dalam imajiku. Betapa niscayanya.

Konon, surga adalah puncak tertinggi dari segala bentuk bahagia. Maka, tak pelak, siapa pun bermimpi untuk berkunjung dan menetap di sana. Seperti layaknya mendapatkan sesuatu yang teringini, diperlukan usaha gigih untuk mewujudkannya. Demikian lika-liku jalan ke surga, tempat mukim prestisius itu, jika dianalogikan pada sebuah kerja keras untuk merealisasikan sebentuk barang kepemilikan.

Surga dipagari oleh onak dan duri, demikian pendakwah bersyiar. Pada tiap lintas titian ke sana ada banyak ranjau harus dijinakkan. Untuk wujudkan sepetak mukim di surga terkadang orang rela melakukan sesuatu di luar nalar orang lain. Begitu obsesi Ibu di mataku akan surga itu. Tapi di manakah alam bernama surga itu, Ibu?

Jika saja kalimat al baiti jannati itu dimetamorfosakan ke realitas puitik, maka, ritmik melodiusnya adalah sensasi surga di dunia nyata. Sebuah situasi yang mengisyaratkan; surga yang memberikan kebahagiaan, dan diminati oleh setiap individu bukanlah suatu tempat yang jauh. Sangat dekat. Berada di dalam diri setiap individu. Dia adalah nuansa dari situasi diri yang intens, bermukim serta bermahligai di dalam jiwa. Demikian John Burrough, seorang naturalis dan esais menyitir tentang ranah surga itu.

Maka yogianya, pernah kutemukan surga itu dalam sebuah keluarga solid. Lika-liku lakon hidup di antara kami mengukuhkan bangunan surga itu. Siluet keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, yang terbangun di atas fondasi kokoh cinta utuh Ayah pada Ibu. Pun sebaliknya, cinta kami tak berpamrih pada keduanya merupakan totalitas cinta anak pada orang tua. Mutlak tak tergugat. Harmoni cinta itu saling rengkuh satu sama lain serupa jalinan benang dalam rajutan kain.

Sejatinya tak tergugat cinta itu. Namun, siapa bisa memastikan sesuatu yang akan terjadi di belakang hari? Memasuki pensiun, Ayah ber-azzam pada sesuatu yang nyaris membuat degub jantung seakan berhenti berdetak. Shock, tak percaya pada pendengaran sendiri. Seperti bermimpi kejutan itu datang tak terduga. Sebuah kado teramat istimewa di awal masa pensiun yang membuat histris. Ayah akan memadui Ibu.   

Betapa tak bisa diterima akal sehat. Kak Langit menata ulang rencananya mengakhiri masa lajang di awal dua-delapan. Kak Bintang tak berniat segera menikah sebelum Kak Langit sukses di pelaminan. Kenyataan ini sungguh pahit. Sebagai perempuan, aku terpukul. Gara-gara Ayah.        

Kubangun sebuah dinding yang membentangkan jarak. Kuciptakan keterpisahan itu, akhirnya. Apa boleh buat. Bangkang sikapku pada Ibu dan Ayah menihilkan ridhallah fi ridhal waa lidain. Dipandang dari sudut mana pun seorang anak tak dibenarkan berbuat durhaka pada orangtua. Kusadari itu.

Jikalau tak kuraih ridho Allah, karena ridho keduanya tercerabut dariku. Barangkali aku ini anak durhaka. Bisa jadi. Beban yang tersandang. Namun, pastilah tak salah jika terlampau ingin melihat mereka utuh seperti apa adanya. Tidak Ayah lari ke lain hati. Cukup Ibu saja. Monogami.

Tetapi sebaliknya, jika restu Ibu pada Ayah adalah pintu surga, maka  tak patut kulecehkan keputusan itu. Tapi, aku harus menyingkir, Ibu. Jika karena kepergianku ini tertoreh materai anak durhaka pada keningku, biarkan Ibu. Tak sudi kusaksikan Ayah bersanding perempuan lain. Maafkanlah!

Kepergian membawa luka. Terluka oleh jalan yang ditempuh Ibu. Ibu rela dimadu demi swarga nunut neraka katut itu. Totalitas bentuk ketaatan pada suami. Meski disesali, itulah sebuah pilihan.

Tak ingin kugugat lagi apa yang telah menjadi pilihan Ibu.  Aku orang terpelajar. Emansipasi telah digelindingkan Kartini lebih dari seabad lalu. Oleh sebab aku perempuan, maka  kubaiat diriku di bawah slogan emansipasi itu. Hak perempuan harus ditegakkan.

Di pengasingan, berpuluh-puluh leteratur tentang perempuan kubaca. Selalu saja banyak ulasan dalam buku itu membuatku tertohok. Kitab Centini, misalnya. Perempuan diibaratkan binatang kuda. Kata katuranggan jika dirunut pada kata dasarnya berarti kuda. Itu yang kupelajari secara tak sengaja dalam buku itu. Jika perempuan diibaratkan binatang kuda, maka sifat dan wataknya tentulah binal. Kita sering mendengar orang berkata tentang kuda binal, bukan?   

Ayah tergoda ringkik binal itu. Kalau tidak, tentu Ayah tak akan tega menduakan Ibu? Perempuan binal sifatnya tentu banal. Miris benar nasib Ayah ulah perempuan penggoda itu. Betapa aku tak rela. Tapi, apalah peduli Ayah pada segala macam pertentanganku?

Ibarat sisi terang yang senantiasa dibayangi sisi gelap. Di sana selalu ada ambigu yang tersamar. Raga cenderung takluk pada kesenangan birahi dan ingin terpusi. Demikian perempuan itu telah mendapat legalitas sebagai istri kedua Ayah. Perlahan tapi pasti, kehadiran istri kedua Ayah akan membawa warna lain dan dinamika berbeda dalam hidup Ibu. Hidup kami juga. Suka atau pun tidak, aku harus menerimanya sebagai bagian dari keluarga. Tidak ada alasan mengingkarinya meski hatiku tak sudi, sekali pun.  

Lalu, datang SMS dari Kak Langit, mengingatkanku akan arti memiliki sebuah keluarga. Ibu sakit. Telah seminggu di rumah sakit. Aku tercekat tanpa suara. Seseorang bersuara lantang mengumandangkan takbir. Allah Hu Akbar.

Seperti terbangun dari mimpi buruk, aku gugup. Tak ada gemuruh petir memecah langit. Tapi, ombak menciptakan gelombang dahsyat setinggi lebih empat meter. KMP Ken Dedes terombang-ambing. Rasa mual melilit-lilit perut. Mabuk laut.  

Hujan masih deras. Seperti air ditumpah dari langit. Penumpang terusik. Panik. Semburat kepiasan tergambar jelas pada wajah penat mereka. Ketakutan beralasan. Lalu sebaris doa dirapalkan berulang-ulang. Harap-harap cemas. Sepenuh hati, sebuah permohonan dipanjatkan agar selamat tiba di tujuan. Jauh di sana, di rumah mereka, ada yang sedang menanti. Keluarga.

Kapal limbung diamuk gelombang. Berderak. Lalu suara pecahan beling retas. Pasti benturan sesama bus mengakibatkan pecah kaca itu. ABK terlatih menghadapi situasi. Untuk berjaga-jaga, masing-masing ABK membagi-bagikan baju pelampung. Situasi panik dan tak terkontrol. Penumpang berebutan  tanpa mengindahkan antrean. Di tengah laut, keselamatan pribadi lebih merupakan faktor utama yang diprioritaskan. Tak hirau yang lain.

ABK melempar baju pelampung ke dekatku. Tidak bermaksud tak sopan padaku dengan kelakuannya itu. Situasi ambang gawat. Segera kupungut baju pelampung itu dan kuikatkan sesuai petunjuk standar pemakaiannya. Mataku terasa berkunang-kunang. Pening kepala. Sesuatu tertahan di kerongkongan. Uaaagh, isi perutku terlontar sekenanya. Aku jijik pada ulahku. Apa boleh buat.

Seseorang di sampingku, entah siapa, mengangsurkan balsam. Kuangkat wajah, menoleh padanya. Seorang perempuan bersama anak kecil berdiri di sebelahku. Tersenyum. Tak serupa denganku. Baju pelampung tidak terlilit pada tubuh mereka berdua. Hanya dipegang saja.

“Pakailah,” katanya ramah. Menatapku sembari membuka tutup balsam. Dicolek sedikit pada ujung jari. Lalu, “Maaf,” ia permisi sebelum tengkukku dipijat-pijat. Menjalar ke kening. Perlahan jilbabku disingkapnya sembari terus memijat.

Mualku terasa berkurang. Aroma balsam segarkan penciuman. Belum tampak mercusuar tanda dermaga telah dekat. Pada perempuan di sebelahku, aku mengangguk.

“Terima kasih,” desisku. Kukerjap-kerjapkan mata. Hangat balsam terasa merambati saraf mata. Terang penglihatan, sejenak. Tapi, pening di kepalaku tak juga reda. Nyut-nyutan.

“Sebaiknya kita cari tempat duduk di tempat lain. Bau laut tidak baik jika kita tengah mabuk laut!” perempuan itu berujar. Bersama anak kecil, yang juga perempuan, ia membimbing langkahku. Hujan tampak mulai merinai. Tak deras lagi. Angin mengirim bau tamparan gelombang. Asin laut.

Langkah perempuan itu tertunda. Memberi isyarat pada perempuan kecil agar mengambil arah ke ruang VIP. Di ruang itu angin tak mampu lagi mengirim bau laut.  Di sana aku ditempatkan.      

“Banyak maaf, Ibu. Merepotkan.” Kusungging seulas senyum. Sepenuh rasa, kutatap dua orang berhati malaikat itu.

Perempuan itu mengerjap. Sorot matanya teduh, menenteramkan hati.  Lalu ada senyum mengembang pada wajah itu. Terpesona menatapnya. Betapa aku tengah merasa berhadapan dengan ibuku. Hatiku tersentuh.     

“Istirahatlah. Paling tidak kurang dari satu jam kapal tiba di dermaga.”

Bak kerbau dicucuk hidung, aku menurut saja. Perempuan dan anak kecil itu duduk mengapitku. Tampak mereka tetap ingin menjagaku. Sungguh aku tersanjung pada perhatian itu. Subhanallah, ajaib hidup ini terkadang.

Masih segar tercium aroma hangat balsam, lembut menusuk-nusuk ujung syaraf. Tak ayal, seperti tengah terserap oleh sebuah kekuatan magis dan sakral, tubuhku hilang tenaga. Pelupuk mataku terasa diberati benda pemberat. Terkatup dengan sendirinya. Napasku longgar dan aku merasa terhempas dalam buaian bayang cahaya rendah.

Terlelap entah berapa lama…

Suara yang berderak, bertumpuh pada beton kokoh. Pendar cahaya lisut dalam tatap mata kabur. Aku terjaga. KMP Ken Dedes merapat dermaga. Para penumpang tergesa-gesa, berebutan menuruni tangga. Perempuan dan anak kecil itu belum beranjak.

Alhamdulillah. Kita sudah di dermaga!” Perempuan itu menarik napas lega. Ia memberi isyarat pada anak kecilnya agar berkemas. Aku berdiri sedikit tersipu. Malu diperlakukan lebih. Baju pelampung masih melilit tubuhku dan tanpa ragu perempuan itu melepaskannya dari tubuhku.

“Terima kasih,” untuk kesekian kalinya kalimat itu terucap.

“Tak apa,” katanya sembari melipat baju pelampungku. “Melihatmu aku terkenang almarhumah anakku. Meninggal dua tahun lalu. Kecelakaan lalu lintas!” Ada nada getir dalam getar suaranya.

Aku terpaku. Cukup lama. Tak ada kata-kata terucap dari bibirku atas berita belasungkawa itu. Refleks, kurangkul perempuan itu dalam dekapan. Erat dekapan itu, dengan segenap perasaan. Aku merasa sangat mencintai ibuku saat ini. Rasa sayang, kagum, dan kepedihan menyatu dalam sebuah paduan yang memenuhi perasaanku. Perasaanku pada perempuan itu dan juga pada ibuku.  

“Sebuah kebetulan,” ucapku lirih.

Perempuan itu mengangguk. Melepas dekapan. “Insya Allah, pada lain kesempatan kita berjumpa lagi,” perempuan itu melambai. Pergi bersama anak kecil itu. Pada jarak beberapa hasta, tampak perempuan itu tengah menyusut air matanya dengan punggung tangan. Tanpa menoleh lagi. Hatiku trenyuh.

Pecahan beling berserak. Kaca depan sebuah pick up hancur  terseruduk bak belakang truk barang. Pemilik pick up tampak berang. Tapi, tak bisa apa-apa. Ditelannya kedongkolan yang tersamar pada tatapnya. Kejadian yang tak seorang pun mengharapkannya. Aku berjingkat, menghindari pecahan beling. Bus tumpanganku ada di depan. Deru mesinnya terdengar tak sabar.

Perjalanan yang melelahkan. Pagi terang tanah, bus memasuki terminal. Kukemasi bawaanku dan menyegat taksi. Rasa penat didera mabuk laut nyaris  membuatku seharian demam. Kak Langit dan Kak Bintang berangkat mengajar lebih pagi. Ayah di rumah sakit menunggui Ibu, kata Kak Langit. Besoklah kau jenguk Ibu, Kak Bintang memberi saran. Aku mengiyakan.

Sendirian di rumah. Tergolek istirahat dan tak terusik. Menjelang shalat magrib aku terbangun. Kumandang suara azan mengingatkan aku pada dua waktu molor shalatku, dohor dan asar. Astaghfirullah. Begitu terlelap tidurku setelah minum tablet sakit kepala penyebab kantuk itu.

Mandi air hangat membuat badanku sedikit bugar. Diimami Kak Langit, kami shalat magrib berjamaah. Khusuk kami bersimpuh. Kak Langit mengakhiri shalat dengan doa memohon kesembuhan untuk Ibu. Kak Bintang mengusap ujung mata dengan ujung mukena. Ada bening menggenang di sana. Bening air mata yang berpadu pada harapan doa diijabah Allah. Kesembuhan untuk Ibu.

Kak Langit memutar badan, menghadap aku dan Kak Bintang. Ada isak tertahan, tersembunyi dalam rona tatap merah matanya. Terjulur tangan Kak Langit. Sontak saling merangkul satu sama lain. Tak ada bentang jarak itu lagi. Sesenggukan itu menyadarkan betapa kami bertiga tak mampu menolong penderitaan Ibu. Bahkan, doa pun  terkadang tak khusuk terucap untuknya. Ya, Allah, ampuni diri kami.

“Ba’da asar Ayah pulang!” ujar Kak Langit seraya menyeka air matanya. “Ayah tak sampai hati membangunkanmu. Lelap sekali tidurmu itu!”

Aku menelan ludah. “Mengapa tak membangunkanku, Kak?”

“Ayah tak ingin istirahatmu terusik. Jadi tak kubangun kau,” timpal  Kak Bintang. “Ayah cuma melongok sebentar ke kamarmu.”

Ah, Ayah. Masih tersimpan perhatian itu untukku. Naluri orangtua. Tak kupungkiri rasa itu. Pragmen kecil di atas kapal, kemarin itu, memakzulkan diri akan makna kehadiran orang-orang tercinta dalam hidup ini. Perempuan itu dengan almarhumah  anaknya. Jugakah Ayah?

“Bagaimana dengan keadaan Ibu?” tersendat kalimat itu terucap. Nyaris tak terselesaikan. Betot rasa bersalah itu menajam, membuat getar dalam nada kalimatku.

Alhamdulillah, agak sehat.” Kak Langit menjawab lirih. “Untung segera tertangani. Seminggu lalu Ibu menjalani operasi.”

“Sakit apa, Kak?” terlontar kalimat disertai pekik. Blingsatan. Lalu gugup mendadak.

“Sakit ginjal. Keduanya tak berfungsi!” Kak Bintang menerawangi langit kamar. Senyap sejenak.

“Sebelum dapat donor, Ibu diharuskan cuci darah dua kali seminggu demi membuang racun dalam tubuhnya,” urai Kak Langit sedih.

“Separah itulah penderitaan Ibu,” Kak Bintang terisak. “Setiap kali cuci darah Ibu muntah-muntah...”

“Mengapa tak mengabariku lebih awal, Kak?” sesalku pada keduanya.

“Ibu melarang kami. Juga Ayah!” Kak Bintang menarik napas dalam-dalam. “Ayah maupun Ibu tak ingin memberatkan pikiranmu. Terkecuali Ayah telah mendapatkan donor, barulah kami boleh memberi tahumu.”

Aku merunduk. Menyesali sesuatu yang terasa begitu tajam menusuk-nusuk ulu hati. Nyeri tak terperi, memunculkan luka dengan keperihan yang tak terjabarkan. Hal-hal seperti itu sesungguhnya mengingatkanku akan kasih putih orangtua pada anak-anaknya. Putih tak ternoda. Mengapa kuingkari?

“Siapakah yang mendonorkan ginjalnya pada Ibu?”  tanyaku memelas.

Kak Langit dan Kak Bintang bersitatap. Sejurus lama terdiam. Kutelan rasa penasaran. Siapa gerangan bermurah hati mendonor ginjalnya tanpa uang imbalan? Adakah seorang anak, seumpama Kak Langit atau Kak Bintang rela melakukannya tanpa pamrih untuk Ibu?  

Atau sebaliknya, siapkah aku menghadapi tajamnya pisau bedah untuk mengeluarkan sebuah ginjalku untuk Ibu? Aku bergidik. Kutatap Kak Langit dan Kak Bintang. Bukan mereka pendonornya. Itu pasti. Lalu siapa?

Maka, sungguh mustahil Ayah akan memperoleh donor gratis dari orang lain kecuali dari anaknya sendiri. Untuk urusan ginjal, dana pengadaannya paling tidak di atas seratus juta. Punyakah Ayah uang sebanyak itu?  

”Donor diperoleh Ibu dari madunya sendiri,” berkata Kak Langit dengan wajah diliputi haru. “Sungguh tak disangka-sangka. Istri kedua Ayah, yang kau hujat sebagai perempuan perusak rumah tangga orang itu penolong Ibu.”

Aku merasa disudutkan. Tapi, tak bermaksud berkelit. Tak ada kata-kata sanggahan atas apa yang diungkapkan Kak Langit. Kecuali satu hal; aku merasa bersalah pada perempuan itu. Madu Ibu.

“…karena mungkin kamu tidak menyukai akan sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Penggalan terakhir Surat An-Nissa’ ayat 19. Intinya kita harus sabar dan tawakkal menerima tawaran hidup ini. Siapa dapat meramal takdir?” Kak Bintang berkata lembut.

Ada nada pahit dalam suara lembut Kak Bintang. Siapa duga, rasa pahit itu ternyata penawar rasa sakit. Maka, sesungguhnya tak dibutuhkan terapi apa pun untuk menjelaskan kronologis pahit itu. Rasa pahit obat berimplikasi pada penyembuhan penyakit seseorang. Pahitnya kejujuran membawa dampak pada manisnya buah kemaslahatan.  Amar ma’ruf nahi munkar. Syiar dakwah.

Dan kutemukan satu hal yang membuatku terbebas dari rasa bersalah. Meminta maaf. Ingin kugapai ridhallah fi ridhal waa lidhain itu sebelum pintu langit tertutup rapat untukku. Kuusap sudut mataku yang menyimpan bening. Sebuah pencerahan telah membiakkan percik  euforia dalam hati. 

“Aku mau bezuk Ibu sekarang!” ucapku sambil berdiri melepas mukena.

Kak Bintang terperangah. Tatap matanya menyiratkan gusar. Betapa tak yakin Kak Bintang akan pendengaran: “Benar, Dik?” 

Aku mengangguk. Mantap. “Ya!” jawabku. 

 “Alhamdulillah, Bulan.” Kak Langit bersegera sujud syukur. “Akhirnya hidayah itu menerangi hatimu, Dik!” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca.

Berdandan seadanya. Dari Kak Bintang, kukantongi nomor kamar inap Ibu. Lalu langkah gegas kuayun. Bismillah, honda Beat hitam milik Kak Langit mengantarku pada koridor Rumah Sakit itu. Pada sebuah ujung mengambil dua belokan arah ke kanan, kutemukan kamar inap Ibu.

Kuintip penghuni kamar itu lewat kaca pintu. Dua ranjang berpenghuni masing-masing tergolek di atasnya. Tampak Ayah di sana sedang mengobrol pada mereka berdua. Hatiku kebat-kebit. Seseorang di antaranya pasti madu Ibu. Perempuan itu tak muda lagi. Paling tidak enam tahun umurnya lebih muda dari Ibu. Aku menduga-duga.

Lalu ringan tanganku mengetuk pintu. Lima ketukan yang selaras. Pada jeda  dua tarikan napas, pintu terkuak. Ayah.

Assalamu’alaikum,” ucapku disertai bibir bergetar.

Wa’alaikum salam,” balas Ayah. Terangkat kedua alis Ayah menatapku.  Tersenyum. Lalu kedua bilah tangan Ayah terkembang. Menyambutku. Kuraih tangan Ayah dan kucium sebelum aku dirangkulnya.  

“Maafkan Bulan, Ayah!” Sengau suaraku oleh sebuah isak yang tertahan.  Beberapa detik isak itu melelehkan air mata. Tersedu di dada Ayah. Detik-detik mengharukan. 

Dan langkahku dibimbing Ayah menuju tempat tidur Ibu. Kutatap wajah berbaring itu. Sedikit memucat. Namun, rona yang terpancar dalam sorot mata Ibu mengguratkan rindu tak tertahan. Refleks gerakku memeluknya. Di atas itu  semua hanya tangis yang mempertegas betapa aku amat mencintai perempuan ini. Ibuku.

Ayah menyentuh pundakku. Isyarat agar aku bersilaturahim pada madu Ibu itu. Aku mengangguk mengikuti gerak Ayah. Lalu tangan perempuan itu terjulur, menggapai tanganku. Agak kikuk kucium tangannya. Ayah tersenyum.

“Bulan, ya?” tanyanya riang.

Aku mengangguk; “Ya, Bunda!”

Perempuan mengelus tanganku. “Maafkan Bunda!” katanya parau. Ada nada minor dalam utas kalimatnya. “Bunda telah merebut Ayah darimu.”

Aku menggeleng. “Tidak, Bunda. Bulan yang seharusnya meminta maaf pada Bunda. Bulan yang salah menafsirkan niat baik Ayah.”

Situasi diriku yang semula kikuk mencair dalam arus bincang-bincang. Keakrabanku dengan perempuan itu terjalin sudah. Ah, betapa kuat aura yang berpendar dalam diri perempuan itu. Memancarkan kehangatan yang tenteram pada setiap yang menatap.

“Bulan,” panggil Ibu lembut. “Setiap lembar kehidupan entah berapa bab yang terdapat di dalamnya, akan selalu memunculkan banyak pertanyaan. Dan, tidak semua pertanyaan itu mendapatkan jawabannya.”

Aku mengangguk. Kusimpan pesan itu untukku. Sebagaimana proses transfer sebuah pembelajaran dalam hidup, maka dua orang perempuan itu adalah ibarat dua jilid buku yang tak akan pernah habis untuk dibaca. Pada setiap jilidnya ada banyak ilmu yang harus digali dan dikaji. Di situlah aku belajar. Belajar pada perempuan, yang menyimpan banyak kisah pembangun jiwa.

Ketukan di pintu mencuri dengar. Sontak mata tertuju ke sana. Handel pintu berputar, dan daunnya terkuak. Seseorang berdiri di ambangnya, santun mengucap salam. Assalamu’alaikum…

Ayah menyambutnya sumringah. Diciumnya tangan Ayah. Lalu giliran tangan Ibu, dan berakhir pada tangan perempuan madu Ibu itu. “Bagaimana keadaan, Bunda?” katanya seraya saling merangkul.

Aku tercekat. Idam!

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler