Skip to Content

CERPEN

Foto eswa achmad

BURUNG HANTU BERMATA IBLIS

Cerpen: Sri Wintala Achmad

 

            Langit bergemuruh. Tiga helikopter yang terbang rendah menuju Pulau Kematian itu memecah pagi. Hingga orang-orang Desa Brebek yang masih menuntaskan mimpinya di balik selimut tebal itu sontak terbangun. Mereka bertanya-tanya dalam hati, “Apakah akan ada perang?”

            Sangli. Perempuan tua yang pernah mengalami getirnya nasib di zaman penjajahan itu bergegas beranjak dari tempat tidur. Setengah terhuyung, Sangli berjalan menuju halaman rumah. Sebagaimana tetangga kiri-kanannya, Sangli menengadahkan wajah yang berkeriput itu ke langit. Kedua matanya tak menangkap ketiga helikopter yang masih meninggalkan jejak suaranya.

            “Kenapa Nenek terus menatap langit? Helikopter-helikopter itu telah pergi.” Badrul, cucu Sangli menatap keriput pipi neneknya yang mulai basah air mata. “Kenapa Nenek menangis?”

            Sangli yang tak menggubris pertanyaan Badrul itu terus menatap titik kulminasi langit. Sepasang matanya yang tak lagi melacak bayangan ketiga helikopter itu menangkap sosok Dibya. Bayangan mendiang suaminya yang tujuhpuluh empat hingga tujuhpuluh delapan tahun silam turut memanggul senapan untuk melawan serdadu Jepang dan Belanda itu senampak kelelawar kesiangan. Terbang kesana kemari. Mencari lubang langit yang menjadi pintu menuju surga.

            Tanpa mengerdipkan mata, Sangli terus menatap bayangan Dibya sebelum lenyap ditelan awan tipis. Keriput pipinya semakin basah air mata. Perasaannya sangat iba pada Dibya yang belum mendapatkan jalan ke surga karena masih menanggung beban di dunia. Dumadi alias Andi Azis anaknya yang dilahirkan limapuluh dua tahun silam bukannya menjadi seorang tentara, melainkan menjadi teroris negara. Mengebom kota demi kota hingga tertangkap oleh pasukan anti teroris dan berakhir dijebloskan ke dalam penjara.

            Sangli menundukkan wajah, hingga air matanya bertetesan di kebaya luriknya. Dengan langkah gontai, Sangli memasuki rumah bersama Badrul. Putra semata wayang Dumadi yang sekian lama ditinggal minggat Marni ibunya. Kepergian Marni yang tak diketahui rimbanya itu karena tak segaris dengan pemahaman Dumadi dalam soal kepercayaan.

            Di kursi kayu sudut ruang tamu, Sangli duduk sambil merenungi nasibnya yang tak semujur sebagaimana dibayangkan sejak menikah dengan Dibya. Seorang pejuang yang kemudian mendapatkan pangkat sersan mayor, namun akhirnya tewas di tepi sungai sesudah didakwa sebagai pemberontak negera. Sejak kematian Dibya itulah, Sangli menjadi single parent yang harus membanting tulang sebagai buruh gendong di pasar untuk menghidupi dan membiayai sekolah Dumadi.

            Hati Sangli serasa disayat-sayat ribuan silet, sewaktu mengenang nasib buruknya yang sejak masa silam hingga sekarang tak pernah berubah. Terlebih sawaktu ia memikirkan Dumadi yang terbukti sebagai pelaku pengeboman hotel bintang lima di ibukota itu akan dieksekusi mati bersama tiga teroris dan lima pengedar narkoba di Pulau Kematian.

            “Kenapa Nenek tampak sangat sedih?” Badrul memecah suasana senyap di dalam ruang tamu. “Jangan bersedih, Nek! Aku jadi ikut sedih.”

            Sangli mengusap air mata yang masih membasahi keriput pipinya. Memaksakan senyuman hambar untuk mengelabui perasaan dukanya kepada Badrul. Cucu satu-satunya yang membuatnya masih ingin memertahankan hidup di tengah penderitaan batinnya.

            “Kenapa Nenek tak menjawab pertanyaanku?”

            “Pertanyaan yang mana?”

            “Kenapa Nenek tampak sangat sedih? Apa karena tak dapat melihat helikopter-helikopter itu?”

            Sangli mengangguk.

            “Nenek bohong!”

            Sangli menggeleng.

            “Jangan mengelak, Nek!” Badrul mengerling kedua mata Sangli yang berusaha keras untuk menyembunyikan duka hatinya. “Aku tahu kenapa Nenek bersedih hati. Bukankah Nenek sedang memikirkan ayah yang akan dieksekusi mati di Pulau Kematian? Jangan bersedih, Nek! Ayah akan mengurangi sedikit dari setimbun dosanya. Karena satu nyawa Ayah belum cukup untuk menggantikan ribuan nyawa korban pengeboman yang tak berdosa itu.”

            Sangli terhibur dengan perkataan Badrul. Maka sejak hari itu, Sangli tak lagi memikirkan nasib Dumadi yang akan dieksekusi mati di Pulau Kematian. Sangli berusaha keras untuk merelakan kematian Dumadi. Dengan merelakannya, Sangli berharap agar mendiang Dibya segera menemukan jalannya ke surga.

            Hari-hari melintas tak terkendali. Sangli meyakini kalau Dumadi yang dibawa salah satu dari ketiga helikopter menuju Pulau Kematian sebulan silam itu telah dieksekusi mati. Sangli semakin yakin, ketika tetangga kiri-kanannya yang rajin menonton televisi itu menceritakan kalau Dumadi telah dieksekusi bersama para pesakitan lainnya. Mendengar cerita itu, Sangli berusaha membendung air matanya. Namun berkat kematian Dumadi, Sangli yang kemudian mendapatkan bisikan gaib lewat mimpinya itu sedikit terhibur. Mendiang Dibya telah menemukan jalan ke surga.

            Kebahagian Sangli tak berlangsung lama. Sebagai ibu yang telah melahirkan Dumadi, Sangli sangat tersinggung ketika mayat Dumadi tak diperbolehkan orang-orang untuk dikuburkan di Desa Brebek. Karenanya, Sangli yang terpaksa mengikuti saran Badrul itu segera menguburkan mayat anaknya ke sepetak ladang warisan Dibya di tepian desa.

            Selepas pemakaman Dumadi, Sangli kembali menghadapi masalah. Mayat Dumadi yang telah dikubur itu kembali menjadi teroris. Roh halusnya menjelma seekor burung hantu bermata iblis yang memasuki setiap rumah penduduk. Mengintai nyawa orang-orang yang tengah tertidur pulas di malam hari. Karena tak tahan dengan sebutan “Ibu Teroris” dari tetangga kiri-kanannya, Sangli meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Badrul. Tak pernah kembali.  

 

Cilacap, 16 Agustus 2017


Cerpen ini dimuat di mingguan Minggu Pagi, Jumat 15 September 2017.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler