Skip to Content

cerpen : wanita itu ibuku

Foto Reffi Dhinar Seftianti

Wanita Itu Ibuku

Brak,”Bukain pintunya Nadiaa!!” panggilan dan ketukan keras di pintu depan membuatku yang baru mulai memejamkan mata terkejut bukan main. Segera aku berlari ke ruang tamu dan membukakan pintu,

”Lama banget sih bukainnya, molor aja kamu kerjaannya!!” masuklah sesosok wanita cantik berpakaian minim dan seksi yang langsung menyambarku dengan kata-kata sadisnya

”Maaf bu,tadi aku memang udah hampir tidur, lagian ini kan udah jam 12 malem harusnya ibu jangan pulang selarut ini.”ujarku mencoba sabar pada wanita yang kupanggil ibu itu

”Halah aku pulang juga dari kerja,udah urus aja urusanmu sendiri,anak kecil juga banyak bacot kamu!” lalu ibu berlalu dan masuk ke kamarnya, meninggalkanku sendirian dengan bau alkohol yang masih menguar di ruang tamu.

            Yah, wanita itu memang ibuku. Ibu kandungku yang telah mengandungku selama 9 bulan dan berjuang keras hingga bisa membawaku ke dunia. Tapi selama hampir 17 tahun aku berada di dunia ini, tak pernah aku ingat ibu sekalipun mengucap sayang padaku atau sekedar membelai lembut wajahku. Mungkin waktu aku kecil ibu pernah memperlakukanku dengan lemah lembut hanya saja percuma karena ingatan masa kecilku telah lenyap tanpa sisa.

            Setelah tersadar dari lamunanku, aku menutup pintu lalu masuk ke kamar kembali dengan nafas berat. Ibu macam apa yag bisanya hanya menghardik serta memukuli anaknya jika ada kesalahan  sedikit saja yang membuatnya sebal atau kesal sedikit saja. Memang ibu selalu memberiku uang saku dan memberikan uang SPP sekolahku. Tapi yang kubutuhkan bukan hanya itu. Lagipula saat menerima uang permberian ibu, seringkali aku merasa waswas, karena aku tahu darimana uang itu berasal. Ibuku bekerja di tempat pelacuran, dan dia sudah menjadi mucikari di tempatnya bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, hanya dari uang ibulah aku tetap bisa meneruskan sekolahku. Apalagi sekarang aku bersekolah di salah satu SMA favorit di kotaku. Aku merasa senang akhirnya bisa bersekolah di sekolahku sekarang, karena di situlah aku bisa melarikan diri dari kesumpekan rumah yang kurasakan bagaikan neraka. Di sekolah aku berusaha belajar sebaik-baiknya dan alhamdulillah aku berhasil mendapatkan beasiswa sehingga sekarang aku tak perlu lagi memakai uang pemberian dari ibu. Uang yang diberikan ibu aku tabung, sementara itu untuk memenuhi uang sakuku aku bekerja di toko buku tiap siang sepulang sekolah.

            Dan tiap aku pulang ke rumah aku harus menghadapi kenyataan pahit lagi. Masih dengan suasana rumah yang sama dan seorang wanita yang kupanggil ibu itupun masih tetap dengan orang yang sama. Seperti di malam-malam sebelumnya, aku terlelap tidur dengan perasaan yang kacau. Air matapun mengalir perlahan seiring dengan terpejamnya mataku.

***

            “Nadia, kamu dipanggil Bu Widi tuh. Sekarang kamu lagi ditunggu di kantor.” panggil Syifa salah seorang teman sekelasku,”Oh iya,makasih ya Syifa.”sahutku sambil tersenyum. Di sekolahku aku sama sekali tak memiliki sahabat karib, karena aku takut kalau teman-temanku di sekolah akan mengetahui siapa aku sebenarnya. Di kelas aku duduk sendirian, dan tak pernah ikut ngobrol dengan siapapun juga. Untungnya aku punya Bu Widi, beliau adalah wali kelasku dan hanya kepada beliaulah aku dapat bercerita dengan leluasa tentang keadaanku sebenarnya.

            “Permisi bu, tadi kata Syifa ibu memanggil saya.” Bu Widi mendongakkan kepalanya dan menyambutku dengan senyuman lembut,”Iya Nadia,ada yang mau ibu bicarakan sama kamu.” Lalu aku duduk di depan meja beliau,”Memangnya ada apa bu?” tanyaku penasaran,”Selamat ya, tulisanmu menang juara pertama, minggu depan kamu diundang ke Jakarta untuk mengikuti workshop kepenulisan sama menghadiri acara pemberian hadiahnya.” Bu Widi menyalamiku dengan wajah gembira,”Wah beneran bu? Alhamdulillaah hadiahnya besar soalnya bu, saya saja nggak yakin kalau bisa lolos.” Aku hampir tak percaya mendengar kabar baik barusan. Tulisanku yang kukirim ke Lomba Cerpen Remaja lolos menjadi juara pertama,”Tapi nad, sepertinya ada satu masalah kecil.”potong Bu Widi,”Masalah kecil apa bu?”tanyaku,”Untuk acara pemberian hadiahnya harus disertai salah satu orang tua, panitia sudah mengirimkan dua tiket beserta akomodasinya untuk dua orang ke Jakarta, apa ibu kamu bisa kesana?” pertanyaan Bu Widi tak bisa langsung kujawab aku hanya menggeleng lemah,”Hmm, gitu ya, coba kamu bicara baik-baik sama ibu kamu, siapa tahu kamu bisa membujuk dia, lagipula beliau pasti sangat bangga karena kamu sudah menjadi anak yang berprestasi.”,”Iya bu, akan saya coba untuk bicara dengan ibu saya.”jawabku dengan penuh keraguan.

            Aku menunggu ibu dengan perasaan harap-harap cemas. Semoga dengan mendengar kabar baik ini, perasaan beliau bisa sedikit melunak padaku. Kali ini ibu pulang pukul sepuluh malam, seperti biasanya, bau akohol masih tercium dari tubuhnya. Aku belum mampu mengeluarkan sepatah atapun padanya,”Kenapa kamu Nadia? Gelisah sekali sepertinya, apa kamu mau minta uang?” tanya ibu dengan nada ketus,”Nggak kok bu, aku Cuma pengen ngomong sebentar aja sama ibu. Aku harap ibu nggak keberatan.”kataku dengan agak ragu-ragu,”Ya udah lima menit aja,jangan lama-lama aku mau tidur.”,”Begini bu, tadi siang di sekolah aku diberitahu Bu Widi guruku di sekolah, kalau aku menang sebagai juara pertama lomba cerpen remaja, dan pemenangnya diundang untuk mengikuti workshop kepenulisan di Jakarta, selain itu sudah disediakan dua tiket beserta akomodasinya untuk pemenang dan salah satu orang tua untuk menghadiri acara penyerahan hadiah, makanya aku ingin ibu bisa menemaniku ke Jakarta minggu depan.” Aku bicara tanpa berani menatap wajah ibu.Ibuku hanya terdiam, matanya menatap lurus ke arah wajahku lalu dia mulai bicara, tapi yang kuherankan kali ini dia bicara sambil mulai meneteskan air mata,”Oh kamu menang lomba menulis ya? Tapi jangan harap aku mau datang sama kamu. Ternyata gen busuk itu memang melekat erat padamu”aku tercengang mendengar perkataan ibu barusan, tak mengerti apa yang ibu bicarakan,”Maksud ibu gen busuk itu apa?”,”Kamu tahu? Gara-gara aku terlena oleh tulisan-tulisan indah seseorang, akhirnya aku jatuh cinta dengan orang yang salah? Gara-gara rayuan dalam tulisan itu jugalah akhirnya aku harus kehilangan masa depanku dan melahirkan kamu ke dunia. Kamu tahu kenapa aku begitu benci melihat wajahmu? Itu karena wajahmu mengingatkanku pada orang brengsek itu. Sekarang juga ternyata bakatnya telah menurun padamu. Bah, aku tak sudi ikut kamu ke Jakarta, pergi saja sendiri sana!”  kemudian ibu masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras.

            Baru kali ini aku mengetahui rahasia mengenai kelahiranku. aku ingat setiap kali aku menanyakan perihal ayah kandungku, ibu selalu bilang kalau dia sudah meninggal tanpa pernah tahu dimana kuburnya. Jadi sebenarnya aku ini seorang anak haram? Dan gara-gara harus mengandung aku, maka ibu harus kehilangan masa depannya? Aku hanya bisa menangis dalam diam. Sudah cukup aku merasa terhina dengan menjadi seorang putri mucikari, sekarang aku harus menerima kenyataan kalau aku memiliki ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Padahal di setiap kali aku sedih karena perlakuan kasar ibu, aku selalu membayangkan kalau ayah akan datang menjemputku dan mengajakku pergi jauh dari tempat ini.

***

            Esoknya aku menceritakan semua kejadian kemarin malam pada Bu Widi. Beliau menghiburku dan berkata,”Tak ada yang namanya anak haram di dunia ini. Semua anak terlahir suci tanpa dosa Nadia. Jangan jadikan perkataan ibumu itu menjadi beban. Bersabarlah karena bagaimanapun dia ibu kamu, lagipula kalau ibu kamu membenci kamu tentu kamu sudah digugurkan atau mungin dibuang. Buktinya sampai sekarang ibumu tetap menjaga kamu walau dia mencari nafkah dengan cara yang salah. Dia hanya masih belum bebas dari luka masa lalunya terhadap ayahmu.” Aku berusaha mencerna kata-kata lembut Bu Widi,”Ya bu, saya akan selalu berusaha untuk bersabar, tapi bagaimana dengan acara di Jakarta itu?”,”Ya sudah nanti ibu yang akan minta izin ke ibumu untuk mendampingi kamu ke Jakarta nanti, kamu tenang saja ya.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Widi. Tak lama kemudian bel tanda istirahat usai berbunyi. Hatiku membuncah dipenuhi harapan-harapan baru. Sampai-sampai aku berjalan ke kelas sambil melamun,”Nad..Nadia!” aku terkejut dan mencari sumber suara. Seorang pemuda tanggung menghampiriku dengan sedikit tergesa,”Nadia aku nyariin kamu dari tadi.”,”Eh ada apa Kak Bima?” tanyaku heran,”Selamat ya kamu udah jadi pemenang lomba menulis cerpen remaja, aku mewakili redaksi majalah sekolah untuk meliput berita mengenai kamu di rubrik profil siswa berprestasi minggu depan. Makanya aku pengen wawancara sama kamu tapi kamunya nggak ada di kelas.” Kak Bima menyalamiku dengan antusias. Saat dia menyentuh tanganku, seperti ada kilat yang menyambar di sekitar kepalaku. Segera kulepaskan jabatan tangannya dan kami membuat janji besok siang akan ada wawancara mengenai kemenanganku.

            Seperti ada mukjizat, aku akhirnya bisa berbicara dengan Kak Bima. Dia adalah senior yang kukagumi semenjak aku menginjak sekolah ini. Tingginya sedang dengan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya. Dia terkenal sebagai salah satu siswa berprestasi di sekolah. Selain menjabat sebagai ketua OSIS, dia juga aktif di majalah sekolah. Tentu tak terhitung berapa banyak gadis-gadis di SMA ini yang diam-diam ingin menjadi kekasihnya. Sekarang aku bisa bicara begitu dekat dengannya, sungguh suatu keajaiban yang tak kukira, tapi ah, jangan mengkhayal terlalu tinggi Nadia, Kak Bima menemuimu hanya untuk wawancara saja, lantas kenapa jantung ini tak bisa berhenti berdetak? Masa iya aku benar-benar jatuh cinta? Tidak boleh,ini tidak boleh terjadi. Kupercepat langkahku sambil berusaha menghapus pikiran-pikiran liar yang mulai menyerobot masuk dalam otakku.

            Esok siangnya di perpustakaan sekolah aku melakukan wawancara mengenai kemenanganku dengan Kak Bima. Tapi debar jantungku tetap tak terkontrol seperti kemarin, alhasil aku lebih banyak diamk lau tidak diberi pertanyaan oleh Kak Bima,”Kamu ini orangnya emang pendiam ya?” tiba-tiba Kak Bima mengalihkan pembicaraan, “Eits apa-apaan ini, bukannya aku harusnya diwawancarai sampai selesai? Kenapa pembicaraannya jadi tentang aku sih?” batinku ,”Oh,ya emang begini aku kak. Aku bukan orang yang pinter ngomong, maaf ya.” Sahutku malu-malu,mendengar jawabanku kak Bima malah menyunggingkan senyumnya yang paling manis,”Tapi walau pendiam prestasi kamu hebat juga. Kamu juga dapet beasiswa penuh kan semenjak jadi siswa teladan tahun lalu?”,”Tidak juga kok Kak.” Wajahku semakin merona malu,”Ohya, kamu kan punya bakat nulis Nad, kenapa nggak gabung aja sama klub majalah sekolah? Lumayan bakat nulis kamu nanti semakin terasah nantinya.” Ingin aku menjawab ya, tapi aku teringat sesuatu,”Eh iya, tapi tiap pulang sekolah aku ada kerja sambilan Kak. Jadi maaf ya, padahal aku ingin gabung kok.”ujarku sedikit menahan kecewa ,”Lho kamu kerja sambilan juga? Emang diijinin orang tuamu?” .”Iya maklum aku bukan anak orang berada seperti teman-teman lain di sekolah ini, jadi untuk menambah uang saku aku juga cari kerja sambilan.”,”Maaf ya kalau pertanyaanku tadi nyinggung kamu, tapi aku makin salut lho sama kamu, kamu nggak minder untuk mengakui siapa diri kamu sebenarnya, pasti orang tua kamu adalah orang tua yang hebat.” puji Kak Bima, aku hanya tersenyum sambil sedikit menghela nafas.

            Tanpa terasa pertemuan kami sudah berakhir, aku terkejut sebelum beranjak Kak Bima menahan tanganku,”Entar siang boleh aku anter kamu ke tempat kerja nggak, daripada kamu capek naek angkot?” ,”Maaf Kak, tapi aku nggak mau ngerepotin Kak Bima, lain kali aja ya, makasih udah mau nganterin.” Tolakku dengan halus, kemudian aku pamit masuk kelas terlebih dahulu. Gila kenapa  Kak Bima bertingkah laku seperti itu? Apa seorang cowok populer seperti dia memang pandai bergaul dengan perempuan mana saja ya? Kenapa dengan gampangnya dia mau mengantarkanku pulang? Aku takut kalau aku menumbuhkan harapan terlalu tinggi nantinya ketika jatuh rasanya begitu sakit. Mungkin aku takut untuk jatuh cinta, karena cinta yang kukenal malah membawa luka menahun dan siksaan yang teramat dalam pada orang yang kusayang, yaitu pada ibuku.

***

            Hari ini toko buku tempatku bekerja begitu ramai. Biasanya pukul enam sore aku sudah berganti shift dengan teman kerjaku yang lain, tapi hari ini dia minta izin untuk datang sedikit     terlambat karena menjaga ibunya yang sedang sakit. Tepat pukul tujuh aku pulang. Jalanan sudah semakin gelap. Ketika aku menunggu angkot sendirian, sorot lampu sebuah motor mengejutkanku,”Hai Nadia, lagi nunggu angkot ya?” sapa pengendara motor di hadapanku, aku ketakutan dan bersiap-siap untuk lari,”Eh ini aku Bima.” Kak Bima berkata sambil melepas helm teropongnya,”Aku pikir kakak orang iseng. Maaf ya.” ujarku lega,”Aku kebetulan lewat sini, kamu barusan pulang kerja? Daripada nunggu angkot sendirian bahaya tuh, mending aku anter, kebetulan juga aku bawa helm cadangan.” Kak Bima menawarkan tumpangan untukku,” Jangan takut, aku nggak bakalan macem-macem. Kalau kamu nggak mau, aku  bakalan nungguin kamu sampe dapet angkot terus kubuntutin dari belakang lho.” ,”Eh jangan dong kak, iya deh aku ikut Kak Bima.” Lalu aku naik di motornya. Sepanjang perjalanan kami sama sekali tak terlibat pembicaraan yang penting. Sesampainya di depan rumah aku sangat terkejut ternyata ibu sudah menunggu di teras rumah,”Darimana saja kamu Nadia? Bukannya jam segini biasanya kamu udah di rumah?” ibu bertanya sambil memandang sinis Kak Bima,”Tadi aku lembur Bu, kebetulan di jalan ketemu Kak Bima, dia kakak kelasku di sekolah, karena sudah malam jadi aku diantar pulang.”,”Salam kenal bu, nama saya Bima” kak Bima mengulurkan tangannya,”Lain kali kamu bisa pulang sendirian kan Nad, oya Bima jangan coba-coba dekatin anak saya ya, dia tidak saya bolehkan untuk pacaran dulu. Kamu bisa mengerti kan?” ibu berkata dengan ketus,”Ibu salah paham, Kak Bima hanya bermaksud baik.”,”Udah Nad, mending aku pulang dulu, nggak apa-apa kok,ibu kamu cuma khawatir. Aku pulang dulu ya.” Kak Bima lalu pulang diikuti dengan tatapan ibu yang begitu sinis. Aku masuk ke dalam rumah dengan hati yang sangat kesal,”Jangan gampang didekati lelaki, semua laki-laki di dunia ini brengsek.” ,”Jangan samakan Kak Bima dengan ayah Bu. Lagipula kami hanya berteman, aku tidak ada niatan buat pacaran sama dia.” ,”Awalnya memang hanya berteman, tapi selanjutnya dia akan merayumu lalu mengambil semua yang berharga dari kamu.” Ibu berteriak keras,”Aku tidak pernah minta dilahirkan bu, kalau memang ibu merasa keberatan dan menderita karena melihat sosokku yang mirip dengan ayah, lantas ibu berhak mengatur juga menyiksa aku pelan-pelan? Untuk kali ini aku tidak mau ibu atur-atur lagi, dengan siapa aku berteman itu urusanku!” amarahku memuncak tak tertahankan lagi. Ibu hanya terdiam di depan pintu, dia sangat terkejut melihat aku yang berani melawan perkataannya. Aku muak hidup dengan tekanan seperti ini  terus-menerus. Amarah dan kekesalanku sudah sampai puncak.

            “Nadia,kamu... Uhuk,uhuk!” ibu tak melanjutkan perkataannya, ia batuk-batuk sangat hebat hingga mengeluarkan darah,”Ibu kenapa bu?” aku panik melihat darah yang keluar dari mulut ibu, belum sempat menjawab ibu langsung jatuh pingsan,”Tolong,tolong ibuku pingsan!” aku berlari keluar berteriak sekeras mungkin, pikiranku begitu kalut hingga tak tahu harus berbuat apa. Untungnya ada beberapa orang tukang becak yang mangkal di dekat rumah mendengar teriakanku, dengan bantuan mereka akhirnya aku menyetop angkot lalu pergi ke rumah sakit. Ya Tuhan ada apa dengan ibuku, au hanya bisa menangis sambil berdoa agar tidak terjadi hal yang serius pada ibu,”Bu sadar bu, maaf tadi aku membentak ibu.Cuma ibu yang kupunya di dunia ini?” bisikku lirih tapi ibu belum mau membuka matanya, sontak air mataku mengalir dengan lebih derasnya.

            Menurut diagnosa dokter ibu harus segera dirawat inap. Hal berikutnya yang membuatku sangat terpukul adalah ketika dokter menjelaskan apa penyakit ibu sebenarnya,”Adik yang tabah ya, ibu adik menderita penyakit AIDS, karena tidak pernah mendapat perawatan serius sekarang penyakit itu telah menggerogoti imunitas tubuhnya, dan ibu adik terserang penyakit TBC akut, sehingga butuh perawatan yang serius di sini.” Seperti ada petir yang menyambar di kepalaku mendengar penjelasan dokter itu. Aku kembali ke ruang dimana ibu dirawat dengan hati yang hancur. Ibu masih tertidur di ranjangnya, kugenggam tangannya yang kecil dan berhiaskan kuteks berwarna merah. Walau seang tertidur wajahnya tetap terlihat cantik untuk wanita seusianya. Air mataku mengalir tak tertahankan lagi,”Nadia”panggil ibu dengan sedikit parau,”Ibu jangan banyak bicara. Kata dokter ibu harus dirawat disini.”,”Ayo pulang, percuma ibu disini, penyakitku nggak akan sembuh.” Ibu berusaha bangkit dari tidurnya,”Jadi ibu sudah tahu?”,”Sudah enam bulan ini aku tahu tentang penyakitku.” Ibu menjawab lemah,”Nggak, ibu nggak boleh kemana-mana, ibu juga nggak boleh kerja lagi. Aku akan menjaga ibu terus disini.”

            Dengan lembut ibu lalu menyeka air mataku, baru kali ini aku melihat kelembutan terpancar dari wajahnya,”Maafkan aku Nadia. Kamu benar seharusnya aku tidak boleh melampiaskan kebencianku padamu. Maafkan ibumu yang buruk ini Nadia?” Lalu aku memeluk tubuh rapuh ibu dan kami menangis tanpa suara.

***

            Empat hari berikutnya aku izin tidak masuk sekolah. Tiap siang hingga malam aku bekerja di toko buku dan juga menjaga ibuku yang dirawat di rumah sakit. Untung tabunganku dan tabungan ibuku cukup untuk membayar biaya perawatan ibu beberapa hari ini. Tapi aku mulai gelisah karena uang kami pasti makin menipis nantinya. Sampai menjelang keberangkatanku ke Jakarta aku tak masuk sekolah. Aku sudah tak peduli lagi dengan hal lain selain kesehatan ibu. Satu hari sebelum hari keberangkatanku ke Jakarta, Bu Widi dan Kak Bima datang ke toko buku tempatku bekerja,”Bu Widi? Kenapa ibu bisa kesini?” tanyaku,”Bima yang memberitahu ibu, sudah hampir satu minggu kamu absen sekolah, ada apa Nadia? Kalau ada masalah bukankah kamu selalu cerita pada ibu?” Bu Widi memandangku kecewa,”Ibu saya sakit , sekarang dia dirawat di rumah sakit bu. Maaf saya tidak sempat memberitahu ibu.”,”Apa? Ibu kamu jatuh sakit? Baik sekarang antar ibu ke tempat ibu kamu dirawat.”,” Saya tidak mau merepotkan ibu dan Kak Bima, maaf bu.”,”Kamu sudah ibu anggap seperti putri ibu sendiri, jadi tolong jangan merasa seperti orang asing.” Ujar Bu Widi lembut,”Iya Nad, ayo sekarang kita jenguk ibumu, aku bawa mobil hari ini jadi kita bisa berangkat sama-sama.” Kak Bima memandangku dengan senyum tulusnya, kemudian kami berangkat menuju rumah sakit bersama-sama.

            Sesampainya di rumah sakit Bu Widi menemui ibuku yang sedang terbaring lemah,”Bu Sinta.” panggil Bu Widi kepada ibuku, ibuku membuka matanya perlahan,”Nadia boleh kamu tinggalkan kami berdua sebentar, ibu ingin bicara dengan ibu kamu. Boleh ya bu?” pinta Bu Widi,”Boleh saja bu, ibu pasti Bu Widi , guru kesayangan Nadia, Nadia sudah sering cerita tentang ibu, maaf kalau selama ini kami merepotkan ibu.” ibu menggenggam lembut tangan Bu Widi. Lalu aku pergi meninggalkan mereka berdua dengan perasaan damai,”Nadia, ini.” Kak Bima menyodorkan secarik kertas kecil padaku,”Aku tahu ini bukan saat yang tepat, tapi saat aku meninggalkan rumahmu malam itu, hatiku diiputi perasaan gelisah, jadi tolong baca surat ini ya.” Aku membacanya pelan dan merasa bahagia dengan isi suratnya,”Kak Bima, aku memang kagum dengan Kak Bima, tapi maaf aku tidak bisa membalas perasaan Kak Bima. Aku takut kakak nanti menyesal kalau jatuh cinta denganku.”,”Aku sudah tahu tentang kamu dari Bu Widi, siapapun ibu kamu bukan masalah buatku, aku dan Bu Widi akan membantu biaya perawatan ibu kamu. Jadi tolong pertimbangkan lagi ya.” Aku menatap ke arah jendela rumah sakit, hatiku diliputi dengan rasa syukur dan gembira, ternyata Tuhan tak pernah benar-benar meninggalkanku sendirian,”Aku yakin perasaan Kak Bima tulus padaku, tapi sekarang aku tidak mau memikirkan hal lain. Aku hanya memikirkan mengenai ibuku saja saat ini.” Kak Bima maklum dengan pendirianku. Ya, aku tak menyesal, walau cinta itu tak kugapai. Karena untuk saat ini aku hanya ingin membagi cintaku dengan  satu orang saja. Dia seorang wanita cantik. Wanita itu ibuku.

Komentar

Foto Anonymous

cerpennya bagus...

cerpennya bagus...

Foto Reffi Dhinar Seftianti

terima kasih sudah membaca

terima kasih sudah membaca karya saya :)

Foto Anonymous

cerpennya bagus kak, :D gak

cerpennya bagus kak, :D gak sadar larut dalam cerita sampe nangis sendiri, hehe

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler