Skip to Content

Bulan Merah Jambu

Foto R'ainy Yusuf

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja

Mengurai, dan layung-layung membara di langit barat daya

O, kota kekasih, tekankan aku pada pusat hatimu

Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

                                    (Ibukota Senja, Toto Sudarto Bakhtiar)

Penggalan puisi itu menggema disudut hatiku. Duduk dalam bis kota yang membawaku ke tempat kos, tak dapat kutahan butiran-butiran hangat menggenangi sudut-sudut mataku. Setahun sudah sejak Rangga meninggalkan kota kelahirannya, aku masih belum dapat menghilangkan rasa hampa yang selalu mendera perasaanku. 

Pagi hari keberangkatannya, aku bangun dari tidur dengan hati  melara. Kesunyian yang pedih  memberati perasaanku saat sadar bila sejak pagi ini aku tak akan bertemu dengannya untuk jangka waktu cukup lama. Dan lebih memerihkan lagi, aku tak pernah tahu kapan dia akan kembali. 

“Abang yang di Bandung memintaku datang. Aku akan mencari pekerjaan di sana.” Begitu kata Rangga di malam sebelum keberangkatannya.

Aku tidak berkata apapun. Bagi orang yang saling mencinta, tatapan mata dan sentuhan jemari lebih mempunyai seribu arti daripada berjuta kata-kata. Mataku memanas. Tatapan mata Rangga yang bersinar dalam pantulan cahaya bulan ingin kukecap sedalam-dalamnya sebelum ia pergi esok pagi.

Aku tidak melepas keberangkatannya di pelabuhan Belawan. Jadwal kuliah yang padat dengan berbagai karakter dosen, membuatku tak bisa mengantar kepergiannya. Rangga tahu jadwal kuliahku setiap Senin pagi. Walau tak hadir melepasnya, aku dapat merasakan suasana pelabuhan Belawan pagi ini. Seolah suara musik pengiring keberangkatan kapal terdengar di telingaku menyanyikan lagu perpisahan. Rangga akan ke Bandung. Aku seperti terdampar di tempat asing.

Duduk di bawah pohon angsana yang merimbun di depan kampus, aku seolah tak melihat seorangpun ada di sana. Tak kugubris candaan teman-teman yang tahu Rangga pergi hari itu. Mungkin mereka menganggap aku terlalu melankolis. Tapi entah mengapa aku belum bisa merelakan kepergian Rangga.

Aku mengenal Rangga secara tak sengaja. Sebenarnya dia tinggal di dekat tempat kostku. Tapi karena aku adalah orang yang tertutup dan tidak mudah akrab dengan sembarang orang, maka aku baru mengenalnya setelah hampir enam bulan tinggal di sana. Perkenalan kami bermula ketika suatu hari aku baru datang dari kampung sehabis lebaran. Seperti umumnya anak kost yang baru pulang kampung,  aku membawa aneka barang dalam kardus-kardus kecil. Apalagi sehabis lebaran. Ketika turun dari becak dan kerepotan membawa barang-barang itulah tiba-tiba seseorang dari sekelompok pemuda yang biasa nongkrong di depan gang rumah kostku berjalan mendekat. Tanpa basa-basi dia langsung membantu menurunkan bawaanku dari becak dan meletakkannya di depan pintu rumah.

“Wah, ada buntutnya nih,” ledek teman-temannya.

Kulihat dia tetap bergeming. Tak bicara sepatah katapun.

“Makasih, ya Bang,” kataku waktu itu dan dia hanya tersenyum.

Matanya lembut dan teduh. Rambut ikalnya dibiarkan panjang menyentuh bahu. Dia berkulit putih kemerahan. Tidak berbaju, hanya bercelana pendek.

Sejak saat itu aku mulai tertarik padanya. Dia tinggal di belakang rumah kostku. Setiap sore dia akan keluar entah kemana. Dan kadang-kadang lewat di samping rumah. Bila akan berangkat atau pulang kuliah, sesekali aku  berpas-pasan dengannya. Biasanya dia yang menyapaku lebih dulu.

“Dek,” hanya itu disertai sekilas senyum yang samar.

Sapaan itu membuatku makin tertarik padanya. Hidungnya mancung dan  bibirnya  selalu dibasahi bila sedang bicara. Aku yakin dia seorang yang rajin berolahraga. Karena selain tinggi dia juga bertubuh atletis.  Kalau dia mahasiswa di kampusku pasti akan jadi anggota tim basket kebanggaan kampus. Tapi yang paling kusuka dan membuat kian terpesona adalah tatapan matanya yang bersorot tajam tapi punya kelembutan tersendiri. Kadang pandangannya menyambar hatiku seperti sayap elang yang melintas tanpa suara.   

“Foto abang yang gondrong itu gak ada, Nila?” itu kutanyakan pada anak ibu kost suatu hari, waktu dia sedang membongkar-bongkar foto teman-teman masa kecilnya.

“Rangga? Dia itu pemalu, mana pernah mau difoto” dia berkata begitu sambil memperhatikanku.

“Kok tanya si Rangga, kau suka ya?” selidiknya usil. Sambil bertanya begitu dia tersenyum nakal.

“Iya, memang kenapa?” tantangku waktu itu dengan nada tak peduli.

Dan entah bagaimana aku jadi benar-benar penasaran dengan orang yang bernama Rangga itu. Banyak pemuda di lingkungan kost yang  berusaha mendekatiku. Itu ku ketahui dari berbagai cara mereka bersikap. Tapi yang bernama Rangga ini benar-benar membuat penasaran. Bagaimana tidak? Walau sering menyapa, sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Sikapnya benar-benar penuh misteri.

Duduk di beranda depan sehabis Isya hampir menjadi rutinitas di rumah kost. Malam ini hanya aku dan Nila, sementara kedua induk semangku pergi sejak sore. Aku melihat Rangga duduk di bawah pohon di seberang jalan. Suaranya cukup merdu menyanyikan lagu yang tak begitu kukenal. Dia duduk membelakangi kami. Tanpa kuduga Nila memanggilnya.

Dia menoleh ke arah asal suara kemudian  berkata, “Eh, aku tidak tahu kalau ada orang di situ.”

Entah perasaanku atau aku salah mendengar, ada getar rasa senang dari nada suaranya. Dia berjalan mendekati kami. Untuk pertama kalinya aku begitu dekat dengan seseorang yang akhir-akhir ini selalu menguasai hati dan hari-hariku. Aku lebih banyak diam ketika akhirnya dia duduk di antara aku dan Nila. Dia pun ternyata seorang yang tidak banyak bicara. Dari semula lebih banyak Nila yang bersuara.

Hingga akhirnya temanku itu mengatakan, “Raini sering menanyakanmu, Ga.”

Kalau aku dapat melihat wajahku saat itu pasti memerah ronanya. Si Nila ini benar-benar keterlaluan, kalaupun benar kan tidak harus segitunya. Aduh, benar-benar gawat.

Tapi  dengan tenang dia malah bertanya,” Ada apa kok mencari Abang, Dek?”

Aku tidak menjawab. Dan memang dia tak membutuhkan jawabanku. Pancaran matanya yang selalu membuatku melayang seolah menyatakan beribu kata yang hanya kami berdua dapat memaknainya. Sejak malam itu, dia jadi lebih sering datang. Aku tak pernah menemuinya sendiri. Selalu ada Nila atau ibu kostku.  

Malam minggu bulan September, masa tenang dari tugas kuliah, aku dan Nila jalan-jalan sambil mencari jajanan. Di tengah perjalanan seseorang menyapa kami. Aku tidak melihat siapa orang itu sebab suasana agak gelap di belakang sebuah papan bilboard. Ku dengar Nila mengajak orang itu untuk ikut bersama kami. Orang itu tidak sendirian. Dia bersama seorang temannya. Mereka setuju ikut dan jadilah kami pergi berempat.

Waktu sampai di tempat yang cahaya lampunya cukup terang, barulah aku dapat melihat mereka dengan jelas. Rangga bersama Hardi, pacar si Nila. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan suasana hatiku saat itu. Berjalan di sisi Rangga untuk pertama kalinya, aku merasa kikuk. Tiba di sebuah warung sate kami duduk berhadapan. Aku tidak tahu apakah ini rencana si Nila dan pacarnya, yang pasti aku sudah duduk dihadapan Rangga.

Aku tidak pernah melupakan kejadian ketika keluar dari warung sate itu. Nila dan Hardi  sudah lebih dulu menyeberang jalan meninggalkanku bersama Rangga. Saat itu Rangga membimbing tanganku menyeberangi jalan yang selalu ramai dengan kendaraan pada setiap malam minggu.

Tiba di seberang dia melepaskan genggamannya sambil berkata,”Maaf  ya, Dek.”

Malam itu aku tidak bermimpi tetapi tidurku  nyenyak sekali. Aku tidak pernah tahu kalau keesokan harinya akan ada peristiwa yang membuatku menangis.

Aku dibangunkan Nila ketika azan subuh belum lagi terdengar. Nila bilang Rangga ditahan polisi. Kabarnya tadi malam ada tawuran dan Rangga dituduh ikut dalam tawuran itu. Aku tidak mendengar apapun lagi kata-kata Nila setelahnya. Orang-orang yang lalu lalang di depanku seperti fatamorgana. Dan suara-suara mereka bagaikan dengung ribuan lebah di telingaku.

Aku tidak tahu kapan kembali ke kamarku, ketika kudapati diriku sudah duduk di depan cermin sambil menyusut air mata yang menggenang. Masih terasa genggaman tangannya tadi malam  di jemariku. Mengapa tiba-tiba ada tragedi seperti ini?

            Rangga memang pemuda petualang malam. Bersama teman-temannya, mereka lebih seperti sekumpulan serigala malam yang rela berbuat apa saja demi kawanannya. Aku tahu konsekuensi bentuk pergaulan seperti itu adalah penghancuran diri sendiri. Tapi tadi malam dia bersamaku. Dan itu adalah kali pertama kami jalan bersama.

Tiga hari kemudian barulah dia dibebaskan kembali atas jaminan bapaknya yang seorang anggota tentara. Dia datang ke rumah pada malam berikutnya. Tanpa malu-malu lagi aku benar-benar menangis di hadapannya. Dan sejak itu pula semua orang tahu kalau kami telah menjadi sepasang kekasih.

Perjalanan cintaku dengan Rangga ternyata tak semulus yang kubayangkan. Bukan hanya satu dua orang yang kecewa ketika mengetahui kalau Rangga telah menjalin kasih denganku. Sebagian teman-temannya tak rela bila harus kehilangan serigala jantan andalan mereka. Hal ini kuketahui ketika suatu malam ada yang memanggilnya ketika kami sedang duduk di teras rumahnya. Entah bagaimana tiba-tiba saja beberapa orang yang tidak kukenal telah berkerumun di sekitar kekasihku itu. Dan tahu-tahu seseorang telah meninjunya, disusul kemudian tinjuan dan pukulan bertubi-tubi menghujani tubuh dan wajahnya tanpa sekalipun dia sempat membalas. Aku berlari ke dalam rumah dan memanggil kakak lelaki Rangga yang sedang duduk bersama keluarganya di dalam rumah. Segera saja terjadi keributan yang kemudian merembet dengan pelemparan ke rumah Rangga. Batu dan kayu menghantam jendela kaca. Suasana begitu kacau.

Ketika suasana tenang kembali, orang-orang itu pergi begitu saja. Rangga terduduk di dekat pintu. Darah mengalir di sela bibir dan pelipisnya yang terluka. Itulah yang menjadi alasan kepergian Rangga. Untuk menghindar dari segala bentuk dendam akibat pergaulannya, keluarga menyarankan Rangga merantau ke Bandung menyusul abangnya.

Setahun sudah sejak kepergiannya. Malam ini aku berdiri di beranda mengingati waktu pertama Rangga datang kesini. Aku mendesah panjang untuk meringankan beban yang memberati hatiku. Bayangan bulan  merah jambu tersembunyi di balik pucuk cemara yang bergoyang ditiup angin. Tak ada bintang menemaninya malam ini. Daun-daun bougenvile berguguran meluruhkan rasa  yang memadat di dadaku. Angin malam kian dingin melarutkan sepi hatiku. Lamat-lamat dari radio terdengar suara Katon Bagaskara.

                                                Aku tak bisa pindah....

                                               Pindah ke lain hati.......

                                               Sungguh ku akui tak bisa ke lain    hati.....

***KOTAPINANG, 29 MARET 2012, 19.50 WIB.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler