Skip to Content

Cerita Pendek: "Perempuan dan Pohon Jati"

Foto Emilianus Elip

Cerita Pendek:
"Perempuan dan Pohon Jati"

Oleh: Emil E. Elip


Sudah hampir sepuluh purnama ini dia selalu berlari mencari pohon-pohon jati yang diceritakan oleh kakek-nenek buyutnya ketika mereka masih hidup. Cerita itu begitu indah terdengar ditelinganya ketika dia masih kanak-kanak, sambil berbaring-baring dipangkuan neneknya atau ketika pergi digandeng kakeknya ke kebun. Dalam temaram lampu sentir dan suara jangkerik malam sehabis mahrib, atau ketika angin kebun bersemilir lembut sambil mencabuti ketela-ketela pohon di siang hari yang terik, cerita tentang jajaran pohon jati di kampungnya begitu mempesona.

Pesona itu yang ingin dia cari selama hampir sepuluh purnama ini, dengan berlari-lari kecil ke sana ke mari. Dia ingin sekali menemukan nenek-nenek, atau kakek, atau mungkin orang mirip pak de dan mbok de-nya, atau pak lik-nya, memungut daun-daun jati di bukit dan lembah-lembah yang kering. Penuh canda dan geguyon riang, meski pada siang terik dan hidup dalam ketersediaan pangan yang amat berat. Sesekali neneknya atau kakeknya mengalunkan tembang yang belum dia ataupun kakak-kakaknya mengerti maknanya waktu itu.

Baru setelah belasan tahun berikutnya, dia mengerti sedikit, bahwa tembang itu berisi petuah dan petunjuk bagi manusia. Hidup di gunung kering seperti ini memang sangat berat. Tidak semua yang kita ingin dan butuhkan cepat ada datangnya. Kita harus menunggu, dan dalam menunggu itu mungkin akan putus asa. Dalam keputusasaan itu pun mungkin kita bisa saja tidak mendapatkan apa yang di harapkan. 

Kita ini hanya "memungut saja" daun jati yang sudah diberi jatuhkan oleh sang pohon. Harus sabar. Sabar menunggu daun jati di waktu, saat, atau hari berikutnya. Kita goyang atau robohkan pohon jati itu pun bisa saja, agar rejeki datang lebih banyak hari itu. Tetapi pun akan cepat habis...tidak ada tersisa daun jati di hari esok untuk dijual. Begitulah kira-kira yang ingin dikatakan oleh kakek-neneknya.

Dia masih ingat betul, betapa sejuknya air telaga kecil di pinggir desa. Dan disana dia bertemu, bermain, bercanda dengan teman-teman sebayanya. Setelah cukup, kakek neneknya, bapak simboknya, atau pak-liknya kemudian pulang dengan memikul atau menggendong segepok daun jati. Mereka selalu mampir di telaga itu. Duduk duduk, membasuh muka dan seluruh badan yang terasa panas. Nenek atau ibunya mengusap muka dan badannya...segar sekali dan kemudian membiarkan dia bermain dengan teman-temannya.

* * *

Pagi-pagi sekali bapak atau simboknya telah membangunkannya. Kemudian mereka berjalan satu atau dua desa dari tempat tinggalnya, menuju pasar untuk menjual daun-daun jati dan belanja keperluan dapur. Itu pasti. Dilakukan dua atau tiga hari sekali. Dan saat adalah saat yang amat menyenangkan buat dia karena dapat melihat keramaian pasar. Banyak macam barang, baju, mainan, alat dapur, alat pertanian...macam-macam. 

Membantu memungut daun jati, memisah-misahkan menurut kualitasnya, mengelapnya supaya bersih, lalu mengepaknya agar mudah digendong dengan selendang ke pasar, sudah menjadi tugasnya ketika dia mulai sekolah SMP. Rasanya sudah menjadi gadis dewasa yang punya uang, meski hasil jual itu harus diserahkan kepada bapak simbok. Tetapi dia boleh memilih satu atau dua barang yang disukai asal harganya tidak mahal. Sebagai gadis desa, tidak banyak yang dia inginkan, toh akhirnya hanya itu-itu saja yang dijumpai di pasar desa yang jauh dari kota. Dia sudah senang melihat orang tuanya bahagia, karena ada sedikit uang tersisa dan barang keperluan harian untuk hari ini atau dua tiga hari kedepan. Setelah itu baru dia ke sekolah pakai sepeda.

Di tanah pegunungan kapur yang kering, palawija tidak bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan uang. Jagung, ketela, kacang atau lainnya hanya menjadi selang-seling penopang pangan sekeluarga. Sisanya baru dijual dan ditambah sedikit dengan hasil daun jati. Kita tidak bisa makan semau maunya. Kami belajar menahan "murka" untuk ingin makan. Kami belajar untuk merasakan, bahwa makanan apapun dari tanah dan keringat kami adalah enak. Kami belajar mencampur bumbu dan mengakali rempah-rempah agar menjadi penyedap makanan. Kami belajar mengolah jangkerik bahkan walang (belalang) seenak kami memasak ayam kampung.

Sebagai perempuan gunung kering, dia telah mengamati dan belajar semuanya itu dengan penuh. Dia terampil menjual daun-daun jati. Terampil mencari kayu bakar. Terampil memasak apapun menjadi sesuatu yang enak. Terampil mencari air bersih, bahkan sampai di goa-goa yang jauh jika puncak musim kering tiba. Terampil mengatur air bersih seberapa yang untuk masak, air minum, mencuci dan atau mandi.

Rasa-rasanya beban hidup ini semakian tajam ke tulang-tulang jika puncak musim kering tiba. Air telaga di desa itu surut banyak, bahkan sering hampir habis airnya kalau musim kering berlalu begitu parah. Tidak tega lagi mengambil air di telaga yang kian keruh. Terpaksa harus ambil air bawah di goa-goa, yang jaraknya 3 - 4 km dari desa. Musim-musim itu adalah musim yang amat menyusahkan bagi perempuan. Dia pun terampil jalan berjingkat pelan-pelan, mengambil air satu atau dua dirigen dari dalam goa, dan membawanya pulang. Dan dia tidak sendiri! Segerombolan perempuan pasti datang bersama, pagi dan sore, tidak hanya dari desanya saja.

* * *

Ketika mulai dewasa dia tahu persis! Pohon jati adalah pohon kehidupan. Ketika kakak laki-lakinya masuk SMA, bapaknya menjual beberapa kayu jati cukup besar. Katanya buat biaya bayar kakaknya masuk SMA. Ketika saudara sepupunya kawin dan kemudian membuat rumah kayu. Pakde-nya menebang banyak pohon jati untuk membuat rumah bagi saudara sepupunya itu. Semuanya itu dikerjakan dengan gotong-royong, bahkan bersama gadis-gadis lain di desanya. Dia membantu masak bersama untuk memberi makan bagi bapak-bapak yang ikut gotong royong membangun rumah kayu jati. Itu dilakukan bisa 3 sampai 4 minggu. 

Sekeluarga besar kami harus rajin menanami lahan-lahan kosong dengan pohon jati ataupun pohon-pohon lain yang bagus untuk kayu bakar. Setiap satu pohon jati sudah ditebang, tidak begitu lama harus kami tanami bibit pohon jati baru. Terus begitu. Diulang-ulang dan harus dilakukan. Itu bagaikan manusia. Mati dan yang lain lahir. Kami sudah tidak perlu bertanya untuk apa! Seperti kami juga tidak perlu bertanya lagi untuk apa bernafas.

Sepertinya yang kami tebang jauh lebih cepat. Jauh lebih banyak. Pohon jati yang tumbuh terasa amat lamban. Dia merasakan desanya makin tahun makin panas. Duduk-duduk atau sedang mencuci baju di tepi telaga pun dia rasakan semakin gerah. Telaga itu tidak sehijau 10 atau 20 tahun yang lalu, terasa masih adem. Airnya makin mudah surut dan habis. Semakin sering dia ke goa-goa mengambil air bersama teman-teman perempuan lain. 

Sering dia duduk termangu di ladang dan tegalan setelah mengambil air dari goa. Termangu meratapi tetumbuhan seperti lombok, jagung, kacang, ketela, dan yang lain semakin tak terurus. Buahnya kecil. Tidak segar. Mereka seakan berteriak minta air. Lantas dia mendekap air di dalam jirigen itu seakan ingin berkata:

"Maafkan ini air untuk hidup kami, beri kami setetes saja", kata sang tanah.

"Bukankah hujan sudah memberimu minum", kantanya.

"Air hujan hanya lewat saja begitu cepat...Kami tidak sempat kenyang", sahut tanah. "Maafkan jika kami tak memberimu hasil yang banyak..." timpal sang tanah.

 

Dialog batin itu sering membuatnya susah: ngenes, galau, nggrantes. Desanya kian sepi. Para lelaki muda sebayanya merantau ke kota. Perempuan sebayanya pun sudah banyak pergi ke kota. Tidak banyak lagi perempuan tinggal di desa, kecuali mereka yang sudah kawin. Kawin?! Siapa lagi keluarga lelaki yang bisa atau dapat membuatkan rumah kayu untuk kami? Daun jati yang bernas semakin sedikit yang jatuh, dan dari mana bisa memberi makan anak-anak. Dia sudah terbiasa dengan semua kesusahan hidup di tanah gunung yang kering ini. Dia tetapkan harus mencari kemanapun semuanya itu pergi. 

* * * 

Sudah hampir sepuluh purnama dia terus berlari mencari. Mencari daun-daun jati di ladang-ladang kering. Dia ingin menemukan ranting-ranting kering buat kayu bakar. Mencari menemukan lelaki dan pohon-pohon jati. Mencari untuk mengulangi musim panen yang asik, memetik lombok, jagung, kacang dan ketela dengan riang karena esok pagi akan menjualnya ke pasar.

Di suatu malam purnama, dia duduk-duduk diberanda, ditemani temaram lampu dan suara jangkerik, bulan muncul di atas ranting-ranting pohon jati tersisa di depan rumahnya. Bersamanya dia terus berlari dalam mimpi...

 

Yogyakarta, April 2018
https://nawakamalfoundation.blogspot.com/
Dimuat juga di https://emileelipwork.blogspot.com/2018/04/short-story-women-and-teak-tree.html#more

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler