Skip to Content

BOTOL KULO ENDI (BOTOLKU MANA)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Indahnya bepergian dengan kereta api belum lama. Kurasa belum sampai 10 tahun. 1970an yang namanya transportasi umum, apakah itu bus atau kerta api, kondisinya hampir sama. Sama sedikitnya yang memperhatikan kenyamanan penumpang.

Bukan tidak ada yang bagus. Ada. Ada kereta api BIMA. Ini diambil dari singkatan BIru Malam. Warna gerbongnya biru dan dioperasikan pada malam hari. Trayeknya Jakarta Surabaya. Bus juga ada yang bagus. Sama dengan kereta api, bus-bus yang bagus dioperasikan hanya pada malam hari saja.

Aku bukan akan bercerita tentang alat transportasi. Aku akan bercerita tentang pengalamanku naik kereta api dari Stasiun Cikampek ke Stasiun Cirebon.

Aku pastikan dulu bahwa kisah ini terjadi pada tahun 1972. Bulan Juli. Saat libur sekolah. Tugasku sebagai guru libur juga. Lama aku menunggu datangnya libur ini. Terasa lama karena keinginanku untuk ke Cirebon sangat mengendap dalam pikiran dan perasaan.

Tahun-tahun itu aku sedang kecanduan menjadi penyiar radio. Radio SBC di Cikampek, yang disana aku menjadi salah seorang penyiarnya, pindah ke Cirebon sehubungan dengan pemiliknya yang alih tugas.

Aku lupa nama kereta apinya. Yang jelas tujuan akhirnya adalah Jogja, Di Stasiun Cikampek sekitar pukul 09.00. Aku sebut sekitar saja karena saat itu hampir tidak ada kereta api yang tepat waktu kedatangannya atau keberangkatannya.

Ketika aku sampai di stasiun, jam besar yang ada di dinding menunjukkan pukul 08.37. Calon penumpang memadati emplasemen. Bangku tunggu penuh. Yang tidak kebagian bangku terpaksa menunggu sambil duduk di lantai.

Aku tidak membeli tiket. Meski uangku cukup untuk membeli tiket aku memilih untuk membayar di atas saja. Maksudnya membayar kepada kondektur jika naik di gerbong atau membayar kepada masinis jika aku naik di lokonya.

Bagiku, bahkan bagi setiap calon penumpang yang penting bisa naik dan terbawa. Tidak peduli apakah akan bisa duduk atau hanya bisa berdiri.

Tidak jauh dari dugaan, aku tidak bisa naik di gerbong. Aku menuju ke loko. Ada yang harus diperhatikan jika naik di gerbong. Jangan naik jika kereta api belum bergerak. Di kedua belah sisinya ada sekuriti yang saat itu disebut polsuska. Tidak boleh naik di loko. Lucu sekali. Tidak boleh naik di loko tapi di dalam loko sudah berjubel.

Ketika kereta api sudah bergerak dn aku sudah punya kira-kira bisa meloncatinya aku meloncat naik dan aman sudah.

Tampaknya kepala stasiun berikutnya, kalau tidak salah Pabuaran mendapat info bahwa di loko padat dengan penumpang. Akibatnya saat kereta api berhenti beberapa orang polsuska datang dan kami diusir.

Kami turun dan berdesakan menjejalkan diri di gerbong. Aku naik di gerbong kedua.

Alhamdulillah, begitu aku naik dan mencari tempat dimana aku akan berdiri, seorang penumpang mempersilakan aku duduk. Dia akan turun di stasiun berikutnya. Aku ucapkan terima kasih dan akupun duduk. Dia menyiapkan barang-barang bawaannya dan beringsut menuju ke pintu keluar. Jika tidak disiapkan dari sekarang, bis-bisa dia terbawa, Sungguh, berkereta api pada zaman itu bisa disebut sebagai sebuah siksaan. Naik susah turun sulit.

Pengamen beraneka ragam tak henti-hentunya. Yang butam yang budge, yang lumpuh, yang bencong, yang mengaji, yang bertato…dan lain sebagainya. Aku menikmati semuanya sambil bercucuran keringat karena sangat gerah.

Aku mengantuk. Tas yang sejak tadi kusandang aku ikatkan di tangan kursi. Ku atur sedemikian rupa agar air manis dalam botol, bekal minuman yang kubawa dari rumah tidak tumpah.

Dua penumpang didepanku tidak bisa diajak ngobrol. Bule, Jerman. Tidak bisa Bahasa Inggris. Yang lelaki tampak sudah tua dan yang seorang lagi perempuan, Masih muda.

Di sebelahku juga tidak bisa diajak ngobrol. Lelaki sudah sangat tua. Ketika kutanya dia mau kemana jawabannya hanya “nggeh” sambil manggut-manggut. Kalau saja ada tempat duduk lain tentu akan pindah. Lelaki tua ini sebentar-sebentar batuk, sebentar-sebentar batuk. Setiap kali batuk dia membuang ludahnya ke dalam botol. Sangat tidak nyaman. Aku ingin pindah. Tapi harus pindah kemana. Aku menyerah saja.

Suara roda besi beradu dengan rel yang juga besi, suara rem yang gebrag-gebrug, suara ramainya penumpang, tukang dagang, pengamen lama-lama terdengar seperti sebuah musik yang harmonis dan akupun tertidur.

Aku terbangun karena suara-suara yang lebih ramai. Teriakan “nasinya bu ..nasinya pak … mas nasinya mas…” membuat aku terbangun. Dan celaka .. aku ngiler. Dan aku merasa sangat haus. Rasa haus ini kujadikan alat untuk tidak segera menghapus ilerku. Aku meraba-raba botol minuman dan setelah terpegang aku langsung minum. Terasa agak asin dan kental. Asin itu pasti ilerku. Kuteguk dua tiga kali lalu kusimpan lagi.

Lelaki tua di sebelahku kembali batuk. Aku tidak bisa tidak peduli karena dia rebut mencari botol tempat ludahnya. Botol kulo endi ,,,otol kulo endi, behitu katanya.

Aku terkejut. Ternyata aku salah ambil botol. Setengah sadar bangun tidur tadi aku meraba botol dengan tangan kiri. Kusimpan di sebelah kanan. Kumasukkan ke dalam tas. Jadi dalam tasku ada dua buah botol. Botol kakek tua itu aku kembalikan. Rasa asin dan lendir masih terasa di lidahku.

 Botol minumanku masih utuh.

 

202004081231_Kotabaru_Karawang

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler