Skip to Content

Cerpen : Duabelas

Foto Annisa Tiara

Kata demi kata aku rangkai menjadi sebuah ikatan kalimat. Aku menulis untuk ekspresikan hati. Dalam setiap individu di dunia ini, hati orang berbeda. Ada mereka yang menggunakan akting, lukis, tari, nyanyi, aku? Menulis.


 

Untukmu yang disana, aku ingin bercerita tentangmu. Tentang rasaku, tentang rasamu, tentang kita. Aku sering kali menulis curhatan tentang dirimu. Dimana-mana dan dalam beragam bentuk. Kau seperti itu.
Kau, untukku, dimana-mana dalam wujud absurd meski fakta berbicara. Untukku, kau bagaikan semesta meganova di luar sana. Kelam yang tak kunjung henti ujungnya. Infinitif, tak terhitung. Kau menyelimuti dunia dengan kegelapan tanpa oksigen yang menyekat paru-paru manusia biasa. Bisakah kau bernafas di luar angkasa sana tanpa busana orang-orang pintar itu? Kau infinitif, tersebar dimana-mana.
Banyak mereka dengan namamu. Tapi kau tahu? Hanya satu kamu untukku. Banyak mereka diatas awan dengan dagu terangkat keatas. Anak orang kaya yang pintar dan tampan. Aku tidak butuh mereka, kenapa? Karena kau cukup tulus untuk tetap duduk di atas rerumputan liar ini bersamaku dibanding berkumpul diatas awan dengan teman setipe. Kau rela lepas dari kerumunan bagaikan itik hilang, hanya untukku. Kita disini terlantar diatas tanah kotor dunia. Memandang angkasa yang tak kunjung ada batasnya. Ujung yang terlontar jauh di sana. Jika kau lebih cepat dari kecepatan cahaya, kau akan terlontar ke ujung itu yang entah semesta lantai berapa itu berada. Jangan, jangan pergi berlari seperti cahaya. Cukup kau disini bersamaku menatap bintang di langit. Aku tidak butuh bulan kau ambil bagaikan Romeo gombal yang terlalu gila itu. Aku hanya butuh tulus. Aku butuh kau.
Seperti kau tahu, kau bukanlah sebuah keharusan belaka, kau adalah kewajiban. Entahlah. Apa kewajibanku? Aku tak tahu, tapi aku hanya ingin melihat bulan setengah bundar itu di mukamu, menyinari langitku saat mulai kelam.
Malam ini kelam, aku. Dan kau berkuli untuk menambal air mata ini agar tidak bocor lagi. Kau bersikeras untuk menjadi matahari diantara awan hujan ini. Meski kadang, kau pergi berbaur dalam kehidupan pribadi dan aku hilang dengan latar belakang hampa. Tapi disaat kau memberi warna pada kehampaan, latar belakang menjadi cerah dan tidak ada lagi yang perlu di perdulikan selainkan kau, disini bersamaku. Aku lelah bersalaman pisah. Aku ingin tak berpisah secara infinitif sepertimu sendiri. Kau yang telah terukir, ada di tulisan-tulisan hatiku, ya, aku ingin kau.
Entah kemana tulisan ini akan berlaju, tapi sejauh yang aku tahu, sulit untuk menghentikan tangan yang bukan lagi dikendarai otak, melainkan perasaan hati. Kau tak perlu lagi difikirkan, namun kau di rasa. Bagaikan makanan padang yang pedas melekat dilidah. Aku disini dan kau di sana, diantara yang terjalin kita membangun tembok sepanjang tembok Cina. Seirama dengan waktu yang aku yakin akan terus memberi keindahan pada langit berbintang yang kita pandang ini. Aku tidak perlu lagi menutup mata dan berharap pada jam 11.11 malam. Aku telah mendapatkan apa yang telah lama kuimpikan, apa lagi yang aku bisa minta? Saat kau mendapat apa yang kau jadikan permintaan nomor 1, apakah nomor lain menjadi masalah? Tidak, untukku.
Infinitif, itu dirimu. Kau ada dimana-mana bahkan diantara dedaunan yang sedang terbahak digelitik angin pagi hari. Kau ada di langit tepat diatas ubun pada siang hari. Kau ada di setiap sudut pandangku bahkan hingga saatku paksa pengelihatanku kepada poin maksimalnya. Kau ada. Fakta berbicara pedih biasanya. Dia paling hebat dalam hal menyayat hati, tapi tidak jika berhubung denganmu. Kau ada disemuanya yang aku lihat, cium dan dengar. Kau ada di tulisanku. Tulisan ekspresif dari hati. Karena kau tidak di pikir, kau dirasa. Kau kebutuhan, bukan hanya kewajiban.
Aku padamu.
Annisa Tiara

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler