Skip to Content

Belum Ingin Hidup

Foto Steven Sitohang

Sekawanan itu ku lihat dari puncak kesadaran, sekawanan yang erat dalam suasana yang berbeda, berbeda pandangan, berbeda perasaan, kepribadian dan kesadaran. Satu sama lain saling terkait, satu dalam cerita, cerita panjang tentang alam yang tertulis menuju satu tempat, akan ada hujan ketakutan di sana bersama awan gelap yang pucat memamerkan kesedihan.

 

Angin berhembus bergandengan tangan dengan derik detik, hembusannya sejuk banyak yang suka menikmati. Terutama dedaunan hijau yang mendominasi, menari, diiringi siul bernada hangat dari burung-burung. Kesadaran mata melihat ketika sang pucat terhempas ke ranah entah, hanya anak-anak kecil yang sadar akan tariannya, hanya anak-anak kecil yang mendengar siulannya, pantulan-pantulan membentuk ilusi dari sinar kejujuran membelah dinginnya kepalsuan, hanya anak-anak kecil yang menikmati kesejukannya dan hanya anak-anak kecil yang melihatnya, menamakannya pelangi.

 

Masih di bawah sana, sekawanan itu menggeliat bagai cacing tanah yang jorok. Mencoba bertahan dan dengan ketidaksadaran menyuburkan tanah. Sesekali saja muncul kepermukaan kemudian patuk ayam menerkam terkadang sang elang, kekhawatiran ada karena tidak adanya kesadaran akan keberanian. “Alamia” banyak mulut yang mengatakannya, rentetan kecil kejadian banyak yang mengotori, banyak yang mencampuri, banyak yang ingin menulisi seakan dia lah yang berhak akan alur rentetan sekenario.

 

Terlihat amat kecil dari sini, puncak pun turun seperti eskalator teramat lambat dan sulit untuk disadari. Eskalator, seperti itu lah aku mengibaratkannya, sulit untuk ku mencari pengandaian yang lebih tepat, aku sering mendengar nama alat tersebut, dan sekarang seakan asing bagiku, atau mungkin memang belum ada namanya dalam Bahasa Indonesia. Aku tidak benci dengan keadaan yang kotor, dan keadaan yang jorok menjijikan, menurutku akan lebih baik jika tidak mencampuri dan sengaja untuk mengkontaminasi, kecuali memang tidak ada dalam kamus kita. Aku mengucapkan ini dengan sadar.

 

Kemudian dengan lambat puncak itu turun, dikit demi sedikit, yang tadi mataku lihat kecil nampak menjadi lebih besar. Terlihat aneh, sangat aneh ketika dedaunan bergoyang kencang tertempel butiran-butiran embun yang tak mau jatuh, terasa sulit, sangat sulit untuk mereka lewati, pencemaran menjadikannya jorok, kesengajaan yang menjijikan membentuk mereka menjadi pribadi, campur aduk di dalamnya, campuran yang tidak pada takarnya. Campuran pemandangan yang tidak indah, campuran suasana yang sulit dinikmati, campuran perasaan membuat sulit untuk diungkapkan, campuran perasaan yang mengunci diri, campuran-campuran yang lagi-lagi mengkontaminasi dan campuran bahasa yang sangat dibenci!.

 

Pada masa-masa sesulit ini, sering terjadi banjir kebahagian yang diakibatkan keretakan yang indah yang disengaja, ke dalam lobang-lobang itu mencoba masuk, ke dalam keindahan yang sengaja dipaksakan itu melarikan diri. Banjir kebahagian yang terdapat berbagai macam penyakit, penyakit yang tiba-tiba saja muncul dan penyakit yang ada karena kebiasaan. Banjir yang menggentayangi, banjir yang mengelilingi membuat rapuh, tidak seimbang, mudah patah, labil akan kemauan.

 

Terus menurun, semakin jelas. Campuran hidup yang merasuki, berbagai macam hal tertempel sukar untuk ditinggali karena mereka menikmati. Jadilah pribadi seperti perahu yang mengarungi samudra luas dengan seimbang, penuh dengan tantangan, penuh dengan ikan-ikan yang tak berdosa dengan giginya yang tajam, berenang dengan tenaga, meluncur dengan cepat menembus lautan dalam yang sedikit mengandung oksigen, penciumannya yang peka akan bau, matanya jernih sejernih air laut itu sendiri, dan mencari, mencari mangsa, mengejar, dapat, mencabik ke kiri dan ke kanan, merobek, kemudian menelan dan tetap mereka sebut tidak berdosa.

 

Puncakku hampir rata dengan dataran, mataku seakan sedang mengenang sesuatu. Sesuatu yang belum pernahku alami. Aku rasakan dingin tak bergairah di sana, aku lihat panas matahari yang menyinari yang menimbulkan keringat kerja keras untuk bermanipulasi. Aku rasakan kekelaman yang gelap gulita tak bernyawa karena seakan segala hal disengaja, dibuat dan diciptakan, aku lihat pagi hari sebelum terbitnya matahari dan setelah kekelaman malam tiada setitik kesadaran, bahwa segala hal dapat terlihat dari puncak. Puncak kesadaran, puncak kehidupan, puncak kelelahan dan puncak kematian. Aku belum mau hidup.

 

( Kayu Agung, Palembang, 20 Juni 2015)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler