Skip to Content

Cerpen "Jejak Cinta"

Foto sytethex

Malam semakin kelam. Lengkingan belalang semakin jelas terdengar. Dalam kamar ukuran sedang, aku membuka buku harian. Tal pelak, teringatlah aku peristiwa demi peristiwa yang telah aku alami.

Terus terang, dari segala peristiwa yang telah aku catat dalam buku harian, sebagaian besar adalah peristiwa cinta yang selama ini aku cari dan belum aku dapatkan. Betapa tidak! Cintaku selalu kandas di tengah jalan. Hingga penuh jejak cinta yang membekas tanpa satupun aku raih kebahagiaan dari cinta itu sendiri.

Mungkinkah esok cintaku akan terealisasi? Terus terang, aku membuka buku harian malam ini bukan tanpa tujuan. Aku ingin agar apa yang telah terjadi tak terulang kembali. Biar yang telah terjadi tinggalkan jejak, dan aku ingin esok membuat jejak cinta yang indah. Mungkinkah!

Malam bertambah semakin kelam. Bayangan wajah Nina datang menghias layar angan. Aku menghela nafas. Mungkinkah Nina menerima cintaku? Kalau aku nekat naksir Nina, apakah jejak cintaku tak akan menemui kegagalan lagi. Haruskah aku mundur dan tak meneruskan keinginan.

Semakin jauh dan dalam memikirkan harapan cinta yang telah ada dalam hati. Aku semakin tak berani berharap banyak akan diterima tidaknya cintaku. Dan aku semakin takut. Takut akan kejadian yang telah aku alami.

Dengan lesu aku rebahkan badan di ranjang. Aku menggela nafas, lalu menyebut nama Nina. Aku berharap dalam tidur bermimpi ketemu Nina. Siapa tahu, aku bisa memadu kasih dengan Nina dalam mimpi. Dan siapa tahu, mimpi tersebut bisa menjadi awal dari kenyataan. Bukankah mimpi merupakan tanda-tanda juga.

Aku tergagu, tergagap. Matahari telah lama menyapa bumi. Dengan terburu-buru, aku membasuh muka lalu minum air putih.

“Ran, kamu tadi dicari Arli!” kata ibu.

“Arli nggak pesan apa-apa, Bu?”

“Kamu ditunggu di rumahnya!” jawab ibu.

Setelah sarapan, aku pamit ibu pergi ke rumah Arli. Ternyata Arli datang lagi, dan aku tak jadi pergi ke rumahnya. Setelah basa-basi. Arli ngajak pergi ke rumah Nina.

Dalam hati, aku merasakan jangan-jangan Arli punya maksud dan niat seperti yang ada dalam hatiku. Kalau Arli juga naksir Nina, tak pelak jejak cintaku akan terantuk batu lagi.

“Gimana, Ran!”

“Ada apa ke rumah Nina?” taanyaku

“Ya biasa, main-main saja!” jawab Arli

Sebenarnya aku mau menolak. Tapi aku tak kuasa. Lagi pula Arli selama ini begitu akrab dengan aku.

Melihat Arli dan aku datang. Nina berdiri dan menyambut kami. Rambutnya yang agak panjang diikat dengan gelang karet. Sederhana sekali. Begitu juga wajahnya, tak disentuh alat kecantikan sesuilpun. Tapi, biarpun begitu, Nina masih nampak cantik dan anggun.

Sebenarnya Nina ngajak masuk ke dalam rumah. Tapi aku menolak dan memilih duduk di teras saja.

“Duduk di teras saja, Nin! Enak, sambil ngobrol kita bisa menikmati taman!”

“Ala, taman jelek saja, Ran!” kata Nina

“Iya, Ran!” kata Arli menyahut

“Terus terang, sebenarnya yang ngajak kemari Arli, mungkin Arli ada keperluan sama kamu, Nin! Untuk itu, lebih baik aku menunggu di sini saja.”

Akhirnya Arli dan Nina masuk. Dan aku tak peduli. Yang jelas, aku tak ingin mengetahui apa yang dibicarakan Arli dan Nina di dalam.

Agak lama juga aku menunggu di luar. Tapi Arli belum juga ke luar. Dan karena begitu lama menunggu. Akhirnya aku menemui Arli dan Nina di dalam.

“Ar, bagaimana?”

“Maksudmu!” kata Arli

“Lho, kamu kan yang punya maksud! Kok aku?”

Aril diam

Nina member tanda dengan kerdipan mata kepadaku. Aku tersentak. Mungkinkah!

Ternyata apa yang aku duga benar. Bahwa Arli juga naksir Nina. Dan Arli sudah menyampaikan isi hatinya. Ah, jejak cinta yang ada dalam ahtiku terantuk batu lagi. Tapi kenapa Nina tadi member tanda kepadaku? Mungkinkah cinta Arli ditolak!

Dengan lesu, Arli ngajak aku pulang. Dan kalau melihat sikap Arli. Aku bias menebak, jelas Nina menolak. Berarti masih ada kesempatan bagiku untuk melanjutkan langkah. Dan sebelum melangkah jauh dari rumah Nina. Aku menoleh ke belakang, Nina tersenyum, plak hatiku berdebar.

Selang beberapa hari. Aku ketemu Nina di took buku. Kebetulan, Nina sedang mencari buku untuk bahan makalah yang harus ditulis. Sedangkan aku mencari buku bacaan baru.

“Ini!” sapaku

“Eh, kamu Ran, sama Arli ya?”

“Enggak, sendirian!” jawabku

Sambil mencari buku, kami ngobrol. Ternyata buku yang dicari Nina sudah habis.

“Buku apa sih, Nin?” tanyaku

“Kritik sastra!” jawab Nina

“Di rumah ada, karangannya siapa?”

Nina menyebut seorang pengarang kritik sastra. Dan kebetulan aku mempunyai.

Nina berharap agar aku mau meminjamkan buku. Padahal, biarpun Nina tak meminjam, aku akan meminjamkan.

“Ambil saja di rumah!” kataku

“Kapan?”

“Terserah kamu!” kataku

“Kalau begitu, esok aku ke rumahmu!” kata Nina

Dan setelah aku memperoleh buku. Aku pamit Nina, ternyata Nina ngajak aku mampir ke warung dulu. Mau menolak, berarti aku nolak kesempatan.

Di warung bakso, kami membicarakan Arli. Terus terang, aku merasa kasihan juga kepada Arli. Tapi itu semua salahnya Arli sendiri. Dan Nina tahu sendiri, kalau Arli suka ganti-ganti pacar.

Setelah makan bakso. Aku dan Nina berpisah. Sampai di rumah, aku langsung mencari buku yang tadi ducari Nina di toko buku. Ah, lega hatiku. Ternyata bukut tersebut ada, dan telah dikembalikan rekanku yang lain.

Akhirnya aku tulis sebuah puisi  jejak cinta.

Telah kutaruh harap

Gendewa yang telah pasangi senjata

Sasarannya tepat mengenainya

Jejak cinta gendewa telah aku pegang

Padamu….

Aku baca puisi yang telah hamper jadi. Haruskah aku menyebut nama Nina dalam puisi tersebut? Karena aku kurang sreg dengan puisi yang telah aku tulis sendiri. Akhirnya aku menulis lagi sebuah puisi. Tapi dengan judul yang sama. Jejak cinta.

Jejak cintaku terarah padamu

Bunga melati penghias taman sari

Yang selama ini menggoda hati

Siang malam selalu kuimpi-impi

Di dalam buku yang akan dipinjam Nina, aku selipkan puisi tersebut. Dalam hati aku berharap. Nina mengerti. Dan malam telah larut aku rabahkan badan di ranjang. Seperti kemarin malam, sebelum tidur aku sebut nama Nina.***

Salah Sangka

Sudah menjadi kebiasaan. Setiap istirahat aku selalu ke ruang perpustakaan. Memilih buku, lalu duduk di kursi. Dan membaca tanpa peduli ada orang lewat di sekelilingku.

Begitu juga hari ini. Bel istirahat berbunyi, aku ke luar dan menuju ruang perpustakaan. Aku cari buku tentang sastra, enak-enak mencari buku, aku dikejutkan suara.

“Itu anaknya!”

Aku berhenti memilih buku dan menoleh kea rah suara. Tak pelak, ahtiku bertanya. Karena mereka siswa baru dan belum aku kenal namanya.

Tiga cewek siswa baru melabrak aku. Aku dikira telah menggoda salah satu temannya.

“Bukankah kamu yang telah menggoda Anis?”

“Anis yang mana?” tanyaku

“Ini!” kata salah satu dari mereka sambil menunjuk cewek berambut sebahu di sebelahnya.

Haruskah aku meladeni mereka? Sedangkan kami berada di ruang perpustakaan.

Mereka terus mencercaku dengan kata-kata yang kurang enak dan kurang pada tempatnya. Aku tebah dada, bersabar untuk menang. Karena aku merasa tak pernah menggoda salah satu temannya.

“Ngaku atau aku laporkan kepada BP !” kata berambut panjang agak sinis.

“Aku lebih suka dilaporkan, tapi sebelumnya aku ingin tahu, di mana temanmu itu aku goda?”

Mereka pada bego dan saling memandang. Satu jurus telah aku aku lakukan.

“Di mana, Nis?”

Sambil berbisik, Anis berkata. Dan aku tak tahu apa yang dikatakannya. Tapi teman-temannya pada diam.

“Bagaimana, apa jadi melaporkan aku ke BP ?”

Mereka pada diam

Dan aku pun tak memperdulikan meraka lagi. Aku kembali memilih buku. Samar-samar aku dengar mereka saling menyalahkan. Entah kenapa! Aku merasa terganggu.

“Lebih baik kalian bicara di luar, di sini bukan tempat berdebat, tapi tempat membaca buku !” kataku kalem.

Mereka pada memandang aku. Aku cuek saja. Karena aku merasa tak salah.

Bel masuk bordering. Aku harus kembali ke kelas. Dengan seijin Pak Roni, aku pinjam buku yang baru aku baca. Sampai di kelas. Aku ditodong pertanyaan oleh Prapto.

“Kamu tadi dilabrak oleh Anis cs, ya?” tanya Prapto

“Iya, siapa sih Anis cs, itu!”

Prapto membertahu. Dan baru hari ini aku tahu. Kalau di sekolahan ada siswa baru anak pembesar.

Pulang sekolah. Aku berkenan mengikuti langkah Anis cs. Tapi mereka apada dijemput semua. Terpaksa aku berjalan sendiri menelusuri jalan Pahlawan. Mata hari di atas kepala, rasa panas tak mungkin aku hindari. Mungkin kalau aku naik sedan akan bias menghindari panas yang aku rasakan. Ah, anganku kok terlalu melambung, kalau jatuh bisa terkapar.

Sebuah sedan berhenti agak jauh di depanku. Tapi kau tak peduli dan terus berjalan. Dan betapa tersentaknya aku. Anis membuka pintu sedan.

“Mas, ayo sama-sama!”

“Trims…!” kataku

“Ayo Mas, nggak apa-apa!” kata sopirnya

Dengan ragu, aku naik sedan Anis. Anis ikut duduk di jok belakang. Anis berpesan kepada sopirnya. Agar tak bilang kepada orang tuanya.

“baik Non!” kata sopirnya

“Sungguh lho, Pak Pardi!” kata Anis

Aku hanya diam saja. Sedan bergerak lalu melaju kencang. Aku beritahu sopir kalau di perempatan jalan saja dan mau naik angkutan kota. Tapi Anis bersikeras ingin mengantarkan aku. Terpaksa aku mengalah.

Bukan aku takut dilabrak lagi. Tapi aku tak mau menyita waktunya. Sebab tentu orang tuanya Anis telah member jadwal waktu kapan berangkat sekolah dan kalau pulang sampai di rumah jam berapa.

Sedan sudah sampai di perempatan jalan. Karena sopir mematuhi perintah Anis. Terpaksa aku terima saja.

“Mas, aku mohon maaf, aku dan teman-teman telah salah sangka !”

“Yang menggodamu sebenarnya siapa ?” tanyaku

“Anak bahasa, rambutnya mirip denganmu !”

Aku tahu siapa yang menggoda Anis. Dan tak salah Wandi yang menggoda Anis. Kenapa ?

Aku saja juga ingin menggoda. Tapi untuk apa menggoda kalau sudah kenal baik. Dan tak terasa, sedan telah memasuki kampong halamanku. Aku minta ijin di turunkan di pintu masuk gang. Sebenarnya Anis ingin tahu rumahku. Tapi aku bersikeras minta diturunkan di pintu masuk gang.

“Kalau kamu tahu rumahku, kamu akan alergi!” kataku

“Bukan tumahnya yang aku cari!” kata Anis

“Lalu, apanya?”

Anis diam

“Trims, An!” kataku sambil membuka pintu sedan lalu melangkah masuk gang di mana jalan tersebut selalu aku lewati siang malam.***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler