Skip to Content

CATATAN MASA REMAJA

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

CATATAN MASA REMAJA

 

1

 

Aku ingat kau Hartini ketika pagi itu kau kukagetkan dengan teriakan “aduh, ada ulat di rambutmu”. Kau berjingkrak-jingkrak. Pasti kau takut dan mungkin juga geli. Rasa takut dan gelimu aku anggap berlebihan. Kau meloncat-loncat menghentakkan kaki dan buku yang kau pegang kau lempar. Aku berusaha untuk menenangkan dengan memegang tanganmu dan berkata “tenang Tin, aku akan buang ulatnya”. Aku sama sekali tidak menyangka kau akan memelukku. Sungguh aku tak menyangka,

 

Kalau tidak “terpaksa” seperti ini mana mungkin “bintang kelas” secantik dirimu akan mau memelukku. Aku sudah kalah jauh oleh teman-teman lelaki sekelas dalam hal mendekatimu. Ah, dasar Hakimi. Dalam hatinya dia berbisik “ini kesempatan”.

 

Engkau memeluk. Kedua tanganmu gemetar di dadaku sementara rambutmu yang halus lembut harumnya meresap menggetarkan rasa. Aku meraba rambutmu, membelainya sambil berkata “tenang, diam, aku akan ambil ulatnya dan aku kulemparkan jauh-jauh, ya, tenang. Engkau tenang tapi gemetar tanganmu masih dan nafasmu terdengar.

 

Teman-teman lelaki perempuan yang melihat kita berpelukan mulai mendekat. Mereka kaget karena teriakanmu dan suara kerasku meminta agar kau tenang. Tentu saja aku harus berkata keras untuk mengatasi teriakanmu.

 

Sebenarnya aku enggan melepaskan pelukanmu tapi aku harus bersandiwara berpura-pura ulat sudah kupegang dan akan kubuang. Aku ke pagar sekolah dan aku berlagak melemparkan sesuatu. Setelah itu aku menghampirimu dan teman-teman. Yang aku ingat waktu itu ada Rosadi, Amir, Salahudin. Ada Robiyatunm, Halimat dan seorang lagi aku lupa.

 

Alangkah cepatnya perubahan terjadi. Dua atau tiga menit yang lalu kau di pelukanku. Tiba-tiba wajahmu menjadi wajah marah dan buka itu saja, Tanganmu bergerak menampar. Hangat juga tamparanmu. Kalau aku mau aku bisa saja menangkis atau mengelak. Tapi kalau itu aku lakukan tak akan cerita ini.

 

Dua hari setelah itu baru aku tahu bahwa ketika aku pura-pura membuang ulat ke dekat pagar, Salahudin membisiki engkau dengan sangat meyakinkan bahwa sebenarnya tidak ada ulat di rambutmu.

 

2

Rasa ragu dan khawatir sebenarnya sudah muncul dalam hati saat aku kebagian memboncengmu R. Ragu apakah aku akan kuat mengayuh sepeda dengan beban berat badanmu. Aku hafal sekali menurun dan mendakinya jalan ke Kampung Bukit Lama. Yakin sekali bahwa dari Jalan Pintu Air ke Kampung Bukit sama sekali tidak ada menurun. Mendatarnya hanya sampai batas SR 1. Dari belokan Jalan Merdeka ke arah Kampung Bukit tanjakannya berat. Jalan menurun baru ada jika belok kiri. Yang ada kuburan. Setelah kuburan mendaki lagi.

 

Masalah mendaki dan menurun sebenarnya bukan masalah utama. Gendutmu itu yang jadi pikiran. Sepeda yang kupinjam dari Mang Senan ini sepeda usang. Sepeda tua. Jangan-jangan rodanya bisa jadi angka delepan jika kita naiki berdua.

 

Tapi apa daya. Aku disudutkan oleh teman lelaki untuk “berpasangan” denganmu. Aku pasrah. Dan mulailah berubah. Bunyi sepeda usang yang ketika kupakai sendiri hanya berbunyi “kriyat kreyet” berubah menjadi “kratak krotok”. Dan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Belum sepuluh kayuhan ban meletus.

Celakanya ban meletus ini persis di depan anak-anak geng Pintu Air yang sedang nongkrong di pilar jembatan. Aku tidak bsai berbuat apa-apa. Jangankan melawan mereka, melarang mereka tertawa saja aku tidak berani.

 

Sementara itu tiga pasangan lain sudah melaju. Mungkin sudah sampai Jalan Balai. Pasti mereka tidak peduli kita berdua.

 

Diiringi sorak dan tawa anak geng kita balik. Apes. Fahro tidak meninggalkan kunci kamar kosnya. Kita hanya bisa duduk-duduk di depan. Menunggu sampai mereka kembali.

 

Yang paling aku ingat tentang engkau Minggu pagi itu adalah engkau membisu 1000 bahasa. Sejak ban meletus diiringi sorak dan tawa anak-anak geng itu kau diam. Betul-betul diam. Aku tanya ini itu kau diam membisu.

Kau malu padaku?

 

Ah, kalau saja Fahro menitipkan kunci dan kita bisa masuk ke kamar kosnya. Ceritanya akan lain.

 

 

3

 

Soal keberanian mendekati dan memulai pembicaraan aku nyaris tidak pernah kalah. Apalagi kalau pedekate itu mekai tulisan. Memakai surat. Aku pasti menang. Tapi soal duit aku kalah total.

 

Aku mendapat kenalan baru. Namanya Kartini. Dia pelajar Sekolah Kepandaian Putri (SKP). Gedung sekolahnya di belakang gedung sekolahku. SKP tidak punya jalan masuk sendiri. Jalan masuk sekolahnya harus lewat halaman sekolah kami.

Ketika jam sekolah usai aku melihat Kartini sedang kebingungan. Ternyata ban sepedanya kempes. Aku ikhlas mendekatinya dengan menawarkan jasa untuk membantu memompa.Tenaga Kartini tidak cukup kuat untuk menggunakan pompa tangan.

Teman lelaki yang ada bersamaku ketika itu tidak ada yang berani. Tanpa menjawab Kartini menyerahkan pompa tangan kepadaku dan tak lama kemudian dia bisa pulang.

 

Hari-hari berikutnya adalah hari indah penantian SKP pulang. Dan yang paling kutunggu adalah lirikan mata Kartini. Dan minggu-minggu berikutnya mulailah teman-teman Kartini bersuara ramai ketika pulang. “Kar, dia sudah menunggu” dam Kartini tersipu malu.

 

Beberapa kali malam Minggu aku sudah diterima oleh Kartini di rumahnya. Ibunya sangat sopan. Setiap kali aku datang selalu mengulang ucapan terima kasihnya atas kebaikanku terhadap putrinya.

 

Aku salah besar ketika mengabulkan permintaan A untuk ikut ke rumah Kartini. Salah fatal Karena kesalahan ini aku kehilangan Kartini. Malam Minggu itu ketika aku main ke rumahnya dia tidak ada. Kata ibunya Kartini pergi menonton bioskop bersama A.

 

Ada perasaan yang tiba-tiba menyesakkan dadaku. Kalau saja aku punya uang tentu aku mengajaknya nonton. Filmnya memang bagus. Sudah seminggu tayang di Bioskop Surya masih penuh penonton. Aku ingat judul filmnya Bazigar. Film India.

Meski ibunya menahan dan katanya akan mengambilkan bubur kacang untuk disuguhkan kepadaku, aku tetap permisi. Kuburan Bukit Lama yang sepi itu terasa menekan.

 

Bibir Kartini tidak bisa ditukar dengan bubur kacang.

 

4

 

Ini 60an. Di kampung belum ada motor yang joknya bisa menyobekkan keperawanan. Apalagi hape, Jauh. Masih jauh, Kampung yang sekarang tampak sebagai kota masih dalam bentuk asli, Dan asri.

 

Pagi-pagi gadis desa sibuk di dapur membantu orang tua. Atau mengerjakan sesuatu untuk keperluan hari itu. Belum ada yang berani lari pagi berkerudung tapi celana dan kaos mencetak bentuk tubuh sehingga tampak tercetak segalanya.

 

Belum ada raungan knalpot atau dering hape. Masih jauh. Lepas subuh jalan desa ramai oleh langkah kerbau yang digiring ke sawah untuk membajak. Atau digiring ke padang penggembalaan. Salahsatu pemandangan khas pagi hari adalah seekor atau dua bahkan tiga ekor kerbau berhenti dan berak.

 

Tahu kerbau. Beraknya menumpuk seukuran baskom isi 1 gantang. Menumpuk hijau kehitam-hitaman. Bioritmiknya membawa kerbau ke titik beraknya dengan akurasi 90%. Besok dan seterusnya kerbau akan berak disitu lagi.

 

Belum ada WA belum ada Messenger dan lain-lain sejenisnya. Baru ada surat menyurat. Dan surat menyurat bisa disebut setingkat di atas pernikahan dijodohkan.

 

Menyampaikan suratnyapun lucu. Tidak berani terus terang. Pinjam buku adalah salahsatu cara untuk mengirim surat. Ketika mengembalikan.

 

Isi suratnya. Jarang yang dengan berani berkata terus terang. Pakai gambar. Simbol. Sekarang berkembang menjadi emoji.

 

Jika kiriman gambar “hati/love” dibalas dengan gambar hati yang ditembus anak panah itu ada harapan untuk bisa lebih dekat. Lebih dekatnya tidak lebih dari ngobrol saja. Ngobrolnya jaga jarak seperti saat pandemic kopid.

 

Isi suratnya tergantung kepintaran. Jawabannya juga demikian. Banyak hati beku yang mencair karena kata-kata. Kalau sekarang konon kabarnya hati bisa cair mendadak oleh layar hape,

 

Aku pernah menulis puisi dengan baris yang dimulai dengan huruf-huruf namanya.

 

Ros merah muda yang sedang kupandang saat ini

Oleh orang lain pasti sudah dipandang

Sebab indah kelopaknya susah dilukiskan dengan kata-kata

Malam berbulan dan berbintang tak akan lebih indah

Walau ditambah dengan sejuta lagi bintang dan bulan

Apakah jawaban yang akan kauberikan padaku

Tanya hati kecilmu yang paling dalam

Indahnya bunga ros ini apakah boleh menjadi milikku

Terbaca bukan? Susunan huruf awalnya adalah Rosmawati. Dia salah seorang anak dara yang jadi inceran banyak pemuda.  

 

Aku minta bantuan temanku untuk memberikan surat itu kepada Rosmawati. Lama aku menunggu balasan. Dan ketika balasan –lewat temanku juga- aku sangat gembira,

 

Selesai keliling dagang aku masuk kamar. Kubuka amplopnya dan kubaca. Hatiku dag dig dug. Dan setelah membacanya hatiku tambah dag dig dug. Bunyinya sebagai berikut :

“Sia hayang ditampiling ku aing? Hayang sabara kali. Yeuh aing lanceukna. Teu sudi aing sia susuratan jeung adi aing”

Kamu mau ditempeleng olehku. Mau berapa kali. Nih, aku kakaknya. Aku tidak sudi kamu berkirim surat dengan adikku

Alamaaaak.

 

 

5

Tua, berjenggot, berkumis, semua sudah putih, bahkan alis mata dan bulu mata pun putih, adalah sesuatu. Apalagi kalau pilihan pakaian tampak sangat beda dengan orang-orang sekitar.

 

Sesuatu yang aku maksud ada yang menyenangkan dan ada yang tidak menyenangkan. Aku mencatat semuanya. Ada situasi yang kadang-kadang aku tidak mengerti.

 

Diantaranya. Pada suatu hari ketika aku di sebuah bank. Ada 2 blanko isian. Beda warnanya mencolok. Untuk penarikan warna “itu” dan untuk setoran warna “ini”.

 

Aku pakai “ini” dan “itu” saja agar tidak mengarah ke bank tertentu. Kalau aku tulis dengan jelas aku khawatir menjadi pelanggaran UU-ITE. Setelah diisi aku masuk ke dalam barisan antrian dan setelah menunggu beberapa lama aku maju setelah mendengar suara merdu “antrian berikutnya”.

 

Aku menganggukkan kepala sambil mengucapkan selamat siang. Hari memang sudah siang ketika itu. Dialog yang terjadi sudah standar. Ketika teller cantik itu sedang membuka buku tabunganku, iseng aku bertanya “kenapa pilih warna ini ya, kapan ganti dengan warna lain, kemarin ini, waktu kakek ke sini beberapa waktu yang lalu warna ini, banyak ya warna ininya”,

 

Aku sungguh-sungguh bertanya tentang warna kertas. Sungguh, tidak ada maksud lain. Namun jawaban manis yang aku dengar dari bibir mungilnya itu sungguh di luar dugaan. “Saya senang warna ini sejak kecil, koleksi saya semua warna ini, kakek kok bisa tahu”.

 

Tentu saja aku agak terkejut. Cara menjawabnya menampakkan bahwa aku bisa “melihat” sesuatu yang tersembunyi di balik seragamnya. Ah, aku jadi ingin bercanda. Sekalian saja aku lanjutkan dengan kalimat “tapi kenapa hari ini tidak seragam warna “ini” dan “ini” kenapa pakai yang hitam.

 

Hahahaha, gadis cantik itu tampak malu. Dia agak cemberut tapi tambah cantik. Sampai urusanku di loket selesai dia tidak bicara lagi. Aku meninggalkan loket.

 

Sebelum keluar, sejenak aku melayangkan pandangan ke arahnya. Dia sedang melayani tapi sempat membalas lambaian tanganku. “Dadah Cantik”.

 

Petugas sekuriti memandangku keheranan karena dia juga melihat gadis cantik itu membalas lambaianku.

 

 

6

Hampir semua anak kecil terasa (bukan kulihat atau kuanggap) sebagai cucuku atau cicitku. Karena rasa itu maka setiap melihat anak kecil aku selalu menyapa. Ucapan sapaku beragam. Kadang-kadang “hallo”, kadang-kadang “assalamu ‘alaykum”, kadang-kadang “hai”. Di belakang kata itu aku sambungkan kata “cantik” jika terlihat perempuan. Sebaliknya “ganteng” jika terlihat anak kecil itu lelaki.

 

Jika anak kecil itu dituntun oleh orang tuanya –seringnya ibu- tidak sulit membedakannya. Tapi kalau masih dipangku aku sering salah. Aku sebut ganteng ternyata sang ibu menjawab “aku cantik kakek bukan ganteng”. Atau sebaliknya kusebut ganteng ternyata cantik.

 

Sesekali aku sengaja “menyalahkan” sapaan. Aku tahu bayi yang dipangku itu perempuan karena di telinganya ada anting-anting. “Hallo Ganteng, assalamu’alaykum”. Ibunya sigap menjawab “aku cantik kakek”. “O ya… kamu sudah pakai anting-anting ya. Wah, kakek keliru”.

 

Suasana seperti itu sungguh sangat menyenangkan. Tapi pernah terjadi krodit. Kacau balau. Pernah. Aku ingat dua kali.

 

Peristiwanya di bank juga. Sang Ibu dan anak kecil diturunkan oleh bapaknya di depan sementara bapaknya memarkir mpbil. Aku menyapa. Yang terjadi adalah anak itu menjerit ketakutan.

 

Aku menjauh tapi anak itu tetap menangis. Entah apa aku dalam penglihatan anak itu. Yang jelas mereka bertiga pulang. Urusan di bank gagal.

 

Yang kedua anak kecil masih digendong. Tampaknya baru bisa berjalan. Kejadiannya di sebuah mal. Setelah aku menyapa anak itu menangis. Menangisnya seperti rasa sedih yang mendalam. Air matanya membasahi pipinya.

 

Bujukan ibunya tidak meredakan tangis.

 

Awalnya aku bingung tapi segera aku “ciluk ba” dengan anak kecil itu dan akhirnya tertawa.

Entah apa aku dalam penglihatan anak kecil itu. Mungkin tampak sebagai seseorang yang perlu dikasihani. Kalau ia sudah bisa ngomong mungkin ia ngomong kepada ibunya “Mamah, kasihan kakek ini, kasih uang seratus ribu”.

 

Ah, ternyata betul. Aku gagal membeli alat memasak alias rice”ceker” karena uangku kurang seratus ribu.

“Ayo Nek kita pulang. Bulan depan saja. Kita tunggu trf an dulu”.

 

 

7

Jika ditimbang-timbang memakai rasa rasanya lebih banyal teman perempuan yang percaya kepadaku, bahwa aku tidak akan “mengganggu” mereka ketimbang teman lelaki.

 

Teman lelaki jika aku ngobrol dengan teman lelaki bahwa aku sangat menghormati perempuan hampir seratus persen mereka tidak percaya. Macam-macam komentar mereka. “Mane ade rang percaye kau Kim.” Kata Maaz, anak Riau. “Kau itu sudah dikenal tukang ganggu perempuan.” kata Effendi. Wah, pokoknya macam-macam. Aku tidak tahu alasan mereka berpendapat begitu. Memaang ada sih yang aku ganggu. Tapi aku tidak gegabah. Aku tidak akan mengganggu jika melihat tanda-tanda teman perempuanku akan berteriak. Itu artinya aku pandai menangkap tanda-tanda bahwa teman perempuanku senang jika aku mengganggunya.

 

Dari sepuluh teman perempuan paling banyak tiga yang aku ganggu. Aku sebut saja sepuluh nama teman perempuan yang masih ada dalam ingatanku. O ya, ini kisahku ketika aku masih disana.

 

YaS, Ha, CiZ, Ri, Ras, Mah, Rob, Lie, Tin, dan Sop. Sepuluh ‘kan? Nah dari yang sepuluh ini hanya tiga yang aku ganggu dengan lebih dulu menangkap sinyal oke. Mereka ialah Sop, Ri, dan Ras.

 

Bisa jadi diantara yang tiga ini, atau semuanya mereka membuka rahasia dan rahasia itu kemudian tidak menjadi rahasia lagi. Sudah menembus dunia wanita, menyeberang ke dunia lelaki. Kemudian teman lelaki menilaiku dengan sebutan aku “tukang” mangganggu perempuan. Aku hanya tertawa. Sama sekali tidak bangga.

 

Sop aku ganggu malam Minggu. Waktu libur panjang. Pacarnya yang orang Belitung pulang. Ke Manggar. Undangan lewat genggaman tangan ketika pulang sekolah sudah cukup untuk kujadikan sebuah sinyal. Sabtu siang kami bertemu di kosan YaS. Kami berbanyakan ngobrol. Sapu tangan Sop jatuh. Aku bersegera mengambil. Ketika saputangan itu kuberikan dia menerima sambil menatap sayu. Matanya hampir terpejam. Jemarinya meremas jemariku. Ia berkata “aku punya kiriman nangka dari kampung, aku tidak bisa mengupasnya Kim, nanti malam bantu aku mengupasnya ya”.

 

Aku mengiyakan sambil berkata “mengupas nangka, gampang, biar aku bawa pisau tajam agar mudah mengupasnya, kau punya minyak kelapa”.

Sop memandangku dengan tajam. Mungkin menduga-duga apakah aku mengerti undangannya.

 

Sebelum isya aku sudah di rumahnya. Dia tinggal bersama dengan 3 teman perempuannya. Mereka mengontrak rumah ini. Dua temannya sudah keluar sejak pukul empat. Seorang lagi sedang asyik berdua di teras.

 

Aku masuk. Pisau dapur yang kubungkus dengan kertas Koran kuselipkan di pinggangkum kuletakkan di meja. Dan selanjutnya nangka matang yang semerbak wangi itu tetap tergeletak di lantai dapur. Wanginya hilang terhapus oleh wangi rambut Sop.

 

Aku lelaki yang sangat menghormati perempuan. Sungguh. Kalau saja aku tidak hormat malam Minggu itu aku bukan hanya mengupas mangga.

 

8

16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23. Stop. Aku menentukan pilihan terakhir setelah usiaku 23. Yang kupilih sampai hari ini telah mendampingi aku selama 51 tahun 1 bulan dan 4 hari. Dia menjadi ibu dari 5 anak-anakku. Dan menjadi nenek dari 10 cucu-cucuku.

 

Dari usia 16 tahun hingga 22 tahun, 6 tahun penuh dengan kisah suka dan duka remaja. Jangan terlalu percaya dengan kisah-kisah itu. Lebih banyak bohongnya daripada benarnya.

 

Aku gabungkan khayal dan realita menjadi kisah untuk iseng-iseg dicatat. Aku kadang tertawa sendiri. Ketika aku bercerita yang banyak bohongnya banyak yang percaya bahwa itu kisah benar terjadi. Dan ketika aku bercerita yang banyak benarnya malah dianggap bohong.

 

Apa dan siapa –orang lain- yang tidak bohong di dunia ini aku tidak tahu. Kalau sendiri ya itu tadi khayal dan realita aku campur adukkan.

 

16, 17, dan 18 tahun kisahku pasti berlatarbelakang tanah rantau yang bagiku bukan tanah rantau. Tanah, air, angin, dan panas pulau ini membentuk aku menjadi sebagian pribadiku. Selebihnya, sejak usia 19 hingga kini, latar belakang kisahku sudah tanah Jawa, khususnya Jawa Barat.

 

O ya, aku akan bercerita tentang menangkap sinyal dari wanita. Kali ini aku akan bercerita tentang Ras dulu. Siang itu dari sekolah aku tidak pulang. Aku ke rumah Ras. Kami akan mengerjakan tugas sekolah bersama-sama. Tepatnya aku mengerjakan tugas yang seharusnya dibuat oleh Ras. Sebenarnya tugas itu sangat gampang. Tapi bagi Ras selalu terasa sulit.

 

Demkianlah, siang itu aku di rumahnya. Tepatnya di tempak kosnya. Setelah belanja bahan untuk tugas aku mulai bekerja. Kuselesaikan satu untuknya lebih dulu. Kemudian untukku. Kami sempat istirahat dulu untuk makan bersama.

 

Ketika makan itulah aku menangkap sinyal halus dari Ras. Ia memintaku mengambilkan gelas minumannya padahal gelas itu berada dalam jangkauan tangannya. Kemudian dia bertanya apakah aku bisa mengerik (kerikan) jiika ada yang masuk angin.

 

Aku layani permintaannya mengambil gelas dan aku rasa dia sengaja menyentuh jariku ketika mengambil gelas dari tanganku. Lalu, sambil menyelesaikan tugas bagianku, aku jawab kerikan itu mudah. Hanya butuh uang logam dan minyak kelapa.

 

Meski ada setidaknya dua sinyal aku tidak percaya penuh. Aku mengujinya dengan kalimat bahwa jika telah selesai aku akan segera pulang karena keperluan mencuci pakaian. Aku katakana sudah dua hari aku tidak mencuci. Aku ingin melihat reaksinya dan mendengar apa yang diucapkannya.

 

Ras terang-terangan minta tolong aku mengeriknya. Aku tidak kaget. Tapi aku harus pura-pura kaget. “Bagaimana mungkin aku melakukan itu. Kau harus buka baju. Kan yang dikerik punggungmu.” Demikian kataku. “Lagi pula kau baru selesai makan.”

Ras seperti tidak peduli jawabanku. Ia malah “oek” seperti akan muntah. “Minyaknya ada, ambil pakai piring kecil. Uang logam ada di dekat jendela, ambil dan kerok aku,” demikian katanya. Suaranya terdengar berisi perintah.

 

Apakah aku menunggu lama? Ragu-ragu? P, tentu tidak. Ketika aku mengambil minyak dan uang logam lalu kembali aku sudah melihat punggung putih. Utuh. Tangannya memegang baju dan dirapatkan ke dadanya.

 

Ah, sudah. Sampai disini saja ceritaku tentang Ras. Selebihnya silakan pikirkan sendiri. Sedikit lagi yang ingin aku ceritakan adalah soal kentut.

 

Ya kentut. Besok dan seterusnya aku memakai kata “dut” untuk mengintimidasi Ras. Kalau aku sebut “dut” di depan teman-teman, Ras mencubitku. Dan kalau dut aku sebut sesaat setelah bel istirahat berbunyi, Ras langsung mengajakku ke kantin. Bubur kacang dan the hangat, atau ai’ jai’ (wedang jahe) dan goreng pisang.

 

Kalau ditanya apa hubungannya dut dengan itu semua. Ah, itu rahasia. Aku buka rahasianya ya. Tangannya yang memegang baju itu lama-lama terkulai ke pangkuannya, Dan ketika ia kupeluk erat dari belakang, ia kentut. Tentu saja ia tidak mau aku membuka rahasia itu.

 

 

9

Kisah Ri beda lagi. Sinyalnya beda. Ini seperti film Amerika yang judulnya Blitzkrieg. Konon itu artinya adalah Serangan Kilat. Memang ada kilat waktu itu. Dan diikuti oleh petir.

 

Kami sedang berdua. Sedang bersama-sama mengerjakan tugas membuat syair dari Pak Guru Kesusatraan. Wah, aku lupa namanya. Mendungnya sudah agak lama tapi hujannya tak kunjung turun. Terasa sangat gerah.

 

Tiba-tiba kilat berdenyar dan bersamaan dengan itu ada petir. Tahu-tahu Ri sudah dalam pelukanku. Aku kaget petir dan kaget pelukan. Kami tidak hirau ketika mendengar orang ramai berteriak ada kebakaran, Yang terbakar adalah pohon aren di kebun.

 

Pergi ke barat mengambil air

Untuk menyiram tumbuh-tumbuhan

Jangan peduli kilat dan petir

Ketika dia dalam pelukan

Dadah Cantik.

 

202009270856 Kotabaru Karawang

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler